PDM Kabupaten Kediri - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Kediri
.: Home > Artikel

Homepage

Kepribadian Muhammadiyah

.: Home > Artikel > PDM
21 April 2012 01:34 WIB
Dibaca: 4900
Penulis : www.muhammadiyah.or.id

Muhammadiyah adalah persyarikatan yang merupakan Gerakan Islam. Maksud gerakanya ialah Dakwah Islam dan Amar Ma'ruf nahi Munkar yang ditujukan kepada dua bidang: perseorangan dan masyarakat . Dakwah dan Amar Ma'ruf nahi Munkar pada bidang pertama terbagi kepada dua golongan: Kepada yang telah Islam bersifat pembaharuan (tajdid), yaitu mengembalikan kepada ajaran Islam yang asli dan murni; dan yang kedua kepada yang belum Islam, bersifat seruan dan ajakan untuk memeluk agama Islam.

Adapun da'wah Islam dan Amar Ma'ruf nahi Munkar bidang kedua, ialah kepada masyarakat, bersifat kebaikan dan bimbingan serta peringatan. Kesemuanya itu dilaksanakan dengan dasar taqwa dan mengharap keridlaan Allah semata-mata.

Dengan melaksanakan dakwah Islam dan amar ma'ruf nahi munkar dengan caranya masing-masing yang sesuai, Muhammadiyah menggerakkan masyarakat menuju tujuannya, ialah "Terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya".

DASAR DAN AMAL USAHA MUHAMMADIYAH

Dalam perjuangan melaksanakan usahanya menuju tujuan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, dimana kesejahteraan, kebaikan dan kebahagiaan luas-merata, Muhammadiyah mendasarkan segala gerak dan amal usahanya atas prinsip-prinsip yang tersimpul dalam Muqaddimah Anggaran Dasar, yaitu:

1. Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah.

2. Hidup manusia bermasyarakat.

3. Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan berkeyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat.

4. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ikhsan kepada kemanusiaan.

5. Ittiba' kepada langkah dan perjuangan Nabi Muhammad SAW.

6. Melancarkan amal usaha dan perjuangannya dengan ketertiban organisasi.


PEDOMAN AMAL USAHA DAN PERJUANGAN MUHAMMADIYAH

Menilik dasar prinsip tersebut di atas, maka apapun yang diusahakan dan bagaimanapun cara perjuangan Muhammadiyah untuk mencapai tujuan tunggalnya, harus berpedoman: "Berpegang teguh akan ajaran Allah dan Rasul-Nya, bergerak membangun di segenap bidang dan lapangan dengan menggunakan cara serta menempuh jalan yang diridlai Allah".

SIFAT MUHAMMADIYAH

Menilik: (a) Apakah Muhammadiyah itu, (b) Dasar amal usaha Muhammadiyah dan (c) Pedoman amal usaha dan perjuangan Muhammadiyah, maka Muhammadiyah memiliki dan wajib memelihara sifat-sifatnya, terutama yang terjalin di bawah ini:

1. Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan.

2. Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah.

3. Lapang dada, luas pandangan, dengan memegang teguh ajaran Islam.

4. Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan.

5. Mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara yang sah.

6. Amar ma'ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh teladan yang baik.

7. Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud ishlah dan pembangunan, sesuai dengan ajaran Islam.

8. Kerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan agama Islam serta membela kepentingannya.

9. Membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun Negara untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.

10. Bersifat adil serta kolektif ke dalam dan keluar dengan bijaksana.

 

BATAS-BATAS KESENIAN (10)

 

Penanya:

Agus Arif Susilo,

SMP Muhammadiyah Kebumen 54473

 

 

Pertanyaan:

Kesenian menurut kolom fatwa SM sangat dibatasi. Saya sebagai guru kesenian di SMP Muhammadiyah bagaimana seharusnya menyikapi hal ini? Artinya, sejauh mana kesenian yang boleh diajarkan?

 

Jawaban:

Sebelum sampai kepada jawaban inti, perlu saudara ketahui bahwa dalam kolom fatwa tidak ada penyempitan soal kesenian. Kalau ada orang yang bertanya tentang soal kesenian akan dijawab sebagaimana mestinya. Sudah barang tentu jawaban dalam rubrik Fatwa Agama di SM tidak panjang lebar seperti uraian dalam buku yang khusus menerangkan soal kesenian karena kolomnya terbatas. Perlu pula kami informasikan kepada saudara, sudah ada satu buku yang dikeluarkan oleh Majelis Kebudayaan Muhammadiyah Universitas Ahmad Dahlan dan Lembaga Litbang PP Muhammadiyah, tentang kesenian dan sudah dicetak dengan baik, berjudul “Islam dan Kesenian”. Tolong saudara berhubungan dengan Toko Buku SM di Yogyakarta, untuk menjadi bahan saudara mengajar. Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam juga telah memutuskan masalah “Kebudayaan dan Kesenian dalam Perspektif Islam” pada Munas Tarjih ke-22 di Malang, dan telah ditanfidz oleh PP Muhammadiyah serta dimuat dalam Berita Resmi Muhammadiyah No. 13/1995-2000, Syawwal 1420 H / Januari 2000 M.

Mengenai sejauh mana kesenian yang boleh diajarkan dapat kami jawab sebagai berikut:

Para ulama Islam telah membuat suatu ketetapan bahwa pada asalnya segala sesuatu itu boleh, berdasarkan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 29:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي اْلأَرْضِ جَمِيعًا... [البقرة {2}: 29].

Artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu ...” [QS. al-Baqarah {2}: 29].

Tidak ada sesuatu yang diharamkan kecuali dengan nash yang shahih dan sharih (jelas) dari Kitab al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah saw, atau ijma yang sah yang meyakinkan. Apabila tidak terdapat dalam tiga ketetapan itu, maka yang demikian tidak mempengaruhi kehalalannya dan tetaplah ia dalam batasan kemanfaatan yang luas. Allah berfirman:

... وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ... [الأنعام {6}: 119].

Artinya: “… padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya …” [QS. al-An‘am {6}: 119].

Dan Rasulullah saw bersabda:

مَا أَحَلَّ اللهُ فِى كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ... [رواه الحاكم عن أبي الدرداء وصححه وأخرجه البزار].

Artinya: “Apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya adalah halal, dan apa yang diharamkan-Nya adalah haram, dan apa yang didiamkan-Nya adalah dimaafkan …” [HR. al-Hakim dari Abu Darda’, dishahihkan dan ditakhrijkan oleh al-Bazzar].

إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضِيْعُوْهَا وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءٍ رَحْمَةً بِكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْهَا. [رواه الدارقطنى].

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah menentukan kewajiban-kewajiban, maka janganlah kamu menyia-nyiakannya, dan menetapkan batas-batas (larangan), maka janganlah kamu melanggarnya, dan Ia diamkan beberapa perkara sebagai rahmat buat kamu, bukan karena lupa, maka janganlah kamu mencari-carinya.” [HR. ad-Daruquthni].

Mengenai nash-nash yang dijadikan dalil oleh golongan yang mengharamkan kesenian seperti nyanyian, tarian, dan sejenisnya, adakalanya shahih tetapi tidak sharih (jelas), adakalanya sharih (jelas) tetapi tidak shahih. Selain itu tidak ada satu pun hadits yang marfu kepada Nabi saw yang patut menjadi dalil untuk mengharamkan, khususnya nyanyian. Masing-masing hadits itu dilemahkan baik oleh golongan ulama Dhahiri, Maliki, Hanbali, dan Syafii.

Sungguhpun demikian, harus diingat bahwa nyanyian-nyanyian atau tarian-tarian ataupun lukisan-lukisan harus yang sopan, mengandung pelajaran dan pendidikan, membawa pesan-pesan moral yang luhur, berpakaian sopan dan menutup aurat, serta tidak mengandung unsur syirik dan maksiat. Kalau semua unsur-unsur itu terpenuhi, maka nyanyian, tarian, dan lukisan itu hukumnya tetap mubah, artinya dibolehkan oleh syariat Islam. *th)

 

HUKUM ZIKIR BERJAMAAH (11)

 

Penanya:

Suratman, Pelanggan SM No. 200002801

Bangilan, Tuban, Jawa Timur

 

 

Pertanyaan:

Apakah zikir berjamaah dibawah seorang pemandu, adakah disyariatkan dalam Islam? Mohon penjelasan! Terima kasih.

 

Jawaban:

Masalah yang saudara tanyakan itu, sebenarnya bukan soal baru. Zikir berjamaah sudah lama berkembang dalam masyarakat kaum muslimin. Hanya pada akhir-akhir ini ia begitu ngetrend dan ngetop karena sudah dikemas sedemikian rupa yang disertai dengan busana putih-putih, berkopiah putih, atau bersurban, dan dipandu oleh seseorang yang dianggap ‘alim, mempunyai suara yang merdu, dan berpenampilan menarik. Seperti yang dilakukan oleh saudara Arifin Ilham dan kawan-kawan, kelihatan syahdu dan meneteskan air mata oleh para pelakunya, serta ditayangkan oleh media elektronik/media cetak yang ditonton oleh para pemirsa. Untuk menguatkan keabsahan zikir berjamaah itu, disusun pula buku panduan dengan mengutip sejumlah hadits-hadits Nabi saw yang bersifat umum tentang zikir.

Menurut pengamatan pengasuh rubrik ini, zikir berjamaah seperti itu sudah terstruktur kaifiyatnya sedemikian rupa yang tidak kita jumpai dalam praktik Nabi saw, para sahabat, dan ulama salaf.

Sebagaimana kita ketahui bahwa kata “zikir” baik yang ada dalam al-Qur’an atau dalam hadits-hadits bersifat umum yang memerlukan penafsiran sesuai dengan konteksnya masing-masing. Itulah sebabnya, maka zikir itu ada tiga macam, seperti dikatakan oleh ar-Razi dalam kitab tafsirnya:

أَمَّا الذِّكْرُ فَقَدْ يَكُوْنُ بَاللِّسَانِ وَقَدْ يَكُوْنُ بَاْلقَلْبِ وَقَدْ يَكُوْنُ بَاْلجَوَارِحِ.

Artinya: “Adapun dzikir itu kadang kala dengan lidah, kadang kala dengan hati, dan kadang kala dengan anggota tubuh.”

Berzikir dengan lidah seperti memuji Allah, bertasbih dan membaca al-Qur’an. Berzikir dengan hati memikirkan dalil-dalil tentang Zat Tuhan, sifat-sifat-Nya, serta memikirkan pula dalil-dalil yang menunjukkan bebanan-bebanan (taklif) dari Allah, hukum-hukum-Nya, perintah-perintah-Nya, serta larangan-larangan-Nya, janji dan ancaman-Nya, juga memikirkan rahasia-rahasia ciptaan Allah SWT.

Adapun zikir yang mencakup ketiga macam, yaitu zikir hati, zikir lisan, dan anggota tubuh, ialah ibadah shalat lima waktu. Pengertian zikir dalam firman Allah QS. Al-Baqarah (2): 152;فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ  yang artinya; “Karena itu, ingatlah (berzikirlah) kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (zikir) pula kepadamu”, adalah mempunyai cakupan yang luas sekali, yaitu ada sepuluh macam (lihat Tafsir Mafatihul-Ghaibi karangan ar-Razi pada waktu dia menafzirkan potongan ayat tersebut di atas.

Pengertian zikir dalam hadits riwayat Muslim dari Abu Sa‘id al-Khudri walaupun mengarah kepada zikir lisan, juga masih bersifat umum. Kalau pengertian zikir di situ mau dibawa kepada zikir lisan berjamaah, maka harus mengerti tentang kaifiyatnya apa diterangkan oleh Nabi saw, tidak boleh menurut hasil ijtihad kita semata-mata.

Dikatakan oleh Imam asy-Syafi‘i di dalam Kitab al-Um, seperti dikutip Prof. T.M. hasbi ash-Shiddieqy dalam bukunya Koleksi Hadits-hadits Hukum juz 4 halaman 215-216, sewaktu asy-Syafii mengomentari hadits riwayat al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud dari sahabat Ibnu Abbas, bahwa asy-Syafii mengutarakan supaya para imam dan makmum berzikir sesudah shalat dengan suara yang pelan (tidak keras), kecuali bila imam menghendaki supaya zikir itu dipelajari oleh makmum. Di kala demikian barulah zikir itu dikeraskan, dan setelah dirasakan (diperkirakan) makmum sudah mengetahui (hafal), maka kembali lagi zikir itu dibaca pelan. Asy-Syafii berpendapat bahwa Nabi saw mengeraskan zikir seketika saja (tidak terus menerus) untuk dipelajari oleh para sahabat.

Dari uraian singkat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kalau berzikir itu sekedar ingin mengajarkan orang, maka diperbolehkan dengan suara keras. Sebahagian besar ulama salaf memakruhkan bahkan mengharamkan berzikir dengan suara keras, dengan alasan Nabi tidak menuntunkan seperti itu. Memang ada segolongan kecil ulama yang membenarkan zikir berjamaah dengan suara keras, tapi disertai dengan sejumlah syarat yang ketat.

Menurut pengasuh rubrik ini, jalan yang terbaik yang harus kita tempuh adalah tidak melakukan zikir berjamaah dengan suara keras, kecuali sekedar untuk mengajar para jamaah. Kita jauhi hal-hal yang dipraktikkan oleh Nabi saw dalam soal ibadah, agar kita tidak terjerumus ke dalam kancah perbuatan bid‘ah yang sangat dicela oleh agama. *th)

 

HUKUM ZIKIR BERJAMAAH (12)

 

Penanya:

Muh. Sungkilang Wala’,

Jl. Merdeka Jurusan BTN Merdeka, Depan Blok A 1 Palopo 91921

 

 

Pertanyaan:

 

Bahwa masjid-masjid se-Kota Palopo tahun ini sudah dijadikan program kota sebagai kota religie, mengadakan zikir bersama setiap malam Jum‘at antara Maghrib dan ‘Isya atas prakarsa aktifis pengurus PD Muhammadiyah yang pada dua atau tiga tahun terakhir menjadi salah seorang Pembantu Walikota Palopo. Zikir bersama itu dilaksanakan dengan cara berkumpul pakai hitungan 100 x, pakai imam dan makmum, dengan suara bersama dank eras, dengan zikir tertentu yang sudah disusun dan dibukukan.

