PDM Kabupaten Kediri - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Kediri
.: Home > Artikel

Homepage

Awal Bulan Versi Muhammadiyah

.: Home > Artikel > PDM
08 Juni 2015 17:34 WIB
Dibaca: 5708
Penulis :

                      KRITERIA WUJUD AL-HILAL

(Penetapan Awal Bulan Qamariyah versi Muhammadiyah)

 

                                                  Oleh: A. Mukarram

 

A. Pendahuluan

Bagi umat Islam, pembahasan tentang penentuan awal bulan qamariah bukan saja merupakan hal yang penting, tetapi juga sekaligus merupakan masalah yang cukup pelik. Dikatakan penting karena sistem kalender yang harus dijadikan pedoman dalam beberapa pengamalan ajaran agama Islam adalah sistem kalender yang pengukurannya didasarkan pada peredaran bulan (qamar), yang produknya disebut dengan kalender qamariah. Tidak sedikit ajaran agama Islam yang pelaksanaannya dikaitkan dengan tanggal, atau bulan qamariah, misalnya ibadah puasa wajib ditunaikan pada bulan Ramadan, ‘Idul Fitri pada tanggal satu Syawal, ‘Idul Adha pada tanggal 10 Zulhijah, penentuan masa ‘iddah, dan penentuan haul sebagai syarat jatuhnya kewajiban zakat. Semua ketentuan waktu ibadah tersebut didasarkan pada kalender. Sedangkan penyusunan kalender qamariah diawali dengan penentuan tanggal satu atau permulaan bulan pada setiap bulannya.

Dikatakan pelik, karena penentuan awal bulan qamariah tidak hanya merupakan persoalan agama tetapi lebih dari itu, ia merupakan masalah multi dimensional. Di samping menyangkut masalah agama, ia juga merupakan masalah ilmu pengetahuan dan teknologi, sosial, hukum, dan bahkan sudah masuk dalam ranah politik. Pengukuran bulan qamariah didasarkan pada peredaran bulan, sebuah benda langit yang menjadi obyek kajian ilmu pengetahuan khususnya Astronomi atau Ilmu Falak. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan sekaligus teknologinya tidak dapat diabaikan, bahkan mutlak harus menjadi dasar pertimbangan dalam penentuan awal bulan qamariah. Jadi masalah sosial, hukum, dan politik menjadi bagian tak terpisahkan dari masalah penentuan awal bulan qamariah.

Perbedaan hari dalam memulai puasa Ramadan, ‘Idul Fitri, dan ‘Idul Adha, sudah beberapa kali terjadi. Umat Islam di tanah air menunaikan ibadah puasa, salat ‘Id, pada hari yang berbeda karena keyakinan mereka tentang masuknya tanggal satu bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah berbeda pula atau dengan perkataan lain, awal bulan qamariah berbeda.

B.  Bulan Qamariyah sebagai Acuan Kalender Hijriyah

Al-Qur’an dan hadis Nabi saw. dengan jelas menunjukkan bahwa satu tahun itu ada dua belas bulan, empat bulan di antaranya adalah bulan haram.

Firman Allah SWT dalam surat at-Taubah: 36:

إِنَّعِدَّةَالشُّهُورِعِنْدَاللهِاثْنَاعَشَرَشَهْرًافِيكِتَابِاللهِيَوْمَخَلَقَالسَّمَاوَاتِوَاْلأَرْضَمِنْهَاأَرْبَعَةٌحُرُمٌ   

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.

Dua belas bulan yang dimaksud oleh al-Qur’an tersebut enam di antaranya bernama Zulkaidah, Zulhijah, Muharram, Rajab, Jumadal Akhir, dan Sya’ban. Dengan demikian yang dimaksud adalah jelas bulan qamariah bukan yang lainnya. Enam bulan lagi yang tidak disebut dalam hadis Nabi saw. tersebut  adalah Shafar, Rabiulawal, Rabiulakhir, Jumadal Ula, Ramadan, dan Syawal. Nama-nama bulan ini menunjukkan bahwa kalender yang harus dijadikan acuan dalam pengamalan ajaran Islam adalah sistem kalender qamariah, atau dikenal pula dengan kalender hijriyah.

Empat bulan haram dalam ayat tersebut dijelaskan dalam sabda Nabi SAW riwayat Imam Bukhari No. 2958:

إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللهُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُوالْقَعْدَةِ وَذُوالْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَان

“Sesungguhnya zaman (masa) itu terus berjalan dari sejak awal penciptaan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan, diantaranya ada empat bulan haram (suci), tiga bulan berururtan yauti Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram serta Rajab yang berada diantara Jumadil (Akhir) dan Sya’ban.”

 

C.  Dinamika Hisab Rukyat dalam Putusan Tarjih Muhammadiyah

“Berpuasa dan Id Fitri itu dengan ru’yah dan tidak berhalangan dengan hisab”.Demikian salah satu bunyi putusan dalam Himpunan Putusan Tarjih Kita>b al-Shiya>m. Putusan ini menegaskan bahwa rukyat dan hisab kedua-duanya secara bersamaan, atau salah satu dari keduanya, dapat digunakan untuk menentukan awal bulan Ramadan (untuk memulai puasa Ramadan) maupun Syawal (untuk mengakhiri puasa Ramadan dan menunaikan shalat ’Idul-Fitri). Penggunaan kedua cara tersebut didasarkan pada hadis Nabi SAW riwayat Imam Bukhari, hadis No. 1776:

صومواالرؤيتهوافطروالرؤيتهفإنغبيعليكمفاكملواعدةشعبانثلاثين

       dan firman Allah SWT.dalam surat Yunus : 5

هُوَالَّذِيجَعَلَالشَّمْسَضِيَاءًوَالْقَمَرَنُورًاوَقَدَّرَهُمَنَازِلَلِتَعْلَمُواعَدَدَالسِّنِينَوَالْحِسَابَ

Bagaimana kalau terjadi perbedaan antara rukyat dan hisab?  Dalam putusan tersebut dikemukakan “Apabila ahli hisab menetapkan bahwa hilal (bulan sabit) belum tampak (tanggal), atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan (belum imkan rukyat = belum mungkin terlihat), padahal kenyataannya ada orang yang melihat pada malam itu juga; manakah yang mu’tabar. Majelis Tarjih memutuskan bahwa ru’yahlah yang mu’tabar”.

