PDM Kabupaten Kediri - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Kediri
.: Home > Artikel

Homepage

Kumpulan Fatwa M Tarjih Tahun 2007 (29 Fatwa)

.: Home > Artikel > PDM
25 April 2014 08:07 WIB
Dibaca: 6173
Penulis :

ZAKAT DALAM HPT DAN AL-AMWAL FIL ISLAM (1)

 

Pertanyaan dari: Soedjarwo, Wakil Ketua PCM Subah, Batang

(disidangkan pada hari Jum'at, 21 Muharram 1428 H / 9 Februari 2007 M)

 

 

Pertanyaan:

 

Di daerah kami akan dilaksanakan zakat dengan menggunakan rumus:

 

1.K – H = + (wajib mengeluarkan zakat)

2.K – H = 0 (belum sampai nishab)

3.K – H = - (dlu’afa).

 

Keterangan:K adalah kekayaan terpadu, H adalah hutang terpadu.

 

Yang kami tanyakan adalah : Apakah Muhammadiyah Cabang Subah Daerah Batang boleh mengikuti model penetapan zakat seperti di atas yang bertentangan dengan HPT dan al Amwal fil Islam?

 

Jawaban:

Putusan Tarjih –baik yang sudah dimuat dalam buku Himpunan Putusan Tajih (HPT) atau yang belum dibukukan- adalah putusan yang dihasilkan oleh Muktamar Tarjih atau Muktamar Khususi yang diselenggarakan pada masa-masa periode terdahulu dan yang akhir-akhir ini diputuskan oleh Musyawarah Nasional Tarjih.

Muktamar Tarjih atau Muktamar Khususi atau Musyawarah Nasional Tarjih adalah lembaga tertinggi dalam persyarikatan Muhammadiyah yang berwenang untuk memutuskan permasalahan-permasalahan keagamaan. Putusan Tarjih setelah ditanfidz oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah berlaku mengikat bagi segenap jajaran persyarikatan Muhammdiyah pada semua tingkatan. Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, Pimpinan Daerah Muhammadiyah, Pimpinan Cabang Muhammdiyah dan Pimpinan Ranting Muhammadiyah bertugas memimpin dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan/instruksi Pimpinan Pusat dan Unsur Pembantu Pimpinan Pusat.

Untuk lebih jelasnya kami kutipkan:

1.      Anggaran Dasar Muhammadiyah pasal 34:

(1)   Tanfidz adalah pernyataan berlakunya keputusan Muktamar, Tanwir, Musyawarah, dan Rapat yang dilakukan oleh Muhammadiyah masing-masing tingkat.

(2)   Keputusan Muktamar, Tanwir, Musyawarah, dan Rapat berlaku sejak ditanfidzkan oleh Pimpinan Muhammadiyah masing-masing tingkat.

2.      Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah:

a.       Pasal 11 ayat (1) huruf b: Pimpinan Wilayah bertugas: memimpin dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan/instruksi Pimpinan Pusat dan Unsur Pembantu Pimpinan.

b.      Pasal 12 ayat (1) huruf b: Pimpinan Daerah bertugas: memimpin dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan/instruksi Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, serta Unsur Pembantu Pimpinannya.

c.       Pasal 13 ayat (1) huruf b: Pimpinan Cabang bertugas: memimpin dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan/instruksi Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah serta Unsur Pembantu Pimpinannya.

d.      Pasal 14 ayat (1) huruf b: Pimpinan Ranting bertugas: memimpin dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan/instruksi Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang serta Unsur Pembantu Pimpinannya.

Berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang dan Pimpinan Ranting, harus melaksanakan segala keputusan Pimpinan Pusat termasuk Putusan Tarjih. Berkaitan dengan pertanyaan saudara, maka secara organisatoris segenap jajaran Muhammadiyah harus melaksanakan pelaksanaan zakat sesuai dengan keputusan resmi Muhammadiyah seperti yang termaktub di dalam HPT dan al-Amwal fil-Islam, tidak terkecuali pada tingkat wilayah, daerah, cabang dan ranting manapun.

 

Wallahu a‘lam bish-shawab. *dw)

 

HUKUM BANTUAN “BODONG” (2)

 

Pertanyaan dari: Mudrikah Budiarti, Bendahara PWA Propinsi Lampung

(disidangkan pada hari Jum'at, 21 Muharram 1428 H / 9 Februari 2007 M)

 

 

Pertanyaan:

 

Sudah sering kita dengar bahwa sekolah-sekolah dan amal usaha Muhammadiyah menerima bantuan-bantuan “bodong”. Itu istilah umum untuk dana bantuan yang besarnya berbeda antara kuitansi/laporan dengan nominal yang diterima. Bahkan sudah umum bantuan dari instansi/departemen dengan potongan sekian persen tanpa tanda terima dan sebagian besar orang menganggap hal itu sebagai hal yang wajar. Saya dalam hal ini sebagai bendahara merasa tidak punya pegangan aturan yang pasti selain mengikuti keputusan rapat pleno. Mohon dengan sangat melalui Majelis Tarjih dan Tajdid yang saya kira paling berwenang, memberikan fatwanya.

 

 

Jawaban:

 

Dari pertanyaan yang Ibu sampaikan dapat kiranya dikatakan bahwa telah terjadi pemotongan atau pengambilan sebagian dana (uang) bantuan untuk amal usaha Muhammadiyah secara tidak sah oleh pihak atau oknum yang mengurusi penyaluran bantuan tersebut. Akibat pemotongan tersebut, maka dana (uang) bantuan menjadi berkurang, namun dalam laporan (administrasi) harus disebutkan diterima secara utuh dan penuh.

Terhadap perbuatan tersebut dapat diberi penjelasan sebagai berikut:

1.      Pihak atau oknum yang diberi amanat untuk menyalurkan dana (uang) bantuan yang memotong secara tidak sah tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan pengkhianatan terhadap amanah. Perbuatan ini dilarang dalam agama. Allah berfirman:

$pkš‰r'¯»tƒz`ƒÏ%©!$#(#qãZtB#uäŸw(#qçRqèƒrB©!$#tAqߙ§9$#ur(#þqçRqèƒrBuröNä3ÏG»oY»tBr&öNçFRr&urtbqßJn=÷ès?. [الأنفال، 8: 27]

Artinya:     “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” [QS. al-Anfal (8): 27]

2.      Pihak atau oknum pegawai yang memotong dana (uang) bantuan, termasuk melakukan perbuatan ghulul (korupsi). Perbuatan mi dilarang oleh agama. Allah berfirman:

$tBurtb%x.@cÓÉ<oYÏ9br&¨@äótƒ4`tBurö@è=øótƒÏNù'tƒ$yJÎ/¨@xîtPöqtƒÏpyJ»uŠÉ)ø9$#4§NèO4’¯ûuqè?‘@à2<§øÿtR$¨BôMt6|¡x.öNèdurŸwtbqßJn=ôàãƒ. [آل عمران، 3: 161]

Artinya:     “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” [QS. Ali Imran (3):161]

Dalam hadits disebutkan:

عَنْ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ. [رواه أبو داود]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Buraidah dari ayahnya dari Nabi saw, beliau bersabda: Barangsiapa yang telah kami angkat sebagai pegawai dalam suatu jabatan kemudian kami berikan gaji, maka sesuatu yang diterima di luar gaji itu adalah korupsi.” [HR. Abu Daud]

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ. [رواه أحمد]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Humaid as Sa‘idy bahwa Rasulullah saw bersabda: Hadiah yang diterima para pegawai adalah korupsi.” [HR. Ahmad]

3.      Pihak yang menerima yang menyetujui dana (uang) bantuan yang telah dipotong, dapat dikategorikan sebagai persengkokolan atau secara langsung atau tidak langsung memberi bantuan untuk melakukan tindakan ma‘shiyat (melawan hukum Allah) atau perbuatan dosa. Perbuatan sepeerti itu dilarang oleh agama. Allah berfirman:

(#qçRur$yès?ur’n?tãÎhŽÉ9ø9$#3“uqø)­G9$#ur(Ÿwur(#qçRur$yès?’n?tãÉOøOM}$#Èbºurô‰ãèø9$#ur. [المآئدة، 5: 2]

Artinya: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [QS. al-Maidah (5): 2]

4.      Pihak penerima dana (uang) bantuan setelah dilakukan pemotongan, kemudian melaporkan atau menuliskan secara utuh dan penuh seolah-olah tidak ada pemotongan, perbuatan seperti itu adalah merupakan sebuah kebohongan. Agama melarang kebohongan dan menjadikan sebagai sebagian dari tanda-tanda orang munafik. Dalam hadits disebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ. [متفق عليه]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu: apabila berkata ia bohong, apabila berjanji ia tidak menepati, apabila dipercaya ia berkhianat.” [Muttafaq ‘alaih]

Berdasar pada dalil-dalil di atas, jelas bahwa pemotongan dana (uang) bantuan sebagaimana yang Ibu sebutkan adalah termasuk perbuatan munkar atau ma’shiyat atau perbuatan yang dilarang oleh agama. Terhadap posisi Ibu, sebagai bendahara yang tidak dapat tidak harus mengikuti keputusan pleno, maka jika keputusan itu mentolerir adanya pemotongan, kami bependapat posisi Ibu dalam keadaan terpaksa atau darurat atau setidak-tidaknya dalam posisi menghadapi sesuatu yang sangat sulit untuk ditolak.

Menghadapi perbuatan mungkar tersebut, Islam mengajarkan agar berusaha dan berani mencegahnya. Allah berfirman:

`ä3tFø9uröNä3YÏiB×p¨Bé&tbqããô‰tƒ’n<Î)Ύösƒø:$#tbrããBù'tƒurÅ$rã÷èpRùQ$$Î/tböqyg÷ZtƒurÇ`tã̍s3YßJø9$#4y7Í´¯»s9'ré&urãNèdšcqßsÎ=øÿßJø9$#. [آل عمران، 3: 104]

Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” [QS. Ali Imran (3); 104]

tbqãZÏB÷sßJø9$#uràM»oYÏB÷sßJø9$#uröNßgàÒ÷èt/âä!$uŠÏ9÷rr&<Ù÷èt/4šcrâßDù'tƒÅ$rã÷èyJø9$$Î/tböqyg÷ZtƒurÇ`tã̍s3ZßJø9$#. [التوبة، 9: 71]

Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar.” [QS. at-Taubah (9): 71]

Dalam hadits diterangkan:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ. [رواه مسلم عن أبي سعيد]

Artinya: “Barangsiapa di antara kamu yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangan (kekuatan)nya: jika tidak dapat, maka dengan lisannya; dan jika tidak dapat, maka dengan hati (do‘a)nya; dan hal yang demikian itu adalah iman yang paling lemah.” [HR. Muslim dari Abu Sa’id]

إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الْمُنْكَرَ لاَ يُغَيِّرُونَهُ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمْ اللهُ بِعِقَابِهِ. [رواه ابن ماجه عن قيس بن أبي حازم]

Artinya: Sesungguhnya manusia jika melihat kemungkaran tidak melakukan perubahan, maka dikhawatirkan Allah akan menimpakan adzabnya. [HR. Ibnu Majah dari Qais Ibn Abi Hazim]

Mengingat bahwa Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dakwah Amar Maruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah; maka sudah seharusnya warga Muhammadiyah memulai dari diri sendiri untuk memberantas pemotongan dana (uang) bantuan seperti yang disebutkan di atas, karena hal itu merupakan salah satu bentuk dan praktik korupsi. Untuk Iebih memperluas wawasan tentang pemberantasan korupsi dalam pandangan ulama Muhammadiyah, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menerbitkan buku berjudul: FIKIH ANTI KORUPSI PERSPEKTIF ULAMA MUHAMMADIYAH.

