PDM Kabupaten Kediri - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Kediri
.: Home > Artikel

Homepage

Status Anak Zina Dalam Hukum Waris Islam

.: Home > Artikel > PDM
02 Mei 2014 08:17 WIB
Dibaca: 5404
Penulis :

STATUS ANAK ZINA DALAM HUKUM WARIS ISLAM

Oleh: DR. M. Saad Ibrahim, M.A.

A. Pendahuluan

Hukum positif di Indonesia ialah hukum yang berlaku sekarang di Indonesia. Hukum disebut berlaku, jika telah diundangkan dan belum dicabut oleh negara. Dengan demikian hukum positif, merupakan hukum tertulis. Di samping itu ada pendapat yang menyatakan bahwa hukum disebut berlaku, jika hukum tersebut dipraktekkan secara nyata oleh masyarakat. Berdasar atas pendapat ini, maka hukum positif disamping tertulis, juga mencakup hukum tak tertulis. Dalam makalah ini, teori pertama yang dianut.  

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) adalah salah satu dari hukum positif. KHI melalui pasal 53 ayat 1  membolehkan wanita hamil dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya. Bunyi pasal dan ayat tersebut adalah sebagi berikut:

Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.

Dalam hal ini timbul masalah bagaimana status anak yang dilahirkan wanita tersebut, apakah ia dinasabkan kepada laki-laki itu atau tidak. Jika dinasabkan berarti ia dengan laki-laki itu saling mewarisi, jika tidak, berarti juga tidak. Kajian ini akan membahas masalah tersebut.

 

B. Anak Sah dan Konsekuensi Kewarisannya

Melalui pasal 99,  KHI menyatakan bahwa:

 Anak yang sah adalah: a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; b. hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.[1]

Berdasarkan pasal - 99 ayat a - ini, jelas bahwa anak zina yang lahir setelah ibunya dinikahi penghamilnya seperti diatur dalam pasal 53 ayat 1 KHI adalah anak sah. Sebabnya ialah anak tersebut dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Anak ini bukan anak yang lahir di luar perkawinan. Anak yang lahir di luar perkawinan - menurut pasal 186 KHI - hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.[2]Oleh karena anak ini dilahirkan dalam perkawinan yang sah, maka ia saling mewaris tidak saja dengan ibu dan keluarga dari pihak ibunya, tetapi juga saling mewaris dengan bapak dan keluarga dari pihak bapaknya. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan antara anak ini dan anak yang lahir akibat perkawinan yang sah.

 

C. Antara KHI dan Kitab Fiqh

Seperti diketahui bahwa KHI berasal dari upaya untuk menghasilkan hukum tertulis dengan merujuk pada berbagai kitab fiqh[3], serta pandangan para ulama Indonesia yang kemudian  dalam loka karya alim ulama Indonesia yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 sampai dengan 5 Pebruari 1988 telah diterima. Selanjutnya melalui Instruksi Presiden RI  Nomor 1 Tahun 1991 diinstruksikan bahwa bagi Instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dapat mempergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Pelaksanaan instruksi tersebut diatur melalui Keputusan Menteri Agama RI Nomor 154 Tahun 1991.

Dengan demikian tampak bahwa KHI bersifat legitimated, baik dari sudut pandang hukum Islam - karena merujuk pada kitab-kitab fiqh -, maupun dari segi sosial melalui penerimaan para ulama, dan akhirnya juga dari kacamata juridis formal, karena telah diundangkannya, sekalipun memang mestinya tidak mengikat betul. Tidak mengikat, karena KHI memang sebatas diperlukan, dan sebatas dapat dipergunakan, bukan harus digunakan. Sekalipun demikian, tampaknya dalam praktek di lapangan KHI menjadi harus dipergunakan dan mengikat.

Sekalipun merujuk pada kitab-kitab fiqh, ternyata dalam hubungannya dengan status anak yang lahir dalam perkawinan, KHI tidak memberi batasan, sebagaimana fiqh. Seperti diketahui fiqh memberi tenggang waktu minimal 6 bulan antara kelahiran dan akad nikah menurut Abu Hanifah, atau antara kelahiran dan persetubuhan yang terjadi setelah akad nikah menurut Malik dan Syafi’i  baru anak tersebut dapat dinasabkan kepada bapaknya. Jika kurang dari 6 bulan, tidak dapat dipertalikan nasab tersebut.[4] Dengan demikian jika pasal 99 a KHI di atas diinterpretasikan dengan tolok ukur fiqh Malik dan al-Syafi’i, ukurannya yang enam bulan dari waktu kelahiran itu dihitung sesudah terjadinya persetubuhan yang dilakukan sesudah akad nikah, baru  tergolong anak sah. Sedang jika tolok ukur fiqh Abi Hanifah yang digunakan, baru dipandang sah jika anak tersebut lahir minimal 6 bulan setelah terjadinya akad nikah. Oleh karena baik pasal 53 ayat 1 maupun pasal 99a KHI, bertujuan antara lain untuk melindungi anak dimaksud, maka tolok ukur fiqh  Abi Hanifah lebih sejalan dengan tujuan tersebut.