Putusan ini menunjukkan dua kemungkinan perbedaan antara rukyat dan hisab. Pertama, menurut hisab, hilal belum wujud artinya bulan di bawah ufuk ketika matahari terbenam, tetapi ternyata ada orang yang melihatnya. Kedua, menurut hisab, hilal sudah wujud artinya bulan di atas ufuk pada saat matahari terbenam, tetapi tidak mungkin terlihat (tidak memenuhi kriteria kemungkinan hilal terlihat), namun kenyataannya ada orang yang melihatnya. Dalam keadaan demikian, rukyatlah yang diakui atau diterima. Dasar pertimbangan Majelis Tarjih menerima hasil rukyat tersebut adalah karena arti harfiah hadis Nabi saw. tersebut di atas tanpa mempertimbangkan faktor lain, misalnya situasi dan posisi hilal ketika dinyatakan terlihat oleh seseorang. Di samping itu, ilmu hisab yang dasar keilmuannya ilmu astronomi pada saat putusan itu diambil, sekitar tahun 1939 M, belum begitu pesat perkembangannya di tanah air, oleh karena itu penglihatan dipandang lebih akurat daripada hasil perhitungan hisab.

Penggunaan hisab untuk menentukan awal bulan Ramadan termasuk awal bulan Syawal oleh Muhammadiyah bukan hanya didasarkan pada putusan ini, tetapi berdasarkan putusan Muktamar Khususi tahun 1939 M di Medan yang bertema Kita>b al-Shiya>mdi bawah judul Cara Berpuasa.  Putusan itu berbunyi “Bila kamu menyaksikan datangnya bulan Ramadan dengan melihat bulan atau persaksian orang yang adil atau dengan menyempurnakan bulan Sya’ban tiga puluh hari apabila berawan, atau dengan hisab maka puasalah dengan ikhlas niatmu karena Tuhan Allah swt belaka....”. Putusan tentang Masalah Hisab dan Rukyat di atas merupakan rangkaian bagian dari putusan ini.

Dari putusan tersebut dapat diambil kesimpulan:

1.      Rukyat dan hisab adalah cara atau sarana untuk mengetahui datangnya atau berakhirnya bulan Ramadan (datangnya bulan Syawal).

2.      Rukyat dan hisab bukan merupakan sebab syar’i yang menyebabkan seseorang wajib berpuasa atau wajib mengakhiri puasa. Sebab syar’i yang mewajibkan seseorang mukallaf wajib berpuasa adalah menyaksikan (mengetahui) datangnya (masuknya) bulan Ramadan dan wajib mengakhiri puasa karena mengetahui berakhirnya bulan Ramadan (masuknya bulan Syawal).

3.      Seorang dinyatakan telah mengetahui datang dan berakhirnya bulan Ramadan apabila: a. Melihat (rukyat) hilal bulan Ramadan dan hilal bulan Syawal, b. Menerima kesaksian orang yang adil tentang terlihatnya hilal, c. Menyempurnakan umur bulan Sya’ban 30 hari (untuk memulai bulan Ramadan) dan umur bulan Ramadan 30 hari (untuk mengakhiri puasa Ramadan dan memulai bulan Syawal) apabila cuaca mendung atau berawan, d. Mengetahui melalui hasil perhitungan hisab.

4.      Apabila terjadi perbedaan atau pertentangan antara rukyat dan hasil hisab, maka yang diakui adalah rukyat.

5.      Metode dan teknik rukyat maupun hisab tidak dijelaskan secara rinci dalam putusan tersebut, namun demikian, putusan itu mengisyaratkan kriteria hisab yang dianut yaitu hisab wujudul-hilal.

6.      Tidak menjelaskan luas jangkauan berlakunya rukyat atau hasil hisab tersebut. Dengan perkataan lain tidak menjelaskan tentang matla’ yang digunakan.

 

Kesimpulan butir 1, 2 dan 3 tidak banyak dipersoalkan, sedangkan butir 4, 5 dan 6 terus mendapat perhatian. Kecenderungan Majelis Tarjih untuk lebih mengutamakan rukyat daripada hisab disebabkan oleh dua hal: pertama, karena pada saat itu belum ada keseragaman dalam penggunaan sistem hisab, dan kedua, karena perhitungan masih diragukan akurasinya. Kedua kelemahan hisab ini dapat dimaklumi karena pada saat itu data astronomis yang menjadi dasar perhitungan untuk mendapatkan hasil yang akurat belum berkembang di tanah air. Itulah sebabnya maka pada Muktamar Tarjih di Wiradesa, Pekalongan, tahun 1972 M diputuskan beberapa ketetapan, dibawah judul Masalah Hisab/Astronomi, sebagai berikut:

 

1.      Mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah Majlis Tarjih untuk berusaha mendapatkan bahan-bahan yang diperlukan untuk kesempurnaan penentuan hisab dan mematangkan persoalan tersebut untuk kemudian membawa acara itu pada Mu’tamar yang akan datang.

2.      Sebelum ada ketentuan hisab yang pasti, mempercayakan kepada PP Muhammadiyah untuk menetapkan 1 Ramadan dan 1 Syawwal serta 1 Dzulhijjah.

3.      Selambat-lambatnya 3 bulan sebelumnya, PP Muhammadiyah Majlis Tarjih sudah mengirimkan segala perhitungannya kepada PMW untuk mendapatkan koreksi yang hasilnya segera dikirimkan kepada PP Muhammadiyah Majlis Tarjih.

4.      Tanpa mengurangi keyakinan/pendapat para ahli Falak dilingkungan keluarga Muhammadiyah, maka untuk menjaga ketertiban organisasi, setiap pendapat yang berbeda dengan ketetapan PP Muhammadiyah supaya tidak disiarkan.