 

Wallahu a‘lam bish-shawab. *dw)

 

ZAKAT HARTA DAGANGAN

DAN BAGIAN UNTUK FI SABILILLAH (3)

 

Pertanyaan dari: Hasyamba di Boyolali

(disidangkan pada hari Jum'at, 21 Muharram 1428 H / 9 Februari 2007 M)

 

 

Pertanyaan:

 

1.      Bolehkah menghitung zakat harta dagangan dengan cara menghitung penjualan per hari, per bulan selama satu tahun, kemudian kami ambil labanya. Dari hasil laba itu kami keluarkan 2,5% sebagai zakatnya?

2.      Kalau di lingkungan kami tidak ada 8 ashnaf, bolehkah kami membagi kepada ashnaf yang ada saja?

3.      Bolehkah sebagian zakat untuk pembangunan masjid sebagai ashnaf sabilillah?

 

Jawaban:

1.      Dalam zakat perdagangan tidak ditentukan jenis barang dagangannya. Yang ditentukan adalah jumlah harga barang dagangan beserta keuntungannya telah mencapai nishab (seharga 85 gram emas murni) dan haul (satu tahun). Oleh karena itu dalam menghitung harga barang dagangan beserta keuntungannya tidak harus dengan menghitung satu per satu jenis barang, melainkan dengan menghitung  dalam satu tahun seluruh modal yang berupa barang dagangan itu, ditambah seluruh keuntungan baik berupa uang tunai maupun berupa piutang seperti tabungan, deposito dan lain-lain. Dari hasil perhitungan di atas (perhitungan bersih/netto), jika telah mencapai nishab maka harus dikelurkan zakatnya yakni sebesar 2,5 % dari jumlah seluruh keuntungan dan harta dagangan (modal) tersebut. Jadi yang dihitung untuk dikeluarkan zakatnya bukan hanya dari keuntungannya saja. Dalam cara menghitung ini Syara’ (agama) tidak menentukan secara detail. Namun Islam menuntunkan agar orang mencari dan menggunakan cara (jalan) yang mudah selagi yang mudah ini tidak melanggar ketentuan Syara’, yakni tidak terjadi manipulasi sehingga akan merugikan. Dalam al-Qur’an disebutkan:

߉ƒÌãƒª!$#ãNà6Î/tó¡ãŠø9$#Ÿwur߉ƒÌãƒãNà6Î/uŽô£ãèø9$#. [البقرة، 2: 185]

Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [QS. al-Baqarah (2): 185]

$tBurŸ@yèy_ö/ä3ø‹n=tæ’ÎûÈûïÏd‰9$#ô`ÏB8ltym. [الحج، 22: 78]

Artinya: “Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” [QS. al-Hajj (22): 78]

Dalam hadits dijelaskan:

يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا. [رواه ابن ماجه عن أنس]

Artinya: “Mudahkanlah dan jangan mempersukar.” [HR. Ibnu Majah dari Anas]

Jika dengan menghitung per hari, per bulan dalam satu tahun dipandang paling mudah, sehingga akan dapat menghasilkan perhitungan yang tepat/akurat sesuai dengan ketentuan nishab dan haul di atas, menurut hemat kami dapat dilakukan. Memang dengan melakukan perhitungan per hari, per bulan dalam satu tahun itu akan lebih dapat menghindari kekeliruan dan kelupaan. Sebab sesuatu yang sudah berlalu dalam tempo yang relatif lama, akan menjadikan orang pada umumnya mudah lupa. Dan kelupaan ini sangat berpotensi untuk berakibat terjadinya kekeliruan.

Namun jika dengan perhitungan per hari per bualan dalam satu tahun mengakibatkan hasil perhitungan yang tidak tepat/yang tidak akurat, maka sekalipun dipandang mudah, tentu yang dipertahankan adalah mencari kebenaran bukan semata-mata kemudahan.

2.      Kalau semua mustahik (yang berhak menerima zakat) yakni 8 ashnaf itu ada, maka semua berhak untuk mendapat bagian dari harta zakat, yang oleh karenanya muzakki (orang yang berzakat) atau ‘amil memberikan zakat itu kepada mereka seluruhnya. Jika di suatu daerah atau negara, hanya terdapat sebagian dan 8 ashnaf yang ada, maka yang ada itu sajalah yang diberikan bagian zakat. Tetapi jika terdapat ashnaf yang lain yang terdapat di daerah atau negara lain yang dipandang sangat mendesak keperluannya sementara harta zakat masih tersedia, hendaknya harta zakat disalurkan kepada mustahik di daerah atau di negara lain, ini sekiranya tidak ada kesulitan atau hambatan dalam pengirimannya.

3.      Di kalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat dalam mengartikan fi sabilillah. Ibnul ‘Araby menerangkan bahwa menurut Imam Malik yang dimaksud sabilillahialah tentara yang berperang (Ahkamul Qur’an, II: 957). Pendapat tersebut juga merupakan pendapat Imam Syafi’i (Al-Um, II: 60). Dalam pada itu Rasyid Ridla mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan fi sabilillahadalah untuk kemaslahatan umum kaum muslimin (al-Manar, X: 585). Pandangan seperti ini juga didukung oleh Syaltut (Al-Fatawa: 219).

Dari dua pendapat yang telah dikemukakan kami cenderung kepada pendapat yang kedua yakni pendapat Rasyid Ridla dan Syaltut, mengingat bahwa peperangan pada hahekatnya adalah untuk menegakkan kalimat (agama) Allah. Pada masa sekarang untuk menegakkan kalimat (agama) Allah dapat dilakukan melalui jalur pendidikan, kesehatan, ekonomi, pembanguan infra struktur dan sosial.

Berkaitan dengan pertanyaan saudara, maka kami berpendapat boleh sebagian harta zakat untuk bagian sabilillahdisalurkan untuk pembangunan masjid yang masih membutuhkan dana.

 

Wallahu a‘lam bish-shawab. *dw)

NIKMAT DUNIA DAN AKHIRAT (4)

 

 

Penanya:

Hj. Baisri, NBM. 397357, Desa Glagahagung,

Kec. Purwoharjo, Banyuwangi, Jawa Timur

 

 

Pertanyaan:

1.      Apakah ada hadits Nabi yang menerangkan nikmat yang diterima seorang mukmin hanya 1% di dunia sedang 99% sisanya akan diterima di akhirat kelak?

2.      Apakah ada keterangan dari Nabi saw bahwa nikmat yang 99% itu bisa dipancing di dunia dengan cara membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali dan takbir 33 kali?

 

 

Jawaban:

Allah SWT telah memberikan banyak sekali petunjuk dan keterangan dalam al-Qur’an tentang nikmat-Nya yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

Nä39s?#uäur`ÏiBÈe@à2$tBçnqßJçGø9r'y™4bÎ)ur(#r‘‰ãès?|MyJ÷èÏR«!$#Ÿw!$ydqÝÁøtéB3žcÎ)z`»|¡SM}$#×Pqè=sàs9֑$¤ÿŸ2. [إبراهيم (14): 34]

Artinya: “Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).”[QS. Ibrahim (14): 34]

bÎ)ur(#r‘‰ãès?spyJ÷èÏR«!$#Ÿw!$ydqÝÁøtéB3žcÎ)©!$#֑qàÿtós9ÒO‹Ïm§‘.[النحل (16): 18]

Artinya: “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. an-Nahl (16): 18]

$tBurNä3Î/`ÏiB7pyJ÷èÏoRz`ÏJsù«!$#(¢OèO#sŒÎ)ãNä3¡¡tB•Ž‘Ø9$#Ïmø‹s9Î*sùtbrãt«øgrB .[النحل (16): 53]

Artinya: “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” [QS. An-Nahl (16): 53]

ª!$#urŸ@yèy_/ä3s9$£JÏiBšYn=y{Wx»n=Ïߟ@yèy_ur/ä3s9z`ÏiBÉA$t6Éfø9$#$YY»oYò2r&Ÿ@yèy_uröNä3s9Ÿ@‹Î/ºuŽ| ãNà6‹É)s?§ysø9$#Ÿ@‹Î/ºty™urOä3ŠÉ)s?öNà6y™ù't/4y7Ï9ºx‹x.OÏFーçmtGyJ÷èÏRöNà6ø‹n=tæöNä3ª=yès9šcqßJÎ=ó¡è@ÇÑÊÈ

Artinya: “Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah dia ciptakan, dan dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya).” [QS. an-Nahl (16): 81]

Nabi Muhammad saw juga telah memberikan beberapa keterangan tentang nikmat dalam sunnahnya yang maqbul, di antaranya adalah:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ [رواه البخاري والترمذي وابن ماجه وأحمد]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra ia berkata: Nabi Muhammad saw bersabda: Dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” [HR. al-Bukhari, at-Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad]

Dari ayat-ayat dan hadits di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa nikmat Allah yang diberikan kepada manusia di dunia ini sangat banyak, di antaranya adalah nikmat yang berupa benda-benda, kesehatan dan waktu luang. Termasuk juga nikmat Allah yang berupa rahmah (kasih sayang) dari Allah, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:

ÓÉLyJômu‘urôMyèřur¨@ä.&äóÓx«4$pkâ:çGø.r'|¡sùtûïÏ%©#Ï9tbqà)­Gtƒšcqè?÷sãƒurno4qŸ2¨“9$#tûïÏ%©!$#urNèd$uZÏG»tƒ$t«Î/tbqãZÏB÷sãƒ. [الأعراف (7): 156]

Artinya: “… dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.”[QS. Al-A’raf (7): 156]

¨bÎ)|MuH÷qu‘«!$#Ò=ƒÌs%šÆÏiBtûüÏZÅ¡ósßJø9$#. [الأعراف (7): 56]

Artinya: “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” [QS. Al-A’raf (7): 56]

Dan hadits Nabi Muhammad saw:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ جَعَلَ اللهُ الرَّحْمَةَ مِائَةَ جُزْءٍ فَأَمْسَكَ عِنْدَهُ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ وَأَنْزَلَ فِي اْلأَرْضِ جُزْءًا وَاحِدًا فَمِنْ ذَلِكَ الْجُزْءِ تَتَرَاحَمُ الْخَلاَئِقُ ...[رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Allah menjadikan rahmat menjadi seratus bagian. Dia menahan 99 bagian di sisi-Nya dan menurunkannya ke bumi satu bagian. Dari satu bagian itulah makhluk hidup saling mengasihi …” [HR. Muslim]

Dari hadits tersebut, dapatlah dimengerti bahwa yang saudara maksudkan pada pertanyaan pertama secara tekstual bukanlah nikmat, melainkan rahmat yang merupakan salah satu bentuk dari nikmat Allah.