Saya sebagai imam di suatu masjid dengan beberapa anggota anggota jamaah menganggap bid‘ah, sehingga pada masjid tersebut, pelaksanaan zikir bersama itu tidak kontinue dan sepi-sepi sehingga pemrakarsa tersebut mengedarkan undangan secara tertulis untuk makmum dan menunjuk imam khusus dari luar setiap sebelum malam Jum‘at dan imam zikir diberi uang transport. Maka untuk kemurnian agama, saya tanyakan kepada Majelis Tarjih Muhammadiyah, bagaimana hokum atau kedudukan zikir bersama itu? Boleh saya lakukan atau tidak? Mohon jawaban atau uraian tentang zikir bersama, karena pendapat Majelis Tarjihlah yang akan saya pedomani.

Catatan: Saya anggap bid‘ah, berdasarkan buku yang saya baca yaitu buku tanya jawab oleh A. Hasan hal. 739, Buku Keharaman Bid‘ah (terjemahan) karangan penasehat Masjid Nabawi, Madinah, dll.

Akhirnya, semoga mendapat jawaban secepatnya.

Wassalam WW.

 

Jawaban:

Sebelum kami jelaskan secara rinci, maka perlu kami kutipkan terlebih dahulu ayat-ayat dan hadits-hadits tentang zikir, sehingga saudara dapat dengan mudah memahami dalil-dalilnya;

1-    الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ. [الرعد (13): 28].

2-    يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيرًا. [الأحزاب (33): 41].

3-    وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلاَ تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ. [الأعراف (7): 205].

4-    عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَجَعَلَ النَّاسُ يَجْهَرُونَ بِالتَّكْبِيرِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهُوَ مَعَكُمْ ... [رواه مسلم، كتاب الذكر: 44/2704].

5-    عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِي إِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلإٍَ ذَكَرْتُهُ فِي مَلإٍَ هُمْ خَيْرٌ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ مِنِّي شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً. [رواه مسلم، كتاب الذكر: 2/2675].

6-    عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ ِللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مَلاَئِكَةً سَيَّارَةً فُضُلاً يَتَتَبَّعُونَ مَجَالِسَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا مَجْلِسًا فِيهِ ذِكْرٌ قَعَدُوا مَعَهُمْ وَحَفَّ بَعْضُهُمْ بَعْضًا بِأَجْنِحَتِهِمْ حَتَّى يَمْلَئُوا مَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَإِذَا تَفَرَّقُوا عَرَجُوا وَصَعِدُوا إِلَى السَّمَاءِ ... [رواه مسلم، كتاب الذكر: 25/2689].

7-    عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ... وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ ... [رواه مسلم، كتاب الذكر: 38/2699].

1.        (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. [QS. ar-Ra‘d (13): 28].

2.        Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. [QS. al-Ahzab (33): 41].

3.        Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. [QS. al-A‘raf (7): 205].

4.        Diriwayatkan dari Abi Musa, ia berkata: Kami pernah bersama Nabi saw dalam suatu perjalanan. Kemudian orang-orang mengeraskan suara dalam bertakbir. Lalu Nabi saw bersabda: Hai manusia, kecilkanlah suaramu, sebab kamu tidak berdoa kepada orang yang tuli dan jauh, melainkan kamu berdoa kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat, dan Dia bersamamu … [HR. Muslim, Kitab az-Zikr, No. 44/2704].

5.        Diriwayatkan dari Abi Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung berfirman: Aku adalah menurut sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya ketika ia berzikir (dengan menyebut nama)Ku. Jika ia mengingat Aku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam Diri-Ku, dan jika ia menyebut nama-Ku dalam sekelompok manusia, maka Aku menyebutnya dalam sekelompok manusia yang lebih baik dari mereka. Jika ia mendekati-Ku sejengkal, maka Aku mendekatinya sehasta, jika ia mendekati-Ku sehasta, maka Aku mendekatinya sedepa. Jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku mendatanginya dengan berlari kecil. [HR. Muslim, Kitab az-Zikr, No. 2/2675].

6.        Diriwayatkan dari Abi Hurairah, dari Nabi saw beliau bersabda: Sesungguhnya Allah Yang Maha Pemberi berkah dan Maha Tinggi mempunyai malaikat-malaikat yang memiliki mobilitas tinggi dan kelebihan yang selalu mengikuti majlis-majlis zikir. Maka apabila mereka menemukan majlis yang didalamnya terdapat kegiatan zikir, mereka duduk bersama para anggota majlis, dan mereka mengelilinginya dengan sayap mereka, sehingga mencakup semua apa yang ada di antara mereka dan langit dunia. Apabila orang-orang yang berzikir telah bubar, maka para malaikat naik dan mendaki ke langit … [HR. Muslim, Kitab az-Zikr, No. 25/2689].

7.        Diriwayatkan dari Abi Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Setiap ada kaum di suatu rumah (masjid) dari rumah-rumah Allah dengan membaca kitab Allah (al-Qur’an) dan mempelajarinya, pasti turun kepada mereka ketenteraman dan tertumpah kepada mereka rahmat Allah, dan dikelilingi oleh para malaikat, dan Allah mengingat mereka yang ada di dalam majlis … [HR. Muslim, Kitab az-Zikr, No. 38/2699].

 

Penjelasan:

Demikianlah ayat dan hadits yang dapat kami kutip. Sebenarnya ayat yang menyebutkan zikir dalam al-Qur’an tidaklah sedikit, kurang lebih 293 ayat, tetapi tiga ayat yang kami kutip sudah representatif, demikian pula hadits-hadits tersebut.

Ayat pertama [ar-Ra‘d (13): 28] dan ayat kedua [al-Ahzab (33): 41], mengandung perintah agar memperbanyak berzikir kepada Allah SWT. Dimaksudkan dengan zikr ialah menyebut lafal-lafal jalalah, seperti Subhana Allah, alhamdu Lillah, Allahu Akbar, La Haula wa la Quwwata illaa Billah, membaca shalawat, membaca al-Qur’an dan lafal jalalah lainnya. Al-Fakhr ar-Raziy membagi zikir menjadi tiga macam: zikir dengan lisan, yaitu menyebut nama Allah atau lafal jalalah; zikir dengan hati, yaitu memikirkan dan merenungkan keagungan Allah, rahasia penciptaannya, dan sebagainya; dan zikir dengan anggota badan, seperti mendirikan shalat, sedekah, beramal shalih, dan sebagainya. Para ahli tasawwuf memerinci sebagai berikut: Bahwa zikir ada tujuh macam: zikir dengan mata, zikir dengan telinga, zikir dengan lisan, zikir dengan kedua tangan, zikir dengan badan, zikir dengan hati, zikir dengan ruh (jiwa). [as-Shan‘aniy, 1960, IV: 214].

Zikir yang paling utama adalah zikir dengan ketiga-tiganya; dengan lisan, hati dan anggota badan. Zikir semacam inilah yang paling utama dan paling sempurna. Artinya bahwa zikir dengan hati saja atau dengan lisan saja adalah boleh, dan semuanya harus dilakukan dengan ikhlas. Itulah yang dapat melahirkan ketenteraman, sebagaimana disebutkan pada ayat 28 surat ar-Ra‘d di atas.

Ayat ketiga [al-A‘raf (7): 205], menegaskan agar zikir tersebut dilakukan dengan cara merendahkan diri, rasa takut dan dengan suara yang lembut, tidak keras, secara kontinue, pagi dan sore. Ayat tersebut dengan tegas melarang berzikir dengan suara keras, sebab suara keras akan mengganggu orang lain dan menghilangkan kekhusyu‘an. Oleh karena itulah Rasulullah saw memperingatkan para shahabat yang berzikir dengan suara keras, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Muslim, dari Abi Musa (No. 4):

Hadits No. 5 yang diriwayatkan oleh Muslim, dari Abi Hurairah, juga hadits No. 6 dan hadits No. 7, memberikan informasi bahwa Allah SWT menugaskan para malaikat berkeliling mengikuti majlis zikir, dan apabila malaikat majlis zikir mereka akan melindunginya dengan sayapnya hingga selesai, dan Allah akan menganugerah-rahmat-Nya kepada majlis zikir tersebut.

Tiga hadits tersebut (hadits No. 5, 6, dan 7) memberikan pengertian bahwa berzikir bersama dalam satu majlis adalah sangat baik (tanpa imam dan makmum), dan harus sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai berikut:

1.      Dilakukan dengan khusyu‘ dan rasa takut.

2.      Dilakukan dengan suara halus, tidak kedengaran orang lain, tidak dengan berteriak-teriak, menangis dengan histeris, menggeleng-gelengkan kepala dan sebagainya, sehingga tidak mengganggu orang lain. Sebab Allah SWT adalah Maha Mendengar dan Maha Dekat.

3.      Dilakukan dengan ikhlas, bukan karena untuk mencari popularitas, keduniaan dan sebagainya yang melanggar ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Dengan demikian zikir yang dilakukan di daerah saudara harus diluruskan sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah. *sd)

 

THAHARAH: AIR DAN NAJIS (13)

 

Penanya:

Drs. Margono SR,

Jl. Bukit Simpai No. 135 Perumnas Sei Pieh Bangka Jambi

 

Penanya mengajukan 13 pertanyaan, kemudian setiap pertanyaan diberi jawabannya.

 

1.      Air yang telah dipakai untuk bersuci dapat digunakan lagi untuk bersuci (Fatwa Agama Suara Muhammadiyah No. 01/Tahun ke-89 Januari 2004). Apakah yang dimaksud adalah air bekas bersuci itu dimasukkan lagi ke dalam tempat air itu lalu boleh digunakan lagi untuk bersuci, atau maksudnya adalah air sisa bersuci boleh digunakan untuk bersuci?

Dasar dari pendapat tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasa’i, Malik dan Ahmad. Hadits tersebut telah dimuat pada Majalah SM No. dan Tahun yang tersebut di atas. Hadits tersebut menerangkan bahwa perempuan dan laki-laki pada masa Rasulullah saw berwudlu pada bejana (tempat air) yang satu. Hal ini berarti bahwa air satu bejana digunakan untuk berwudlu bersama-sama. Dalam berwudlu itu tentu air yang telah digunakan untuk berwudlu masuk lagi ke dalam bejana itu dan air yang masuk ke dalam bejana itu digunakan lagi untuk berwudlu oleh kaum muslimin yang datang kemudian. Pada hadits lain dilukiskan air musta‘mal itu sebagai berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَاءُ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ. [رواه أحمد والشافعي وأبو داود والنسائى والترمذى وحسنه].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Sa‘id al-Khudri, ia berkata: orang berkata: Ya Rasulullah, bolehkah kita berwudlu dari telaga Budla‘ah? Maka Nabi saw bersabda: Air itu suci lagi mensucikan, tidak ada yang akan menajisnya.” [HR. Ahmad, asy-Syafi‘i, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan at-Turmudzi, dan dinyatakan sebagai hadits hasan].

Diriwayatkan bahwa telaga Budla‘ah itu panjang dan lebarnya lebih kurang 6 hasta (± 3,5 x 3,5 m), pada saat air paling banyak dalamnya sampai ke pinggang dan pada saat air sedikit dalamnya sampai ke lutut. Di telaga itu para shahabat berwudlu dan mandi, tentu saja air bekas berwudlu dan bekas mandi itu tetap berada dalam telaga itu, sehingga air telaga itu telah berubah warnanya. Rasulullah saw membolehkan para shahabat berwudlu dan mandi di tempat itu. Dari kedua hadits di atas tentu saudara dapat menggambarkan bagaimana sebenarnya air musta‘mal itu.

Dari kedua hadits di atas, sebenarnya dapat kita fahami betapa cinta dan kasih sayangnya Rasulullah saw kepada umatnya, terutama bagi mereka yang bertempat tinggal di daerah yang sukar mendapatkan air. Berbeda dengan kita di Indonesia yang mudah mendapatkan air yang suci lagi mensucikan, tentulah kita berusaha berwudlu dengan air yang paling suci yang dapat kita temukan. Hal ini sesuai dengan doa yang selalu kita panjatkan kepada Allah SWT agar kita selalu dapat beribadah dengan cara dan alat yang paling baik, termasuk di dalamnya mencari air yang suci untuk berwudlu, sebagaimana diwasiatkan oleh Rasulullah saw dalam sebuah hadits:

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ بِيَدِهِ وَقَالَ يَا مُعَاذُ وَاللهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ وَاللهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَقَالَ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لاَ تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ. [رواه أبو داود والنسائى وأحمد والحاكم وقال هذا حديث صحيح على شرط الشيخان ولم يخرجاه].

Artinya: “Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal, bahwasanya Rasulullah saw memegang tangannya dan mengatakan: Ya Muadz, demi Allah sesungguhnya aku benar-benar mencintai engkau, demi Allah sesungguhnya aku benar-benar mencintai engkau. Beliau berkata: Aku wasiatkan kepada engkau ya Muadz, demi Allah pada setiap akhir shalat engkau mengucapkan (doa); Wahai Tuhan bantulah aku agar selalu mengingat Engkau, bersyukur kepada Engkau dan melaksanakan ibadah yang baik kepada Engkau.” [HR. Abu Dawud, an-Nasai, Ahmad, al-Hakim, dan ia berkata hadits ini shahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim, dan ia tidak mentakhrijkannya].

Berdasarkan keterangan di atas Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam berpendapat bahwa sebaiknya kita berwudlu dengan air yang suci, namun jika kita tidak memperolehnya, kita berwudlu dengan air musta‘mal.

 

2.      Air yang bercampur dengan benda suci boleh digunakan untuk bersuci. Bagaimana kalau benda sucinya banyak? Mohon diberi contoh! Apakah air sungai yang keruh karena hujan/lumpur, air sumur yang keruh karena tanahnya kurang bagus, air ledeng yang keruh karena kaporit, air yang kemasukan sabun, boleh digunakan untuk bersuci?

Air yang bercampur dengan benda yang suci boleh digunakan untuk bersuci, sebagaimana dilukiskan dalam hadits berikut:

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ دَخَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَتْ ابْنَتُهُ زَيْنَبُ فَقَالَ اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَاجْعَلْنَ فِي اْلآخِرَةِ كَافُورًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُورٍ فَإِذَا فَرَغْتُنَّ فَآذِنَّنِي فَلَمَّا فَرَغْنَا آذَنَّاهُ فَأَعْطَانَا حِقْوَهُ فَقَالَ أَشْعِرْنَهَا إِيَّاهُ تَعْنِي إِزَارَهُ [رواه الجماعة].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ummi ‘Athiyah, bahwasanya telah masuk ke tempat kami Rasulullah saw ketika wafat puterinya Zainab. Maka beliau berkata: ‘Mandikanlah ia tiga atau lima kali atau lebih dari itu, - jika kamu berpendapat demikian, - dengan air dan daun bidara dan campurkanlah yang terakhir dengan kapur barus atau sedikit daripadanya. Jika telah selesai beritahulah aku.’ Maka setelah selesai kami beritahukan kepada beliau, lalu beliau memberikan kain kepada kami, lalu katanya: ‘Balutkanlah kepada rambutnya, yaitu kain itu.” [HR. al-Jama‘ah].