Putusan Wiradesa ini memperlihatkan kecenderungan Majelis Tarjih untuk lebih mengutamakan hisab. Hal itu terlihat dalam butir pertama dan kedua yang berisi amanat agar Majelis Tarjih melakukan pengkajian dan pengumpulan bahan-bahan untuk penyempurnaan hisab, juga memerintahkan agar Majelis tarjih melakukan hisab selambat-lambatnya tiga bulan sebelum Ramadan dan hasilnya disampaikan ke seluruh PW Muhammadiyah untuk dikoreksi dan tentunya, kemudian, untuk menjadi bahan penetapan awal Ramadan, atau Syawal, dan Zulhijah. Dengan semangat keputusan Wiradesa inilah dalam Muhammadiyah hingga kini digunakan hisab untuk menentukan awal bulan qamariah.

Apa yang diamanatkan Muktamar Tarjih Wiradesa tahun 1972 M tersebut tetap menjadi tugas Majelis Tarjih PP Muhammadiyah untuk merealisasikannya. Barulah pada tahun 2000 M dalam Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih ke 25 di Jakarta persoalan tersebut dibahas dan diputuskan. Di bawah judul Keputusan Munas tarjih XXV Tentang Penetapan Awal Bulan Kamariah dan Mathla’, isi keputusan tersebut adalah:

1.      Hisab hakiki dan rukyat sebagai pedoman penetapan awal bulan Qamariyah memiliki kedudukan yang sama.

2.      Hisab hakiki yang digunakan dalam penentuan awal bulan Ramadan, Syawwal dan Dzulhijjah adalah hisab hakiki dengan kriteria wujudul-hilal.

3.      Mathla’ yang digunakan adalah Mathla’ yang didasarkan pada wilayatul hukmi.

4.      Mengusulkan kepada Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah untuk:

a.      Meninjau kembali pernyataan “apabila ahli hisab menetapkan bahwa bulan belum nampak (tanggal) atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataannya ada orang yang melihat pada malam itu juga; manakah yang mu’tabar? Majelis tarjih memutuskan bahwa rukyatlah yang mu’tabar” sebagaimana termaktub dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT).

b.      Memasukkan Ilmu Falak dalam kurikulum sekolah-sekolah, Pesantren, dan Pergguruan Tinggi Muhammadiyah.

c.       Menyusun buku-buku panduan dan rujukan hisab dan rukyat yang digunakan oleh Muhammadiyah.

d.      Membina kader-kader tenaga teknis hisab atau ahli ilmu falak di masing-masing Pimpinan Wilayah Muhammadiyah.

Berkaitan dengan hisab dan rukyat, terdapat 6 hal pokok yang mendapat penegasan dalam keputusan Munas Tarjih ke 25 di atas, yaitu:

1.      Hisab dan rukyat memiliki kedudukan yang sama sebagai pedoman dalam penetapan awal bulan Qamariah.

2.      Hisab dan rukyat bukan hanya digunakan sebagai pedoman penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah tetapi untuk seluruh bulan Qamariah.

3.      Hisab yang dimaksud adalah hisab hakiki, yakni perhitungan kedudukan Bulan, Bumi, dan Matahari yang sebenar-benarnya dan setepat-tepatnya sebagaimana adanya, bukan hisab ‘urfi yang hanya memperhitungkan rata-ratanya saja kemudian dibuat aturan-aturan atau kaidah-kaidah untuk dipedomani.

4.      Kriteria awal bulan yang dipedomani adalah kriteria wujudul-hilal, artinya bulan terbenam kemudian setelah terbenamnya Matahari, setelah sebelumnya terjadi ijtima’ (konjungsi) antara Bulan dan Matahari.

5.      Jangkauan berlakunya hasil hisab atau rukyat didasarkan pada wilayatul-hukmi, artinya didasarkan pada wilayah kekuasaan negara. Dalam satu wilayah kekuasaan negara hanya ada satu tanggal, jika di satu tempat dalam negara itu sudah tanggal satu maka seluruh wilayah dalam negara tersebut tanggal satu pula.

6.      Diktum Putusan Tarjih sebelumnya yang mengutamakan rukyat daripada hisab tatkala ada perbedaan atau pertentangan dengan sendirinya sudah terhapus dengan keputusan ini.

Putusan Munas Tarjih Jakarta tersebut diperkuat lagi oleh putusan Munas Tarjih ke 26 tahun 2003 M di Padang dengan penambahan dalil. Secara ringkas, putusan tersebut adalah:

1.      Hisab mempunyai fungsi dan kedudukan yang sama dengan rukyat sebagai pedoman penetapan awal bulan Ramadan, Syawwal dan Zulhijjah.

2.      Hisab sebagaimana tersebut pada poin satu yang digunakan oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (sekarang Majelis Tarjih dan Tajdid)PP Muhammadiyah ialah Hisab Hakiki dengan kriteria Wujudul-Hilal.

3.      Mathla’ yang digunakan adalah mathla’ yang didasarkan pada Wilayatul Hukmi (Indonesia).

4.      Apabila Garis Batas Wujudul Hilal pada awal bulan qamariyah tersebut di atas membelah wilayah Indonesia, maka kewenangan menetapkan awal bulan tersebut diserahkan kepada Kebijakan PP Muhammadiyah.

Diktum ke 4 dari putusan Munas Tarjih ke 26 di atas benar-benar baru, tidak ada dalam putusan sebelumnya. Sedangkan yang lainnya merupakan penguat terhadap putusan sebelumnya khususnya putusan Munas Tarjih ke 25. Meskipun isi diktum ke-4 itu baru muncul pada putusan Munas Tarjih ke 26 tahun 2003 M, namun sejak sebelumnya sudah dipraktekkan oleh PP Muhammadiyah.