Adapun pertanyaan kedua, secara tekstual memang tidak kami temukan keterangan yang saudara maksudkan. Kami menemukan hadits-hadits yang hampir mirip isinya dengan pertanyaan saudara. Hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut:

1- مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي اْلآخِرَةِ وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنْ السُّوءِ مِثْلَهَا. [رواه أحمد والبراز وأبو يعلى عن أبي سعيد بأسانيد جيدة والحاكم وقال: صحيح الإسناد].

Artinya: “Tidaklah seorang muslim berdoa dengan doa yang di dalamnya tidak mengandung dosa dan tidak memutuskan hubungan persaudaraan/kekerabatan, melainkan Allah akan memberikan kepadanya karena doa itu, salah satu dari tiga perkara: Adakalanya disegerakan diterima permohonan itu, adakalanya akan disimpan pahalanya di akhirat nanti, dan adakalanya dia dipalingkan dari keburukan (kejahatan) yang sebanding dengan itu.” [HR. Ahmad, al-Bazzar, dan Abu Ya‘la dari Abu Sa‘id, dengan sanad-sanad yang baik, dan riwayat al-Hakim, katanya: sanadnya shahih].

2- مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو اللهَ بِدُعَاءٍ إِلاَّ اسْتُجِيبَ لَهُ فَإِمَّا أَنْ يُعَجَّلَ لَهُ فِي الدُّنْيَا وَإِمَّا أَنْ يُدَّخَرَ لَهُ فِي اْلآخِرَةِ وَإِمَّا أَنْ يُكَفَّرَ عَنْهُ مِنْ ذُنُوبِهِ بِقَدْرِ مَا دَعَا مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ أَوْ يَسْتَعْجِلْ يَقُولُ دَعَوْتُ رَبِّي فَمَا اسْتَجَابَ لِي. [رواه الترمذى عن أبي هريرة].

Artinya: “Tidaklah seseorang berdoa dengan suatu doa melainkan dikabulkan baginya, adakalanya disegerakan pahalanya di dunia atau ditunda pahalanya nanti di akhirat, atau adakalanya ditutup (dihapus) sebagian dosa-dosanya menurut kadar yang dimohon, selama ia tidak memohon dengan yang dosa atau untuk memutus hubungan kekerabatan ataupun tidak meminta untuk disegerakan pahalanya dimana ia berkata: aku telah bermohon kepada Tuhanku, mengapa gerangan tidak dikabulkan doaku.” [HR. at-Turmudzi dari Abu Hurairah ra.].

3- مَنْ سَبَّحَ اللهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَحَمِدَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَكَبَّرَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ فَتْلِكَ تِسْعٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ. [رواه أحمد ومسلم عن أبي هريرة].

Artinya: “Barangsiapa bertasbih setiap selesai shalat 33 kali tasbih, 33 kali tahmid, dan 33 kali takbir, lalu menjadi 99 kali dan sempurna 100 kali dengan membaca: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌniscaya diampuni kesalahan-kesalahannya sekalipun sebanyak buih di laut.” [HR. Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah ra.].

4- قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلاَ أَدُلُّكُمَا عَلَى خَيْرٍ مِمَّا سَأَلْتُمَاهُ إِذَا أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا فَكَبِّرَا اللهَ أَرْبَعًا وَثَلاَثِينَ وَاحْمَدَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَسَبِّحَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمَا مِمَّا سَأَلْتُمَاهُ. [رواه البخاري و مسلم وأحمد عن عليّ رضي الله عنه].

Artinya: “Rasulullah saw bersabda: Maukah kalian berdua (Ali dan Fatimah ra.) aku tunjukkan atas sesuatu yang lebih baik dari apa yang kamu berdua memintanya, yaitu apabila kalian berdua menuju ke tempat tidur kalian, maka bertakbirlah 34 kali, dan bertasbihlah 33 kali serta bertahmidlah 33 kali, karena yang demikian itu lebih baik bagi kalian berdua daripada diberi seorang pembantu.” [HR. al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad, dari Ali ra.].

 

Penjelasan Singkat:

Dari hadits no. 1 dan no. 2, intinya bahwa doa seseorang yang bukan untuk tujuan maksiat/dosa dan tidak pula untuk memutuskan hubungan kekerabatan, Insya Allah diterima oleh Allah dengan tiga kategori. Pertama disegerakan ganjarannya di dunia, kedua disimpan ganjarannya oleh Allah dan diberikan besok di hari akhirat, dan ketiga tidak diberikan persis seperti yang dimohon tetapi diganti dengan yang lain yaitu dipalingkan dia dari berbuat dosa atau dihapus sebagian dosanya.

Bahkan pada hadits no. 2 tersirat bahwa kurang sopan atau tidak etis kalau kita mohon kepada Allah dengan meminta disegerakan ganjarannya di dunia. Yang baik adalah kita serahkan pada Allah mana yang terbaik untuk kita.

Selanjutnya dalam hadits no. 3 dan 4 mengandung pengajaran bahwa untuk meringankan beban kesulitan kita, supaya banyak bertasbih, bertahmid, dan bertakbir dan disempurnakan dengan kalimat:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Insya Allah akan diampuni pula kesalahan-kesalahan betapapun banyaknya dengan syarat tidak menyekutukan Tuhan dengan sesuatu dari ciptaan-Nya.

Dalam sebuah hadits disebutkan pula:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِاْلأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ. [رواه مسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Dzar, ada beberapa orang di antara para shahabat Nabi saw berkata: Ya Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong pahala, mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Di samping itu mereka bershadaqah dengan kelebihan harta mereka. Rasulullah saw bersabda: Tidakkah Allah telah memberi kepadamu kesempatan untuk bershadaqah? Sesungguhnya setiap bacaan tasbih adalah shadaqah, setiap bacaan takbir adalah shadaqah, setiap bacaan tahmid adalah shadaqah, setiap bacaan tahlil adalah shadaqah, menganjurkan berbuat baik adalah shadaqah, mencegah perbuatan munkar adalah shadaqah, bahkan pada senggama yang dilakukan olehmu adalah shadaqah. Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, apakah seseorang menyalurkan nafsu seksualnya ia mendapat pahala? Nabi bersabda: Bagaimana menurut kamu andaikata seseorang menyalurkan nafsu seksualnya pada yang haram, bukankah ia berdosa? Maka demikian pula sebaliknya jika ia menyalurkan nafsu seksualnya pada yang halal, pastilah ia mendapat pahala.”[HR. Muslim].

Dengan demikian dapatlah diambil kesimpulan bahwa tasbih, tahmid, takbir dan tahlil adalah bacaan dzikir dan doa yang dituntunkan lagi sangat mulia diamalkan sesuai dengan tuntunannya. Oleh sebab itu, untuk menambah wawasan saudara tentang dzikir dan doa, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menerbitkan buku melalui Penerbit Suara Muhammadiyah berjudul Tuntunan Dzikir dan Doa. Kami persilahkan saudara menghubungi penerbit bersangkutan atau agen-agennya di tempat tinggal saudara.*th)

 

BACAAN SALAM KEPADA NABI MUHAMMAD SAW DALAM TASYAHUD DAN HADITS TENTANG HABBAS-SAUDA (5)

 

 

Penanya:

Rusydi, NBM. 581449, Anggota PCM Kalinyamat

Jepara, Jawa Tengah

 

 

Pertanyaan:

1.      Dalam kaset video "Sifat-sifat Shalat Rasulullah saw. yang dikeluarkan oleh Markaz tentang doa tasyahud disebutkan bagian:

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Diganti dengan:

اَلسَّلاَمُ عَلَي النَّبِيِّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Alasannya:

Diucapkanاَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ  ,karena Nabi Muhammad saw pada waktu itu masih hidup, tetapi setelah beliau meninggal dunia, para sahabat sepakat menggantinya dengan: اَلسَّلاَمُ عَلَي النَّبِيِّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ , karena kaset tersebut juga mengacu kepada hadis: صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي

 

2.      Hadis yang berbunyi:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَيْكُمْ بِهَذِهِ اْلحَبَّةِ السَّوْدِاءِ، فَإِنَّ فِيْهَا شِفَاءً مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلاَّ السَّامِ. [رواه البخاري ومسلم]

Bagaimana derajat keshohehan hadis tersebut?

Mohon penjelasan kedua pertanyaan di atas.

 

 

Jawaban:

1.      Bacaan salam kepada Nabi Muhammad saw dalam tasyahud itu seperti yang diajarkan Nabi Muhammad saw adalah: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ yang berarti: ""Salam sejahtera serta rahmat dan berkah Allah bagimu wahai Nabi", jadi bukan: اَلسَّلاَمُ عَلَي النَّبِيِّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُyang berarti: "Salam sejahtera serta rahmat dan berkah Allah bagi Nabi".

Dalam ibadah, terutama shalat, kita harus mengikut tuntunan Nabi Muhammad saw, sesuai dengan sabdanya: صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي (Shalatlah sebagaimana kamu melihatku shalat). Dalam hal ini tidak ada kesepakatan para sahabat untuk menggantikan salam yang diajarkan Nabi Muhammad saw tersebut dengan salam kedua di atas setelah kewafatan beliau. Jadi, meskipun maknanya lebih tepat bagi sebagian ulama karena Nabi Muhammad saw. telah wafat, namun mengucapkan salam kepada Nabi saw di dalam tasyahud itu yang harus diikuti adalah sebagaimana yang diajarkan Nabi saw meskipun kita tidak mengetahui hikmahnya. Perlu ditambahkan di sini bahwa Nabi saw sendiri tidak pernah mengucapkan: اَلسَّلاَمُ عَلَيَّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُyang berarti: "Salam sejahtera serta rahmat dan berkah Allah bagiku" dalam shalat beliau, padahal itu lebih tepat bagi beliau. Adapun di luar shalat, kita boleh mengucapkan salam kepada beliau dengan bentuk kedua di atas.

 

2.      Arti hadits di atas: Rasulullah saw bersabda: "Hendaklah kamu mengkonsumsi al-Habbah as-Sauda’ (black seed/jintan hitam) karena di dalamnya ada kesembuhan bagi setiap penyakit, kecuali kematian". Namun lafaz hadis yang terdapat pada kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim tidak persis seperti di atas. Di dalam kitab Shahih Bukhari Bab al-Habbah as-Sauda’, ada dua hadis yaitu:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا سَمِعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّ هَذِهِ اْلحَبَّةَ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلاَّ مِنَ السَّامِ. قُلْتُ: وَمَا السَّامُ؟ قَالَ: اَلْمَوْتُ

Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah bahwa dia mendengar Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya al-Habbah as-Sauda’ ini adalah kesembuhan (obat) dari setiap penyakit kecuali dari as-Sam". Kataku (Aisyah): Apa itu as-Sam? Jawab Nabi saw: "Kematian".”