 

D. Test DNA dan Hak Kewarisan Anak Zina

Fiqh secara tegas menyatakan bahwa anak zina dapat saling mewarisi dengan ibu dan keluarga pihak ibu. Sedang dengan bapak dan keluarga pihak bapak tidak dapat saling mewarisi. Alasan yang dikemukakan fiqh, ialah adanya kejelasan hubungan nasab antara anak dengan ibunya melalui adanya indikasi bahwa ibu tersebutlah yang nyata-nyata mengandungnya. Oleh karena itu mereka saling mewarisi. Sedang antara anak dengan bapak,  kejelasan hubungan nasab didasarkan atas adanya akad nikah dengan ibu anak tersebut, karena tidak ada indikasi selainnya yang dapat dijadikan pegangan. Demikianlah fiqh dahulu memberikan ketentuan.[5] Bagaimana sekarang, ketika ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat? Dalam hal ini, muncul berbagai persoalan yang terkait dengan ketentuan fiqh di atas. Misalnya apakah hubungan nasab seorang anak dengan ibunya, ditentukan oleh adanya kenyataan bahwa wanita itulah yang mengandungnya, bagaimana jika janin tersebut berasal dari ovum wanita lain, sedang ia hanya sekedar mengandungnya saja, bukan sekaligus pemilik ovum tersebut? Bagaimana pula jika ilmu pengetahuan dan penggunaan teknologi kedokteran dapat menentukan secara pasti hubungan genetik (nasab) antara seorang anak dengan bapaknya melalui test deoxyribonucleic acid (DNA)?[6] Tampaknya dalam hal ini berlaku prinsip: Hukum berubah mengikuti perubahan zaman, tempat, dan keadaan (تغير الأحكام بتغير الأزمنة والأمكنة والأحوال   ).[7] Berdasarkan paradigma ini, maka hubungan nasab antara anak zina dan bapaknya dapat ditentukan secara pasti melalui test DNA.  Ini membawa konsekuensi, keduanya saling mewarisi, termasuk juga dengan keluarga pihak bapaknya. Natijah hukum ini didasarkan atas kaidah di atas, dan alasan-alasan berikut:

1.      Akurasi hasil  test DNA sangat tinggi[8], sehingga lebih logis dijadikan dasar menentukan hubungan nasab, dibanding jika didasarkan atas adanya akad nikah antara bapak-ibu seorang anak, termasuk juga jika dibandingkan dengan penentuan hubungan nasab seorang anak dengan ibunya atas dasar bahwa ibunya itulah yang mengandung (padahal belum tentu anak yang dikandungnya itu berasal dari ovum ibunya sendiri).

2.      Dengan diakuinya secara hukum hubungan nasab antara anak dengan bapak- nya - walaupun pada hakikatnya hasil perzinaannya - akan  memberikan jaminan yang pasti bagi anak tersebut, baik berkaitan dengan kepastian nasabya, maupun dengan hak-haknya yang lain, serta akan memaksa bapak tersebut bertanggung jawab memikul konsekuensi logis dari perbuatannya sendiri.

3.      Jika  dengan prinsip al-walad li al-firasy[9], hukum Islam dapat memberikan kepastian hukum hubungan nasab antara seorang anak dan suami ibunya, maka seharusnya lebih dapat memberikan hal yang sama bagi seorang anak yang dengan pembuktian test DNA menunjukkan adanya hubungan genetika secara signifikan dengan seorang laki-laki (bapaknya).