Dalam praktiknya, Muhammadiyah menggunakan hisab saja untuk menentukan awal bukan qamariah, termasuk Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Hal ini didasarkan pada semangat Putusan Tarjih Wiradesa. Penggunaan hisab lebih praktis karena dapat menentukan tanggal jauh hari sebelumnya dan dapat menentukan hari depan secara lebih pasti, sehingga persiapan-persiapan dapat dilakukan secara lebih tepat. Selain itu, sebagai pencerminan kepercayaan Muhammadiyah terhadap ilmu pengetahuan.

 

D. Konsep dan Kriteria ”Bulan Baru” Qamariah

 

Pengetahuan mengenai konsep bulan baru qamariah dan mengenai kriteria kapan awal bulan qamariah itu dimulai, dua hal yang penting untuk diketahui, sebab tanpa mengetahui konsep tentang bulan baru dan kapan awal bulan itu dimulai, tidak akan pernah mengetahui parameter yang dijadikan rujukan untuk menyatakan bahwa bulan sudah berganti dan selanjutnya tidak akan pernah mengetahui tanggal-tanggal berikutnya. Dalam hal ini menjadi penting untuk menentukan petanda yang menunjukkan bahwa bulan baru sudah mulai masuk atau belum.  Dalam hal ini pula kaum muslimin mulai berbeda pendapat. Bahkan bukan hanya dalam hal petanda bulan baru, tetapi juga mengenai cara untuk mengetahuinya. Mengenai yang terakhir ini, sebagian orang berpendapat harus dengan melihat bulan (hilal) secara visual (rukyat), sementara yang lain berpendapat tidak harus dengan melihatnya, tetapi bisa juga dengan menghitungnya (hisab). Di seputar rukyat dan hisab inilah yang banyak mendominasi diskusi dan pembahasan tentang penentuan awal bulan qamariah. Masalah ini sesungguhnya hanya sebagian saja dari permasalahan penentuan awal bulan qamariah yang cukup kompleks itu. Rukyat atau hisab lebih merupakan problem di seputar cara atau metode mengetahui awal bulan qamariah. Di samping itu, ada persoalan penting lainnya, antara lain mengenai konsep bulan baru qamariah.

Rukyat maupun hisab hakekatnya adalah cara atau metode untuk mengetahui kapan pergantian bulan, yakni dari bulan lama (yang sedang berlangsung) ke bulan baru berikutnya (bulan yang akan datang), itu terjadi. Rukyat maupun hisab semata-mata tidak dapat menjawab pertanyaan “kapan bulan qamariah itu berganti” sepanjang masalah konsep bulan baru itu belum dijawab. Itulah sebabnya, maka termasuk hal yang mendasar untuk mengetahui konsep bulan baru qamariah tersebut.

Membangun konsep tentang bulan baru qamariah harus berhati-hati, karena bukan hanya menyangkut kehidupan kemasyarakatan, akan tetapi, bahkan yang lebih penting lagi adalah menyangkut masalah pengamalan ajaran agama. Kesalahan dalam merumuskan konsep bulan baru qamariah akan berakibat pada kesalahan dalam menunaikan ajaran agama, misalnya ibadah puasa Ramadan. Oleh karena itu merumuskan konsep bulan baru ini harus  bertumpu kepada sumber-sumber Islam, al-Qur’an dan as-Sunnah. Kedua sumber ini kemudian didekati dan dipahami melalui disiplin astronomi, agar dapat dipahami oleh akal pikiran dan dapat dibuktikan secara empirik.

Petunjuk syar’i tentang awal bulan qamariah bersifat umum, fleksibel dan multitafsir. Beberapa ayat al-Qur’an terlihat banyak memberikan keleluasaan bagi kaum muslimin untuk menentukan kriteria awal bulan qamariah yang dipilih, sesuai dengan hasil pemahaman masing-masing terhadap ayat-ayat tersebut. Al-Qur’an tidak membelenggu kaum muslimin untuk hanya menggunakan satu kriteria saja dalam penetapan awal bulan ini. Keluasan  dan keluwesan petunjuk yang terkandung dalam al-Qur’an itu, di satu sisi memberikan kemudahan tetapi di sisi lain menimbulkan masalah karena membuka peluang besar untuk berbeda pendapat. Padahal perbedaan pendapat itu konon tidak jarang menimbulkan ketegangan dan keresahan di tengah-tengah masyarakat. Perbedaan pendapat itu bukan hanya dalam tingkat memberikan interpretasi tekstual terhadap ayat-ayat al-Qur’an tersebut, melainkan juga terhadap nilai-nilai otoritatif dari ayat-ayat itu untuk digunakan dalam penentuan kriteria awal bulan qamariah dan penetapannya.

Muhammadiyah, atau tepatnya Majelis Tarjih Muhammadiyah, tidak menegaskan secara eksplisit mengenai konsep bulan baru qamariah ini. Sampai musyawarah tarjih ke-26 tahun 2003  lalu di Padang, yang salah satu pokok pembahasannya mengenai awal bulan qamariah tidak ada keputusan eksplisit yang menetapkan tentang apa bulan baru qamariah itu. Namun, dari kalender-kalender yang diterbitkan oleh Muhammadiyah dan dari proses perhitungan dalam rangka penyusunan kalender qamariah (hijriah) tersebut, dapat disimpulkan bahwa bulan baru menurut Muhammadiyah adalah “fenomena dimana pada saat matahari terbenam pasca ijtimak, bulan sudah mengejar atau melewati matahari”; atau dengan pernyataan lain yang mudah dikenali adalah “fenomena dimana setelah terjadi ijtimak, matahari lebih dulu terbenam dari bulan”. Fenomena inilah yang dikenal, dalam Muhammadiyah, dengan Wujud al-Hilal.

Konsep atau kriteria Wujud al-Hilal ini diturunkan melalui pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an berikut:

štRqè=t«ó¡o„Ç`tãÏ'©#ÏdF{$#(ö@è%}‘ÏdàM‹Ï%ºuqtBĨ$¨Y=Ï9Ædkysø9$#ur3  

    “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (al-Baqarah, 2 : 189)

Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa al-ahillah (hilal) atau bulan sabit itu sebagai referensi penentuan waktu dan manasik haji.