Dari hadits di atas dapat difahami bahwa memandikan mayat dengan air yang suci, seperti air yang digunakan untuk berwudlu. Air untuk memandikan jenazah itu boleh dicampur dengan benda-benda yang suci seperti daun bidara, kapur barus dan sebagainya. Dengan demikian boleh pula ditetapkan bahwa jika mayat boleh dimandikan dengan air suci yang telah bercampur dengan benda lain yang suci dibolehkan pula.

 

3.      Air yang kemasukan najis sedikit, misalnya bak air kemasukan kotoran cicak, bolehkah digunakan untuk bersuci maupun kebutuhan lain? Betulkah ada batasan tentang dua kulah?

Mengenai air yang kemasukan najis boleh digunakan untuk bersuci selama tidak berubah rasa, warna dan baunya, berdasarkan hadits-hadits:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَامَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَامَ إِلَيْهِ النَّاسُ لِيَقَعُوْا بِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهُ وَأَهْرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ. [رواه الجماعة إلا مسلما].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Seorang Arab padang pasir berdiri lalu kencing di dalam masjid, maka orang-orang pun berdiri pula untuk menangkapnya. Maka berkata Nabi saw, biarkanlah ia, dan siramlah kencingnya itu dengan setimba air atau setimba air, karena kamu diutus untuk menimbulkan keringanan bukan untuk menimbulkan kesukaran.” [HR. al-Jama‘ah kecuali Muslim].

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَاءُ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ. [رواه أحمد والشافعي وأبو داود والنسائى والترمذى وحسنه].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Sa‘id al-Khudri, ia berkata: orang berkata: Ya Rasulullah, bolehkah kita berwudlu dari telaga Budla‘ah? Maka Nabi saw bersabda: Air itu suci lagi mensucikan, tidak ada yang akan menajisinya.” [HR. Ahmad, asy-Syafi‘i, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan at-Turmudzi, dan dinyatakan sebagai hadits hasan] (baca keterangan tentang telaga Budla‘ah pada jawaban pertanyaan no. 2).

Asy-Syafi‘i membedakan air sedikit dengan air banyak. Air sedikit ialah air yang kurang dari dua kulah, sedang air banyak ialah air yang dua kulah atau lebih. Air sedikit bila kemasukan najis maka air itu tidak boleh digunakan untuk bersuci, sedang air banyak bila kemasukan najis boleh bersuci dengannya, kecuali jika telah berubah warna, rasa dan baunya.

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ وَ فِي لَمْ يَنْجُسْ. [أخرجه الأربعة وصححه ابن خزيمة].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, ia berkata: Berkata Rasulullah saw: Apabila air itu dua qullah tidak mengandung najis. Pada suatu lafadz (berbunyi) tidak bernajis.” [HR. al-Arba‘ah dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah].

Para shahabat di antaranya Ibnu Abbas dan Abu Hurairah, serta ulama yang lain seperti Hasan al-Basri, Sa‘id bin Musayyab, Ikrimah, Ibnu Abi Laila, ats-Tsauri, Daud Zahiri, an-Nakha’i, Malik dan lain-lain menilai sanad dan matan hadits di atas adalah mudhtharab. Sedang al-Ghazali menyatakan: mengharapkan kiranya madzhab Syafi‘i mengenai air sama dengan pendapat Malik (yaitu tidak menggunakannya sebagai dasar hujjah). Ibnu Abdil Bar menyatakan: pendapat asy-Syafi‘i mengenai hadits dua qullah adalah pendapat yang lemah dari segi penelitian dan tidak mempunyai alasan yang kuat.

Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam sependapat dengan Imam Malik, yaitu tidak menggunakan hadits dua qullah sebagai dasar hujjah.

 

4.      Betulkah cara mencuci pakaian yang terkena najis, - bila jumlah pakaian itu lebih dari satu, - harus disiram satu persatu dengan alasan air yang sudah dipakai untuk mencuci najis tidak bisa digunakan untuk mencuci najis lagi?

Air yang telah digunakan untuk mencuci najis masih boleh digunakan untuk mencuci najis, selama air tersebut masih memenuhi syarat-syarat sebagai air yang suci lagi mensucikan.

Keharusan mencuci seluruh pakaian adalah karena yang empunya pakaian tidak mengetahui dengan pasti pakaian mana yang terkena najis dan pakaian mana yang tidak terkena najis. Jika mengetahui mana yang terkena najis dan mana yang tidak, tentulah yang harus dicuci yang terkena najis saja.

 

5.      Kain yang luntur bolehkah dicuci dengan kain yang bersih, karena kain tersebut membuat air berubah warna?

6.      Bolehkah air yang sudah dipakai tetapi masih kelihatan bersih digunakan untuk mencuci najis? Misalnya air bekas mencuci pakaian.

Mengenai pertanyaan no. 5 dan no. 6 tersebut, adalah bahwa air tersebut boleh digunakan untuk mencuci pakaian selama air pencuci itu memenuhi syarat-syarat air yang suci lagi mensucikan seperti yang telah diterangkan di atas.

 

7.      Bolehkah mandi wajib ataupun berwudlu menggunakan air bak mandi yang digunakan sehari-hari? Atau bila kita mandi wajib ataupun berwudlu harus menggunakan air yang khusus untuk itu atau harus menggunakan air yang baru ditimba / baru dari kran?

Sama dengan jawaban di atas, yaitu boleh air di bak mandi itu digunakan untuk mandi wajib dan sebagainya selama air itu memenuhi syarat-syarat air yang suci lagi mensucikan.

 

8.      Bagaimana cara mensucikan kasur yang terkena kencing? Bila kemcing tersebut sudah kering, - baik karena dijemur atau kering sendiri, - najiskah duduk di atasnya tanpa alas atau menyentuhnya tanpa alas?

Boleh duduk atau tidur di atas kasur yang kena kencing yang telah dijemur atau kering sendiri tanpa mengalas kasur itu. Sedang sebagai tempat shalat, sebaiknya dilakukan pasda tempat yang lain yang telah diyakini kesuciannya. Jika tidak ada tempat yang lain boleh shalat di atas kasur itu setelah diusahakan mencucinya baik dengan membasuh atau menyiramnya serta menjemurnya. Allah SWT berfirman:

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ... [البقرة {2}: 286].

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya …” [QS. al-Baqarah {2}: 286].

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا. إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا. [الإنشراح {94}: 5-6].

Artinya: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” [QS. al-Insyirah {94}: 5-6].

 

9.      Apakah khamr, minyak beralkohol, dan alkohol 70% hukumnya najis?

Tentang khamr apakah najis atau suci, para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama ialah pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa khamr itu adalah najis baik ma‘nawiyah (arti yang sebenarnya) maupun hukmiyah (dari segi hukumnya). Karena itu mereka berpendapat bahwa jika khamr terdapat atau mengenai tubuh, kain untuk shalat atau tempat shalat, maka khamr itu harus dicuci lebih dahulu sampai khamr itu hilang. Mereka berhujjah dengan firman Allah SWT:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ. [المائدة {5}: 90-91].

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” [QS. al-Maidah {5}: 90-91].

Pendapat kedua menyatakan bahwa khamr itu bukan najis. Jika badan, pakaian atau tempat shalat terkena khamr tidak perlu dicuci dan boleh dipakai untuk shalat. Alasan mereka ialah: Ayat 90 surat al-Maidah di atas menyatakan bahwa zat khamr itu bukan najis, yang najis ialah perbuatan minum khamr dan perbuatan minum khamr itu sama dengan perbuatan syaitan. Dengan kata lain ialah yang diharamkan adalah perbuatan  minum khamr, bukan zat khamr itu sendiri. Hal ini senada dengan firman Allah SWT:

... فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ اْلأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ. [الحج {22}: 30].

Artinya: “… maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” [QS. al-Hajj {22}: 30].

Dari ayat ini dapat difahami bahwa berhala itu sendiri yang berupa batu dan sebagainya adalah suci sebagaimana halnya dengan batu-batu yang lain. Yang dihukum najis itu ialah perbuatan menyembah berhala, karena perbuatan menyembah berhala itu bukan saja perbuatan najis bahkan termasuk perbuatan syirik termasuk perbuatan dosa besar.

Ash-Shan‘ani, pengarang kitab Subulus-salam, membenarkan pendapat kedua ini dengan menyatakan bahwa asal semua benda itu adalah suci dan yang diharamkan ialah perbuatan syirik yang dilakukan berkaitan dengan benda itu, bukan zat benda itu. Hal ini senada dengan pernyataan Allah SWT pada surat al-Baqarah ayat 172 dan 173 bahwa yang diharamkan oleh ayat ini ialah memakan bangkai, darah, babi, dan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Sedang untuk menyatakan bahwa yang empat macam di atas adalah najis memerlukan nash lain yang setingkat dengan ayat tersebut.

Dalam pada itu kami belum menemukan ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqbulah yang menyatakan dengan tegas bahwa khamr itu adalah najis. Mengenai alkohol dan sebangsanya adalah suci sebagaimana halnya khamr.

Dari keterangan di atas kami berpendapat bahwa zat khamr dan zat alkohol itu adalah suci bukan najis. Yang najis ialah perbuatan minum khamr dan minum minuman keras (yang mengandung alkohol), karena berakibat mabuknya si peminumnya. Orang mabuk adalah orang yang tidak waras akalnya dan dapat menimbulkan keonaran, kebencian dan permusuhan dalam masyarakat.

 

10.  Cairan putih yang kadang-kadang keluar dari kemaluan wanita bukan karena terangsang, najis atau tidak? Cairan yang keluar dari kemaluan wanita pada saat berhubungan suami istri najis atau tidak?

Cairan putih yang keluar dari kemaluan laki-laki dan perempuan (mazi) adalah najis, karena itu bila terkena anggota tubuh harus dicuci dan bila terkena kain atau tempat shalat harus dicuci atau disiramkan air kepadanya, berdasarkan hadits:

عَنْ عَلِيٍّ قَالَ كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً فَأَمَرْتُ رَجُلاً أَنْ يَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَسَأَلَ فَقَالَ تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ. [رواه البخاري وغيره].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ali, ia berkata: Aku adalah seorang laki-laki yang sering keluar mazi, lalu aku suruh seorang laki-laki menanyakannya kepada Nabi saw, karena kedudukanku sebagai suami puterinya. Maka ditanyakanlah (kepada Nabi saw). Maka Nabi saw menjawab. Berwudlulah, dan basuhlah kemaluan engkau.” [HR. al-Bukhari dan lain-lain].

 

11.  Cairan yang keluar dari luka, bisul maupun jerawat, baik yang berupa darah, nanah, maupun cairan bening seperti juga gatal berair, cacar air, najis apa tidak? Bagaimana bila terkena pakaian atau tangan?

Tentang cairan yang keluar dari luka, bisul maupun jerawat bila terkena pakaian hendaklah dicuci dan bila terkena bagian tubuh hendaklah dibasuh, sebagaimana halnya dengan mazi.

 

12.  Najis apa saja yang harus dicuci tujuh kali satu di antaranya dengan debu/tanah?

Najis yang dicuci tujuh kali dan salah satu dari yang tujuh kali itu dengan tanah, ialah bejana yang dijilat anjing, berdasarkan hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ. [رواه مسلم وأحمد وأبو داود والبيهقى].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Bersabda Rasulullah saw: Mencuci bejana salah seorang kamu apabila dijilat anjing, bahwa mencucinya tujuh kali, yang pertamanya dengan tanah.” [HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi].

 

13.  Seorang muslim pernah dijilat anjing, tetapi karena orang tersebut belum menjalankan Syariat Islam, maka dibiarkannya jilatan anjing tersebut. Suatu saat orang tersebut mulai terbuka hatinya dan mulai menjalankan Syariat Islam. Bila orang tersebut tidak ingat lagi bahwa dulu pernah dijilat anjing atau ingat tapi lupa bagian mana yang pernah dijilat, bagaimana hukumya? Bagaimana pula jika yang dijilat anjing adalah anak kecil yang belum tahu hukum?

Segala perbuatan dosa yang dilakukan seseorang termasuk tidak mencuci jilatan anjing akan diampuni Allah SWT setelah ia masuk Islam, seperti perbuatan syirik, membunuh orang, mencuri, dan sebagainya. Tentu saja dosa-dosa kecil akan lebih mudah diampuni Allah SWT, berdasarkan firman Allah SWT:

قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ. [الزمر {39}: 53].

Artinya: “Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. az-Zumar {39}: 53].

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abbas bahwa Tsauban masuk Islam setelah penaklukan Mekah (Fathu Makkah). Setelah masuk Islam ia merasa pesimis, khawatir dosa-dosanya yang dilakukan sebelum masuk Islam tidak diampuni Allah SWT. Setelah mendengar ayat di atas, ia bergembira karena dari ayat itu difahaminya bahwa seluruh dosa yang dilakukannya sebelum memeluk agama Islam akan diampuni Allah, sehingga ia menyatakan bahwa ayat tersebut lebih berharga baginya dari bukit Uhud. Ibnu Mas‘ud menyatakan bahwa ayat di atas sangat melegakan hatinya.

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa semua dosa yang dilakukan sebelum masuk Islam tentu akan diampuni Allah SWT dengan kesediannya memeluk agama Islam itu. *km)

 

QURBAN 1 EKOR SAPI UNTUK 7 ORANG (14)

 

Penanya:

Syafril L, Siak Sri Indrapura

 

 

Pertanyaan:

Permasalahan yang timbul dalam masyarakat awam, tentang ayahnya seseorang dalam melaksanakan qurban dalam satu ekor sapi dibagi tujuh orang/bagian berhubung adanya ceramah shubuh di salah satu TV yang disampaikan oleh seorang ulama pusat. Menurut kawan saya menerangkan bahwa hal tersebut di atas dianggap tidak sah; dan dia mengatakan bahwa harus langsung satu ekor. Bagi yang sanggup berqurban satu ekor kambing, maka ia berqurban dengan satu ekor kambing saja, dan bagi yang sanggup satu ekor sapi juga berqurban dengan satu ekor sapi. Namun dia tidak menjelaskan dasar hukumnya. Mohon pengasuh dapat memberi penjelasan.

