PDM Kabupaten Kediri - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Kediri
.: Home > Berita > LAPORAN PENGAJIAN M. TABLIQ DAN M. TARJIH, 7 JULI 2013

Homepage

LAPORAN PENGAJIAN M. TABLIQ DAN M. TARJIH, 7 JULI 2013

Senin, 16-09-2013
Dibaca: 5625

LAPORAN

PENGAJIAN DAN KAJIAN PIMPINAN MUHAMMADIYAH

7 Juli 2013

 

Oleh :

 

Drs. H. Zainal Mustafa MM

Ketua Majelis Tabligh Daerah Muhammadiyah

Kabupaten Kediri

 

 

PIMPINAN DAERAH MUHAMMADIYAH

KABUPATEN KEDIRI

TAHUN 2013

 

KATA PENGANTAR

 

            Puji sykur atas limpahan rahmatNya , sholawat dan salam atas junjungan nabi besar Muhammad SAW. Amiin

 

            Dalam kesempatan laporan pelaksanaan pengajian pimpinan yang di laksanakan kerjasama antara Majelis Tarjih, Tabligh dan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Kediri telah terselenggara dengan baik, walaupun disana sini masih  perlu adanya pembenahan.

Setelah di evaluasi oleh semua pihak khususnya oleh PDM , dengan berbagai sebab yang dimungkinkan ternyata tingkat kehadiran para tamu undangan belum maksimal dan perlu ditingkatkan untuk masa yang akan datang ; oleh karena itu perlu dilakukan konsolidasi ulang untuk dapat lebih memaksimalkan kehadiran para tamu undangan.

Banyak hal yang perlu dibenahi, misalnya tentang yang di undang , cara menundang, bentuk undangan, perlu adanya rekaman hasil kajian, dll.

Atas kerjasama dan terlaksanya kajian perdana setelah cukup lama vakum atas nama panitia mengucapkan terimakasih, fastabiqul khairot, nasrun minallahi wa tathun qoriib, teriring permohonan maaf dan ucapan jazaakallaahu khairon katsiiro.

 

 

                                                                                                Panitia

 

DAFTAR ISI

 

                                               Halaman

 

COVER....................................................................................................................      i

KATA PENGANTAR  ..............................................................................................                ii

DAFTAR ISI…………………………………….........................................................      iii   

BAB. I          PENDAHULUAN……………………………..........................................       1

A.     DASAR PEMIKIRAN......................................................................      1

B.     TUJUAN………………...................................................................      2

C.    TARGET .........................................................................................

D.    PANITIA PELAKSANAN………………..................................................

E.     WAKTU PELAKSANAAN DAN TEMPAT

F.     UNDANGAN

G.    ANGGARAN

H.    PERALATAN YANG DIBUTUHKAN.........................................................................    

I.           LAIN-LAIN……………….....................................................................

BAB. II         PELAKSANAAN..........................................................................……..      6

BAB. III        PERMASALAHAN DAN JAWABAN….................................……….…       8

 

BAB. V        KESIMPULAN………...............................………………………….......    29

BAB.VI       PENUTUP………………...............................……………………….......     30

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

I.                   DASAR PEMIKIRAN

1.    Himbauan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Kediri untuk menghidupkan kembali Pengajian dan Kajian Pimpinan rutin bulanan

2.    Kegiatan Pengajian dan Kajian Pimpinan Muhammadiyah Daerah Kabupaten Kediri mengalami vakum cukup lama

3.    Majelis Tabligh dan Majelis Tarjih mempunyai tanggungjawab lebih daripada Majelis lain dalam hal pelaksanaan acara sebagaimana di maksud di atas.

4.    Banyak Masjid dan Musholla dikuasai oleh jamaah dari organisasi lain karena kurang pedulinya para pimpinan di Cabang dan Ranting dalam menghidupkan da’wah dan pengajian

5.    Kualitas para da’I perlu mendapatkan pencerahan yang lebih baik.

 

II.                TUJUAN

1.    Menghidupkan kembali Pengajian dan Kajian di kalangan Pimpinan agar memperoleh tambahan wawasan tentang hal-hal yang membutuhkan pencerahan

2.    Menumbuh kembangkan  kembali semangat da’wah di kalangan pimpinan

3.    Sebagai  salah satu wahana konsolidasi dan penyampaian informasi bagi unsur pimpinan

4.    Meningkatkan kualitas para da’I di Cabang dan Ranting, mengingat semua unsure pimpinan semuanya adalah para mubaligh.

5.    Mempererat hubungan antar pimpinan

6.    Memberi informasi tentang metode dan media da’wah baru di kalangan pimpinan , untuk kemudian disebarkan ke cabang dan ranting masing-masing

 

 

III.             TARGET

1.    Tumbuhnya kesadaran dan semangat para Pimpinan Daerah , Majelis dan Lembaga, PCM, PRM dan semua pengemban amanah di amal usaha untuk berda’wah sesuai dengan kemampuan masing-masing

2.    Semua unsur tersebut di atas mengetahui dan dapat menyesuaikan dengan adanya metode dan media da’wah baru yang menyangkut Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IT).

3.    Peserta memiliki pandangan yang semakin luas terhadap hal-hal baru yang menyangkut kegiatan keagamaan

4.    Semua unsure tersebut di atas dapat meneruskan dan mengembangkan da’wah di masing-masing Cabang dan Ranting

 

IV.             PANITIA PELAKSANA

 

Penanggungjawab              : H. Fanani Sumali, SH.                       /Ketua PDM

Ketua                                 : Drs. H. Zainal Mustafa, MM./Ketua Majelis Tabligh

Wakil Ketua                       : H. Sonhaji                              /Ketua Majelis Tarjih

Sekretaris   I                       : Ismuhadi, S.Ag, S.Pd             /Sekret. Majelis Tabligh

Sekretaris   II                      : Arifin Tafsir…..                     / Sekret. Majelis Tarjih

Bendahara                         : Thohir Sanusi, S.Pd               /Bendahara M. Tabligh

Anggota                             : 1. Kuat Harianto, S.Pd.          /Anggota                                                                    

                                               2. Slamet                                /Anggota

V.                WAKTU PELAKSANAAN DAN TEMPAT

Dilaksanakan pada           :  7 Juli 2013

Jam                                   : 08.00 - Selesai

Tempat                             :  Kantor PDM, Jl. Seruji 15, Gurah, Kediri

Thema                              : - Hal-hal yang berhubungan dengan Puasa, Sholat          Tarowih, Dzikir, Hisab Ru’yat