Dan hadis:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: فِي اْلحَبَّةِ السَّوْدَاءِ  شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلاَّ السَّامِ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَالسَّامُ اْلمَوْتُ، وَاْلحَبَّةُ السَّوْدَاءُ الشُّونِيزُ

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda: "Di dalam al-Habbah as-Sauda’ itu ada kesembuhan (obat) bagi setiap penyakit kecuali as-Sam" Ibn Syihab berkata: As-Sam itu adalah kematian dan al-Habbah as-Sauda’ itu adalah as-Syuniz (nama lain dari al-Habbah as-Sauda’/jintan hitam).”

Sedang di dalam kitab Shahih Muslim Bab Berobat dengan al-Habbah as-Sauda’ juga ada dua hadis, yaitu:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: فِي اْلحَبَّةِ السَّوْدَاءِ  شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلاَّ السَّامِ.وَالسَّامُ اْلمَوْتُ وَاْلحَبَّةُ السَّوْدَاءُ الشُّونِيزُ

Artinya: “Dari Abu Hurairah bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya di dalam al-Habbah as-Sauda’ itu ada kesembuhan (obat) bagi setiap penyakit kecuali as-Sam".Dan as-Sam itu adalah kematian dan al-Habbah as-Sauda’ itu adalah as-Syuniz (nama lain dari al-Habbah as-Sauda’/jintan hitam).

Dan hadis:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا مِنْ دَاءٍ إِلاَّ فِي اْلحَبَّةِ السَّوْدَاءِ مِنْهُ شِفَاءٌ إِلاَّ السَّامُ.

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: "Tiada suatu penyakit kecuali di dalam al-Habbah as-Sauda’ ada kesembuhan (obat), kecuali kematian".”

Benarkah al-Habbah as-Sauda’ ini obat untuk semua penyakit? Untuk memahami hadits ini lebih mendalam kita harus merujuk kepada para pensyarah (pemberi keterangan) hadits. Ibn Hajar al-Asqalani mengatakan: "Maksud al-Habbah as-Sauda’ itu merupakan kesembuhan (obat) bagi setiap penyakit ialah, bahwa ia tidak dipakai pada semua penyakit begitu saja, tetapi kadang-kadang dipakai sendirian dan kadang-kadang dipakai dengan campuran bahan lainnya, kadang-kadang dipakai dengan ditumbuk hingga halus dulu dan kadang-kadang tidak, kadang-kadang dimakan, diminum, dimasukkan hidung, ditempelkan dan lainnya. Dan ada yang mengatakan: sabda Nabi: "dari segala penyakit" itu maksudnya dari segala penyakit yang bisa diobati dengannya, karena al-Habbah as-Sauda’ itu memang bermanfaat bagi penyakit-penyakit dingin, sedang penyakit-penyakit panas itu tidak. (lihat kitab Fathul Bari, 10/144). Hal ini menunjukkan bahwa al-Habbah as-Sauda’ adalah obat yang sangat berfaidah dan banyak terdapat pada zaman Nabi Muhammad saw, namun cara berobat dengannya perlu dipelajari.

Jadi pada dasarnya, kita perlu berobat ketika sakit dengan obat-obat yang sesuai dengan macam penyakitnya, bukan hanya dengan al-Habbah as-Sauda’.

Adapun mengenai derajat keshahihan hadits di atas, perlu saudara ketahui bahwa para ulama ahli hadits dari kalangan ahlus sunnah wal jama'ah sepakat bahwa seluruh hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitab Shahihnya itu adalah hadits shahih. Demikian pula seluruh hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya. Dan hadis yang lebih shahih dari itu adalah hadis yang diriwayatkan oleh keduanya di dalam kitab Shahih masing-masing. mi*).

Wallahu a’lam bish-shawab.

 

 

KHUTBAH SHALAT ‘ID DIMULAI DENGAN HAMDALAH (6)

 

 

Penanya:

H.M. Wahjudi Budihardjo, NBM. 739466,

Ponorogo, Jawa Timur

 

 

Pertanyaan:

Tuntunan Shalat ‘Idain Keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah di Kota Garut Jawa Barat tanggal 18 s.d. 23 Rabi’ul Akhir 1396/ 18 s.d. 23 April 1976 qarar 13:

وَلْيَخْطُبْ بَعْدَ الصَّلاَةِ خُطْبَةً وَاحِدَةً وَيَبْدَأُهَا بِاْلحَمْدِ ِللهِ وَيَذْكُرُ فِيْهَا اْلحَاضِرِيْنَ وَيَحُضُّهُمْ عَلَى اْلخَيْرِ.

Sesudah selesai shalat hendaklah Imam membaca khutbaah satu kali dimulai dengan Alhamdu lillah, dan menyampaikan nasehat kepada para hadirin dan menganjurkan untuk berbuat baik.

Tetapi masih ada sebagian khatib Persyarikatan yang memulai khutbahnya tidak dengan Alhamdu lillah melainkan dengan takbir.

Mohon tambahan penjelasan dalil yang mendukung qarar (13) tersebut dan sebutkan pula maraji’nya.

Terima kasih atas penjelasannya.

 

 

Jawaban:

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah pernah menjawab pertanyaan yang sama beberapa waktu lalu, dan telah dimuat di rubrik Fatwa Agama Majalah Suara Muhammadiyah No. 02 tahun ke-91/2006. Namun, karena hal tersebut kami pandang cukup penting, tidak ada salahnya kami sampaikan kembali kepada saudara pada rubrik ini.

Sebelumnya perlu kami sampaikan terlebih dahulu bahwa Keputusan Muktamar Tarjih ke XX di Garut pada tanggal 18 s.d. 23 Rabi’ul Akhir 1396 H / 18 s.d. 23 April 1976,  yang berbunyi: “Sesudah selesai shalat hendaklah Imam membaca khutbah satu kali, dimulai dengan “Al Hamdulillah” dan menyampaikan nasehat kepada para hadirin dan menganjurkan untuk berbuat baik.”, berdasarkan dalil:

لِحَدِيْثِ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ. [رواه البخاري ومسلم واللفظ للبخاري].

Artinya: Beralasan hadits Abu Sa’id yang mengatakan: “Pada hari raya Fithri dan Adlha Rasulullah saw kalau pergi ke tempat shalat, maka yang pertama beliau kerjakan adalah shalat, kemudian apabila telah selesai beliau bangkit menghadap orang banyak ketika mereka masih duduk pada shaf-shaf mereka. Lalu beliau menyampaikan peringatan dan wejangan kepada mereka dan mengumumkan perintah-perintah pada mereka, dan jika beliau hendak memberangkatkan angkatan atau mengumumkan tentang sesuatu beliau laksanakan kemudian pulang.” [HR. al-Bukhari dan Muslim, lafadz al-Bukhari].

وَلِحَدِيْثِ جَابِرٍ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلاَةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلاَلٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ. الحديث [رواه مسلم والنسائى] وَفِى رِوَايَةٍ عَنْهُ عِنْدَ مُسْلِمٍ فَلَمَّا فَرَغَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَزَلَ وَ أَتَى النِّسَاءَ فَذَكَرَهُنَّ ... الحديث.

Artinya: Beralasan pula hadits Jabir yang mengatakan: “Pernah aku mengalami shalat hari raya bersama Rasulullah saw, lalu dimulai shalat sebelum khutbah tanpa adzan dan iqamah. Kemudian beliau bangkit bersandar pada Bilal, lalu beliau menganjurkan orang tentang taqwa kepada Allah dan menyuruh patuh kepada-Nya dan menyampaikan nasehat dan peringatan kepada mereka. Lalu beliau mendatangi para wanita dan menyampaikan nasehat dan peringatan kepada mereka …” dan seterusnya hadits. [HR. Muslim dan an-Nasai]. Dalam riwayat Muslim dengan kalimat: “Setelah Nabiyullah saw selesai, beliau turun dan mendatangi para wanita dan menyampaikan peringatan-peringatan kepada mereka … dan seterusnya hadits.”

Dalam hadits-hadits yang telah disebutkan di atas, tidak ada keterangan tentang memulai khutbah Id dengan takbir. Demikian pula tidak ada keterangan tentang khutbah Id dengan dua khutbah. Oleh karena dalam hadits tersebut tidak disebutkan bahwa khutbah Id dimulai dengan takbir, maka dalam khutbah Id ini, digunakan hadits yang menjelaskan praktik Rasulullah saw dalam memulai khutbah, sebagaimana dijelaskan dalam hadits:

عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا تَشَهَّدَ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ ... [رواه أبو داود].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw jika memulai khutbah dengan mengucapkan ‘al-hamdulillah’ …”. [HR. Abu Dawud].

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ كَلاَمٍ لاَ يُبْدَأُ فِيهِ بِالْحَمْدُ لِلَّهِ فَهُوَ أَجْذَمُ. [رواه أبو داود].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Setiap pidato yang tidak dimulai dengan ‘al-hamdulillah’, maka tidak barakah.” [HR. Abu Dawud].

Memang ada hadits yang menyatakan:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُتْبَةَ قَالَ السُّنَّةُ أَنْ تُفْتَتَحَ اْلخُطْبَةُ بِتِسْعِ تَكْبِيْرَاتٍ تَتْرَى وَبِسَبْعِ تَكْبِيْرَاتٍ تَتْرَى. [رواه البيهقي].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Abdullah Ibnu ‘Utbah ia berkata: Merupakan sebuah sunnah Nabi membuka khutbah dengan tujuh takbir secara pelan-pelan dan yang kedua dengan sembilan takbir secara pelan-pelan.” [HR. al-Baihaqi].

Asy-Syaukani dalam Nailul-Authar Juz III halaman 374 mengatakan bahwa Abdullah Ibnu Abdullah adalah seorang tabi’in, maka berdasarkan ushulul-hadits ia tidak dapat diterima kalau ia mengatakan ‘sebagai suatu sunnah Nabi’. Dengan demikian dapat kiranya dikatakan bahwa hadits ini termasuk hadits maqtu’ yang oleh karenanya hadits tersebut tidak maqbul, sehingga tidak dapat diamalkan isinya. Dengan tegas Ibnul-Qayyim mengatakan bahwa memulai khutbah Idain (Fithri dan Adlha) dengan takbir, sama sekali tidak ada sunnah yang dapat dijadikan dasarnya. Sebaliknya yang disunnahkan adalah memulai segala macam khutbah dengan ‘al-hamdu’. Sejalan dengan pendapat itu, Prof. Dr. TM Hasbi Ash-Shiddieqy, mengatakan tidak ada keterangan yang kuat yang menerangkan bahwa Nabi saw memulai khutbah dengan takbir (Pedoman Shalat, halaman 458).

Wallaahu a’lam bish-shawab.