4.      Pola istinbath ini dikenal dengan sebutan qiyas awlawiy atau mafhum muwafaqah.[10]

 

E. Pertentangan antara KHI dan Kitab Fiqh tentang Penasaban Anak Zina

Sekalipun KHI disusun dengan berpegang pada kitab-kitab fiqh, tetapi pasal 99a tentang pengertian anak sah justru mengandung pertentangan dengan kitab-kitab tersebut. Berdasarkan pasal tersebut, adalah termasuk anak sah, anak yang dilahirkan dalam perkawinan. Tampaknya dalam hal ini dimaksudkan untuk memberikan legitimasi hukum bagi status hubungan nasab mereka, walaupun pada hakikatnya anak tersebut adalah anak zina. Antara pasal 99a KHI dan kitab-kitab fiqh itu bertentangan, karena adanya kenyataan bahwa kitab-kitab tersebut mengemukakan bahwa para ulama sepakat tentang tidak dinasabkannya anak zina kepada bapaknya. Sekalipun demikian, sebenarnya kitab-kitab fiqh juga mengemukakan adanya pendapat yang sebaliknya, walaupun disebut sebagai pendapat yang janggal (syadzdz), antara lain sebagaimana kutipan berikut:[11]

واتفق الجمهور على أن أولاد الزنا لايلحقون بأبا ئهم إلافى الجاهلية على ماروي عن عمربن الخطاب على اختلاف فى ذلك بين الصحابة , وشذ قوم فقالوا: يلتحق ولد الزنا فى الإســـلام , أعنى الذى كان عن زنا فى الإســــــلام.

 Berdasarkan kutipan ini, ternyata terdapat pendapat yang menyatakan bahwa anak yang lahir akibat perzinaan yang terjadi setelah datangnya Islam nasabnya dihubungkan dengan bapaknya. Pendapat ini bertentangan dengan jumhur yang menyatakan bahwa nasab anak zina tidak dipertalikan dengan bapaknya, kecuali pada masa jahiliyah.

Sekalipun mempertalikan nasab anak zina kepada bapaknya merupakan pendapat yang janggal, tetapi dengan ditemukannya teknologi yang dapat dipergunakan untuk menentukan ada tidaknya hubungan genetik antara seseorang dengan yang lainnya, maka pendapat tersebut justru prospektif, termasuk juga jika dikaitkan dengan KHI. Bahkan hukum harus mengakui adanya hubungan nasab tersebut, sekalipun kedua orang tua itu akhirnya tidak melakukan pernikahan, jika test DNA membuktikan adanya pertalian genetik tersebut secara signifikan. Dengan cara demikian, tidak saja status hukum  hubungan nasab antara anak zina dan bapaknya legitimated, tetapi juga sekaligus hak-hak anak tersebut menjadi terlindungi.

 

F. Kesimpulan

Dari paparan di atas disimpulkan sebagai berikut. Menurut hukum positif di Indonesia status anak zina yang lahir setelah ibunya dinikah laki-laki penghamilnya adalah termasuk anak sah. Oleh karena itu antara anak tersebut dan bapaknya saling mewarisi. Sekalipun yang demikian ini bertentangan dengan jumhur ulama, akan tetapi terdapat pendapat yang sejalan dengan hukum positif tersebut, yang jika dilengkapi dengan test DNA justru lebih prospektif, baik bagi status hukum anak tersebut maupun bagi kepentingan perlindungan hak-haknya. Bahkan status dan perlindungan tersebut, juga berlaku bagi semua anak zina, sekalipun kedua orang tuanya akhirnya tidak melakukan pernikahan, jika test DNA membuktikan adanya hubungan genetik secara signifikan.

واللــــــه أعلم بالصـــــواب   



[1]Pasal 99 KHI ini merupakan pengembangan pasal 42 Undang-undang tentang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Disebut pengembangan, karena pada pasal 42 tersebut hanya menyebutkan bahwa : Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sedang pasal 99 KHI di samping menampung pasal 42 UUP tersebut juga menambahkan dengan point b, yaitu hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Jelas tambahan tersebut dimaksudkan untuk mengakui pembuahan melalui   yang biasanya dikenal dengan istilah bayi tabung.

[2]Pasal 186 KHI ini mengambil alih pasal 43 ayat 1 UUP, dengan perubahan redaksi sehingga menjadi spesifik. Pasal 43 ayat 1 UUP ini berbunyi: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.  Pasal 186 KHI menjadi spesifik, karena mengkhususkan hubungan perdata sebagaimana diatur pasal 43 ayat 1 UUP di atas pada hubungan saling mewaris.