Tempat                             :  Kantor PDM, Jl. Seruji 15, Gurah, Kediri

VI.             UNDANGAN

Yang di undang adalah :

1.        Undur PDM                                                                :     9    Orang

2.        Unsur Majelis dan Lembaga                                 :   10    Orang

3.        Unsur  Pimpinan Cabang masing-masing 2     :   40    Orang

4.        Unsur  Pimpinan Ranting masing-masing 2     :   40    Orang

5.        Unsur Amal usaha Sekolah, Rumah Sakit,       :   30    OrangPanti Asuhan,

6.        Unsure ‘Aisiyah                                                        :   10    Orang

7.        Lain-lain                                                                     :    …..Orang

                                                                                          Jumlah             :  150   Orang

-          Hadir  82 orang

VII.          ANGGARAN

1.    Untuk snack dan minum air mineral, 150 X 4000             : Rp    600.000

2.    Untuk Akomodasi kehadiran PWM Majelis Tarjih          : Rp.   750.000

3.    Kebersihan gedung dan penataan                                       : Rp.   250.000

--------------------------------------------------------------------------------------------

                                                                                    Jumlah           :Rp.  1.600.000

VIII.       PERALATAN YANG DIBUTUHKAN

1.        Kursi untuk tamu undangan sebanyak 150 orang

2.        Kursi untuk tamu dari Surabaya, PDM dan Panitia di depan

3.        Podium

4.        Sound System

5.        LCD Proyektor

6.        Laptop

7.        Jaringan Hotspot

IX.             LAIN-LAIN

Hal-hal yang belum jelas dapat ditanyakan pada ketua, Alamat : Jl. Panglima Sudirman No. 02, Ds. Purwokerto, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri, kontak person   HP. 081335686665

 

BAB II

PELAKSANAAN

 

            Pelaksanaan perdana kajian tarjih yang dilaksanakan pada: Hari Ahad, Tanggal 7 Juli 2013  Boleh dikatakan sukses dengan indikasi :

1.        Pemateri dari Surabaya Bpk Mu’ammal Hamidy, Lc. Hadir tepat waktu

           Dengan sekilas Biografi Sebagai berikut :

  • Muammal Hamidy terlahir di Desa Sedayu Lawas, Kecamatan Brondong Lamongan, 1 September 1940
  • Bersekolah di SR (Sekolah Rakyat). Ketika terjadi Agresi Militer Belanda kedua di akhir tahun 1948,
  • Setamat MI tahun 1955, studi agamanya ke MTs selama tiga tahun di Tebuireng, 
  • Belajar kitabTafsir Jalalain kepada Kyai Adlan Cukir. Bersama Kyai Bisri Sansuri, dirinya mendalami kitab Kifayatul Akhyar, Fathul Mu’in maupun Fathul Wahab. Khusus kitab Alfiah yang mempelajari ilmu Nahwu, dirinya berguru kepada Kyai Tahmid Brebes.
  • Aktif di GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) yang merupakan underbow Masyumi,”
  • Belajar di Pesantren PERSIS,
  • Aktif di organisasi P3P (Persatuan Pelajar Pesantren PERSIS) dan pernah menjadi ketuanya
  • Muammal menjadi salah satu dari delapan pelajar yang mendapat beasiswa dan ditempatkan di Al-Jami’ah Al-Islamiyah Al-Madinah Al-Munawarah (Islamic University Madinah). Muammal lulus tahun 1972 dan berkesempatan melanjutkan studi ke Mesir. “Tapi Pak Natsir tidak memperbolehkan dan saya harus kembali untuk mengajar ngaji di PERSIS,” tuturnya.
  • Muammal Hamidy mengaku bersyukur bisa tumbuh dan belajar dalam lintas kelompok agama yang berbeda. Belajar Kemuhammadiyahan di saat kecil, NU di usia remaja, PERSIS saat menginjak dewasa dan Salafi ketika belajar di Madinah.
  • Menjadi Muballigh di jajaran mubaligh di Masjid Al-Falah Surabaya di tahun 1985. Sejak saat itulah, Ustadz Muammal mulai mengisiceramah di instansi pemerintah maupun lembagaperusahaan.
  • Menerima amanah menjadi Pengurus Majelis Tarjih PWM Jatim.

·       Muammal menjadi salah satu dari delapan pelajar yang mendapat beasiswa dan ditempatkan di Al-Jami’ah Al-Islamiyah Al-Madinah Al-Munawarah (Islamic University Madinah). Muammal lulus tahun 1972 dan

       berkesempatan melanjutkan studi ke Mesir. “Tapi Pak Natsir tidak memperbolehkan dan saya harus kembali untuk mengajar ngaji di PERSIS,” tuturnya.

·       Muammal Hamidy mengaku bersyukur bisa tumbuh dan belajar dalam lintas kelompok agama yang berbeda. Belajar Kemuhammadiyahan di saat kecil, NU di usia remaja, PERSIS saat menginjak dewasa dan Salafi ketika belajar di Madinah.

·       Menjadi Muballigh di jajaran mubaligh di Masjid Al-Falah Surabaya di tahun 1985. Sejak saat itulah, Ustadz Muammal mulai mengisiceramah di instansi pemerintah maupun lembaga perusahaan.

·       Menerima amanah menjadi Pengurus Majelis Tarjih PWM Jatim.

2.        Penyelenggaraan walaupun dilaksanakan mundur 60 menit bukan karena panitia belum siap , tetapi jumlah yang hadir belum memadai untuk di mulai dan yang hadir sudah diberi berbagai info tentang IT dan materi dalam bentuk soft copy.

3.        Semangat atau antusias para peserta secara umum sangat tinggi, terlihat pada saat tanya jawab yang jumlah penanya terpaksa harus di kurangi atau dibatasi

4.        Para peserta memperoleh tambahan soft copy tentang berbagai hal yang diperlukan , bahkan memperoleh soft copy yang cukup banyak tentang materi da’wah dll

5.        LCD proyektor dan sound system berfungsi dengan baik

 

BAB III

PERMASALAHAN DAN JAWABAN

            Permasalahan-permasalahn yang muncul adalah :

1.      Masalah hisab dan Ru’yat

Secara umum Bpk Mu’ammal Hamidy, Lc, menyampaikan jika segala sesuatu untuk dapat percaya harus diru’yat (dilihat) , maka berdasarkan bukti yang ada kita percaya kepada Tuhan, Malaikat,  dll apakah kita untuk membuktikan juga harus melihat Tuhan, Malaikat dan lainnya ?