 

 

Jawaban:

Dalam pertanyaan saudara yang disampaikan kepada kami, tidak dijelaskan dasar hukum (dalil) yang disebutkan oleh ulama yang menyampaikan ceramah shubuh di salah satu TV yang kemudian oleh kawan saudara dianggap tidak sah. Oleh karena itu kami tidak dapat berkomentar atas keterangan yang saudara sampaikan itu. Namun untuk memberikan penjelasan sebagaimana yang saudara minta, kami kemukakan sebagai berikut:

Dalam kitab Fiqhus-Sunnah Juz III halaman 227 disebutkan: dibolehkan qurban bergabung, jika hewan qurban berupa unta atau sapi. Sapi atau unta itu dapat berlaku untuk 7 (tujuh) orang, jika mereka bermaksud untuk qurban atau mendekatkan diri kepada Allah. Dasar hukumnya adalah hadits dari Jabir ra., ia berkata:

نَحَرْنَا مَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحُدَيْبِيَّةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ. [رواه مسلم وأبو داود والترمذى].

Artinya: “Pada tahun Hudaibiyah, kami bersama Rasulullah saw menyembelih seekor unta untuk 7 (tujuh) orang dan seekor sapi untuk 7 (tujuh) orang.” [HR. Muslim, Abu Dawud dan at-Tirmidzi].

Dalam kitab Shahih Muslim Juz I halaman 602, hadits di atas disebutkan dalam Bab: bergabung dalam penyembelihan dam yakni denda dalam ibadah haji karena dilaksanakan dengan tamattu‘ atau qiran, dengan lafadz:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحُدَيْبِيَةَ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ. [رواه مسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir Ibnu Abdullah ra., ia berkata: kami bersama Rasulullah saw pada tahun Hudaibiyah menyembelih seekor unta untuk 7 (tujuh) orang dan seekor sapi untuk 7 (tujuh) orang.” [HR. Muslim].

Dalam kitab Subulus-Salam Juz IV halaman 95-96, ditegaskan bahwa berdasarkan hadits di atas kebolehan bergabung 7 (tujuh) orang pada satu ekor unta atau satu ekor sapi adalah untuk penyembelihan hewan dam. Kemudian sebagian ulama menqiyaskan (menganalogikan) pada penyembelihan hewan qurban. Namun qiyas ini oleh ash-Shan‘any, - pengarang kitab Subulus-Salam, - ditolak, karena tentang kebolehan bergabung 7 (tujuh) orang pada satu ekor sapi, berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas ra., yang menyebutkan:

كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي السَّفَرِ فَحَضَرَ اْلأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِي الْبَقَرَةِ سَبْعَةً وَفِي الْبَعِيْرِ عَشَرَةً. [رواه والترمذى والنسآئ].

Artinya: “Kami bersama Rasulullah saw dalam sebuah perjalanan, kemudian tiba Hari Raya Adlha. Kami bergabung dalam berqurban, seekor sapi untuk 7 (tujuh) orang dan seekor unta untuk 10 (sepuluh) orang.” [HR. at-Tirmidzi dan an-Nasa’i]. *dw)

 

 

POTONGAN HARGA DAN ARISAN LELANG MOTOR (15)

 

Penanya:

Pengurus Arisan Lelang Motor, Yogyakarta

 

Pertanyaan:

 

Kami selaku pengurus arisan lelang sepeda motor yang setiap bulan selalu membelanjakan sepeda motor segala merk minimal 4 unit kendaraan. Dan setiap belanja pihak dealer motor selalu memberikan potongan harga 2 (dua) macam, yaitu: satu macam potongan harga untuk anggota kami dan potongan harga lain untuk pengurus. Di antara pengurus terdapat beda pendapat tentang halal atau tidaknya uang tersebut. Yang menjadi pertanyaan kami:

1.      Bagaimana status hukumnya dalam Islam tentang potongan harga bagi pengurus tersebut?

2.      Dalam arisan kami, pemenang arisan sepeda motor diwajibkan membayar/mengeluarkan uang lelang yang besarnya tergantung dari penawaran lelang pada saat pembukaan arisan; dan uang itu dipergunakan untuk penambahan pembelian sepeda motor. Dalam hal ini apakah cara arisan lelang tersebut dapat dibenarkan dalam agama Islam?

 

 

Jawaban:

 

1.      Untuk menjawab pertanyaan nomor satu, perlu adanya kejelasan terlebih dahulu tentang kedudukan pengurus dalam perkumpulan arisan tersebut, yakni: apakah pengurus lelang motor diangkat atau ditunjuk atas dasar sukarela (tabarru‘) sebagai sebuah amal kebajikan mencari pahala di sisi Allah SWT, ataukah mereka diangkat atau ditunjuk dengan adanya upah tertentu sebagai uang jasa (ijaratul ‘amal)?

Jika pengurus arisan lelang motor diangkat atau ditunjuk untuk melakukan pekerjaan sebagai pengurus arisan sebagai sebuah amal sukarela (tabarru‘), mereka tidak boleh atau tidak berhak menerima upah atau pendapatan materiil apapun berkaitan dengan kegiatan mereka sebagai pengurus arisan lelang motor dari manapun sumbernya. Penerimaan upah atau pendapatan akan dapat mengurangi bahkan tidak menutup kemungkinan hilangnya nilai tabarru‘nya.

Jika pengurus arisan lelang motor itu diangkat atau ditunjuk untuk melakukan kegiatan lelang tersebut, memang semenjak awal disepakati dengan upah, maka harus jelas besarnya upah dan sumber dana yang digunakan untuk memberikan upah tersebut. Dan jika sumber dana tersebut secara jelas disebutkan bukan dari potongan dari dealer motor, maka pengurus tidak berhak menerima potongan yang diberikan oleh dealer tersebut. Dalam sebuah hadits disebutkan:

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلاً مِنْ اْلأَسْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ اللُّتْبِيَّةِ قَالَ عَمْرٌو وَابْنُ أَبِي عُمَرَ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا لِي أُهْدِيَ لِي قَالَ فَقَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ مَا بَالُ عَامِلٍ أَبْعَثُهُ فَيَقُولُ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي أَفَلاَ قَعَدَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ فِي بَيْتِ أُمِّهِ حَتَّى يَنْظُرَ أَيُهْدَى إِلَيْهِ أَمْ لاَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَنَالُ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا شَيْئًا إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةٌ لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةٌ تَيْعِرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَيْ إِبْطَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ مَرَّتَيْنِ. [رواه مسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Humaid as-Sa‘idy, ia berkata: Rasulullah saw pernah mempekerjakan seseorang dari Bani al-Asad, yang dipanggil dengan Ibnu al-Lutbiyyah (‘Amr dan Ibnu Umar menyebutkan: yakni untuk menarik shadaqah/zakat). Setelah orang itu sampai kepada Rasulullah saw ia melaporkan: Bagian ini untukmu dan bagian yang ini adalah untukku yang dihadiahkan kepadaku. Ia mengatakan kemudian Rasulullah saw berdiri di atas mimbar, lalu bertahmid dan memuji Allah SWT, kemudian bersabda: Bagaimana ada pekerja yang saya utus kemudian mengatakan: Bagian ini untukmu dan bagian ini adalah dihadiahkan untukku. Apakah kalau ia duduk di rumah ayahnya atau di rumah ibunya, kemudian ada orang yang melihatnya, apakah ia akan memberikan hadiah kepadanya, ataukah tidak? Demi Dzat yang nyawa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang di antara kamu akan memperoleh sesuatu pada hari kiamat kecuali pada tengkuknya memikul unta dengan bersuara, atau sapi dengan bersuara, atau kambing dengan suara khasnya. Kemudian beliau mengangkat dua tangannya sampai kami melihat ketiaknya. Lalu beliau bersabda: Ya Allah, bukankah hal itu telah kusampaikan kepadamu? Disebutkan dua kali.” [HR. Muslim].

Jika pengurus lelang motor diangkat atau ditunjuk untuk melaksanakan tugas arisan tersebut, memang semenjak awal tidak diberikan upah oleh anggota kecuali disepakati diberikan upah yang berupa potongan harga yang diberikan oleh dealer, menurut hemat kami kedudukan pengurus arisan lelang motor tersebut sebagai semacam broker atau simsar atau perantara. Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Sirin dan beberapa ulama yang lain membolehkan perantara dalam jual beli (Fiqhus-Sunnah, Juz III, halaman 141). Dasar dari kebolehannya ini adalah hadits Nabi saw yang menyatakan:

الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ. [رواه أحمد وأبو داود والحاكم عن أبي هريرة].

Artinya: “Orang-orang Islam terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat.” [HR. Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim dari Abu Hurairah].

 

2.      Terhadap pertanyaan nomor 2, kami belum dapat memahami mekanisme pelelangan tersebut. Oleh karena itu kami belum dapat memberikan kepastian hukumnya. Namun secara umum akan kami sampaikan prinsip-prinsip dalam mu’amalah atau etika berbisnis dalam Islam, sebagai berikut:

a.       Asas-asas, yaitu:

1)            At-Tauhid(keesaan Allah)

2)            Al-Amanah(kepercayaan)

3)            Ash-Shidq(kejujuran)

4)            Al-‘Adalah(keadilan)

5)            Al-Ibahah(kebolehan).

6)            At-Ta‘awun (tolong-menolong)

7)            Al-Maslahah (kemaslahatan).

8)            At-Taradli(saling kerelaan).

9)            Al-Akhlaq al-Karimah(kesopanan).

b.      Nilai-nilai dan Tolok Ukur

1)            Tidak boleh ada gharar (spekulasi).

2)            Tidak boleh ada jahalah (kesamaran) dan harus transparan.

3)            Tidak boleh ada maisir(judi)

4)            Tidak boleh ada kezhaliman (penindasan)

5)            Tidak mengandung unsur riba.

6)            Tidak boleh ada adl-dlarar (unsur yang membahayakan atau merugikan).

7)            Tidak boleh ada kecurangan dan penipuan.

8)            Tidak boleh berakibat ta’assuf (penyalahgunaan hak).

9)            Tidak boleh ada monopoli dan konglomerasi

10)        Obyek bisnis bukan sesuatu yang haram

11)        Tidak boleh menelantarkan dan memubadzirkan harta.

Dengan prinsip-prinsip di atas, semoga dapat dijadikan pedoman dalam menentukan kepastian hukum dari persoalan yang saudara tanyakan. *dw)

 

QURBAN BERKELOMPOK DAN DENGAN IURAN (16)

 

Penanya:

Salsabila, Sri Menanti

 

 

Pertanyaan:

 

Di jamaah Ranting Muhammadiyah kami, mengadakan pemotongan hewan qurban pada setiap Hari Raya Idul Adlha dengan cara empat kelompok:

1.      Kelompok I, 1 ekor sapi untuk 7 orang

2.      Kelompok II, 1 ekor kambing untuk 1 orang (bagi yang mampu)

3.      Kelompok III, 1 ekor sapi untuk 14 orang

4.      Kelompok IV, iuran anggota jamaah semampunya untuk membeli 1 ekor kambing.

Untuk kelompok III dan IV dari anggota jamaah mempunyai alasan:

1.      Untuk mendidik dan melatih berkorban.

2.      Untuk solidaritas dan pemerataan bagi umat Islam dari jamaah sendiri dan umum.

3.      Untuk peningkatan jumlah hewan qurban di setiap tahunnya.

Pertanyaannya adalah:

1.      Untuk nomor 1 dan 2 sudah jelas dasar hukumnya, namun nomor 3 dan 4, belum jelas dasar hukumnya, mohon keterangan.

2.      Masalah nomor 3 dan 4 lebih baik dihentikan atau diteruskan?

 

 

Jawaban:

Penyembelihan binatang qurban seperti saudara utarakan, telah dilakukan di hampir setiap Ranting Muhammadiyah. Khusus nomor 3 dan 4, namanya bukan qurban, melainkan infaq. Maka harus dilakukan dengan ikhlas. Dan infaq itu ada dasarnya, baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadits. Dan hendaknya saudara jelaskan kepada mereka bahwa infaq itu sangat besar pahalanya, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ. [البقرة {2}: 261].

Artinya: “Perumpamaan (infaq yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menginfaqkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [QS. al-Baqarah {2}: 261].

Kami berpendapat bahwa nomor 3 dan nomor 4 sebaiknya diteruskan bahkan lebih digalakkan bagi mereka yang belum mampu berqurban sesuai dengan syari‘ah. *sd)

 

 

JAMA'AH TABLIGH DAN ISLAM JAMA'AH

SERTA HUKUM MEMAKAI JENGGOT (17)

 

Penanya:

Ahmad Riyadhi BS,

Jl. S. Cendana No. 100 Singkang Sumatera Selatan

 

 

Pertanyaan:

 

1.      Kelompok Jama‘ah Tabligh dan Islam Jama‘ah, apakah termasuk sesat? Sampai dimana pengertian sesat menurut Islam?

2.      Hukum memakai jenggot apakah dalilnya kuat?

 

 

Jawaban:

 

1.      Sesat yang saudara tanyakan mungkin sama pengertiannya dengan kata “adh-dhalalah” yang terdapat dalam al-Qur’an. Kata adh-dhalalah dengan segala bentuk perubahan katanya di dalam al-Qur’an terdapat lebih kurang pada 191 tempat dengan arti yang bervariasi. Namun dapat disimpulkan bahwa perbuatan adh-dhalalah itu berpangkal pada sifat munafik yang diterangkan mulai ayat 8 sampai dengan ayat 20 surat al-Baqarah.

Disebutkan bahwa orang munafik itu adalah orang pendusta (ayat 8, 11, 12, dan 13), penipu Allah dan orang yang beriman (ayat 9), hatinya berpenyakit (ayat 10), pengkhianat (ayat 14), orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk (ayat 16). Ayat-ayat 17, 18, 19, dan 20 menggambarkan dengan perumpamaan keadaan orang-orang munafik.

Musthafa al-Maraghi dalam kitab Tafsir al-Maraghi menafsirkan adh-dhalalah dengan semacam perbuatan memahami al-Qur’an tanpa menggunakan akal karena akal itu telah dipengaruhi oleh tradisi dan taklid. Dengan dasar tradisi dan taklid itu mereka menukar petunjuk dengan kesesatan, sehingga terjadilah bid‘ah (menyatakan suatu perkataan atau perbuatan berasal dari al-Qur’an dan as-Sunnah, padahal tidak terdapat di dalamnya). Nabi Muhammad saw menerangkan tanda-tanda munafik, sebagaimana dinyatakan oleh hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آيَةُ اْلمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَ اؤتُمِنَ خَانَ. [متفق عليه].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw berkata: Tanda-tanda munafik itu tiga macam, apabila berkata dusta, dan apabila berjanji tidak menepati, dan apabila dipercaya khianat.” [Muttafaq ‘alaih].