Ayat di atas mengindikasikan bahwa perubahan bentuk semu bulan (fase-fase bulan) merupakan petanda perubahan waktu. Hal ini dapat dimengerti karena hilal merupakan salah satu bentuk semu bulan diantara fase-fase yang dialaminya selama dalam peredarannya mengelilingi bumi, dan bersama-sama dengan bumi mengelilingi matahari.

Penyebutan al-ahillah (hilal) dalam ayat tersebut bersifat umum, mutlak dan fleksibel, sehingga dapat diterjemahkan dalam berbagai pengertian. Salah satu pengertian menyatakan bahwa hilal adalah bentuk semu bulan yang paling kecil yang menghadap kebumi. Artinya, permukaan bulan yang terkena sinar matahari yang menghadap kebumi dalam keadaan paling kecil (Fraction Illumination). Pengertian lain menyatakan bahwa hilal itu dinyatakan telah ada, apabila matahari lebih dulu terbenam daripada bulan, berapapun lamanya bulan itu tertinggal dan berapapun besarnya bulan yang masih berada diatas ufuk ketika matahari terbenam. Inilah yang kemudian dikenal dengan wujudul hilal. Disamping itu ada juga yang mengartikannya dengan miladul hilal, yakni pada saat matahari terbenam, bulan secara utuh berada diatas ufuk. Bahkan diartikan pula imkanur rukyat, artinya hilal itu memungkinkan dapat dilihat dari permukaan bumi. Ada pula  yang mengatakanbahwa hilal itu ada apabila benar-benar terlihat. 

Perubahan bentuk semu bulan ditunjukkan oleh firman Allah SWT :

 

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ

“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) ...”    (Yunus, 10 : 5)

Allah SWT,  menurut ayat tersebut, telah menentukan manzilah-manzilah bagi bulan itu. Manzilah-manzilah (konstelasi-konstelasi) bulan tidak lain kecuali posisi-posisi bulan pada saat-saat tertentu terhadap matahari dan bumi. Manzilah itu jumlahnya ada 28 yang senantiasa ditempati oleh bulan tiap-tiap hari dalam peredarannya mengelilingi bumi. Sedangkan untuk satu atau dua hari bulan tidak memancarkan sinarnya kebumi. Keadaan ini disebut muhaq atau disebut bulan mati. 

Perubahan posisi bulan terhadap bumi dan matahari menyebabkan adanya perubahan bentuk semu bulan. Perubahan bentuk semu bulan itu dapat dijadikan dasar untuk menentukan dan mengelompokkan waktu kedalam satuan hari/tanggal, bulan, tahun dan seterusnya. Perubahan posisi bulan yang relatif konstan itu, sekaligus dapat dipastikan perhitungannya. 

Bentuk semu bulan yang selalu berubah-ubah itu merupakan siklus yang selalu terjadi berulang-ulang. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT:

وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ

“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang (terakhir), kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.”(Yasin, 36 : 39)

 

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa satu siklus peredaran bulan melalui manzilah-manzilahnya adalah mulai dari keadaan bentuk seperti “tandan tua” (urju>n al-qadi@m) hingga kembali lagi ke keadaan serupa itu. Ayat tersebut juga mengisyaratkan bahwa dimulainya bulan baru qamariah itu apabila bulan telah kembali kepada bentuknya yang paling kecil. Dan bentuk yang paling kecil itu dicapai oleh bulan di sekitar saat ijtimak (konjungsi), yakni saat dimana antara matahari dan bulan berada pada bujur langit yang sama (satu bujur astronomik). Bagaimana ijtimak matahari dan bulan bisa terjadi secara berulang-ulang? Firman Allah SWT berikut ini menjelaskannya.

ŸwߧôJ¤±9$#ÓÈöt7.^tƒ!$olm;br&x8͑ô‰è?tyJs)ø9$#Ÿwurã@ø‹©9$#ß,Î/$y™Í‘$pk¨]9$#4@@ä.ur’Îû;7n=sùšcqßst7ó¡o„  

“Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya.”  (Yasin, 36 : 40)

Ayat ini menguatkan temuan ilmu Astronomi yang menyimpulkan bahwa peredaran bulan mengelilingi bumi dalam setiap bulan dan peredaran semu tahunan matahari arahnya sama yaitu sama-sama dari arah Barat ke Timur. Dari ayat itu dapat diketahui dengan jelas bahwa peredaran bulan lebih cepat dari peredaran semu tahunan matahari. Oleh karena peredaran keduanya itu berlaku memutar, tidak lurus, maka dalam peredarannya itu matahari selalu terkejar oleh bulan. Sebaliknya tidak ada kemungkinan bagi matahari untuk mengejar bulan, apalagi mendahuluinya.

Apabila dihubungkan dengan bunyi ayat 39 diatas, bagian awal ayat 40 itu menunjukkan lebih jelas bahwa bulan baru qamariah ditandai dengan didahuluinya matahari yang bergerak lambat oleh bulan yang bergerak jauh lebih cepat. Atau, oleh karena peredaran keduanya itu berlaku menurut arah dari Barat ke Timur,  maka dapat pula dikatakan bahwa bulan baru qamariah dimulai bila bulan berkedudukan di sebelah Timur matahari. Kedudukan bulan seperti itu dicapai saat setelah bulan mengejar matahari, atau dengan perkataan lain saat setelah terjadi ijtimak antara bulan dan matahari.