 

 

 

HUKUM MEROKOK (7)

 

 

Penanya:

Minhajul Abidin, NBM. 875780,

Banjarsari, Pruwodadi, Purworejo, Jawa Tengah

 

 

Pertanyaan:

Assalaamu ’alaikum Wr. Wb.

Mohon penjelasan tentang hukum merokok menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah, karena di daerah banyak ulama’ Muhammadiyah yang mengharamkan merokok.

Mohon penjelasan ini dimuat pada Majalah Suara Muhammadiyah. Atas terkabulnya permohonan ini kami sampaikan terma kasih.

Wassalaamu ’alaikum Wr. Wb.

 

 

Jawaban:

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah pernah menjawab pertanyaan yang sama beberapa waktu lalu, dan telah dimuat di rubrik Fatwa Agama Majalah Suara Muhammadiyah No. 24 tahun ke-90/2005. Namun, tidak ada salahnya jawaban tersebut kami sampaikan kembali kepada saudara pada rubrik ini.

Pada asalnya hukum merokok itu adalah mubah, boleh dilakukan karena tidak ada nash (al-Qur’an dan al-Hadits) yang melarangnya. Namun sebahagian ulama memandangnya sebagai perbuatan makruh. Mereka beralasan bahwa merokok itu bukan saja merusak kesehatan diri sendiri, tetapi juga merusak kesehatan orang lain yang ikut menghisap asap rokoknya (perokok pasif). Sesuatu yang dapat menimbulkan kerusakan bagi manusia harus dijauhi, sesuai dengan makna yang terkandung dalam firman Allah Swt:

... وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ ... [الأعراف (7): 157].

Artinya: “… dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” [QS. al-A‘raf (7): 157].

Menurut Ibnul Qayyim, ‘ath-Thayyibaat’ berarti segala sesuatu yang bermanfaat bagi jasmani, rohani, akal dan pikiran, sedang ‘al-Khabaaits’ ialah segala sesuatu yang dapat menimbulkan mafsadat bagi jasmani, rohani, akal dan pikiran.

Berdasar pada penjelasan di atas, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat bahwa hukum merokok adalah mubah, sekalipun demikian menjauhinya adalah lebih baik daripada melakukannya.

Wallaahu a’lam bish-shawab.

 

PEMBAGIAN WARISAN (8)

Pertanyaan dari J, di Madura (nama dan alamat diketahui redaksi)

Disidangkan pada: Jum’at, 19 Shafar 1428 H / 9 Maret 2007 M

 

 

Pertanyaan:

 

Saya sangat mengharap bantuan penjelasan, bagaimana menurut agama pembagian harta waris yang saya hadapi saat ini dan sekarang sudah menjadi masalah di Pengadilan, yang saya maksud begini.

A (ayah) kawin dengan B (ibu) mempunyai 8 anak (2 orang laki-laki dan 6 orang perempuan) yang hidup cuma 1 orang adalah (C/laki­laki). Kemudian ibu (B) C meninggal dunia, meninggalkan harta hasil gono gini A dan B yaitu, sebidang tanah, rumah diatas tanah ini dengan isinya.

Setelah itu A kawin lagi dengan D (tidak menempati tanah dan rumah tersebut) dan mempunyai 2 orang anak perempuan yaitu, E dan F, kemudian isteri yang kedua (D) meninggal dunia, sedangkan C hidup/ikut juga bersama isteri yang ke-2 itu. Beberapa hari setelah D meninggal dunia, kedua anaknya (E dan F) diboyong ke rumah peninggalan isteri I (B), disitu mereka E dan F tinggal dengan bibinya (adik dari ayah/A). A kawin lagi dengan G (isteri ketiga) di tempat lain, C juga ikut/hidup bersama dengan isteri ke-3 dan akhirnya G meninggal dunia.

Harta gono gini antara A dan D dan juga antara A dan G banyak. Sebelum A meninggal, C sudah diberi tanah kering diatas segel tertulis sedangkan tanah sawah (pemberiannya dengan tidak tertulis). Kemudian C kawin dengan H, pada waktu/saat A masih kawin dengan isteri ke-3 (G), akhirnya perkawinannya C+H punya anak perempuan yaitu (J). Pada waktu J berusia 1 tahun, A meninggal dunia karena sakit. Setelah lewat 40 hari A meninggal, C meninggal karena kena setrum listerik, dengan meninggalkan seorang anak yatim yaitu (J) juga dengan banyak meninggalkan harta, yaitu harta waris dari A yang belum dibagi, kecuali tanah yang pakai surat diatas segel tadi itu.

Yang saya tanyakan, bagaimana cara pembagian harta-harta ini?

1.      Apakah harta hasil gono gini dari isteri yang I (pertama) juga harus dibagi ke E dan F?

2.      Apakah hanya harus dimiliki J kanena sebagai anak dari C?

3.      Jika harus dibagi bagaimana pembagiannya?

4.      Apakah J harus mendapat lagi dari sisa harta yang belum dibagi? Karena yang belum dibagi itu masih ada 4x dari apa yang telah diberikan langsung pada C, atau bagaimana pembagian yang benar menurut Islam atau pemerintah? Sebagai anak yatim J ditelantarkan oleh bibi-bibinya tersebut, yaitu (E+F).

Mohon penjelasannya, tolong didahulukan dari yang lain, karena penjelasan ini akan J jadikan petunjuk dalam sidang di pengadilan yang sudah berlangsung ini.

Atas segala bantuannya J ucapkan terima kasih, semoga betul-betul akan menjadi acuan penjelasan J di pengadilan nanti.

 

 

Jawaban:

 

Dari keterangan saudara tentang hubungan dalam keluarga dapat kami gambarkan dalam diagram sebagai berikut:

 

    G (istri ke-3)    D (istri ke-2)   A                      B   (istri ke-1)

                                

 

 

           
 
 
     
 

 

 

 


    C                    H

                     

                                         E                      F

 

     J

Urut-urutan yang meninggal dunia:

Pertama           : B

Kedua             : D

Ketiga             : G

Keempat          : A

Kelima             : C

Untuk selanjutnya, terlebih dahulu kami sampaikan bahwa dalam pembagian harta waris menurut Hukum Islam, adalah karena meninggal dunia orang yang mewariskan harta (muwarrits). Oleh karena itu untuk menjawab pertanyaan saudara akan kami lakukan dengan melihat secara kronologis terjadinya kematian orang yang mewariskan hartanya itu, sehingga urut-urutannya adalah sebagai berikut:

 

A.    Kematian B (isteri pertama); dengan diagram susunan kerabat yang menjadi ahli waris sebagaimana yang saudara sebutkan yaitu:

    

     A                     B

                                

 

 

 

 

 
 

 


   

     C

Di luar diagram tersebut masih memungkinkan adanya ahli waris yang dapat menerima pembagian harta waris, yaitu ayah, ibu, kakek dan nenek dari B jika mereka masih hidup di saat B meninggal dunia. Namun jika sudah tidak ada, maka ahli warisnya hanyalah A suami dan C anak laki-laki, sebagaimana yang saudara sebutkan.

 

Harta warisnya, yaitu :

  1. Harta bawaaan B ( jika ada).

Hal ini didasarkan kepada Pasal 87 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam: Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh oleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

  1. ½ dari harta yang diperoleh selama perkawinan antara A dan B (harta bersama atau gono gini).

Hal ini didasarkan kepada Pasal 96 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam: Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang masih hidup. Dengan demikian, ½ harta bersama selebihnya diberikan kepada A (suami).

Jadi harta warisnya adalah yang tersebut pada nomor 1 ditambah yang tersebut pada nomor 2.

 

Cara pembagiannya: Jika ahli warisnya memang hanya suami dan seorang anak laki-laki, maka pembagiannya adalah sebagai berikut:

A (suami) memperoleh ¼ , berdasarkan firman Allah:

Nà6s9urß#óÁÏR$tBx8ts?öNà6ã_ºurø—r&bÎ)óO©9`ä3tƒ£`ßg©9Ó$s!ur4bÎ*sùtb$Ÿ2 Æßgs9Ó$s!urãNà6n=sùßìç/”9$#$£JÏBz`ò2ts?

Artinya:“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya.” [QS. an-Nisa’ (4): 12]

C (anak laki-laki) adalah ‘ashabah bin-nafsi, sehingga ia memperoleh harta waris yang ditinggalkan setelah dikurangi oleh bagian ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu (furudlul muqaddarah) yang dalam hal ini adalah A yang telah memperoleh ¼ bagian. Dengan demikian bagian C adalah selebihnya yaitu ¾ bagian dari seluruh harta waris.

 

B.     Kematian D (isteri kedua); susunan ahli waris dapat dilukiskan dalam diagram sebagai berikut:

    

     A                     D

                                

 

 
 

 

 

 

 


   

 

       
 
   
 

 

 


           E                      F

 

Di luar diagram tersebut masih memungkinkan ahli waris lain untuk memperoleh bagian harta waris, kecuali saudara laki-laki seibu, saudara perempuan seibu dan cucu perempuan. Namun jika ahli warisnya memang seperti yang saudara sebutkan, maka mereka itu ialah: A (suami) serta E dan F (dua orang anak perempuan)

 

Harta warisnya, yaitu:

  1. Harta bawaan D (jika ada).
  2. ½ dari harta yang diperoleh selama perkawinan antara A dan D (harta bersama atau gono gini). Dalam menghitung harta bersama, didasarkan kepada Pasal 94 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam: Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau yang keempat.

 

Cara pembagiannya:

A (suami) memperoleh ¼.

E dan F (dua orang anak perempuan) memperoleh 2/3. Berdasarkan firman Allah:

bÎ*sù£`ä.[ä!$|¡ÎSs-öqsùÈû÷ütGt^øO$#£`ßgn=sù$sVè=èO$tBx8ts?(

Artinya: “…dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua (maksudnya dua atau lebih), maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.” [QS. an-Nisa’ (4): 11]

Cara menghitungnya yakni dengan menyamakan penyebut dua bagian itu, yaitu angka ¼ dan angka 2/3, angka penyebutnya adalah 12; sehingga menjadi:

A (suami) memperoleh 3/12

E dan F (dua orang anak perempuan) memperoleh 8/12

Jika dijumlahkan menjadi 11/12. Dengan demikian maka terjadilah kelebihan (radd)1/12. Kelebihan ini diberikan kepada E dan F, karena menurut Jumhur Fuqaha suami atau isteri tidak memperoleh bagian kelebihan (radd).