 

Tambahan Referensi dari Panitia :

Penulis : MPI PWM Kalsel,

Oleh: Drs. H. Tadjuddin Noor, SH, MH.

Wakil Ketua PW. Muhammadiyah Kalsel

Argumen Muhammadiyah dalam berpegang kepada Hisab seperti yang disampaikan Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. berikut:

Pertama,semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS. 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS. Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahi bilangan tahun dan perhitungan waktu.

Kedua,jika spirit Qur’an adalah hisab, mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa Az-Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi Saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari.”

Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qardawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.

Ketiga,dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.

Keempat,rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.  Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajat dan di bawah lintang selatan 60 derajat adalah kawasan tidak normal, dimana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melebihi 24 jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.

Kelima,jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.

Keenam,rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijjah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.

Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras di seluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariah di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat.”

Sebagaimana diketahui pada garis besarnya sistem penetapan awal bulan Qamariyah ada dua yaitu hisab dan ru'yah. Kedua sistem ini bermaksud untuk mengamalkan sabda Rasulullah SAW tentang penentuan awal bulan khususnya bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah, yaitu :

Ru'yatuI hilalyang dalam istilah astronomi disebut observasi secara langsung awal bulan Ramadhan dan awal bulan Syawwal yaitu sabda Rasulullah SAW yang artinya: "Berpuasalah kamu ketika melihat bulan (bulan sabit Ramadhan) dan berbukalah kamu ketika melihat bulan (bulan Syawwal) maka jika mendung hendaklah kamu sempurnakan bulan Sya'ban tiga puluh hari. (hadis ru'yah, dalam Kitab Shahihul al-Bukhari, hadis  yang ke-940). Menurut prinsip ru'yat penentuan awal bulan harus dibuktikan dengan melihat bulan sabit (hilal) di atas ufuk pada hari yang ke 29. Jika hilal tidak berhasil dilihat karena mendung atau tertutup awan maka harus diistikmalkan/disempurnakan 30 hari. Ru'yah berasal dari akar kata ra'a yang artinya melihat dengan mata telanjang sebagaimana di zaman Rasulullah Saw. Jadi golongan ahli ru'yah ini berpatokan kalau sudah melihat bulan sabit (baru), baru hidup bulan (datang bulan baru). Kalau tidak melihat bulan karena mendung atau tertutup awan maka bulan masih belum hidup (masih tanggal 30), sehingga tanggal satu bulan baru pada besok lusa. demikianlah pendapat ulama dari kalangan mazhab Syafi'i antara lain Ibnu Hajar Al Haitami dalam kitab Tuhfah juz ke IIIhal 374 yang intinya mewajibkan puasa dikaitkan dengan ru'yatul hilal yang terjadi setelah terbenam mata hari bukan karena wujudnya hilal walaupun bulan sudah tinggi di atas ufuk kalau bulan tidak terlihat belum masuk bulan baru.

Sistem hisab menurut Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A.yang disampaikan dalam pengajian Ramadhan 1431 H PP Muhammadiyah di Kampus Terpadu UMY. “Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtima', ijtima' itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk.”

Pada prinsipnya hisab berdasarkan sistem ijtima, yaitu antara bumi dan bulan berada pada satu garis lurus astronomi. Bulan menyelesaikan satu kali putaran mengelilingi bumi dalam waktu 29 hari 44 menit 27 detik atau satu keliling. Jika ijtima terjadi setelah matahari terbenam pada hari ke 29 maka besoknya terhitung hari yang ke 30 (bulan baru belum wujud), tetapi jika ijtima terjadi sebelum mata hari terbenam hari yang 29 maka besoknya terhitungbulan baru atau tanggal 1. Hisab ini berdasarkan firman Allah Surah Yunus ayat 5 yang artinya :

 Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui.

Dalam hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang artinya: Sebenarnya bulan itu dua puluh sembilan hari maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat bulan dan janganlah kamu berhari raya sebelum kamu melihat bulan, jika mendung "kadarkanlah" olehmu untuknya.

Para ulama berbeda pendapat tentang arti kata-kata "kadarkanlah". Ada yang  menafsirkan sempumakanlah 30 hari. Ada pula yang berpendapat arti "kadarkanlah" tersebut adalah "fa'udduhu bil hisab" artinya kadarkanlah dengan berdasarksn hisab dari pendapat lbnu Rusyd dalam kitabnya Bidayalul Mujtahid. Demikian pula Ibnu Syauraidi Mutarrif dan Ibnu Qulaibah bahwa yang dimaksud "kadarkanlah" ialah dihitung menurut ilmu falak. Ulama Syatriyah yakni Imam Ramli dalam kitabnya Nihayatul Mujtahid Juz III hal. 148 menyatakan: Bahwa bagi ahli hisab dan orang orang yang mempercayainya wajib berpuasa berdasarkan hisabnya. Demikian pula kalau ada orang yang mengaku telah melihat bulan padahal menurut perhitungan hisab bulan belum terwujud maka kesaksian ituditolak (Tuhfah Juz IIIhal. 382). Aliran baru Imam Qalyubi menjelaskan ada 10 pengertian yang dikandung dalam hadis shumu liru'yatihi, diantaranya adalah ru'yah diartikan pada ilmu pengetahuan, maka pendapat ahli hisab tentang bulan atau tanggal dapat diperpegangi (Qalyubi  Juz II hal 49), jadi ru'yah tidak mesti dengan mata telanjang.

Mengapa Muhammadiyah memakai sistem hisab ?

Prinsip yang selalu dianut oleh persyarikatan Muhammadiyah adalah setia mengikuti perkembangan zaman kemajuan sains dan teknologi yang menyelaraskan dengan hukum-hukum Islam. Inilah yang dikenal sebagai tarjih dan pemikiran. Apalagi masalah keumatan khususnya dalam penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal, para ahli hisab Muhammadiyah yang tergabung dalam Majelis Tarjih dan Tajdid telah memberikan pendapatnya kemudian dituangkan dalam surat keputusan pimpinan pusat Muhammadiyah tentang penetapan awal Ramadhan dan Syawal.

Hukum yang ditetapkan Muhammadiyah harus berangkat dari dalil Naqli Al-Qur'an dan As-Sunah Shahihah dan dari acuan pokok tersebut dikembangkan berdasarkan kaedah Ushul Fiqh.

Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan menggunakan sistem hisab hakiki wujudul hilalartinya memperhitungkan adanya hilal pada saat matahari terbenam dan dengan dasar Al-Qur'an Surah Yunus ayat 5 di atas dan Hadis Nabi tentang ru'yah riwayat Bukhari. Memahami hadis tersebut secara taabudi atau gairu ma'qul ma'na/tidak dapat dirasionalkan, tidak dapat diperluas dan dikembangkan sehingga ru'yah hanya dengan mata telanjang tidak boleh pakai kacamata dan teropong dan alat-alat lainnya, hal ini terasa kaku dan sulit direalisasikan. Apalagi daerah tropis yang selalu berawan ketika sore menjelang magrib, jangankan bulan, matahari pun tidak kelihatan sehingga ru'yah mengalami gagal total.

Hadis tersebut kalau diartikan dengan Ta'qul ma'naartinya dapat dirasionalkan maka ru'yah dapat diperluas, dikembangkan melihat bulan tidak terbatas hanya dengan mata telanjang tetapi termasuk semua sarana alat ilmu pengetahuan, astronomi, hisab dan sebagainya.  Sebaliknva dengan memahami bahwa hadis ru'yah itu ta'aquli ma'na maka hadis tersebut akan terjaga dan terjamin relevansinya sampai hari ini, bahkan sampai akhir zaman nanti. Berlainan dengan masalah ibadahnya seperti shalat hari raya, itu tidak dapat dirasionalkan apalagi dikompromikan karena ketentuan tersebut sudah baku dari sunnah Rasul. Tetapi kalau menuju ke arah ibadah itudapat diijtihadi, misalnya berangkat haji ke Mekkah silahkan dengan transportasi yang modern tetapi kalau dalam pelaksanaan hajinya sudah termasuk ibadah harus sesuai dengan sunnah Rasul. Dengan pemahaman semacam ini hukum Islam akan tetap up to date dan selalu tampil untuk menjawab tantangan zaman.

Dengan demikian maka Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan memakai sistem hisab berdasarkan wujudul hilal. Andaikata ketentuan hisab tersebut berbeda dengan pengumuman pemerintah apakah melanggar ketentuan pemerintah? atau dengan melanggar Al-qur'an surah Annisa ayat 59 "Athiullah wa athi'u ar rasul wa ulil amri minkum". Muhammadiyah tidak melanggar  ketentuan pemerintah dalam soal ketaatan beragama sebab pemerintah membuat pengumuman bahwa hari raya tanggal sekian dan bagi umat Islam yang merayakan hari raya berbeda berdasarkan keyakinannya, makadipersilahkan dengan sama-sama menghormatinya. Jadi pemerintah sendiri sudah menyadari dan mengakomodir perbedaan tersebut. Demikian agar semua menjadi maklum.

2.        Tahajud di bulan Romadhon

Jawaban secara singkat adalah : Sholat malam di bulan Romadhon adalah tarowih , jadi tidak ada sholat tahajud di bulan romadhon

 

Tambahan dan rujukan dari Panitia:

1.      Muhammadiyah

Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah pembahasan masalah shalat tarawih dimasukkan pada sub bab tersendiri, disatukan dengan tuntunan mengenai shalat lail. HTP menjelaskan bahwa shalat lail adalah shalat sunat yang biasa dilakukan oleh Nabi saw pada waktu malam hari. Menurut Muhammadiyah shalat lail disebut juga shalat tahajjud, qiyamul-lail danqiyamu Ramadlan. Di samping itu juga sering disebut dengan shalat witir. Shalat lail hukumnya sunnah, tetapi tarjih lebih senang menggunakan istilah ‘tathawwu’ untuk ragam shalat semacam ini.

Dalam tanya jawab masalah agama di Majalah suara Muhammadiyah pernah disinggung masalah shalat tarawih. Di sana ditulis, bahwa shalat lail disebut shalat tahajjud karena, shalat tersebut dilaksanakan setelah bangun tidur. Disebut shalat witir karena dalam melaksanakan shalat tersebut diakhiri dengan witir (bilangan ganjil). Disebut qiyamul-lail karena, shalat tersebut dilaksanakan hanya pada waktu malam. Disebut qiyamu Ramadlan karena shalat tersebut dilakukan pada bulan Ramadlan dan istilah yang sering digunakan untuk shalat lail di bulan Ramadlan adalah shalat tarawih karena, dalam shalat malam tersebut dilaksanakan dengan bacaan yang bagus dan lama dan setelah empat raka’at pertama dan kedua ada istirahat sebentar.

Untuk mempermudah kita memahami pembahasan shalat lail karena dalam HPT diterangkan dengan panjang lebar, maka alangkah baiknya pembahasannya ini kita pecah menjadi tiga, yakni, shalat tarawih, dan shalat witir.

a.      Shalat Tarawih

Jumlah raka’at yang dituntunkan Tarjih dalam shalat tarawih adalah 11 raka’at, dikerjakan dengan cara dua-dua raka’at (sebanyak 4 kali) ditambah tiga raka’at witir.

Pendapat tersebut didasarkan pada hadis Rasulullah saw yang artinya:

 

Beralasan hadis Ibnu Umar yang mengatakan: “Seorang lelaki bangkit berdiri lalu menanyakan: “Bagaimana cara shalat malam, hai Rasulullah?” Jawab Rasulullah: “Shalat malam itu dua raka’at dua raka’at. Jika engkau khawatir akan terkejar shubuh, hendaklah negkau kerjakan witir atau satu raka’at saja.” (HR. Jama’ah)

   Juga berdasar pada hadist Ibnu Abbas, yang artinya:

“Lalu aku berdiri di samping rasulullah; kemudian ia letakkan tangan kanannya pada kepala saya dan digangnya telinga kanan saya dan ditelitinya, lali ia shalat dua raka’at kemudian dua raka’at lagi, lalu dua raka’at lagi kemudian dua raka’at, lalu shalat witir, kemudian ia tiduran menyamping sehingga datang bilal menyerukan adzan. Maka bangunlah ia dan shalat dua raka’at singkat-singkat, kemudian pergi shalat shubuh. (HR. Muslim)

Juga hadis Rasulullah yang artinya:

“Diriwayatkan dari Zaed bin Khalid al-Juhany ia berkata, sungguh saya mencermati shalat Rasulullah saw. pada suatu malam, beliau shalat dua raka’at yang ringan-ringan, kemudian shalat dua raka’at yang panjang (lama) sekali, lalu shalat dua raka’at yang lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya, lalu shalat dua raka’at yang lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya, lalu shalat dua raka’at yang lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya, lalu shalat dua raka’at yang lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya, lalu kemudian melakukan witir. Maka demikianlah, shalat tigabelas raka’at.”[HR Abu Dawud, bab fi Shalat al-Lail]

Dalil lain yang digunakan Dewan Tarjih Muhammadiyah adalah hadist dari Abu Salamah yang artinya sebagai berikut:

“Diriwayatkan dari Abu Salamah Ibn ‘Abdul Rahman bahwa, ia bertanya kepada ‘Aisyah r.a bagaimana shalat Rasulullah saw di bulan Ramadlan. ‘Aisyah menjawab: Baik di bulan Ramadlan ataupun bukan bulan Ramadlan Rasulullah saw melakukan shalat (lail) tidak lebih dari sebelas raka’at. Beliau shalat empat raka’at; dan jangan ditanyakan tentang baik dan panjangnya shalat yang beliau lakukan. Kemudian shalat lagi empat raka’at; (demikian pula) jangan ditanyakan tentang baik dan panjangnya shalat yang beliau lakukan. Lalu beliau shalat tiga raka’at.”(HR al-Bukhari, Kitab Shalat at-Tarawih, Bab Man Qama Ramadlan)

Mengenai cara pelaksanaannyanya, tentang berapa raka’at lalu salam, HPT menyatakan: “Jika engkau hendak mengerjakan shalat dengan cara lain, maka yang sebelas raka’at itu boleh engkau kerjakan dua-dua raka’at, atau empat-empat raka’at seperti di atas, atau di enam raka’at.” Di samping juga dinyatakan: “Atau delapan raka’at terus menerus dan hanya duduk pada penghabisan salam.”

Dalil yang dijadikan rujukan adalah hadis Abdullah bin Abu Qais dan hadist Abi Salamah, yang artinya:

Abdullah bin Abu Qais bertanya kepada Aisyah “Berapa raka’at Rasulullah shalat witir?” Ia menjawab: “Ia kerjakan witir empat lalu tiga atau enam lalu tiga, atau delapan lalu tiga atau sepuluh lalu tiga, ia tak pernah berwitir kurang dari tujuh raka’at dan tidak lebih dari tiga belas.” (HR. Abu Dawud)

 

Selain itu juga berdasar pada hadis Abu Salamah, yang artinya:

 

Pernah Abu Salamah bertanya kepada Aisyah tentang shalat Rasulullah, maka ia menjawab: “Ia kerjakan tiga belas raka’at. Ia shalat delapan raka’at kemudian shalat witir lalu shalat dua raka’at sambil duduk kalau ia hendak ruku’ ia bangkit lalu ruku’. Kemudian dari pada itu ia shalat dua raka’at antara adzan dan iqamah pada shalat shubuh. (HR. Muslim)

Diterangkan riwayat Abu Dawud dari Qatadah, kadanya: “Nabi shalat delapan raka’at dengan tidak duduk (tahiyat) kecuali pada raka’at yang kedelapan. Dalam duduk itu membaca dzikir dan doa kemudian membaca salam dengan salam yang terdengar sampai kepada kami; lalu shalat dua raka’at sambil duduk setelah ia baca salam, kemudian ia shalat lagi satu raka’at. Itulah sebelas raka’at semuanya, hai anakku.” (HR. Abu Dawud)

 

Mengenai hadis Abdullah bin Qais, Tarjih memberi catatan penjelasan bahwa yang dimaksud Shahabat Abdullan bin Abi Qais pada pernyayaannya ialah bilangan raka’at yang dikerjakan oleh Nabi sepanjang malam hari.

Sedangkan mengenai surat yang dibaca setelah al-Fatihah di setiap raka’at shalat lain, Tarjih tidak menentukan nama suratnya, melainkan hanya menyebutnya surat dari Al-Qur’an.

Dasarnya ialah hadis dari Aisyah, yang artinya:

Aisyah pernah ditanya tentang shalat Rasulullah di tengah malam lalu ia mengatakan: “Ia kerjakan shalat Isya dengan berjamaah kemudian ia kembali kepada keluarganya, lalu shalat empat raka’at kemudian ia pergi ke peraduannya lalu tidur, di arah kepalanya terletak tempat air wudhu yang ditutupi dan sikat gigi, sampai ia dibangunkan Allah pada saat ia dibangunkan pada tengah malam, ia lalu menggosok giginya dan berwudhu, dengan sempruna kemudian pergi ke tempat shalat lalu ia shalat delapan raka’at.

“Dalam raka’at-raka’at itu ia membaca fatihah dan surat al-Quran dan ayat-ayat lainnya. Ia tidak duduk (untuk tahiyat awal) selama itu kecuali pada raka’at ke delapan dan tidak menutup dengan salam. Pada raka’at ke sembilan ia membaca seperti seblumnya lalu duduk tahiyat akhir membaca doa dengan macam-macam doa dan mohon kepada Allah serta menyatakan keinginannya kemdian ia membaca salam sesekali dengan suara keras yang hampir membangunkan isi rumah karena nyaringnya. Kemudian ia shalat sambil duduk dengan memabca Fatihah dan ruku’ sambil duduk lalu ia kerjakan raka’at kedua serta ruku’ dan sujud sambil duduk kemudian membaca doa sepuas hatinya dan akhirnya menutup dengan salam dan lalu bangkit pergi.

“Demikianlah selalu shalat Rasulullah sampai akhirnya bertambah berat badannya. Maka lalu yang sembilan raka’at itu dikurangi dua sehingga menjadi enam dan tujuh ditambah dua raka’at yang dikerjakan sambil duduk. Demikianlah dikerjakan sampai Nabi wafat. (HR Abu Dawud)

 

Tarjih menerangkan mengenai bilangan enam dan tujuh dalam hadis di atas, yaitu bahwa Nabi mengerjakan shalat enam raka’at lalu duduk untuk tahiyat awwal kemudian berdiri dan pada raka’at ketujuh menutupnya dengan salam lalu shalat dua raka’at sambil duduk”. Dari hadis tersebut di atas itulah didapati pengertian mengenai mudahnya mengerjakan shalat lail, sehingga tidak mengharuskan bilangan raka’at sebelas, tetapi asalkan gasal.