Bentuk-bentuk semu bulan sebagaimana diutarakan diatas ditandai dengan dua unsur. Pertama, bagian permukaan bulan yang tampak dari bumi disinari matahari. Kedua, kedudukannya dilangit. Unsur pertama adalah persoalan pengaruh penyinaran matahari terhadap bulan, sedangkan yang kedua persoalan posisi bulan terhadap matahari. “Bulan baru”  terlihat sebagai sabit tipis dan terbenam setelah matahari terbenam. “Bulan purnama” kelihatan bulat penuh dan terbit diwaktu matahari terbenam. “Bulan tua” kelihatan seperti bentuk sabit tipis lagi, tetapi terbit pada dini hari mendahului matahari, atau menjelang terbit matahari. Kedua unsur yang menandai atau mensifati adanya bulan baru itu secara astronomis telah dijelaskan dengan sempurna dalam dua ayat di atas, yakni ayat 39 dan 40 surat Yasin. Ayat 39 melukiskan pengaruh penyinaran matahari terhadap bulan baru (urju>n al-qadi@m), sedangkan awal ayat 40 menjelaskan kedudukan bulan dan posisinya terhadap matahari (mendahului matahari).

Namun demikian, tidak berarti bahwa penetapan ijtimak (bulan mendahului matahari, bentuk bulan yang paling kecil) sebagai kriteria masuknya bulan baru qamariah tidak menyisakan persoalan, karena bentuk bulan pada saat ijtimak itu sangat sulit bahkan tidak dapat diamati dari bumi. Di samping itu, pembatas yang menandakan bahwa bulan berada di sebelah Timur matahari atau matahari baru saja terkejar oleh bulan tidak jelas, karena di ruang angkasa tidak ada Timur dan Barat. Timur, Barat, Utara, dan Selatan khusus hanya terdapat di bumi. Kalau kita mengatakan, bahwa bulan dan matahari bergerak menurut arah dari Barat ke Timur, adalah semata-mata berdasarkan ketentuan dalam ilmu Astronomi yang menyatakan bahwa gerak arah dari Barat ke Timur adalah gerak yang kalau dilihat dari kutub Utara berlaku menurut arah yang berlawanan dengan arah perputaran jarum jam.

Dalam ilmu Falak, kedudukan bulan terhadap matahari adakalanya ditentukan dengan menggunakan lingkaran-lingkaran bujur langit yang tegak lurus pada ekliptika sebagai garis patokan. Tetapi lingkaran-lingkaran itu bukan satu-satunya patokan yang tersedia. Lingkaran-lingkaran lainnya, misalnya, lingkaran-lingkaran waktu yang tegak lurus pada ekuator langit, atau bahkan lingkaran-lingkaran bujur bulan yang tegak lurus pada lingkaran orbit bulan.

Lingkaran-lingkaran tersebut adalah lingkaran-lingkaran khayali (imajiner) yang tidak dapat dilihat dengan mata, tetapi sengaja diciptakan oleh ilmu pengetahuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tertentu.      

Ungkapan وَلاَ اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ(dan malampun tidak dapat mendahului siang) pada ayat di atas, memberikan petunjuk dan bimbingan tentang garis patokan yang harus dipedomani dalam menentukan lahirnya atau masuknya bulan baru qamariah. Rupanya yang dimaksud oleh ayat itu adalah situasi senja hari tatkala matahari terbenam karena pada situasi seperti itu terjadi pergantian siang kepada malam. Perpindahan siang kepada malam itu ditentukan oleh terbenamnya matahari. Sedang terbenamnya matahari adalah terhadap ufuk atau horizon. Oleh karena itu, berdasarkan ayat ini, ada unsur baru yang harus diperhatikan yaitu “garis ufuk”. Ufuk inilah rupanya yang harus dijadikan patokan dalam menentukan apakah bulan sudah berada di sebelah Timur matahari atau sebaliknya ia masih berada di sebelah Baratnya.

Menetapkan garis ufuk sebagai petunjuk Timur dan Barat mempunyai segi-segi yang cukup menarik: Pertama, garis ufuk adalah garis yang nyata, dengan kedudukan dan sifat-sifat yang jelas, sehingga tidak ada keragu-raguan dalam mendefinisikannya. Kedua, ufuk merupakan persoalan bumi, sedangkan perjalanan bulan dan matahari adalah persoalan ruang angkasa, persoalan langit. Dengan menggunakan ufuk sebagai patokan, berarti telah memasukkan unsur keduniaan ke dalam persoalan langit, sehingga dapat menjadi lebih menarik bagi manusia. Ketiga, ufuk bukan hanya persoalan dunia, tetapi juga terikat kepada suatu tempat tertentu di permukaan bumi.

Cara menentukannya tidak sulit, yaitu dengan menempatkan matahari pada posisi terbenam, lalu ditentukan posisi bulan. Bila bulan berkedudukan di atas ufuk itu berarti menunjukkan bahwa bulan sudah berada di sebelah Timur matahari. Dengan perkataan lain, bulan belum terbenam ketika matahari terbenam. Situasi demikian menunjukkan bahwa bulan baru qamariah sudah mulai.

Berdasarkan keseluruhan uraian di atas akhirnya dapat disimpulkan. Pertama, untuk menghisab jatuhnya tanggal satu bulan baru qamariah yang harus dilakukan adalah menempatkan matahari pada posisi terbenam, lalu ditentukan posisi bulan,  apakah sudah berkedudukan di atas ufuk atau masih di bawahnya. Apabila sudah berkedudukan di atas ufuk, berarti sudah berada di sebelah Timur garis ufuk dan sekaligus di sebelah Timur Matahari. Dalam keadaan demikian bulan baru qamariah sudah ada, atau dalam istilah Muhammadiyah, hilal sudah wujud. Kedua, dalam hisab awal bulan qamariah yang harus dilakukan bukanlah menentukan tinggi bulan di atas ufuk mar’i, melainkan yang penting adalah meyakini apakah pada pertukaran siang kepada malam bulan sudah berkedudukan di sebelah timur matahari ataukah belum. Hal ini untuk memenuhi syarat “syahida” dalam firman Allah swt:

شَهْرُرَمَضَانَالَّذِيأُنزِلَفِيهِالْقُرْآنُهُدًىلِلنَّاسِوَبَيِّنَاتٍمِنْالْهُدَىوَالْفُرْقَانِفَمَنْشَهِدَمِنْكُمْالشَّهْرَفَلْيَصُمْهُ

”Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu ... ”(al-Baqarah, 2 : 185

 

 

 

 

 

E.  Metode Penetapan Awal Bulan Baru Qamariah

 

Menurut Muhammadiyah, ada empat cara atau metode untuk mengetahui datang dan berakhirnya bulan Ramadan, yang sekaligus merupakan sumber pengetahuan seseorang tentang datang dan berakhirnya bulan Ramadan. Keempat cara tersebut adalah: pertama, terlihatnya hilal (rukyat), kedua, kesaksian orang yang adil, ketiga, menyempurnakan bulan Sya’ban tiga puluh hari (istikmal) apabila menurut hisab kontemporer bulan masih di bawah ufuk, atau keempat, hisab. Untuk menentukan masuknya bulan Ramadan misalnya, maka jika seseorang melihat langsung hilal, atau menerima kesaksian orang yang adil tentang terlihatnya hilal, atau setelah menyempurnakan umur bulan Sya’ban tiga puluh hari karena hilal negatif, atau berdasarkan hisab, maka orang tersebut telah dianggap menyaksikan atau mengetahui masuknya bulan Ramadan. Dengan terpenuhinya salah satu saja, apalagi kalau lebih dari satu dari empat alternatif tersebut, maka bulan Ramadan dinyatakan telah datang atau telah berakhir. 

Alternatif pertamadan kedua hakekatnya sama yaitu terlihatnya hilal. Perbedaan keduanya terletak pada langsung atau tidaknya pengetahuan tentang datangnya bulan baruitu yang diperoleh dari sumber pertamanya. Pada yang pertama pengetahuan itu diperoleh  secara langsung dari sumber pertamanya, sedangkan pada yang kedua,pengetahuan itu tidak langsung dari sumber pertamanya akan tetapi dari sumber kedua dan seterusnya. Dengan demikian, yang pertama dan yang kedua hakekatnya sama yaitu bahwa pengetahuan tentang datang dan berakhirnya bulan Ramadan diperoleh dengan terlihatnya hilal. Alternatif ketiga, sesungguhnya merupakan pengganti atau lebih tepat sebagai jalan keluar dari alternatif pertama, karena gagal memperoleh pengetahuan tentang datangnya dan berakhirnya bulan Ramadan melalui sumber yang pertama. Dari sisi ini, ia termasuk pada jenis sumber yang pertama, akan tetapi dari sisi substansinya adalah hisab, karena jelas berupa perhitungan, yaitu menghitung umur bulan yang sedang berlangsung menjadi 30 hari. Alternatif keempat,adalah hisab. Hisab ini sebagai sumber pengetahuan tentang datang dan berakhirnya bulan Ramadan  berbeda dengan yang sebelumnya, dan bukan merupakan jalan keluar dari yang sebelumnya melainkan berdiri sendiri. Oleh karena itu, pada dasarnya cara atau metode untuk mengetahui datang dan berakhirnya bulan Ramadan itu ada dua, yaitu pertama, terlihatnya hilal (rukyat) dan kedua, hisab. Keduanya diberlakukan baik untuk bulan Ramadan maupun bulan-bulan lainnya dalam tahun qamariah.

Rukyat dan hisab sebagai metode untuk mengetahui datang dan berakhirnya bulan Ramadan dikukuhkan lagi dengan pernyataan “berpuasa dan ‘Idul Fitri itu dengan rukyat dan tidak berhalangan dengan hisab”. Pernyataan yang merupakan hasil keputusan Musyawarah Tarjih tahun 1932 ini, menunjukkan bahwa pada prinsipnya pengetahuan tentang datangnya bulan Ramadan dan Syawal itu diperoleh melalui rukyat. Akan tetapi rukyat bukan satu-satunya, sebab bisa juga melalui hisab. Rukyat dan hisab masing-masing dapat berdiri sendiri sebagai metode untuk mengetahui datangnya bulan Ramadan dan Syawal.

Rukyat hilal artinya melihat hilal pada saat terbenam matahari. Sedangkan yang dimaksud dengan hisab adalah perhitungan mengenai posisi hilal. Persoalannya sekarang adalah apa yang dimaksud dengan hilal itu. Secara astronomis, hilal (crescent) itu adalah penampakan bulan yang paling kecil yang menghadap ke bumi. Keadaan ini dicapai beberapa saat setelah ijtimak, karena pada saat itu sudut pandang matahari dan bulan paling kecil. Bagi Muhammadiyah, pertanda datangnya bulan baru atau awal bulan qamariah itu adalah wujudnya hilal atau adanya hilal, dan wujudnya hilal itu dapat diketahui, baik melalui rukyat maupun hisab, atau melalui keduanya sekaligus. Kesimpulan ini diperoleh dari pernyataan yang berbunyi “apabila ahli hisab menetapkan bahwa bulan belum wujud atau sudah wujud tetapi tidak mungkin dilihat”. Pernyataan ini juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hisab atau perhitungan posisi hilal itu adalah perhitungan tentang wujudnya hilal. Adapun yang dimaksud dengan hilal sudah wujud, sebagaimana dijelaskan di muka, adalah apabila matahari terbenam lebih dahulu daripada terbenamnya bulan. Dengan demikian yang menandai awal bulan itu adalah wujudnya hilal yakni pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtimak, hilal belum terbenam. Keadaan demikian dapat diketahui baik melalui rukyat maupun hisab. Rukyat dan hisab merupakan sarana untuk mengetahui wujud atau tidaknya hilal, dan karenanya kedudukannya sama.

Persoalan  berikutnya  adalah bagaimana kalau ternyata antara hasil rukyat dengan hasil hisab tidak bersesuaian? Dimaksud dengan tidak bersesuaian itu ada dua kemungkinan atau dapat terjadi dalam dua keadaan. Pertama, menurut hisab hilal belum wujud, artinya ketika terbenam matahari bulan berada di bawah ufuk, akan tetapi ada yang berhasil merukyat. Dalam hal ini, Muhammadiyah menetapkan bahwa hasil hisab yang harus dijadikan pedoman.