 

C.     Kematian G (isteri ketiga).

Ketika G meninggal dunia hendaknya diteliti ahli warisnya selain A sebagai suaminya. Kalau memang masih ada ahli waris yang lain, maka harta waris dibagi kepada ahli waris yang berhak menerima bersama dengan A sebagai suaminya. Tetapi apabila memang ketika G meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris kecuali A sebagai suaminya, maka A satu-satunya ahli waris. Jika A sebagai satu-satunya ahli waris, maka bagian A sebagai suami dan G meninggal dunia tanpa anak, maka bagian A adalah ½ dari harta waris yang ditinggalkan oleh G. Ketentuan ini didasarkan kepada firman Allah:

Nà6s9urß#óÁÏR$tBx8ts?öNà6ã_ºurø—r&bÎ)óO©9`ä3tƒ£`ßg©9Ó$s!ur

Artinya:“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.” [QS. an-Nisa’ (4): 12]

Selebihnya tidak diberikan kepada A sebagai suami, karena suami tidak dapat memperoleh kelebihan (radd) dan tidak dapat pula menjadi ‘ashabah (ahli waris) yang menghabiskan semua sisa harta waris. Separoh selebihnya yang diberikan kepada suami, diberikan kepada dzawul arham (kerabat yang tidak termasuk ahli waris yang memperoleh bagian tertentu dan juga bukan ahli waris yang menjadi ‘ashabah).

Sedangkan harta warisnya adalah harta bawaan G (bila ada) dan ½ dari harta bersama yang diperoleh selama perkawinan antara A dan G (gono gini).

 

D.    Kematian A, dengan diagram susunan ahli wari sebagai berikut:

    

     A

                                

 

 
 

 

 

 

 


   

 

           C         E          F

 

Ahli warisnya yaitu C (seorang anak laki-laki)  serta E dan F  (dua orang anak perempuan).

Harta warisnyaadalah semua harta A yang terdiri dari: harta bawaan (bila ada) dan ½ harta bersama yang diperoleh dari perkawinan dengan B, dengan D dan dengan G.

Cara pembagiannyayakni dengan memberikan bagian harta waris untuk seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Ketentuan ini didasarkan kepada firman Allah:

ÞOä3ŠÏ¹qリ!$#þ’ÎûöNà2ω»s9÷rr&(̍x.©%#Ï9ã@÷VÏBÅeáymÈû÷üu‹sVRW{$#4

Artinya:“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.” [QS. an-Nisa’ (4): 11] 

Dengan ketentuan tersebut, maka C memperoleh ½ dari harta peninggalan A, sedangkan E dan F masing-masing memperoleh ¼ harta peninggalan A. Terhadap pembagian harta waris yang akan diberikan kepada C, maka pemberian oleh A kepada C yang dilakukan semasa A masih hidup, diperhitungkan kepada warisan, artinya dimasukkan dalam perhitungan ½ dari harta waris yang diterima oleh C. Hal ini didasarkan kepada pasal 211 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan: Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.

 

E.     Kematian C. Tidak saudara jelaskan ketika C meninggal dunia, apakah tidak ada ahli waris lain selain J? Misalnya apakah isterinya masih hidup atau sudah meninggal dunia. Jika ketika C meninggal dunia isterinya masih hidup, maka ahli warisnya adalah isteri dan J anak perempuannya, sehingga dalam pembagian harta waris, isteri meperoleh 1/8 dan J seorang anak perempuan memperoleh ½ dari harta waris yang ditinggalkan oleh C. Ketentuan ini didasarkan kepada firman Allah:

bÎ*sùtb$Ÿ2öNà6s9Ó$s!ur£`ßgn=sùß`ßJ›V9$#$£JÏBLäêò2ts?

Artinya:“Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang ditinggalkan.” [QS. an-Nisa’ (4): 12]

bÎ)urôMtR%x.Zoy‰Ïmºur$ygn=sùß#óÁÏiZ9$#4

Artinya: “Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta.” [QS. an-Nisa’(4): 11]

Dalam perhitungan dilakukan dengan menyamakan angka penyebutnya, yaitu angka ½ dan 1/8, maka penyebutnya adalah angka 8, sehingga isteri memperoleh 1/8 dan J seorang anak perempuan memperoleh 4/8. Jika dijumlahkan menjadi 5/8, sehingga masih ada kelebihan (radd) sebanyak 3/8. Kelebihan ini diberikan kepada J, sebab isteri tidak berhak mendapat radd.

Jika ketika C meninggal dunia, hanya meninggalkan ahli waris J seorang anak perempuan, tidak ada yang lain, maka J memperoleh ½ ditambah dengan kelebihan (radd) harta waris yang ditinggalkan oleh C. Atau dengan kata lain semua harta peninggalan C diwarisi oleh J.

Perlu kami sampaikan bahwa harta peninggalan dapat dibagikan kepada ahli waris apabila telah dikurangi dengan hutang baik hutang kepada orang lain maupun hutang kepada Allah, misalnya zakat, kifarah atau nadzar yang belum ditunaikan, serta wasiyat bila ada.

Demikianlah yang dapat kami jelaskan berdasarkan keterangan ahli waris yang telah saudara sampaikan kepada kami; dan apabila dalam kasus-kasus pembagian harta waris tersebut masih ada ahli waris yang lain tentu akan menjadi berbeda dalam perhitungannya. *dw)

Wallahu a‘lam bish-shawab.

 

MENGALIHKAN HEWAN QURBAN UNTUK PEMBANGUNAN MASJID

DAN TABUNGAN ONH UNTUK MODAL USAHA (9)

 

Pertanyaan dari:

Hakim Udin,

Tegalsari Utara RT. 02 RW. 11 No. 06 Kedowan Arjasa Situbondo Jawa Timur

(disidangkan pada hari Jum'at, 18 Rabiul Awal 1428 H / 6 April 2007 M)

 

 

Pertanyaan:

 

Ada dua masalah yang saya alami dalam kehidupan saya selama ini:

1.      Pada tahun 1990, ibu mertua saya punya niat untuk berkurban seekor sapi. Berhubung sesuatu hal yang sangat mendesak; yaitu Panitia Pembangunan Masjid Nurul Hidayah di desa saya sangat membutuhkan biaya untuk penyelesaiannya. Untuk itu saya juga termasuk panitia, memberanikan diri minta dengan hormat pada ibu, agar sapi yang mau disembelih untuk kurban, sebaiknya diserahkan saja kepada Panitia Pembangunan Masjid untuk menyelesaikan pembangunan masjid tersebut. Saya berkeyakinan bahwa antara disembelih sebagai kurban dan dijual (dikurbankan) untuk kepentingan  umat Islam pahalanya sama saja.

Tanpa ada komentar apa-apa, ibu sangat ikhlas. Sapi tak jadi disembelih, tapi diserahkan sepenuhnya pada panitia dan Alhamdulillah pembangunan masjid tersebut di atas selesai.

Yang menjadi masalah dalam hati saya, salah atau benarkah tindakan saya? Kalau salah, bagaimanakah caranya untuk meluruskan kesalahan-kesalahan saya? Perlukah saya mengganti sapi yang diniatkan untuk kurban tersebut? (Ibu mertua saya sudah meninggal).

2.      Pada tahun 1997, saya punya niat untuk menunaikan haji. Pada waktu itu uang saya hanya cukup untuk satu orang. Karena saya berkeinginan untuk berangkat dua orang dengan istri, terpaksa uang saya ditabung dulu. Tapi, malang tak dapat ditolak, untung tak bisa diraih. Pada waktu itu juga anak saya butuh modal untuk bekerja. Uang yang diniatkan untuk ONH, terpaksa saya pinjamkan pada anak saya.

Pada tahun 1998 terjadi krisis moneter. Anak saya terkena imbasnya, modal yang saya pinjamkan ludes. Sampai sekarang (hari ini) anak saya tak bisa mengembalikan uang tersebut.

Mohon penjelasan pada pengasuh, berdosakah saya dalam hal ini? Jalan apa yang harus saya tempuh untuk menebus dosa dan kesalahan saya ini?

Terima kasih atas penjelasan dan keterangannya.

 

 

Jawaban:

 

1.      Memang berpahala dan tidaknya sesuatu amal tergantung kepada niatnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ .... الحديث [متفق عليه]

Artinya: “Sesungguhnya amalan itu tergantung pada niatnya .…” [Muttafaq ‘Alaih]

Mengenai kasus yang saudara tanyakan dapat kami nyatakan bahwa masalahnya sesudah ada niat dan ingin melaksanakan niat qurban seekor sapi oleh mertua saudara kemudian atas usul saudara harga sapi qurban itu dialihkan kepada yang lebih bermanfaat kepada agama dan masyarakat, yaitu pembangunan masjid Nurul Hidayah.

Tentang bagaimana hukumnya, kami berpendapat bahwa:

  1. Mendirikan masjid termasuk amal jariyah yang pahalanya terus berlanjut dan kenyataannya memang sangat dibutuhkan adanya masjid di tempat saudara. Menyembelih hewan qurban juga baik, tetapi manfaatnya bagi masyarakat miskin hanya beberapa hari sampai habisnya daging qurban dimakan, walaupun pahalanya juga besar di sisi Allah karena didasarkan atas niat taqwa kepada Allah.
  2. Atas dasar itu maka tindakan saudara dapat dibenarkan dan kerelaan ibu mertua saudara untuk melaksanakan yang lebih bermanfaat tidak menghilangkan pahala amal jariyahnya itu.
  3. Soal apakah saudara harus mengganti qurban yang sudah diniatkan dengan saudara menyembelih hewan qurban lain atas nama mertua saudara, kami kira baik-baik saja, tetapi tidak wajib, sebab mertua saudara sudah mengalihkan niatnya dari menyembelih qurban kepada pembangunan masjid dan insya Allah ia mendapat pahala dari amal jariyah pembangunan masjid tersebut.

2.       

a.       Masalahnya, niat saudara untuk naik haji bersama istri dan telah masuk ke tahap menabung ONH serta telah cukup untuk satu orang, tapi dalam waktu menunggu tabungan ONH cukup untuk dua orang, tiba-tiba terjadi kasus peminjaman untuk sementara waktu oleh anak saudara yang menggunakan biaya ONH itu untuk kepentingan modal usaha. Karena krisis moneter tahun 1997, modal yang dipinjamkan dari ONH itu tidak dapat dikembalikan dan saudara tidak dapat naik haji berdua sampai sekarang.