Abdul Munir Mulkhan menulis, apa yang tercantum di HTP Muhammadiyah dalam masalah shalat lail berbeda dengan praktik kebiasaan di kalangan warga Muhammadiyah, khusunya yang menyangkut jumlah raka’at. Hal ini juga bisa dilihat pada putusan Tarjih mengnai jumlah raka’at witir.

b.     Shalat witir

Kalau dalam praktik dan kebiasaan warga Muhammadiyah melakukan witir 3 raka’at, dalam HTP diterangkan bahwa witir tidak harus 3 raka’at. Melainkan, bisa 1, 3, 5, atau 9 raka’at. Dasar pelaksanaan witir 3 raka’at adalah sebagaimana hadis dari Aisyah tersebut di atas.

Berikut akan dikemukakan penjelasan Tarjih mengenai ragam jumlah raka’at witir, sebagaimana telah ditulis Abdul Munir Mulkhan (2007):

a.   Satu atau tiga raka’at. Ragam jumlah raka’at witir satu atau tiga demikian berdasarkan dua buah hadis Aisyah yang artinya sebagai berikut:

    “Adapun Rasulullah mengerjakan shalat pada waktu antara ia selesai shalat Isya yaitu yang orang namakan ‘atamah hingga fajar sebelas raka’at dengan membaca salam antara dua raka’at lalu shalat witir satu raka’at, kemudian apabila muadzin telah selesai seruan shubuhnya, dan terlihat olehnya akan fajar dan Bilal menghampirinya ia lalu shalat dua raka’at singkat-singkat kemudian berbaring pada lambung kanan sampai muadzin datang kepadanya untuk seruan iqamah”. (HR. Bukhari dan Muslim)

 

 Dasar lainnya adalah:

   “Asisyah menerangkan: “Adapun Rasulullah mengerjakan shalat witir tiga raka’at dengan tidak dipisah-pisahkan (HR. Ahmad, Nasai, Baihaqi, dan Hakim mengatakan bahwa hadis shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim)

 

b. Lima atau tujuh raka’at. Penjelasan tarjih mengenai jumlah raka’at witir  menyatakan bahwa bilangan raka’at witir dpat terdiri dari lima atau tujuh raka’at dengan duduk pada penghabisannya. Dasar dari ragam jumlah raka’at witir di ata ialah hadis Abu Hurairah, Airyah, Ummi salamah dan Ibnu Abbas.

Hadis Abu Hurairah, yang artinya:

Dari Nabi Saw, ia berkata: “Jangan mengerjakan witir tiga raka’at seperti shalat maghrib (dengan tahiyat awal). Hendaklah kamu kerjakan lima atau tujuh raka’at”. (HR. Daraquthni, Ibu Hibban, dan Hatim dengan kata-kata yang berbeda. Kata al Iraqi sanadnya shohih)

Hadist Aisyah, yang artinya:

Rasulullah sering mengerjakan shalat malam tiga belas raka’at dengan perhitungan lima daripadanya selaku witir yang ia kerjakan terusan tanpa duduk kecuali pada akhirny” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadist Ummi Salamah, yang artinya:

“Rasulullah selalu mengerjakan witir tujuh atau lima raka’at tanpa dipisah antara semuanya dengan bacaan salam atau lainnya.(HR. Nasai dan Ibnu Majah)

Dan hadis Ibnu ‘Abbas, yang artinya:

“Kemudian Nabi shalat tujuh atau lima raka’at dengan pengertian witir, yang tidak ia memabca salam kecuali pada raka’at terakhir.”(HR. Abu Dawud)

c.   Tujuh raka’at. Penjelasan tarjih mengenai ragam bilangan witir menyatakan bahwa berjumlah tujuh raka’at dengan duduk tasyahud awwal pada raka’at keenam dan diakhiri pada raka’at ketujuh dengan duduk untuk salam. Dasarnya ialah hadis Sa’ad bin hisyam, yang artinya sebagai berikut:

 

   “Maka setelah ia bertambah berat badannya karena usia lanjut, ia kerjakan witir tujuh raka’at dengan hanya duduk antara yang keenam dan yang ketujuh untuk hanya membaca salam pada raka’at yang ketujuh.”(HR. Ahmad, Nasai, dan Abu Dawud)

d.    Sembilan Raka’at. Tarjih menyatakan bahwa ragam jumlah bilangan raka’at witir ada yang mencapai sembilan raka’at. Dalam hal ini tarjih menyatakan bahwa jumlah witir ialah sembilan raka’at dengan duduk tasyahud awwal pada raka’at kedelapan dan diakhiri pada raka’at kesembilan dengan duduk untuk salam.

     Penjelasan mengenai jumlah raka’at sebanyak sembilan raka’at tersebut didasarkan sumber dalil dari hadis Aisyah sebagaimana telah dikutip dalam bahasan mengenai ketentuan membaca fatihah dan surat dari al-Qur’an sebagaimana telah tersebut di atas.

Kemudian, mengenai surat-surat yang dibaca dalam shalat witir sebagaimana kebiasaan Rasulllah, dalam HTP dijelaskan bahwa surat yang dibaca ialah surat al-A’la sesudah membaca al-Fatihah pada raka’at pertama. Selanjutnya, membaca surat al-Kafirun pada raka’at kedua, sementara itu surat al-Ikhlas dibaca pada raka’at ketiga. Cara demikian ini berdasarkan hadis Ubai Bin Ka’ab yang artinya:

Bahwasannya, Nabi saw pada shalat witir, ia membaca: “Sabbihisma rabikal a’la dan “Qul ya-ayyuhal kafirun” pada raka’at kedua dan: “Qulhuwallahu ahad’ pada raka’at ketiganya.”(HR. Nasai dan Tirmidzi serta Ibnu majah)

Demikianlah pendapat Muhammadiyah berkaitan dengan shalat lail, qiyamu Ramadhan, atau tarawih dan juga shalat witir. Ternyata memang cukup panjang sehingga dimasukkan dalam sub bab khusus, tidak digabung dengan shalat sunnah atau ‘tathawwu’ yang lain.