Pada beberapa ayat al-Qur’an disebutkan bentuk perbuatan munafik itu, yaitu syirik (2: 108 dan lain-lain), kufur (4:116, 136; 5: 12; dan lain-lain), perbuatan merugikan diri sendiri (2: 27; 7: 53; dan lain-lain), suka mengada-ada suatu yang tidak ada (6: 24; 7: 33; 10: 30; 28: 75; 33: 36; dan lain-lain), suka memperturutkan hawa nafsu (5: 77; 6: 57; dan lain-lain), menghalang-halangi orang di jalan Allah (47: 1 dan lain-lain), dan putus asa dari rahmat Allah (15: 56 dan lain-lain).

Di antara perbuatan munafik yang diancam dengan siksa neraka ialah perbuatan bid‘ah, berdasarkan hadits-hadits:

عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تُكَذِّبُوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجِ النَّارُ. [متفق عليه].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ali, ia berkata: berkata Nabi saw: Jangan kamu berdusta (dengan mengatakan sesuatu) atas namaku, karena sesungguhnya barangsiapa berdusta atas namaku tentu akan masuk neraka.” [Muttafaq ‘alaih].

عَنْ اْلمُغِيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبِ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ. [متفق عليه].

Artinya: “Diriwayatkan dari al-Muqhirah, ia berkata: Aku mendengar Nabi saw bersabda: Sesungguhnya berdusta atas namaku tidak sama dengan berdusta atas nama seseorang. Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaknya menyediakan tempat duduknya dalam neraka.” [Muttafaq ‘alaih].

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kelompok Jama‘ah Tabligh dan Islam Jama‘ah tersebut dikatakan sesat apabila mereka melakukan bid‘ah. Untuk hal ini diperlukan penelitian terhadap pendapat dan cara-cara ibadah yang mereka lakukan, apakah masih sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya atau telah menyimpang. Jika telah menyimpang barulah mereka dikatakan sesat.

 

2.      Tentang memanjangkan jenggot (tidak mencukurnya) dan memendekkan kumis, ada dasarnya, yaitu hadits:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ. [رواه البخاري].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar, dari Nabi saw beliau bersabda: bedakanlah dirimi dengan orang-orang musyrik dan (untuk itu) panjangkanlah jenggotmu dan pendekkanlah kumismu.” [HR. al-Bukhari].

Dari hadits di atas dapat difahami bahwa yang diperintahkan Rasulullah saw itu ialah agar kaum muslimin mempunyai kepribadian, jangan sekali-kali meniru-niru orang musyrik, orang Yahudi, orang Nashara, dan sebagainya dengan berbagai cara, di antaranya ialah memanjangkan jenggot dan memendekkan kumis. Perintah Nabi saw di atas senada dengan hadits:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ. [رواه البخاري].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi saw bersabda: Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashara tidak mencat rambutnya, maka bedakanlah dengan mereka (dengan mencat rambutmu).” [HR. al-Bukhari].

Hadits di atas menyebutkan cara lain untuk membedakan diri dengan orang-orang Yahudi dan Nashara. Mereka tidak mencat rambut mereka dengan membiarkan uban di kepala mereka dan salah satu cara untuk membedakan kamu dengan mereka ialah dengan cara mencat atau menyemir rambutmu.

Menurut Yusuf al-Qardlawi dalam bukunya “al-Halal wal-Haram”, bahwa perintah untuk membedakan diri dengan orang Yahudi dan Nashrani bukanlah perintah wajib, hukumnya hanyalah sunat. Tujuannya ialah untuk mendidik dan membina kepribadian kaum muslimin dengan berbagai cara yang dibolehkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini bukan berarti kita harus menjauhi mereka. Kadang-kadang dalam beberapa hal kita perlu meniru mereka seperti kedisiplinan dan kesungguhan mereka dalam bekerja dan sebagainya.

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa memanjangkan jenggot dan mencukur kumis, bukanlah suatu keharusan dalam agama. Seseorang boleh saja melakukannya seandainya hal itu merupakan salah satu cara untuk menyatakan identitasnya. Kelompok Jama‘ah Tabligh dan Islam Jama‘ah itu belum dapat dikategorikan golongan yang sesat, kecuali jika ada hal-hal lain yang mereka lakukan yang berlawanan dengan rukun Islam dan rukun Iman, yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. *km)

 

 

SELAMATAN CALON JAMAAH HAJI (18)

 

Penanya:

H. Ispandi Noor, Jamaah Masjid Istiqomah Kandangan Kalsel

 

 

Pertanyaan:

 

Bagi yang akan melaksanakan ibadah haji kebiasaan antara lain melakukan selamatan dengan cara shalat Maghrib, dilanjutkan shalat hajat, membaca Yasin dan shalat Isya (dilakukan berjamaah di rumah calon jamaah haji). Selama jamaah haji berada di Saudi setiap malam Jum‘at keluarga yang ditinggalkan melaksanakan selamatan dengan membaca surat Yasin, dan tiba hari Arafah (Wuquf) siang hari dilakukan selamatan dengan hidangan tertentu agar jamaah haji yang ada di Arafah tidak merasa kepanasan, serta apabila jamaah haji tiba kembali  sebelum menginjakkan kaki ke rumah terlebih dahulu ziarah kubur orang tua atau keluarga.

Yang kami tanyakan:

1.      Apakah kegiatan di atas sudah sesuai tuntunan, serta apakah shalat hajat dapat dan lebih utama dilaksanakan berjamaah?

2.      Bagaimana dengan langgar atau masjid yang kosong karena jamaahnya diundang melaksanakan shalat berjamaah di rumah calon jamaah haji? Jika diundang, mana yang lebih utama memenuhi undangan atau memilih shalat di langgar atau masjid?

 

Jawaban:

1.      Selamatan sebagaimana yang saudara utarakan di atas, setelah kami cari di beberapa kitab, baik kitab-kitab tafsir maupun kitab-kitab hadits, ternyata tidak ditemukan, artinya kegiatan tersebut tidak ada tuntunannya. Perintah membaca al-Qur’an, baik surat Yasin atau surat lainnya dengan tidak disertai dengan selamatan memang ada bahkan banyak, dapat ditemukan di al-Qur‘an maupun hadits-hadits. Perintah shalat berjamaah di masjid juga ada tuntunannya. Sementara untuk shalat hajat yang dilakukan secara berjamaah juga tidak kami temukan tuntunannya.

Maka menurut kami, apabila ada anggota keluarga sedang melaksanakan ibadah haji atau bepergian jauh, sebaiknya keluarga yang ditinggalkan memperbanyak berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT, serta memperbanyak membaca al-Qur’an, sebagaimana biasa dilakukan kesehariannya. Misalnya sesudah shalat wajib, atau shalat Tahajjud dan shalat lainnya.

 

2.      Shalat berjamaah di masjid adalah lebih utama dari shalat berjamaah di rumah, terutama shalat wajib yang lima waktu itu. Maka jika ada undangan untuk shalat berjamaah di rumah, lebih baik mengutamakan shalat berjamaah di masjid, sebagaimana ditegaskan dalam suatu hadits Nabi saw:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةُ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلاَتِهِ فِي بَيْتِهِ وَصَلاَتِهِ فِي سُوقِهِ بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً وَذَلِكَ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ لاَ يَنْهَزُهُ إِلاَّ الصَّلاّةُ لاَ يُرِيدُ إِلاَّ الصَّلاَةَ فَلَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلاَّ رُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِي الصَّلاّةِ مَا كَانَتْ الصَّلاَةُ هِيَ تَحْبِسُهُ وَالْمَلاَئِكَةُ يُصَلُّونَ عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مَجْلِسِهِ الَّذِي صَلَّى فِيهِ يَقُولُونَ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ. [رواه مسلم، كتاب المساجد، جـ: 2، نمرة:272/649].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Shalatnya seseorang secara berjamaah (di masjid) melebihi shalatnya di rumahnya dan shalatnya di pasarnya dengan kelebihan dua puluh derajat lebih. Yaitu apabila dia berwudlu dengan baik, kemudian datang ke masjid. Tidak ada yang menggerakkannya kecuali shalat, tidak bermaksud kecuali hanya shalat, setiap melangkah satu langkah, pasti ditingkatkan baginya satu derajat, dan dihapus kesalahannya dengan langkahnya ke masjid itu, sehingga ia masuk ke masjid. Apabila ia telah masuk masjid, hukumnya seperti melakukan shalat, selama shalat itu menahannya di masjid. Dan Malaikat selalu berdoa untuk salah seorang di antaramu, selama ia masih di majlis (tempat ia duduk) yaitu tempat ia melakukan shalat. Mereka berdoa: Ya Allah rahmatilah ia, ya Allah ampunilah ia, Ya Allah berilah taubat selama ia tidak berbuat kedzaliman, dan selama ia tidak berhadats (batal wudlu).” [HR. Muslim, Kitab al-Masajid, Juz II, No. 272/649].

Hadits tersebut menjelaskan, bahwa shalat berjamaah di masjid adalah lebih utama daripada shalat berjamaah di selain masjid. Pahalanya berlipat dua puluh lebih, sebagian hadits menyebutkan dua puluh tujuh derajat dan sebagian lagi menyebutkan dua puluh lima derajat. *sd)

SHALAT DENGAN DUA BAHASA (19)

 

Penanya:

Eet Hudawati, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bengkulu

 

Pertanyaan:

Bolehkah mengerjakan shalat dengan dua bahasa (bahasa Arab dan bahasa Indonesia)?

 

Jawaban:

Mungkin yang dimaksud penanya ialah mengucapkan lafadz-lafadz yang dibaca dalam shalat dengan bahasa terjemahan, bukan dengan bahasa Arab, seperti mengucapkan lafadz shalat dalam bahasa Indonesia.

Shalat adalah salah satu dari rukun Islam yang lima, merupakan ibadah mahdlah, ibadah yang semata-mata ditujukan kepada Allah SWT. Demikian pentingnya shalat itu bagi seorang mukmin, maka shalat itu membedakan apakah seseorang itu mukmin atau kafir, berdasarkan hadits:

عَنْ جَابِرِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ. [رواه أحمد ومسلم وأبو داود والترمذى وابن ماجه].

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir, ia berkata: bersabda Rasulullah saw: Perbedaan antara laki-laki yang mukmin dengan laki-laki yang kafir ialah meninggalkan shalat.” [HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah].

Dan firman Allah SWT:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ. الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُونَ. [الماعون (107): 4-5].

Artinya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) Orang-orang yang lalai dari shalatnya.” [QS. al-Ma’un (107): 4-5].

Demikian pentingnya shalat bagi seorang muslim, maka shalat itu diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah saw sendiri dengan lengkap, bukan saja bacaan yang dibaca dalam shalat itu, tetapi juga cara-cara, gerakan-gerakannya, bahkan bagaimana keharusan khusyu’ dalam mengerjakannya, berdasarkan hadits:

عَنْ مَالِكٍ بْنِ الْحُوَيْرِثِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي. [رواه البخاري].

Artinya: “Diriwayatkan dari Malik bin al-Huwairits ra., ia berkata: bersabda Rasulullah saw: Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.” [HR. al-Bukhari].

Dari hadits-hadits dan ayat di atas, dapat difahami bahwa dalam mengerjakan shalat itu kita harus mengikuti cara-cara Nabi saw melakukannya, sejak dari cara takbir, cara berdiri, cara ruku’, cara i’tidal, cara sujud, cara duduk antara dua sujud, cara duduk tahiyat awal, cara duduk tahiyat akhir, salam, dan membaca bacaan sesuai dengan yang diajarkan beliau. Hal ini merupakan perintah dari Rasulullah saw yang wajib kita lakukan jika ingin shalat kita diterima oleh Allah SWT.

Dengan kata lain, tidak benar shalat dikerjakan dengan bacaan selain bacaan yang diajarkan oleh Rasulullah saw, termasuk dalam hal ini adalah shalat dengan bacaan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau diterjemahkan ke dalam bahasa yang lain. Wallahu a’lam bish-shawwab. *km)

 

MELAYAT BERPAKAIAN HITAM DAN

SHALAT SUNAT RAWATIB (20)

 

Penanya:

Eet Hudawati, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bengkulu

 

 

Pertanyaan:

1.      Apakah ada dasarnya (al-Qur’an atau hadits) memakai pakaian hitam pada waktu melayat orang meninggal dunia?

2.      Ada dua versi dalam mengerjakan shalat sunat rawatib. Yang pertama: dua rakaat sebelum dan dua rakaat sesudah Zhuhur, dua rakaat sebelum Ashar, dua rakaat sebelum dan dua rakaat sesudah Maghrib, dua rakaat sebelum dan dua rakaat sesudah Isya’. Yang kedua: dua rakaat sebelum dan dua rakaat sesudah zhuhur, dua rakaat sebelum Maghrib, dua rakaat sesudah Isya’ dan dua rakaat sebelum Shubuh.

 

Jawaban:

1.   Berpakaian warna hitam waktu melayat orang meninggal dunia

Tidak ditemukan tuntunan dalam al-Qur’an dan al-Hadits tentang berpakaian warna hitam waktu melayat orang meninggal dunia. Yang ada adalah perintah Rasulullah saw agar segera menyelenggarakan jenazah, seperti memandikan, mengkafani, menshalatkan, mengantar jenazah sampai ke kubur, mendoakannya dan sebagainya. Hukum menyelenggarakan jenazah itu fardlu kifayah.

2.   Tentang shalat sunat rawatib

Dalam memahami hadits-hadits Nabi saw tentang shalat sunat rawatib, para ulama membaginya kepada mu‘akkad dan ghairu mu‘akkad. Dalam menetapkan mana yang termasuk mu‘akkad dan mana yang termasuk ghairu mu‘akkad para ulama berbeda pendapat.

Shalat sunat rawatib mu‘akkad terdiri atas dua atau empat rakaat sebelum shalat Zhuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat setelah shalat Maghrib, dua rakaat setelah shalat Isya’ dan dua rakaat sebelum shalat Shubuh. Semuanya ada sepuluh atau dua belas rakaat. Dasarnya ialah hadits-hadits sebagai berikut:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ حَفِظْتُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ. [رواه أحمد ومسلم وأبو داود والترمذى وابن ماجه].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Aku ingat dari Nabi saw sepuluh rakaat; dua rakaat sebelum shalat Zhuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah shalat Maghrib di rumahnya, dua rakaat sesudah shalat Isya’ di rumahnya, dan dua rakaat sebelum shalat Shubuh.” [HR. al-Bukhari, Muslim, dan Imam-imam yang lain].