Dalam hal ini kami berpendapat bahwa niat saudara untuk naik haji bersama istri dan telah dalam tahap menabung, insya Allah sudah mendapat pahala dari Allah SWT.

b.      Adanya kasus sambil menunggu cukup ONH untuk berdua, anak saudara sangat membutuhkan modal untuk usahanya yang juga untuk kehidupan atau nafaqah rumah tangganya. Ia berjanji akan mengembalikan ONH tersebut tepat waktunya nanti. Tapi Allah berkehendak lain, yaitu adanya krisis moneter dan krisis itu tak dapat ditolak sehingga menjadi halangan tidak dapat mengembalikan modal dari ONH tersebut. Apakah saudara berdosa dalam hal ini? Kami berpendapat bahwa saudara tidak berdosa sebab ijtihad saudara, anak saudara dapat mengembalikan pinjaman dari ONH itu. Tapi karena halangan "‘awaridl" yang dapat dikategorikan sebagai keadaan darurat maka niat pengembalian ONH oleh anak saudara tidak terpenuhi dan saudara gagal naik haji. Kegagalan itu bukan karena niat saudara, tetapi oleh karena keadaan darurat itu. Saran kami agar niat saudara diteruskan lagi dengan menabung ONH itu, dan kalaupun tidak kesampaian, Allah SWT akan memberi pahala atas niat baik saudara, sebagaimana sabda Rasulullah saw:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللّهِ «مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةً. وَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَعَمِلَهَا كُتِبَتْ لَهُ عَشْرًا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ. وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا، لَمْ تُكْتَبْ. وَإِنْ عَمِلَهَا، كُتِبَتْ». [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang berkeinginan baik tetapi tidak mengamalkannya, hal itu telah dicatat sebagai satu kebaikan. Barangsiapa yang berkeinginan baik dan melaksanakannya, hal itu telah dicatat dengan seratus sampai tujuh ratus lipat kebaikan. Barangsiapa yang berkeinginan buruk tetapi tidak melaksanakannya, maka tidak dicatat, namun jika mengerjakannya dicatat sebagai satu keburukan.”[HR. Muslim]

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إِنَّ اْلعَبْدَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَإِنَّهُ مِنْ أَهْلِ اْلجَنَّةِ وَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ اْلجَنَّةِ وَإِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَإِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِخَوَاتِيْمِهَا».  [رواه البخاري وأحمد]

Artinya: “Diriwayatkan dari Sahl Ibn Sa’d, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya seseorang beramal dengan amalan ahli neraka padahal ia termasuk ahli surga, dan beramal dengan amalan ahli surga padahal ia termasuk ahli neraka. Dan hanya saja semua amal itu dinilai dengan penutupnya.” [HR. al-Bukhari dan Ahmad]

 

Wallahu a‘lam. *mzr)

 

 

PENYATUAN KRITERIA AWAL BULAN KOMARIYAH (10)

 

 

Pertanyaan dari:

Arfan A. Tilome, NBM. 669.355,

Sekretaris PDM Kota Gorontalo

(disidangkan pada hari Jum'at, 18 Rabiul Awal 1428 H / 6 April 2007 M)

 

 

Pertanyaan:

Apakah Muhammadiyah bersedia bersepakat dengan ormas lain dalam hal kriteria awal bulan komariyah seperti imkanur rukyah maupun masa ijtimak?

 

 

Jawaban:

Saudara Arfan yang baik, perlu anda ketahui bahwa cara yang digunakan Muhammadiyah dalam menentukan awal bulan komariyah tidak tunggal. Pertama hisab yang digunakan Muhammadiyah adalah hisab hakiki dengan kriteria imkanur rukyah. Selanjutnya Muhammadiyah menggunakan hisab hakiki dengan kriteria ijtimakqabla al-gurub. Artinya, bila ijtimak terjadi sebelum terbenam matahari (sunset) maka malam itu dan keesokan harinya dianggap tanggal 1 bulan baru hijriyah. Namun bila ijtimak terjadi setelah terbenam matahari, maka malam itu dan keesokan harinya belum dianggap bulan baru hijriyah. Dengan kata lain, konsep ijtimak qabla al-qurub tidak mempertimbangkan posisi hilal di atas ufuk pada saat matahari terbenam.

Pada tahun 1938/1357 Muhammadiyah mulai menggunakan teori wujudul hilal. Langkah ini ditempuh sebagai "jalan tengah" antara sistem hisab ijtimak (qabla al-gurub) dan sistem imkanur rukyah atau jalan tengah antara hisab murni dan rukyah murni. Karenanya bagi sistem wujudul hilal metodologi yang dibangun dalam memulai tanggal baru pada Kalender Hijriyah tidak semata-mata proses terjadinya ijtimak, tetapi juga mempertimbangkan posisi hilal saat terbenam matahari. Sistem wujudul hilal sampai kini masih tetap dipertahankan dan dikukuhkan kembali dalam Munas Tarjih ke-26 di Padang tahun 2003/1424.

Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid tidak menutup mata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan sains. Artinya teori wujudul hilal bukanlah harga mati. Oleh karena itu Muhammadiyah akan selalu mengkaji teori yang digunakan, jika sekiranya ada teori yang lebih relevan dengan tuntutan syar'i dan sains, maka Muhammadiyah tidak segan untuk menggunakannya.

Bagi Muhammadiyah, teori imkanur rukyah yang digunakan Departemen Agama Republik Indonesia sebagai produk ijtihad patut dihargai, tapi masih sulit diterima karena teori tersebut tidak empiris. Jika teori imkanur rukyah hanya dibangun dan dirumuskan berdasarkan data-data masa lalu yang masih dipertentangkan keakuratannya, maka teori tersebut tidak memilki basis epistemologi yang kuat. Sebagai bukti kongkrit kasus awal Rabiul Awal 1428 H. Berdasarkan hasil hisab, ijtimak terjadi pada hari Senin, 19 Maret 2007. Ketinggian hilal (di Yogyakarta) = + 02º 00' 26'' . Dalam kenyataannya, di seluruh wilayah Indonesia dilaporkan tidak ada yang berhasil melihat hilal. Jika yang terjadi demikian, maka teori wujudul hilal masih relevan untuk dijadikan pedoman dalam penentuan awal bulan komariyah.

Namun demikian, langkah-langkah menuju unifikasi perlu diusahakan terutama kajian ulang terhadap standar imkanur rukyah yang dipedomani Departemen Agama Republik Indonesia, yang dibangun dengan kejujuran, kesadaran objektif ilmiah dengan mekanisme kerja yang jelas dan terarah.

 

Wallahu a'lam. *ssk)

 

PUASA ARAFAH MENGAMPUNI DOSA YANG BELUM DILAKUKAN DAN NABI PERNAH PUASA DAN TIDAK PUASA DI HARI ARAFAH

 

Pertanyaan dari:

Sigit Bachtiar, NBM. 977029

(Disidangkan pada hari Jum'at, 16 Rabiul Akhir 1428 H / 4 Mei 2007 M)

 

 

Pertanyaan:

 

Membaca SM edisi 4/2007 dalam rubrik Manhaj Tarjih “Perbedaan Pendapat dalam Memahami Islam (3)” halaman 34-35, ada beberapa hal yang kami belum paham, mohon penjelasan.

1.      Puasa Arafah dapat menutup dosa 2 tahun, 1 tahun yang lampau dan 1 tahun yang akan datang. Dosa yang akan datang kan belum dilakukan apa ini bisa dihapus? (bagaimana dengan dosa besar dan dosa yang disengaja?), apakah mungkin secara makna berarti dapat menjaga/lebih berhati-hati dalam melakukan perbuatan di tahun yang akan datang, bukan dosa yang dihapus?

2.      Ada dua hadis yang menerangkan puasa Arafah, yang satu menyebutkan Nabi berpuasa tatkala wukuf dan yang lain Nabi tidak puasa tatkala wukuf. Setahu saya Nabi melakukan haji hanya sekali (tentunya wukuf di Arafah 1 kali) dan umrah 3 kali (tidak ada wukuf), mengapa ada dua hadis yang menerangkan demikian?

 

 

Jawaban:

 

Teks hadis yang saudara tanyakan selengkapnya adalah sebagai berikut:

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ سَنَةٍ مَاضِيَةٍ وَسَنَةٍ مُسْتَقْبَلَةٍ وَصَوْمُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ كَفَّارَةُ سَنَةٍ.

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Qatadah (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw bersabda: Puasa hari Arafah menutup dosa dua tahun, satu tahun yang lampau dan satu tahun yang akan datang, dan puasa Asyura menutup dosa satu tahun.[Hadis ini diriwayatkan oleh sejumlah ahli hadis dan teks di atas adalah riwayat Imam Ahmad].

Perlu diketahui bahwa dalam hadis-hadis lain disebutkan beberapa jenis ibadah dan perbuatan yang dapat menghapus dosa yang akan datang. Misalnya hadis al-Bukhari yang menegaskan bahwa Rasulullah saw bersabda, Barang siapa mandi pada hari Jumat, bertaharah sedemikian rupa, kemudian memakai wangi-wangian, kemudian berangkat (ke Jumat), lalu tidak menyela dua orang (yang sedang duduk di mesjid), kemudian salat semampunya melakukan, kemudian bila mana imam berkhutbah ia diam mendengarkannya, maka diampuni dosanya dari Jumat bersangkutan hingga Jumat berikutnya [HR. al-Bukhari]. Dalam riwayat Muslim, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban bahkan ditambahkan akan diampuni dosanya antara Jumat bersangkutan dan Jumat berikutnya plus tiga hari sesudahnya.

Ada pula hadis riwayat Ahmad yang menegaskan bahwa orang yang melakukan puasa Ramadan dengan iman dan penuh harap terhadap rida Allah akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang. Di lain pihak hadis Abu Dawud menyatakan bahwa barang siapa membaca alhamdulillah setelah makan atau memakai pakaian, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.

Mengenai apa macam dosa yang diampuni, terdapat beberapa hadis yang menyatakan bahwa yang bisa diampuni oleh beberapa jenis ibadah tersebut adalah dosa-dosa kecil. Hadis dimaksud adalah sebagai berikut,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصَّلاَةُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إلى الْجُمْعَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ. [رواه مسلم والترمذى وابن ماجه وابن حبان وابن خزيمة والبيهقي]  

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: Shalat lima waktu dan Jumat ke Jumat menutup dosa-dosa dari shalat ke shalat berikutnya selama tidak dilakukan dosa besar.[HR. Muslim, at-Turmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah, dan al-Baihaqi].   

Ibnu ‘Abdil-Barr (w. 463/1071), seorang ulama besar dari Cordova, Spanyol, menegaskan dalam kitabnya at-Tamhid bahwa memang ada beberapa orang ahli ilmu pada zaman ini yang berpendapat bahwa hikmah taharah dan shalat dapat menghapus dosa-dosa besar. Akan tetapi ia mengomentari pendapat tersebut dengan agak keras dengan menyatakannya sebagai pendapat jahil dan menyetujui ajaran Murjiah. Dari uraiannya yang panjang dapat pula dipahami bahwa dosa yang disengaja tidak dapat ditutupi oleh hikmah ibadah-ibadah tersebut. Dosa-dosa besar dan disengaja dapat diampuni apabila pelakunya bertobat nasuha dengan menyesalinya dan memperbaiki diri serta bertekad untuk tidak mengulangi lagi (at-Tamhid, IV: 44-49).

Dalam Putusan Tarjih pada Munas XXVI tahun 2003 (yang belum ditanfidz oleh PP) tentang hikmah puasa tathawwu‘ diberi peringatan bahwa: Hendaknya jangan terjadi salah pengertian dan jangan timbul anggapan yang mengarah kepada bermudah-mudah melakukan perbuatan maksiat dan dosa semata karena anggapan bahwa dengan berpuasa sunnat sehari saja dosa-dosa itu, bahkan dosa setahun yang lalu dan yang akan datang, segera akan terhapus, dan orang tersebut akan dijauhkan dari api neraka sejauh tujuh puluh tahun. Perlu dicamkan bahwa puasa yang sungguh-sungguh bukan sekedar perbuatan fisik berupa tidak makan, tidak minum dan tidak berhubungan badan (bagi pasangan suami-isteri) belaka, melainkan puasa yang sesungguhnya adalah puasa yang didasarkan kepada suatu komitmen otentik untuk meninggalkan segala perbuatan dosa dan maksiat dan sekaligus terefleksikan dalam perbuatan dan tingkah laku nyata.