3.        Bagi perempuan yang hamil dan menyusui apakah wajib puasa qodlo jika sudah bayar fidyah

           Jawaban Bpk Mua’mmal Hamidy, Lc. Secara garuis besar Sbb :

            Bahwa perempuan yang hamil dan menyusui dan sudah membayar fidyah tidak perlu untuk mengganti (mengqodlo   puasanya) pada hari-hari lain :

Tambahan Rujukan :

Perempuan yang melahirkan dan darah nifasnya masih mengalir, tak boleh berpuasa Ramadhan, karena di antara syarat sah puasa adalah suci dari nifas. Jika darah nifas sudah berhenti mengalir, dan masih dalam bulan Ramadhan, dia wajib kembali berpuasa Ramadhan. Jika berhentinya darah nifas sebelum waktu Subuh lalu dia baru mandi setelah masuknya waktu Subuh, puasanya sah. Inilah pendapat jumhur ulama, kecuali pendapat sebagian ulama seperti Imam Auza’i, juga salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Maliki, yang mensyaratkan mandi sebelum masuk waktu Subuh. Namun yang rajih (kuat) pendapat jumhur ulama. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/616; Mahmud Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 45).

Perempuan yang tak puasa Ramadhan karena nifas, wajib mengganti dengan mengqadha`, bukan dengan membayar fidyah. Tak ada perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini. Imam Ibnu Qudamah berkata, ”Telah sepakat ulama bahwa perempuan yang haid dan nifas tidak halal berpuasa Ramadhan…namun mereka wajib mengqadha` puasa yang ditinggalkannya.” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 5/30).

Dalilnya hadits dari ‘Aisyah ra yang berkata, ”Dahulu kami mengalaminya [haid], maka kami diperintah untuk mengqadha` puasa tapi tak diperintah untuk mengqadha` shalat.” (HR Muslim No 763). Hadits ini menunjukkan perempuan yang haid wajib mengqadha` puasanya, demikian pula perempuan yang nifas, karena nifas semakna dengan haid berdasarkan ijma’ ulama. (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 5/30; Muhammad Abdurrahman Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah, hlm. 66; Yusuf Qaradhawi, Fiqh As Shiyam, hlm. 39; Ali Raghib, Ahkam As Shalah, hlm. 119).

Adapun perempuan hamil dan menyusui, tak ada khilafiyah di antara ulama keduanya boleh tak berpuasa Ramadhan. Sabda Nabi SAW, ”Sesungguhnya Allah SWT telah menanggalkan bagi musafir setengah [kewajiban] shalatnya dan juga [kewajiban] puasanya, dan bagi perempuan hamil dan menyusui, [kewajiban] puasanya.” (HR Ibnu Majah, Nasa`i, Tirmidzi). (Mahmud Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 53).

Namun ulama berbeda pendapat mengenai syarat perempuan hamil dan menyusui boleh tak berpuasa Ramadhan. Apakah disyaratkan mereka khawatir akan dirinya, janinnya, dan bayi yang disusuinya; ataukah hanya karena hamil dan menyusui? Sebagian ulama berpendapat, jika perempuan yang hamil dan menyusui khawatir akan dirinya, atau anaknya (janin/bayi yang disusui), dia boleh tak berpuasa. Ini pendapat rajih dalam madzhab Syafi’i dan pendapat Imam Ahmad. Namun sebagian ulama berpendapat, perempuan yang hamil dan menyusui secara mutlak boleh tak berpuasa, baik ada kekhawatiran atau tidak, baik khawatir akan dirinya atau anaknya. Ini pendapat Syeikh Ali Raghib. (Muhammad Abdurrahman Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah, hlm.66; Ali Raghib, Ahkam As Shalah, hlm. 121).

Yang rajih menurut kami pendapat bahwa jika perempuan hamil khawatir akan dirinya, dan perempuan menyusui khawatir akan bayi yang disusuinya, boleh mereka tak berpuasa. Jika kekhawatiran itu tak ada, tidak boleh tak berpuasa. Dalilnya dari Anas bin Malik ra bahwa Nabi SAW memberi rukhsah kepada perempuan hamil yang khawatir akan dirinya dan perempuan menyusui yang khawatir akan anaknya untuk tak berpuasa. (HR Ibnu Majah no 1668; Mahmud Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 53).

Apakah perempuan hamil dan menyusui wajib mengqadha` puasanya? Sebagian ulama, seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, membolehkan mengganti puasa dengan fidyah, tidak mewajibkan qadha`. Namun yang rajih adalah pendapat mayoritas ulama yang mewajibkan qadha`. Sebab pendapat Ibnu Abbas itu diragukan, mengingat dalam Mushannaf Abdur Razaq (no 7564) Ibnu Abbas justru berpendapat sebaliknya, yaitu wajib mengqadha` dan tak boleh membayar fidyah. Wallahu a’lam. (Ustadz Shiddiq al Jawi)

4.        Tentang Rokaat Sholat tarawih dan Witir di Bulan Romadlon

           Jawaban Bpk Mua’mmal Hamidy, Lc. Secara garuis besar Sbb :

Ada beberapa macam silahkan pilih dan ada dimateri print out beliau , termasuk ada yang memilih sholat iftitah dipersilahkan, lihat dasar naqli di bawah ini.

Delapan raka'at genap  2,2, dengan 4   x salam dan 3 raka'at witir dengan sekali salam

936 - عَنْ ابْنِ عُمَرَأَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ

صَلَاةِ اللَّيْلِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ عَلَيْهِ السَّلَام صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ

أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى(متفق عليه )

Artinya : Ibnu Umar meriwayatkan, bahwa ada seorang bertanya kepada Rasulullah Saw tentang cara shalat malam. Maka jawab Rasulullah Saw : Shalat malam itu dua, dua. Kemudian jika seseorang di antara kamu takut datangnya waktu subuh, maka cukup shalat satu raka'at saja yaitu shalat witir, maka baginya sudah dapat apa dia maksud (dengan shalat malam itu). (HR Bukhari dan Muslim).

     (b). Delapan raka'at 4,4, dengan 2 x salam, dan 3 raka'at witir dengan sekaali salam

       (c).  Sepuluh raka'at, 2,2, dengan 5 x salam, dan 1 raka'at.

1216 - عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ :كَانَ رَسُولُ

اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ وَهِيَ

الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُــلِّ

رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَتَبَيَّنَ لَهُ الْفَجْرُ

وَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ

حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ لِلْإِقَامَةِ( رواه مسلم )

Artinya : Aisyah isteri Nabi Saw, meriwayatkan, katanya : Rasulullah Saw pernah shalat (malam) usai shalat isya' yang sering orang menyebutnya dengan 'atamah (gelap) sampai fajar, sebanyak sebelas raka'at, yaitu beliau salam dalam setiap dua raka'at, dan witir hanya seraka'at. Kemudian jika mu'adzin yang bertugas adzan subuh itu sudah diam, maka beliau shalat dua raka'at dengan cepat, lalu berbaring ke sebelah kanan, hingga datanglah mu'adzin untuk qamat. (HR Muslim).