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَدَعُ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ. [رواه البخاري وأبو داود]. وَرَوَى عَنْهَا أَيْضًا عِنْدَ مَا سُئِلَتْ عَنِ صَلاَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ التَّطَوُّعِ قَالَتْ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا فِي بَيْتِي ثُمَّ يَخْرُجُ فَيُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى بَيْتِي فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَكَانَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ الْمَغْرِبَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى بَيْتِي فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَكَانَ يُصَلِّي بِهِمْ الْعِشَاءَ ثُمَّ يَدْخُلُ بَيْتِي فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ.

Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah, bahwasanya Nabi saw tidak pernah meninggalkan empat rakaat sebelum shalat Zhuhur dan dua rakaat sebelum shalat Shubuh.” [HR. al-Bukhari dan Abu Dawud].“Diriwayatkan pula dari ‘Aisyah, ketika ditanya tentang sebagian shalat sunat Nabi saw, ia berkata: Beliau shalat sebelum Zhuhur empat rakaat di rumahku kemudian pergi (shalat berjamaah di masjid), lalu beliau kembali ke rumahku dan shalat dua rakaat, kemudian beliau shalat Maghrib dengan orang banyak (di masjid) lalu kembali ke rumahku dan shalat dua rakaat, kemudian beliau shalat Isya’ berjamaah (di masjid) lalu masuk rumahku dan shalat dua rakaat.”

Dari hadits riwayat Aisyiyah tersebut dapat difahami bahwa Rasulullah saw mengerjakan shalat sunat rawatib di rumah beliau, bukan di masjid. Tentu saja perbuatan Rasulullah saw itu lebih utama, namun tidak menutup kemungkinan untuk mengerjakan shalat sunat rawatib di masjid. Pada riwayat lain dinyatakan:

عَنْ أُمِّ حَبِيبَةَ قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ. [رواه مسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ummi Habibah, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang shalat (sunat rawatib) dua belas rakaat dalam sehari semalam, niscaya dibuatkan bagi mereka sebuah rumah di surga.” [HR. Muslim].

Yang termasuk shalat sunat rawatib ghairu mu‘akkad ialah:

a.       Empat rakaat sebelum shalat Ashar, berdasarkan hadits:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَحِمَ اللهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا. [رواه أحمد وأبو داود والترمذى وحسنه وابن حبان وصححه].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar, diriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda: Allah memberi rahmat kepada orang yang mengerjakan shalat empat rakaat sebelum shalat Ashar.” [HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan dinyatakan sebagai hadits hasan, sedangkan Ibnu Hibban menyatakannya shahih].

b.      Dua rakaat sebelum shalat Maghrib, berdasarkan hadits:

عَنْ عَبْدِ اللهِ الْمُغَفَّل أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلُّوا قَبْلَ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ صَلُّوا قَبْلَ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ ثُمَّ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ كَرَاهِيَةَ أَنْ يَتَّخِذَهَا النَّاسُ سُنَّةً. [رواه البخاري].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin al-Mughaffal, bahwasanya Nabi saw bersabda: Shalatlah kamu sebelum Maghrib, shalatlah kamu sebelum Maghrib, bersabda pada kali yang ketiga: bagi siapa yang suka. (Ibnu Mughaffal berkata) beliau mengatakan demikian karena beliau khawatir dipandang orang sebagai sunat mu‘akkad.” [HR. al-Bukhari].

c.       Empat rakaat setelah shalat Isya’, berdasarkan hadits:

عَنْ زُرَارَةَ بْنِ أَبِي أَوْفَى أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا سُئِلَتْ عَنْ صَلاَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ فَقَالَتْ كَانَ يُصَلِّي الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى أَهْلِهِ فَيَرْكَعُ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ يَأْوِي إِلَى فِرَاشِهِ وَيَنَامُ. [رواه أبو داود].

Artinya: “Diriwayatkan dari Zurarah bin Abi Aufa, bahwasanya Aisyah ditanya tentang shalat Rasulullah saw pada malam hari, ia berkata: Rasulullah saw shalat Isya’ berjamaah kemudian kembali kepada keluarganya, lalu shalat empat rakaat, kemudian pergi ke tempat tidur dan tidur.” [HR. Abu Dawud].

Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa ada shalat sunat rawatib yang lain, sesuai dengan penilaian mereka terhadap hadits-hadits yang mereka jadikan sebagai dasar hujjah.

Adapun di dalam Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, dinyatakan bahwa shalat sunat rawatib itu terdiri atas: dua rakaat sebelum Shubuh, dua atau empat rakaat sebelum dan sesudah Zhuhur, dua rakaat sebelum Ashar, dua rakaat sebelum dan sesudah maghrib, dan dua atau empat rakaat sesudah Isya’ (Lihat Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah Cetakan III, Kitab Shalat-shalat Tathawwu’, tentang Shalat Rawatib, halaman 319-320, beserta dalil-dalilnya halaman 328-332). *km)

 

KEDUDUKAN IBU TIRI DALAM ISLAM (21)

 

Penanya:

Ny. Listiani, Banjarnegara, Jawa Tengah

 

Pertanyaan:

Pada tayangan televisi, sering ditayangkan keserakahan ibu tiri, yang kehadirannya selalu dicurigai oleh keluarga suami, seakan-akan mereka ingin menguasai harta si suami. Di mana Islam menempatkan kedudukan seorang ibu tiri?

 

Jawaban:

Tayangan keserakahan ibu tiri di televisi kiranya tidak dapat dijadikan ukuran terhadap citra ibu tiri pada umumnya. Boleh jadi masih banyak ibu tiri yang berperilaku baik yang mencerminkan perilaku istri yang shalihah, yang menyayangi anak tirinya bagaikan anak kandungnya dan menjalin hubungan baik (silaturrahim) dengan keluarga suaminya. Demikian pula keluarga suami menjalin sikap yang bersahabat dengannya.

Namun saying perilaku ibu tiri yang baik, nyaris tidak pernah ditayangkan di televisi. Kami sangat optimis jika ada atau bahkan sering ditayangkan perilaku ibu tiri yang baik, demikian pula keluarga suaminya yang sangat bersahabat itu, akan menjadi sebagian dari upaya pendidikan kepada masyarakat, yakni menjadi tauladan bagi istri yang kebetulan menjadi ibu tiri dan keluarga suaminya serta masyarakat pada umumnya. Pada gilirannya diharapkan dapat mengurangi citra serakah seorang ibu tiri dan sikap curiga keluarga suaminya.

Sikap serakah pada hakekatnya adalah ingin memiliki sesuatu yang bukan haknya, atau dengan kata lain memiliki sesuatu dengan cara yang batil. Islam mengajarkan agar para pemeluknya tidak memiliki sikap dan berperilaku serakah. Allah SWT berfirman:

وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ ... [البقرة (2): 188].

Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil …” [QS. al-Baqarah (2): 188].

Demikian pula Islam melarang mencurigai orang lain bersikap atau berperilaku yang tidak baik, atau berburuk sangka terhadap orang lain. Dalam al-Qur’an disebutkan:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ. [الحجرات (49): 12].

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” [QS. al-Hujurat (49): 12].

Dalam al-Hadits diterangkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ. [رواه البخاري ومسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw bersabda: Hindarilah olehmu berprasangka (yang tidak baik), sesungguhnya prasangka itu sedusta-dusta berita.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Demikianlah sekedar ajaran Islam tentang serakah dan sikap curiga, sedangkan tentang kedudukan ibu tiri dalam keluarga kami jelaskan di bawah ini.

Ibu tiri yang masih terikat perkawinan dari suaminya pada hakikatnya adalah istri dari suaminya dan kedudukannya sama dengan kedudukan seorang istri. Hal ini berarti bahwa hak dan kewajibannya sama dengan hak dan kewajiban seorang istri terhadap suaminya. Hak dan kewajiban suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga diatur sedemikian rupa oleh ajaran Islam yang tertuang dalam al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah saw.

Dengan demikian, seandainya suatu rumah tangga Muslim mengikuti ajaran agama Islam yang berhubungan rumah tangga dengan benar sesuai dengan petunjuk Allah SWT dan Rasul-Nya, niscaya apa yang ditayangkan pada televisi itu tidak akan terjadi. Seandainya terjadi juga pada suatu keluarga Muslim, mungkin disebabkan sebagian atau salah seorang anggota keluarga seperti suami, istri, anak-anak, orang tua, saudara-saudara dan sebagainya tidak faham atau tidak mau melaksanakan ajaran Islam dalam mengatur rumah tangga karena ada suatu kepentingan diri mereka dalam rumah tangga itu.

Dalam ajaran Islam diatur hak-hak istri sebagai berikut:

1.      Istri berhak mendapat nafakah yang wajar dari suaminya, sesuai dengan kesanggupan suami dan diambilkan dari harta suami. Allah SWT berfirman:

... وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ ... [البقرة (2): 233].

Artinya: “ … dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian …” [QS. al-Baqarah (2): 233].

2.      Istri berhak memperoleh tempat tinggal yang layak dari suaminya. Allah SWT berfirman:

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلاَ تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى. [الطلاق (65): 6].

Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” [QS. ath-Thalaq (65): 6].

Dan hadits-hadits:

عَنْ جَابِرٍ فِي حَدِيْثِ الْحَجِّ بِطُوْلِهِ قَالَ فِي ذِكْرِ النَّاسِ: وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ... [أخرجه مسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir - pada hadits haji wada‘ yang panjang - bersabda Rasulullah saw yang berkaitan dengan istri: Kewajiban atasmu (suami-suami) memberi nafakah dan pakaian untuk istri-istrimu menurut yang patut …”. [HR. Muslim].

عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ مَا حَقُّ زَوْجِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ تُطْعِمُهَا إِذَا أَكَلْتَ وَتَكْسُوهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ. [رواه أحمد والنسائى وأبو داود وابن ماجه وعلق البخاري بعضه].

Artinya: “Diriwayatkan dari Hakim bin Muawiyah dari bapaknya, ia berkata:  Aku pernah bertanya: Ya Rasulullah apa kewajiban kita terhadap istri kita? Rasulullah saw bersabda: Memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, jangan engkau pukul wajahnya, jangan engkau menghinanya, dan jangan kamu usir dia kecuali ia masih tetap dalam rumahmu.” [HR. Ahmad, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan sebagian mereka menghubungkannya dengan al-Bukhari].

3.      Istri berhak mendapat pergaulan dan perlakuan yang baik dari suaminya. Allah SWT berfirman:

... وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا. [النسآء (4): 19].

Artinya: “ … dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” [QS. an-Nisa’ (4): 19].

4.      Istri berhak diperlakukan secara adil, jika suami mempunyai istri lebih dari satu. Allah SWT berfirman:

... فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا. [النسآء (4): 3].

Artinya: “ … kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” [QS. an-Nisa’ (4): 3].

5.      Istri berhak mendapat mut‘ah (pemberian karena pernah menjadi istri) dari suami, jika ia dicerai. Allah SWT berfirman:

وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ. [البقرة (2): 241].

Artinya: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah menurut yang ma`ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa.” [QS. al-Baqarah (2): 241].

6.      Istri berhak memperoleh warisan dari harta suami, jika suaminya meninggal dunia. Allah SWT berfirman:

... وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ... [النسآء (4): 12].

Artinya: “… para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu …” [QS. an-Nisa’ (4): 12].

Demikianlah ajaran Islam mengatur hak-hak dan kewajiban suami istri dalam hidup berumah tangga, sehingga jika setiap anggota rumah tangga mengikuti dan melaksanakan dengan baik niscaya akan terbentuklah rumah tangga yang bahagia dan sakinah.

Dalam pada itu ada pesan-pesan moral yang tersirat pada firman Allah SWT yang mengatur hubungan anak tiri dengan bapak tiri dan ibu tiri, yaitu:

1.      Dengan terjadinya akad nikah yang sah antara seorang laki-laki yang mempunyai putra dengan seorang perempuan, maka putra dari laki-laki itu menjadi mahram (tidak boleh kawin) untuk selama-lamanya dari perempuan itu (ibu tiri), walaupun si ibu tiri telah bercerai dengan laki-laki itu (bapak si anak). Allah SWT berfirman:

وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلاً. [النسآء (4): 22].

Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” [QS. an-Nisa’ (4): 22].

2.      Jika terjadi akad nikah yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang janda yang mempunyai anak perempuan, maka anak perempuan dari janda itu menjadi mahram untuk selama-lamanya dari laki-laki itu, setelah terjadi hubungan seksual antara laki-laki (suami) dengan janda yang telah menjadi istrinya itu(ba‘da dukhul), walaupun laki-laki itu telah bercerai dengan janda itu. Allah SWT berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ ... ... ... وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ ... [النسآء (4): 23].

Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; … … … anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; …” [QS. an-Nisa’ (4): 23].

Dari ayat-ayat di atas dapat difahami bahwa dengan terjadinya akad nikah yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang salah seorang atau keduanya telah mempunyai anak, maka pada saat itu telah terjadi suatu peristiwa hukum yang berlaku bagi kedua pasangan yang telah melakukan akad nikah dan anak-anak mereka. Peristiwa hukum itu ialah telah terjadi tahrim mu‘abbad (larangan atau halangan perkawinan untuk selama-lamanya) antara bapak dengan anak tirinya yang perempuan jika bapak dengan istrinya (ibu anak tiri) ba‘da dukhul (telah berhubungan seksual) dan antara ibu dengan anak laki-laki dari suaminya. Larangan atau halangan perkawinan ini adalah larangan atau halangan yang tetap untuk selama-lamanya walaupun nanti pada suatu saat terjadi perceraian antara si bapak tiri (suami) dan ibu anak tiri (istri).

Dalam peristiwa ini tersirat suatu pesan moral kepada semua anggota keluarga bahwa telah terjadi perubahan status hukum pada keluarga mereka, yaitu masing-masing mereka telah menjadi anggota keluarga dari bapak dan ibu mereka. Sebagai anggota keluarga yang baik mereka harus berusaha untuk menciptakan kerukunan, kebersamaan dengan melakukan musyawarah dalam keluarga sebagaimana petunjuk yang terdapat pada surat ath-Thalaq ayat 6 di atas. Mereka harus yakin bahwa Allah dan Rasul-Nya memberi tuntunan yang lengkap dalam membina hidup berkeluarga. Dengan demikian tidak ada lagi anggota keluarga yang merasa disisihkan oleh anggota keluarga yang lain.