 

[3]KHI mengambil sumber kitab-kitab fiqh, disamping sumber wawancara dengan 185 ulama dan cendekiawan di Indonesia, bahkan juga mempertimbangkan hasil studi banding di  Maroko, Mesir, dan Turki. Sumber-sumber fiqh meliputi kitab-kitab:al-Bajuri, Fath al-Mu’in, Syarqawi ‘ala al-Tahrir, Mughni al-Muhtaj, Nihayah al-Muhtaj, al-Syarqawi, I’anah al-Thalibin, Tuhfah, Targhib al- Musytaq, Bulghah al-Salik, Syamsuri fi al-Fara`idl, al-Mudawwanah, Qalyubi/Mahalli, Fath al- Wahhab bi Syarhihi, Bidayah al-Mujtahid, al-Umm, Bughyah al-Mustarsyidin, Aqidah wa Syari’ah, al-Muhalla, al-Wajiz, Fath al-Qadir, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Fiqh al-Sunnah, Kasyf al- Qina, Majmu’ Fatawi, Qawanin al-Syari’ah li al-Sayyid Utsman bn Yahya, al-Mughni, al-Hidayah Syarh Bidayah al-Muhtadi, Qawaninu al-Syari’ah li al-Sayyid Sudaqah Dahlan, Nawaib al-Jalil, Syarh Ibn ‘Abidin, al-Muwaththa`, Hasyiyah Syamsuddin Muhammad Irfat Dasuki, Bada’i al- Shana`i’, Tabyin al-Haqa`iq, al-Fatawi al-Hindiyah, Fath al-Qadir, dan Nihayah.

[4]Lihat Ibn Rusyd, T.Th. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Fikr, Juz II, h.268-269.

 

[5]Ketentuan tersebut, misalnya dapat dibaca dalam Hasanain Muhammad Mahluf, 1971, al-Mawarits fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, Mesir: Lajnah al-Bayan, h. 221 sebagai berikut:

ويرث ولد الزنى واللعان بجهة الأم لاغير لأن نســـبه من جهة الأب منقطع فلا يرث به ونســـبه من جهة الأم ثابت فيرث به أمه وإخوته من الأم بالفرض لاغير وكذلك ترثه أمه وإخوته لأم فرضا لاغير .

Lihat juga al-Sayyid Sabiq, 1983, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, Juz  III, h. 455.

[6]Berdasarkan test DNA ini dapat diketahui secara pasti siapa bapak (juga ibu) seorang anak. Penelitian Penrose menunjukkan bahwa koefisien korelasi antara anak dengan ayahnya atau ibunya ialah sekitar 0,50. Akan tetapi koefisien korelasi antara anak dengan hasil rata-rata ayah-ibu adalah 0,71. Perlu dicatat bahwa koefisien korelasi sebesar 0,00 berarti tidak ada korelasi, sedang koefisien korelasi 1,00 berarti ada hubungan mutlak. Koefisien korelasi 1,00 antara dua orang  itu tidak ada, karena tak ada seorang pun yang tepat sama dengan sesamanya. Koefisien korelasi yang paling tinggi terdapat pada dua orang kembar satu telur, yakni sekitar 0,95 (Lihat D. Dwidjosaputro, 1981, Pengantar Genetika, Jakarta: Bhratara, h. 134-135). Mengenai DNA lebih lanjut baca Stephen L. Wolfe, 1983, Biology: The Foundations, California: Wadsworth Publishing Company, h. 163-166, dan 190-243.  

[7]Mengenai kaidah ini, dapat dibaca secara rinci dalam Muhammad Shidqiy bin Ahmad al-Burnu, 1983, al-Wajiz fi Idlah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyyah, Beirut: al-Risalah, h. 182-185.

[8]Menurut  Nurudh Dholam (dokter Puskesmas Ujungpangkah, Gresik, Jawa Timur) dari aspek teknologinya, keakuratannya 100 %, jika tidak terjadi human error dalam pelaksanaan test tersebut (wawancar via telpun tanggal 2 Nopembr 1999 sekitar jam 22.00 WIB).  

[9]Prinsip ini berasal dari hadits Nabi saw dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Jama’ah kecuali Abu Dawud. Kupasan mengenai ini antara lain dapat dibaca dalam Muhammad  bin Ali bin Muhammad al-Syaukaniy, T.Th. Nail al-Authar, Beirut: Dar al-Fikr, Juz VII, h. 75-78.

 

[10]Uraian mengenai dalalah al-mafhum, termasuk juga mafhum muwafaqah dapat dijumpai antara lain dalam Muhammad Abu Zahrah, T.Th. Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr. h.147-148, sedang mengenai qiyas awlawiy, terdapat pada h. 247.   

[11]Ibnu Rusyd, op.cit., h. 268.

 


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website