Hal ini dibuktikan misalnya, dengan penolakan Muhammadiyah atas hasil rukyat yang terjadi pada akhir Ramadan tahun 1412 H dan  1413 H. Saat menetapkan awal bulan Syawal 1412 H/April 1992 M. dan awal bulan Syawal 1413 H/Maret 1993 M. hisab yang dilakukan oleh Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah menunjukkan bahwa pada saat terbenam matahari pada hari Jum‘at tanggal 29 Ramadan 1412 H/3 April 1992 M. dan saat terbenam matahari pada hari Selasa tanggal 29 Ramadan 1413 H/23 Maret 1993 M. posisi bulan negatif di bawah ufuk walaupun ijtimak terjadi beberapa jam sebelum matahari terbenam. Namun pada saat itu ada yang melaporkan telah berhasil rukyat (melihat hilal), maka laporan tersebut ditolak. Demikian pula yang terjadi pada hari Sabtu tanggal 29 Ramadan 1414 H/12 Maret 1994 M. untuk penetapan tanggal 1 Syawal 1414 H.

Kedua, menurut hisab hilal sudah wujud, bahkan secara astronomis sudah termasuk mungkin dilihat (imkan al-rukyat), namun ternyata tidak ada orang yang berhasil rukyat, maka wujudnya hilal ditetapkan berdasarkan hasil hisab.

 

F.  Kriteria Wujudul Hilal

Ragam kriteria untuk menentukan masuknya bulan baru qamariah semakin berkembang dan masing-masing memperoleh pendukungnya. Para ahli hisab di tanah air pun terbagi-bagi ke dalam kelompok-kelompok tertentu sesuai dengan kecenderungan dalam memegangi kriteria awal bulan tersebut, sehingga nyaris menjadi aliran-aliran dalam penentuan awal bulan qamariah. Muhammadiyah memilih wujud al-hilal sebagai pedoman penentuan awal bulan dengan kriteria:

a.       Ijtimak terjadi sebelum terbenam matahari

b.      Terbenam matahari lebih dulu daripada terbenam bulan.

Dengan perkataan lain, pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtimak,bulan sudah di atas ufuk.

Berdasarkan kriteria di atas, maka langkah yang ditempuh oleh Muhammadiyah dalam hisabnya adalah: pertama, menghitung saat terjadinya ijtimak; kedua, menghitung saat terbenam matahari untuk suatu atau beberapa tempat tertentu; ketiga, menghitung tinggi hilal pada saat terbenam matahari ditempat tertentu itu. Perhitungan tinggi hilal ini sebenarnya perhitungan posisi tepi piringan atas bulan relatif terhadap ufuk. Hal demikian, karena yang dipentingkan adalah apakah bulan sudah terbenam atau belum pada saat matahari terbenam, bukan tinggi hilal itu sendiri.

Dengan konsep wujud al-hilal tersebut di atas, berarti ukuran yang dijadikan pembatas terbenam itu adalah ufuk mar’i.

 

G.  Kesimpulan

Untuk memudahkan dalam ingatan, uraian panjang di muka dapat diringkas sebagai berikut:

              1.    Bagi Muhammadiyah, masalah penentuan awal bulan qamariah adalah masalah penting yang harus dikaji secara mendalam dan komprehensif.

              2.    Bulan baru qamariah dalam pandangan Muhammadiyah adalah tersusulnya matahari oleh bulan dalam peredarannya ke arah Timur setelah terjadi ijtimak dengan garis pembatas ufuk mar’i. Karena waktu tersusulnya matahari oleh bulan itu matahari dalam posisi terbenam, maka dapat pula dikatakan bulan belum terbenam ketika matahari terbenam setelah terjadi ijtimak.

              3.    Kewajiban puasa Ramadan dikaitkan dengan datangnya bulan Ramadan dan kewajiban mengakhiri puasa Ramadan dikaitkan dengan berakhirnya bulan Ramadan, atau datangnya bulan Syawal. Kewajiban tersebut tidak dikaitkan dengan rukyah maupun hisab.

              4.    Rukyat dan hisab bagi Muhammadiyah merupakan cara atau metode untuk mengetahui atau memastikan apakah bulan baru qamariah telah masuk atau belum. Sebagai cara atau metode, keduanya memiliki kedudukan yang sama.

              5.    Penggunaan hisab lebih praktis karena dapat menentukan tanggal jauh sebelumnya dan dapat menentukan hari depan secara lebih tepat dan terencana.Hasil hisab dapat diverifikasi kapanpun dan oleh siapa pun. Hal yang demikian ini tidak mungkindalam rukyah.

              6.    Hasil hisab maupun rukyah diberlakukan menurut wilayah hukum suatu negara (Indonesia) sebagai satu kesatuan hukum dan tanggal.

 

H.    Penutup

 

Itulah beberapa pokok pikiran yang ingin penulis kemukakan diseputar masalah perbedaan dalam mengawali dan atau mengakhiri bulan Ramadan yang seringkali terjadi di negara kita. Kekhawatiran yang berlebihan akan rusaknya ukhuwah bagi sementara orang karena masalah ini, kiranya terlalu berlebihan.Tuduhan yang mengatakan bahwa metode wujud al-hilal  yang digunakan Muhammadiyah itu ”tidak memiliki landasan syar’i”, ”usang”, ”kuno” dan ”sudah ditinggalkan oleh para astronom modern”, adalah tuduhan tendensius, provokatif  dan prematur (untuk tidak mengatakan naif), lebih-lebih bila yang mengatakannya seorang ilmuan/akademisi, yang seharusnya lebih menghargai perbedaan. Kaidah hukum Islam mengatakan : ”Hasil ijtihad seorang atau komunal itu tidak bisa dianulir oleh hasil ijtihad pihak lain”.   

 

      Semoga Allah SWT. senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk kepada kita semua untuk mencapai kebenaran yang telah ditetapkan-Nya. Walla>hu A’lam

 

------------------

 

 

 

 


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website