Dalam pada itu, Negara kita yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Undang-undang No. 1 tahun 1974, kemudian dijabarkan oleh Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 154 tahun 1991, tentang pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 tahun 1991 agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Pada Kompilasi Hukum Islam itu ada pasal-pasal yang mengatur hak dan kewajiban anggota keluarga dalam rumah tangga yang terdapat pada:

1.      Bab XII, tentang Hak dan Kewajiban Suami Istri, terdiri atas 8 pasal.

2.      Bab XIII, tentang kekayaan dalam Perkawinan, terdiri atas 13 pasal.

3.      Bab XIV, tentang Pemeliharaan Anak, terdiri atas 9 pasal.

4.      Bab XV, tentang Perwalian terdiri atas 6 pasal, dan seterusnya.

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ajaran Islam mengatur kehidupan keluarga dan menjaga serta melindungi hak-hak setiap anggota keluarga, seperti bapak, ibu, termasuk di dalamnya ibu tiri, anak-anak dan sebagainya. Hal serupa juga di atur dalam undang-undang dan peraturan yang berlaku di negara kita, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dalam kehidupan keluarga. Hanya saja ajaran Islam dan undang-undang dan peraturan itu belum dipahami dan dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat, khususnya masyarakat kaum Muslimin. Karena itu adalah tugas kita bersama untuk memasyarakatkannya. Sehubungan dengan itu janganlah ibu penanya terlalu terpengaruh oleh tayangan televisi itu, demikian pula dari sikap orang lain terhadap ibu tiri seperti yang ibu gambarkan itu. Dari segi positifnya, pihak televisi yang menayangkan pengalaman sebagian ibu tiri itu mungkin mengharapkan agar peristiwa itu menjadi peringatan dan pengajaran bagi kita. *km)

 

KEKUATAN SANAD HADITS

ZIARAH KUBUR ORANG TUA, FAEDAH BACAAN YASIN,

KIRIM BACAAN UNTUK ORANG MENINGGAL DUNIA, DAN BEBERAPA KOREKSI TERHADAP BUKU TANYA JAWAB AGAMA DAN HPT (22)

 

 

Penanya:

Drs. Dimyati, Semarang

 

 

A.  Pertanyaan:

Kekuatan sanad hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar tentang ziarah kubur kedua orang tua atau salah satu dari mereka pada setiap hari Jum‘at, kemudian hadits tentang membaca surat Yasin akan diampuni dia sebanyak jumlah ayat dan huruf?

 

Jawaban:

Setelah melalui pelacakan dari berbagai kitab hadits, akhirnya bisa ditemukan di dalam kitab Faidl al-Qadir Syarah Kitab al-Jami‘ ash-Shaghir karya Abd ar-Rauf al-Manawi, Juz VI: 141. Teks selengkapnya adalah:

لِأَبِي الشَّيْخِ وَالدَّيْلَمِي عَنْ أَبِي بَكْرٍ مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ كُلُّ جُمُعَةٍ أَوْ أَحَدِهِمَا فَقَرَأَ عِنْدَهُ يسٍ وَالْقُرْآنِ الْحَكِيْمِ غُفِرَ لَهُ بِعَدَدِ كُلِّ أَيَةٍ وَحُرْفٍ مِنْهَا.

Artinya: “Riwayat Abu asy-Syaikh dan ad-Dailamiy dari Abu Bakar: Barangsiapa berziarah kubur kedua orang tuanya atau salah satunya pada setiap hari Jum‘at, kemudian membaca surat “Yasin wa al-Qur’an al-Hakim”, maka diampunilah dia sebanyak jumlah ayat dan huruf dari surat itu.”

Menurut kitab Mizan al-I‘tidal fi Naqd ar-Rijal, karya Syams ad-Din Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahabi, Juz V: 316, dinyatakan bahwa sanad hadits tersebut bathil, dengan demikian tidak bisa dijadikan hujjah.

Sedangkan hadits kedua tentang pembacaan permulaan surat al-Baqarah di sebelah kepala mayit, dan akhir surat al-Baqarah di sebelah kakinya, dengan sangat menyesal belum bisa ditemukan rujukannya, meskipun sudah dilacak di berbagai kitab hadits. Kami kesulitan menemukan kata kunci untuk mencari hadits tersebut, karena dalam pertanyaan anda hanya menyertakan terjemahannya.

 

B.  Pertanyaan:

Kalau hadits tersebut tidak shahih dan tidak pula hasan, bagaimana jika menggunakan qiyas terhadap pengiriman bacaan untuk orang yang telah meninggal dengan hadits ‘Aisyah yaitu pemberian sedekah anak kepada ibunya yang telah meninggal?

 

Jawaban:

Masalah yang anda tanyakan adalah masalah klasik, sejak dulu menjadi khilafiyah. Namun bagaimana pandangan Islam terhadap masalah tersebut, dan pendapat mana yang lebih patut diterima jika dihadapkan keada dalil-dalil hukumnya?

Al-Qur’an surat an-Najm (53) ayat 38 dan 39 mengajarkan:

أَلاَّ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى. وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى.

Artinya: “Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”

Dari dua ayat di atas, diperoleh penegasan bahwa seseorang yang berdosa adalah akibat perbuatan yang dilakukannya sendiri. Dan bahwa manusia hanya akan memperoleh pahala atas perbuatan yang dilakukannya sendiri pula. Kemungkinan seseorang ikut dibebani dosa perbuatan orang lain hanyalah jika seseorang itu berpartisipasi dalam terjadinya perbuatan dosa orang lain itu. Demikian juga orang dapat menerima pahala perbuatan yang dilakukan orang lain, jika ia berpartisipasi dalam terjadinya perbuatan orang lain itu. Hadits Nabi saw mengajarkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ اْلإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا. [رواه مسلم: ج: 4 ص: 2060].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa mengajak kepada petunjuk (kebaikan), maka ia akan mendapat pahala seperti pahala-pahala yang diberikan kepada orang-orang yang mengikuti ajakannya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka; dan orang yang mengajak kepada kesesatan, maka ia akan menerima dosa seperti dosa orang-orang yang mengikuti ajakannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka.” [HR. Muslim, Juz IV: 2060].

Hadits Nabi saw yang lain:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. [رواه مسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Jika manusia telah meninggal, maka terputuslah (pahala) amalnya, kecuali tiga macam amal; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan baik untuknya.” [HR. Muslim].

Tiga macam amal yang masih mengalir terus pahalanya, sampaipun yang beramal telah meninggal dunia, seperti disebutkan dalam hadits tersebut, hakikatnya adalah amal yang dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan, bukan amal yang dilakukan oleh orang lain.

Hadits tentang anak yang menyedekahkan harta atas nama ibunya:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَإِنَّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ فَتَصَدَّقَ عَنْهَا. [رواه النسائى].

Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah, bahwasanya seorang shahabat datang kepada Rasulullah saw dan bertanya: Sesungguhnya ibuku telah meninggal dengan tiba-tiba, sekiranya ia sempat berbicara niscaya ia akan menyedekahkan sebagian hartanya. Dapatkah aku bersedekah atas nama ibuku (ibunya juga akan memperoleh pahala)?. Rasulullah saw menjawab ‘dapat’, maka ia bersedekah atas nama ibunya” [HR. an-Nasa’i].

Dari dalil-dalil di atas dapat diambil pelajaran bahwa kedudukan anak terhadap orang tua itu dapat dihubungkan dengan amal orang tua ketika hidup telah mendidik anaknya, sehingga anak dapat merasakan wajib berbuat baik kepada orang tuanya sampaipun setelah mereka meninggal dunia. Jadi orang tua yang mempunyai anak demikian itu hakikatnya memetik amalnya sendiri ketika masih hidup, yaitu mendidik anak untuk menjadi anak yang shaleh. Maka amal anak atas nama orang tua tidak termasuk pembicaraan menghadiahkan pahala amal shaleh.

Seseorang yang mendoakan baik untuk orang lain, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia, tidak ada masalah sama sekali. Seperti shalat jenazah berisi doa yang dimohonkan kepada Allah bagi orang yang meninggal dunia itu. Atau doa yang sering kita baca, misalnya:

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ.

Oleh karena itu mendoakan orang lain bukan masalah menghadiahkan pahala amal bagi orang lain.

Memperhatikan bahwa tidak ada ajaran khusus tentang menghadiahkan pahala amal kepada orang lain, baik dari al-Qur’an maupun darti al-Hadits, para shahabat Nabi pun tidak melakukannya. Maka yang paling selamat adalah berpegang saja kepada nash yang ada. Tentang qiyas yang anda tanyakan, dalam kasus ini tidak bisa diberlakukan karena bertentangan dengan nash yang lebih tegas. Qiyas dalam bidang ibadah seperti ini, hanya qiyas yang dilakukan oleh Nabi saw yang bisa diterima.

Adapun menganut pendapat dapat sampainya hadiah pahala amal kebajikan kepada orang lain, sering berakibat negatif. Orang yang kurang beramal shaleh menjagakan hadiah pahala dari orang lain.

 

C.  Pertanyaan:

Pada buku Tanya Jawab Agama Juz IV halaman 87, hadits riwayat ad-Daruquthni dari Ibnu Abbas belum selesai.

 

Jawaban:

Setelah kami cek di dalam kitab Sunan ad-Daruquthni Juz I: 304, memang benar ada kekurangan, yaitu kalimat: hatta qubidla. Maka teks selengkapnya berbunyi:

إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَزَلْ يَجْهَرُ فِي السُّوْرَتَيْنِ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ حَتَّى قُبِضَ. [رواه الدارقطنى عن ابن عباس].

Artinya: “Bahwasanya Nabi saw tetap membaca ‘bismillahirrahmanirrahim’ dengan nyaring di (permulaan) dua surat (pada waktu membaca al-Fatihah dan pada waktu membaca surat lain sesudah al-Fatihah) sampai beliau wafat.” [HR. ad-Daruquthni dari Ibnu Abbas].

 

D.  Pertanyaan:

Di dalam buku HPT halaman 160, memang benar seharusnya tertulis 46 – 60 ekor unta, bukan 49 - 60 ekor unta. Pada halaman 155 tertulis 76 – 90 ekor unta dikenakan zakat 2 ekor anak unta betina umur 3 tahun. Sedangkan pada halaman 160, tertulis 76 – 90 ekor unta, dikenakan zakat 2 ekor anak unta betina umur 2 tahun. Mana yang benar?

 

Jawaban:

Yang benar adalah 76 – 90 ekor unta, dikenakan zakat 2 ekor anak unta betina umur 2 tahun lebih (2 tahun menginjak tahun ketiga).

 

D.  Tim Fatwa mengucapkan terima kasih atas koreksian anda terhadap beberapa kesalahan cetak yang terdapat di dalam buku “Tanya Jawab Agama”. Misalnya anda menyebutkan buku jilid III halaman 67, tertulis surat an-Nahl ayat 96 seharusnya ayat 98, jika yang dimaksud adalah membaca “ta‘awudz” maka pada buku jilid III edisi 1995 halaman 80, sudah seperti yang dimaksud. Buku jilid III halaman 143 tertulis ayat 10 surat al-Isra’ ternyata teksnya tidak seperti yang dimaksud. Pada buku edisi 1995, terdapat pada halaman 166 masih tertulis al-Isra’ ayat 10. Yang benar adalah surat al-Isra’ ayat 110, teksnya berbunyi:

وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً.

Buku jilid III halaman 145 menjelaskan surat al-Baqarah ayat 187, tetapi kemasukan ayat 10 surat al-Isra’. Dalam buku jilid III edisi 1995, halaman 168 tentang junub, jima’ dan lain-lain, jika ini yang dimaksud, maka ayat 10 surat al-Isra’ sudah tidak ada lagi.

Wallahu a’lam bish-shawwab. *fz)

 

 

QURBAN 1 EKOR KAMBING UNTUK DIRI SENDIRI

DAN ANGGOTA KELUARGA (23)

 

Penanya:

Hamdi Arsal BA, NBM 506.791,

Kepala SMA Muhammadiyah Lahat

 

 

Pertanyaan:

Mohon Penjelasan terhadap materi Fatwa Agama pada Suara Muhammadiyah (SM) edisi 17-19 Muharram 1426 H halaman 29 pada kolom kedua baris pertama sampai ketiga yang berbunyi “Ada seseorang pada masa Rasulullah saw berqurban dengan seekor kambing untuk dirinya sendiri dan anggota rumah tangganya”.

Sepanjang pengetahuan/pemahaman kami, perintah berqurban itu didasarkan pada QS. al-Kautsar ayat 2 yang artinya maka shalatlah kamu dan berqurban. Ayat ini identik dengan perintah shalat Idul Adha kemudian menyembelih hewan qurban.

Terlepas arti ayat tersebut perintah shalat Idul Adha kemudian berqurban atau diartikan secara umum shalat wajib diiringi dengan pengorbanan, baik pengorbanan tenaga, fikiran, moral, dan lain-lain, yang menjadi masalah mengapa seseorang beribadah/berqurban lantas orang lain (termasuk keluarga) yang tidak ikut berqurban (sebab hanya satu ekor kambing) mendapat kebaikan (pahala) berqurban tersebut (nilainya). Dasar surat al-Zilzalah ayat 7-8.

Mohon jawaban dan dimuat di SM.

 

Jawaban:

Memng betul al-Qur’an menegaskan bahwa seseorang memperoleh pahala adalah hanya atas perbuatan (ibadah) yang ia lakukan. Di samping difahami dari surat al-Zilzalah ayat 7-8, juga lebih tegas disebutkan dalam surat an-Najm (53) ayat 39:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى. [النجم (53): 39].

Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” [QS. an-Najm (53): 39].

Dalam surat al-Baqarah (2) ayat 286 Allah SWT berfirman:

... لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ... [البقرة (2): 286].

Artinya: “… ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya …” [QS. al-Baqarah (2): 286].

Dan dalam surat Yasin (36) ayat 54 Allah berfirman:

... وَلاَ تُجْزَوْنَ إِلاَّ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ. [يس (36): 54].

Artinya: “… dan kamu tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan.” [QS. Yaasiin (36): 54].

Lalu, bagaimana dengan keterangan hadits tentang penyembelihan binatang qurban bahwa satu ekor kambing telah mencukupi untuk berqurban satu keluarga? Apakah tidak kontradiktif/ta‘arudl (saling bertentangan)?

Dalam menghadapi persoalan ini perlu diketahui tentang fungsi hadits di samping al-Qur’an. Dalam surat an-Nahl (16) ayat 44 Allah berfirman:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ. [النحل (16): 44].

Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” [QS. an-Nahl (16): 44].