       (d). Sebelum tarawih didahului dengan shalat 2 raka'at, yang disebut shalat iftitah. Sehingga seluruhnya berjumlah 13 raka'at.

1286 - عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ :كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا

قَامَ مِنْ اللَّيْلِ لِيُصَلِّيَ افْتَتَحَ صَلَاتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ( رواه مسلم واحمد )

Artinya : Aisyah mengatakan : Rasulullah Saw apabila bangun malam (untuk shalat malam), beliau membukanya dengan dua raka'at cepat. (HR Muslim dan Ahmad).

5.        Umrah berkali-kali

Jawaban Bpk Mua’mmal Hamidy, Lc. Secara garuis besar Sbb :

Boleh umrah berkali-kali tetapi memang harus imbang dengan ibadah sosial

Umat Islam Indonesia Masih Mementingkan Kesalehan Individual

Tulisan kali ini saya tulis ulang dari sebuah buku karya KH. Ali Mustafa Yakub yang berjudul Umat Islam Masih Mementingkan Kesalehan Individual. Umat islam Indonesia saat ini tetap getol beribadah Umroh di bulan Ramadhan sebagai wujud ibadah individual, sementara masih banyak anak yatim dan orang miskin yang perlu di santuni. Sementara fenomena lainnya masih banyaknya masyarakat Indonesia yang berhaji atau naik haji berulang kali.

Menurut beliau, hal itu suatu pemborosan, karena uang ongkos haji itu bisa dimanfaatkan untuk amal lain yang bersifat sosial. Menurut beliau, kalau pahala yang menjadi tolak ukurnya, maka justru menyantuni anak yatim lah yang memiliki nilai lebih tinggi, karena si penyantun itu kelak akan bersama Nabi di surga. Sedangkan masalah naik haji dijanjikan surga saja, tanpa ada penjelasan bahwa di surga ia akan berkumpul dengan Nabi saw.

Dalam Ilmu fiqih, ibadah sosial disebut ibadah muta’addiyah, yaitu ibadah yang manfaatnya dirasakan oleh orang yang melakukan ibadah itu dan orang lain. Infak, sedekah, wakaf adalah ibadah muta’addiyah. Sementara ibadah individual dalam ilmu fiqih disebut ibadah qashirah, yaitu ibadah yang hanya dirasakan manfaatnya oleh pelaku. Nah, haji yang kedua kali, ketiga dan seterusnya serta umrah merupakan ibadah qashirah. Nabi saw. ternyata lebih memilih ibadah muta’addiyah dari pada ibadah qashirah, karena beliau tercatat hanya melakukan haji satu kali dan umrah dua kali.

Menurut beliau, dalil ayat al-Qur’an maupun hadist justru lebih banyak yang menjelaskan soal ibadah sosial dari pada ibadah individual. Seperti yang tampak pada surat al-Muddaststir ayat 42 hingga 44 yang berbunyi : Apakah yang memasukkan kamu ke dalam saqar (neraka) ? Mereka menjawab, Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin.

Jadi ketidakperdulian kita terhadap orang miskin dan kaum dhuafa yang membutuhkan bantuan dapat membawa kita masuk ke neraka Allah, ujar beliau. Bahkan dalam sebuah hadist Qudsi yang diriwayatkan Imam Muslim, saking pentingnya kita menyantuni orang-orang yang perlu santunan, Allah mengatakan, Wahai anak Adam, Aku ini kelaparan, tapi kamu tidak mau memberi makan kepada Ku. Anak Adam menjawab, Bagaimana mungkin aku memberi makan kepada Engkau, padahal Engkau adalah rabbul’alamin. Allah menjawab lagi, Tahukah engkau wahai anak Adam, hamba-Ku yang bernama Fulan bin Fulan kelaparan, kalau engkau memberi makan, engkau akan mendapati-Ku ada di sana.

Beliau juga menghimbau umat untuk melakukan reorientasi atas ibadahnya. Jika selama ini hanya yang individual saja yang dipentingkan, maka perlu diubah ke arah sosial. Jika umat dihadapkan pada pilihan antara ibadah sosial dan individual, maka pilihlah ibadah sosial sebagaimana yang Nabi saw. ontohkan. Umat Islam Indonesia masih cenderung melaksanakan shalat sendiri-sendiri dibanding berjamaah, sehingga tidak heran banyak tempat-tempat ibadah umat Islam yang megah tetapi tidak mampu menyemarakkan syiar Islam, ujar beliau prihatin. Padahal, menurut beliau hampir semua orang sudah mengetahui kualitas berlipat yang dimiliki shalat berjamaah dibanding shalat sendiri.

Demikian ulasan singkat dari Blogger Poetra Borneo yang merupakan kesimpulan dan tulisan ulang tentang Umat Islam Indonesia Masih Mementingkan Kesalehan Individual yang bersumber dari buku karya KH. Ali Mustafa Yakub.

 

BAB V

KESIMPULAN

 

1. Nara sumber datangtepat waktu

2. Jumlah kehadiran tamu undangan tidak sesuai harapan

3. Secara umum pelaksanaan berjalan lancar

4. Peserta pengajian sangat antusias/semangat tinggi

5. Permasalahan dan pemecahannya sudah di jabarkan dan dapat di baca langsung di BAB III

6. Perlu evaluasi pelaksanaan untuk yang akan datang,khususnya tentang jumlah kehadiran tamu undangan.

BAB VI

PENUTUP

PDM Kabupaten Kediri ,Majelis Tarjih dan Majelis tablighmengucapkan terimakasih atas kehadiran para tamu undangan ,mohon maaf apabiladi dalam penyelenggaraannya kurang nyaman, semogamenjadi amal sholeh dan ilmu yang diperoleh bermanfaat,maslahah fiddun ya wal akhiroh, Amiin ya rabbal'aalamiin

 

      Kediri, 15 Juli 2013

      Ketua Pelaksana

 

 

 

      Drs. H. ZAINAL MUSTAFA,MM.

                     NBM. 685. 804.

 

 

                          


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori:



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website