Dari ayat di atas para ulama menyimpulkan bahwa fungsi hadits terhadap al-Qur’an adalah sebagai البيان (al-bayan), yakni sebagai yang memberi penjelasan atau keterangan. Penjelasan hadits terhadap al-Qur’an oleh para ulama diklasifikasikan menjadi beberapa macam, di antaranya adalah:

1.      Bayan Taqrir, yaitu keterangan dalam hadits memperkuat yang telah diterangkan oleh al-Qur’an, seperti keterangan tentang wajibnya berpuasa Ramadlan setelah melihat hilal (awal bulan).

2.      Bayan Tafshil, yaitu keterangan dalam hadits yang memberi rincian keterangan dalam al-Qur’an secara ringkas, seperti keterangan tentang pelaksanaan atau tata cara melakukan ibadah shalat.

3.     Bayan Tafsir, yaitu keterangan dalam hadits yang menjelaskan maksud keterangan dalam al-Qur’an, seperti hadits yang menerangkan bahwa yang dimaksud dengan ayat:وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ. [البقرة (2): 187]., yang artinya: “dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” [QS. al-Baqarah (2): 187], adalah batas antara malam dan siang, sebagaimana diketahui bahwa larangan makan dan minum bagi orang berpuasa adalah di siang hari, yang batas awal siang yaitu terangnya antara benang hitam dengan benang putih atau waktu fajar.

4.      Bayan Tasyri‘, yaitu hadits yang menerangkan hukum yang tidak terdapat atau tidak diterangkan oleh al-Qur’an, seperti hadits yang menerangkan larangan perkawinan karena ada hubungan sepersusuan (radla‘ah).

5.      Bayan Taqyid, yaitu hadits yang menerangkan batas dari kemutlakan yang disebutkan oleh al-Qur’an, seperti hadits yang menerangkan batas mengusap tangan dengan debu sampai pergelangan tangan dalam melakukan tayammum.

6.      Bayan Takhsis, yaitu hadits yang menerangkan kekhususan dari ketentuan (hukum) umum yang disebutkan dalam al-Qur’an, seperti dalam ayat-ayat sebagaimana yang ditulis di atas, bahwa seseorang akan memperoleh pahala atas perbuatannya sendiri. Akan tetapi hadits membolehkan seorang anak melakukan ibadah haji untuk orang tuanya yang telah meninggal dunia.

Dalam hadits diterangkan antara lain:

جَاءَ رَجُلٌ مِنْ خَثْعَمٍ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أَبِي أَدْرَكَهُ اْلإِسْلاَمُ وَهُوَ شَيْخٌ كَبِيرٌ لاَ يَسْتَطِيعُ رُكُوبَ الرَّحْلِ وَالْحَجُّ مَكْتُوبٌ عَلَيْهِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ قَالَ أَنْتَ أَكْبَرُ وَلَدِهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أَبِيكَ دَيْنٌ فَقَضَيْتَهُ عَنْهُ أَكَانَ ذَلِكَ يُجْزِئُ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَاحْجُجْ عَنْهُ. [رواه أحمد عن عبد الله بن الزبير].

Artinya: “Seorang laki-laki dari Bani Khats‘am menghadap Rasulullah saw, kemudian ia berkata: Sesungguhnya ayahku masuk Islam pada waktu ia telah tua, tidak dapat naik kendaraan untuk haji, padahal haji itu adalah wajib baginya. Bolehkah aku menghajikannya? Rasulullah saw bertanya: Apakah kamu anak tertua? Laki-laki itu menjawab: Ya. Rasulullah saw bersabda: Bagaimana pendapatmu jika orang tuamu mempunyai hutang, lalu kamu membayar hutang itu untuknya cukup sebagai gantinya? Laki-laki itu menjawab: Ya. Rasulullah saw bersabda: Hajikanlah dia.” [HR. Ahmad dari Abdullah ibn Zubair].

Dalam hadits lain diterangkan:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللهَ فَاللهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ. [رواه البخاري].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. bahwasanya ada seorang perempuan dari Juhainah datang kepada Nabi saw, kemudian ia berkata: Sesungguhnya ibuku pernah bernadzar untuk menunaikan ibadah haji, namun tidak menunaikannya sampai ia mati. Bolehkah aku menghajikannya? Nabi saw bersabda: Ya, hajikanlah ia. Bagaimana pendapatmu andaikata ibumu memiliki hutang, apakah kamu yang melunasinya? Perempuan itu menjawab: Ya. Nabi saw bersabda: Lunasilah hutang kepada Allah, karena Allah lebih berhak atas pelunasannya.” [HR. al-Bukhari].

Diterangkan pula bahwa seseorang boleh menghajikan saudaranya, sebagaimana diterangkan dalam hadits:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ قَالَ مَنْ شُبْرُمَةُ قَالَ أَخٌ لِي أَوْ قَرِيبٌ لِي قَالَ حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ قَالَ لاَ قَالَ حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ. [رواه لأبو داود وابن ماجه عن ابن عباس].

Artinya: “Bahwa Nabi saw mendengar seorang laki-laki mengucapkan talbiyyah atas nama Syubrumah. Nabi saw bertanya: Siapa itu Syubrumah? Laki-laki itu menjawab: Ia adalah saudara atau orang yang dekat denganku. Nabi saw bertanya: Apakah kamu telah berhaji untuk dirimu sendiri? Laki-laki itu menjawab: Belum. Nabi saw bersabda: Berhajilah untuk dirimu sendiri, setelah itu berhajilah untuk Syubrumah.” [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas].

Demikian halnya dengan hadits yang menerangkan berqurban dengan sesekor kambing cukup untuk satu keluarga, yaitu hadits:

سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ اْلأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ حَتَّى تَبَاهَى النَّاسُ فَصَارَتْ كَمَا تَرَى. [رواه ابن ماجه والترمذي عن عطاء بن يسار].

Artinya: “Saya bertanya kepada Abu Ayyub al-Anshari: Bagaimana kamu berqurban pada masa Rasulullah saw? Ia berkata: Bahwa seseorang pada masa Rasulullah saw berqurban dengan menyembelih kambing bagi dirinya dan anggota keluarganya, kemudian mereka makan dan membagikannya kepada orang lain sehingga mereka saling membanggakan diri. Maka jadilah hal itu sebagaimana yang kamu lihat.” [HR. Ibnu Majah dan at-Tirmidzi dari Atha’ Ibn Yasar].

Adalah merupakan bentuk aturan khusus dari keumuman sebagaimana yang terdapat pada ayat-ayat yang telah disebutkan.

Dengan pendekatan bayan takhsis ini, kiranya dapat menghilangkan kesan seolah-olah ada pertentangan (kontradiksi/ta‘arudl) sehingga diharapkan dapat menghilangkan pula kebingungan saudara. Wallahu a‘lam bish-shawab. *dw)

 

 

CARA MENGHITUNG DZIKIR TASBIH, TAHMID DAN TAKBIR (24)

 

Penanya:

HM. Soeboer, NBM. 725.192, Malang

 

Pertanyaan:

Mohon Penjelasan tentang cara menghitung dzikir setelah shalat wajib dalam membaca tasbih, tahmid dan takbir yang masing-masing 33 kali.

1.      Apakah cara menghitungnya dengan (jari-jari) tangan kanan saja?

2.      Apakah boleh menghitung dengan (jari-jari) tangan kiri?

Mohon ditulis dalil-dalilnya. Mohon jawabannya dimuat sebelum Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang.

 

Jawaban:

Karena banyaknya pertanyaan yang harus dijawab, jawaban dari pertanyaan saudara baru dapat dimuat sekarang. Karena itu kami mohon maaf.

Mengenai bacaan tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), dan takbir (Allahu Akbar), yang dibaca masing-masing 33 kali setelah shalat wajib, dalilnya ialah hadits.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَبَّحَ اللهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَحَمِدَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَكَبَّرَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ. [رواه مسلم وأحمد].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dari Rasulullah saw beliau bersabda: Barangsiapa bertasbih 33 kali pada setiap selesai mengerjakan shalat, bertahmid 33 kali dan bertakbir 33 kali; itu semua berjumlah 99 kali, kemudian sabda Rasulullah saw: Untuk sempurna menjadi seratus (bacalah): ‘Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai’in qadiir’, maka dosanya diampuni oleh Tuhan meskipun sebanyak buih di laut.” [HR. Muslim dan Ahmad].

Hadits di atas hanya menganjurkan agar kaum muslimin membaca tasbih, tahmid, dan takbir setiap selesai shalat masing-masing 33 kali, sehingga berjumlah 99 kali dan disempurnakan 100 kali dengan membaca “Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai’in qadiir”. Tidak diterangkan bagaimana cara menghitung jumlah apa yang dibaca itu. Dari hal ini dipahami bahwa Rasulullah saw menyerahkan cara-caranya kepada kaum muslimin untuk memilih cara yang baik menurut mereka, sehingga dapat menambah kekhusyukan mereka. Sebahagian kaum muslimin meniru cara menghitung yang dilakukan oleh umat Hindu, umat Budha, dan umat Nashrani, yaitu dengan menggunakan rosario yang oleh sebahagian kaum muslimin disebut ‘tasbih’. Cara ini tidak dilarang oleh agama Islam. Namun sebagian kaum muslimin ingin menunjukkan kepribadian (identitas diri) mereka dengan menggunakan jari-jari tangan untuk menghitungnya. Mereka beralasan dengan perintah Rasulullah saw  agar kaum muslimin menampakkan identitas diri mereka sebagai seorang muslim, tidak ikut-ikutan dan tidak meniru-niru yang dilakukan umat lain, sebagaimana dipahami dari sabda beliau:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبِغُونَ فَخَالِفُوهُمْ. [رواه البخاري ومسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Nabi saw bersabda: Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir rambut mereka, maka bedakanlah dirimu dengan mereka (dengan menyemir rambutmu).” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Dalam menggunakan jari-jari tangan untuk menghitung bacaan tasbih, tahmid, takbir dan bacaan dzikir yang lain sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah saw, maka sebahagian kaum muslimin lebih menggunakan jari-jari tangan kanan dibanding dengan menggunakan jari-jari tangan kiri. Mereka beralasan dengan anjuran Rasulullah saw:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ. [رواه البخاري].

Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah ia berkata: Adalah Nabi saw suka mendahulukan yang kanan ketika mengenakan sandal, ketika menyisir rambut, ketika bersuci, dan pada semua keadaan.” [HR. al-Bukhari].

Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyetujui pendapat terakhir ini, yaitu menganjurkan agar menggunakan yang kanan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang diridlai Allah Swt, termasuk menghitung bacaan dzikir seperti yang diterangkan di atas.

Perlu kami tambahkan bahwa dalam surat Yasin ayat 65 disebutkan:

الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ. [يس (36): 65].

Artinya: “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” [QS. Yaasiin (36): 65]. *km)

 

LAFADZ IJAB DALAM PERNIKAHAN (25)

 

Penanya:

Adang Sapri, NBM 519370

Bogor Jawa Barat

 

Pertanyaan:

Dalam Tanya Jawab Agama Jilid II cet. 2 halaman 165 tertulis lafadz ijab: “Hai Ali, aku nikahkan dan aku kawinkan kamu dengan anak perempuanku Fatimah dengan mas kawin Kitab al-Qur’an”. Kalau boleh saya usulkan lafadz ijab itu berbunyi: “Hai Ali, saya nikahkan dan kawinkan anakku padamu dengan mas kawin kitab al-Qur’an”.

 

Jawaban:

Kalimat yang tertulis dalam Tanya Jawab Agama Jilid II halaman 165, sebagaimana yang saudara maksudkan, adalah terjemahan dari kalimat berbahasa Arab:

يَا عَلِيُّ أَنْكَحْتُكَ وَزَوَّجْتُكَ بِنْتِي فَاطِمَةَ بِمَهْرِ اْلقُرْآنِ

Dasar kami menggunakan terjemahan yang demikian akan kami jelaskan sebagai berikut.

Menurut tata bahasa (qawa‘id) Indonesia kata dengan dan kata pada termasuk kata depan. Kata dengan mempunyai beberapa arti, yang di antaranya untuk menyatakan: hubungan kesertaan, hubungan kepemilikan dan sebagainya, sedang kata pada, menunjukkan tempat. Karena itu Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat bahwa menggunakan kata dengan pada kalimat terjemahan di atas lebih tepat dari menggunakan kata pada. Sebagai rujukan dapat dilihat pada Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS Purwadarminta tahun 1976 halaman 453. Pada kamus itu digunakan kata depan dengan. *km)

 

 

LETAK KEPALA JENAZAH LAKI-LAKI

SAAT DISHALATKAN (26)

 

Penanya:

Drs. M. Sukoco, M. Sc., Bantul

 

Pertanyaan:

1.      Apakah dasarnya menshalatkan jenazah laki-laki kepalanya ke selatan?

2.      Sahkah jika saya turut menshalatkannya?

3.      Bagaimana jika saya tidak ikut menshalatkan dan mengajak orang lain seperti saya?

 

Jawaban:

Ketiga-ketiga pertanyaan saudara akan kami kerangkakan menjadi satu, karena ketiga pertanyaan itu satu dengan lainnya saling berkaitan.

Memang yang lazim dilakukan oleh masyarakat muslim tidak membedakan letak kepala mayyit laki-laki atau perempuan, biasanya kepalanya tetap berada di sebelah utara dan kakinya di sebelah selatan.

Namun begitu perlu saudara ketahui, bahwa ada pendapat sementara ulama membedakan letak kepala mayyit, yaitu mayyit laki-laki letak kepalanya berada di sebelah selatan dan mayyit perempuan letak kepalanya di sebelah utara. Keterangan seperti itu disebutkan dalam buku “Pedoman Shalat” karangan Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy pada halaman 467, begitu juga dalam buku “Koleksi Hadits-hadits Hukum” jilid 6 halaman 174 dari pengarang yang sama.

Shalat saudara tersebut sah, kita harus mentolerir perbedaan pendapatdalam masalah furu‘ (cabang), asal yang bersangkutan ada pegangannya, apakah itu hadits atau pendapat ulama sebagai suatu produk ijtihad. Kami dari Majelis Tarjih menganut prinsip boleh keberagaman dalam ibadah (tanawwu‘ fil-‘ibadah) asal ada dasar pegangannya. Karena itu, jangan saudara mengajak orang lain untuk tidak menshalatkan mayyit itu, karena semakin banyak orang yang menshalatkan mayyit, insya Allah, Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Namun begitu, kalau saudara kurang mantap, boleh saudara tidak menshalatkannya, karena shalat jenazah itu hukumnya fardlu kifayah, bukan fardlu ‘ain. Lagipula melakukan ibadah itu harus ikhlas, ibadah yang tidak ikhlas tidak berpahala di hadapan Allah SWT. *th)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website