Mengenai dosa yang akan datang yang belum dikerjakan, dapat dikutipkan pernyataan Imam asy-Syaukani (w. 1255/1839), dalam Nailul-Authar ketika menerangkan puasa Arafah akan menghapus dosa yang akan datang, bahwa dosa itu akan diampuni apabila seandainya terjadi, atau bisa juga berarti bahwa orang itu, karena puasa Arafahnya, akan terbimbing sehingga terhindar dan tidak akan melakukan dosa (Nailul-Authar, 2000 : 875). Alternatif kedua dari penjelasan asy-Syaukani ini lebih logis dan dapat diterima.

Mengenai Nabi pernah puasa dan pernah tidak puasa pada waktu wukuf, yang dimaksud oleh penulis artikel bersangkutan adalah hadis-hadis sebagai berikut:

عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ [رواه أبو داود وأحمد والبيهقي].

Artinya: Diriwayatkan dari salah seorang isteri Nabi saw, ia berkata: Rasululah pernah puasa sembilan hari (pertama) bulan Zulhijjah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan, yaitu Senin pertama dan hari Kamis[HR Abu Dawud, Ahmad dan al-Baihaqi].

عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ في صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ فَشَرِبَهُ [رواه الجماعة واللفظ للبخاري].

Artinya:Diriwayatkan dari Ummul-Fadll binti al-Harits bahwa beberapa orang bertikai di dekatnya pada hari Arafah mengenai puasa Nabi saw. Beberapa menyatakan bahwa beliau puasa dan yang lain mengatakan beliau tidak puasa. Maka Ummul-Fadll mengirim secawan susu kepada beliau ketika ia berdiri di dekat untanya, lalu beliau minum. [HR. Jamaah ahli hadis, dan lafal di atas adalah lafal al-Bukhari].

Hadis pertama menerangkan bahwa Rasulullah saw pernah puasa sembilan hari bulan Zulhijjah. Sembilan hari bulan Zulhijjah itu adalah tanggal 1 hingga tanggal 9, yakni sampai hari Arafah. Salah seorang isteri Nabi saw yang dimaksud dalam hadis itu menurut riwayat an-Nasa’i, Ahmad dan ath-Thabrani adalah Hafsah (w. 41/661). Hadis Hafsah ini terjemahannya adalah, Diriwayatkan dari Hafsah, ia berkata: Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw, yaitu: puasa Asyura, puasa sepuluh hari bulan Zulhijjah, puasa tiga hari setiap bulan, dan shalat dua rakaat sebelum shalat subuh [HR. an-Nasa‘i]. Sepuluh hari bulan Zulhijjah dalam hadis Hafsah ini dimaksudkan sembilan hari, karena pada hari kesepuluh, yaitu hari Idul Adha dilarang puasa. Penyebutan sepuluh hari ini karena dalam hadis-hadis lain diterangkan keutamaan beribadah pada sepuluh hari tersebut, termasuk keutamaan berpuasa, hanya saja karena hari Idul Adha dilarang puasa, maka secara otomatis menurut akal maksudnya adalah sembilan hari. Dengan kata lain dalam hadis ini ada istisna aqli (pengecualian berdasarkan logika pikiran). Demikian Ali al-Qari (w. 1014/1605) dalam Mirqatul-Mashabih (IV: 495).

Hadis yang menerangkan keutamaan beribadah termasuk puasa pada sepuluh hari bulan Zulhijjah itu adalah,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ أَيَّام العَمَل الصَّالِح فِيْهَا أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَامِ اْلعَشْرِ .

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Tiadalah hari yang dilakukannya amal salih lebih disukai Allah pada hari itu daripada sepuluh hari (dalam bulan Zulhijjah)…[HR. Ibn Hibban, Ibn Khuzaimah, al-Baihaqi, ath-Thabrani dan ad-Darimi].

Abu ‘Awanah (w. 316/928) dalam Musnadnya dan Imam at-Turmudzi dan Ibnu Majah meriwayatkan hadis ini dari Abu Hurairah yang menegaskan bahwa Nabi bersabda, Tiadalah hari-hari dunia ini yang disukai oleh Allah agar padanya dilakukan ibadah selain sepuluh hari bulan Zulhijjah; barang siapa berpuasa satu hari saja padanya sebanding dengan puasa satu tahun dan beribadah satu malam saja padanya sama dengan beribadah malam lailatul qadar [Musnad Abu ‘Áwanah, II: 246].

Jadi hadis pertama, yaitu hadis Abu Dawud, menunjukkan bahwa Rasulullah saw pernah puasa pada hari Arafah. Sedangkan hadis kedua, yaitu hadis Ummul-Fadll, memastikan bahwa Rasulullah saw tidak berpuasa pada waktu di Arafah ketika melakukan haji wada‘ karena beliau minum susu. Dalam hadis itu diterangkan bahwa beberapa Sahabat ketika di Arafah bertikai apakah Nabi saw pada hari itu puasa atau tidak. Sebagian menyatakan beliau puasa dan sebagian lain menyatakan tidak puasa. Hafsah kemudian mengetesnya dengan memberikan secawan susu dan ternyata beliau minum, yang berarti beliau tidak puasa. Ibnu Hajar (w. 852/1449), pensyarah Shahih al-Bukhari, menegaskan bahwa pertikaian beberapa Sahabat itu menunjukkan bahwa mereka ketika di Madinah bersama Rasulullah saw biasa melakukan puasa Arafah. Orang yang memastikan bahwa Nabi saw puasa pada waktu wukuf bersandar kepada kebiasaan beliau tersebut yang melakukan puasa Arafah. Sedangkan yang menyatakan beliau pada hari itu tidak berpuasa alasannya adalah karena beliau musafir dan biasanya beliau menyuruh orang musafir untuk tidak melakukan puasa wajib sekalipun, apalagi puasa sunnat.

Dengan demikian yang dimaksud dengan Nabi saw pernah puasa hari wukuf Arafah adalah ketika di Madinah beliau berpuasa pada saat di Arafah dilakukan wukuf. Sedangkan pada saat haji wada‘ beliau tidak puasa Arafah. Oleh karena itu kemudian dalam fikih ditentukan hukum bahwa orang yang tidak sedang berada di Padang Arafah disunnatkan puasa, sedangkan orang yang sedang melakukan wukuf dilarang puasa. Namun larangan tersebut, seperti ditegaskan pada artikel dalam SM edisi 4/2007 itu, bukanlah larangan yang mengharamkan, melainkan larangan makruh dengan illat agar orang yang bersangkutan tidak kehabisan tenaga untuk melakukan rangkaian kegiatan ibadah haji yang berpuncak di Arafah.

 

KEHUJJAHAN HADIS-HADIS PUASA SEMBILAN/SEPULUH HARI ZULHIJJAH

Terdahulu telah disebutkan hadis salah seorang isteri Nabi saw riwayat Abu Dawud, Ahmad dan al-Baihaqi tentang Nabi saw melakukan puasa sembilan hari Zulhijjah dan juga hadis Hafsah tentang empat hal yang tidak pernah ditinggalkan Nabi saw antara lain puasa sepuluh hari bulan Zulhijjah. Teks hadis terakhir ini adalah,

عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَالْعَشْرَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَالرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ .

Artinya: Diriwayatkan dari Hafsah, ia berkata: Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw, yaitu: puasa Asyura, puasa sepuluh hari bulan Zulhijjah, puasa tiga hari setiap bulan, dan shalat dua rakaat sebelum shalat subuh.

Dalam Putusan Munas Tarjih XXVI di Padang tahun 2003 (yang belum ditanfiz oleh PP) tentang puasa tathawwu‘ ditegaskan bahwa puasa tathawwu‘ ke-8 adalah puasa tanggal 1 s/d 8 Zulhijjah. Disebut puasa tanggal 1 s/d 8 Zulhijjah adalah karena puasa tanggal 9 (hari Arafah) sudah disebutkan tersendiri. Dalil yang digunakan dalam Putusan tersebut adalah hadis Hafsah tentang empat hal yang tidak pernah ditinggalkan Nabi saw di mana salah satunya adalah puasa sepuluh hari bulan Zulhijjah itu. Pertanyaannya, apakah hadis-hadis ini dapat dijadikan hujjah? Pertanyaan ini muncul karena adanya hadis dari ‘Aisyah yang menyanggah puasa tersebut sebagai berkut:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَائِمًا فِي الْعَشْرِ قَطُّ. [رواه مسلم].

Artinya:Diriwayatkan dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw puasa pada sepuluh hari (pertama bulan Zulhijjah). [HR. Muslim].

Untuk itu kita perlu menyelidiki sanad hadis Hafsah tentang empat hal yang tidak pernah ditinggalkan Nabi saw seperti tersebut di atas dan sanad hadis beliau puasa sembilan hari Zulhijjah. Selain dari an-Nasa’i, hadis Hafsah ini diriwayatkan juga oleh Ahmad, Ibn Hibban, Abu Ya‘la, dan ath-Thabrani. Yang paling pendek dari sanad kelima rawi (mukharrij) ini adalah sanad Ahmad sebagai berikut: Hafsah – Hunaidah – al-Hurr – ‘Amr Ibn Qais – Abu Ishaq – Hasyim Ibn al-Qasim – Imam Ahmad. Jalur sanad dari semua ahli hadis untuk hadis ini sama sampai kepada Hasyim Ibn al-Qasim (Abu an-Nadlr). Dari beliau baru terjadi percabangan menuju kepada para ahli hadis tersebut. Semua rawi ini, kecuali Abu Ishak, adalah terpercaya.

Informasi biografis tentang Abu Ishaq ini tidak banyak terungkap dalam kitab-kitab rijal hadis. Hanya disebutkan bahwa namanya adalah Abu Ishaq al-Asyja‘i berasal dari Kufah. Ia meriwayatkan hadis dari ‘Amr Ibn Qais, dan murid yang meriwayatkan hadisnya adalah Hasyim Ibn al-Qasim yang sering dipanggil Abu an-Nadlr, seorang ahli hadis terpercaya. Hadis-hadis Abu Ishaq hanya diriwayatkan oleh Hasyim ini. Ibn Hajar (w. 852/1449) menilainya maqbul, sebuah kategori ta’dil paling rendah. Tetapi tidak begitu jelas apa alasannya ia dinilai karena keterangan biografis Ibn Hajar sendiri tentangnya tidak memadai. Adz-Dzahabi (w. 748/1347) memasukkannya ke dalam bukunya al-Mughni fi adl-Dlu‘afa’, akan tetapi kurang jelas kategorinya. Dalam buku ini adz-Dzahabi memasukkan berbagai kategori rawi termasuk rawi terpercaya yang sedikit longgar dalam seleksi hadis. Mungkin atas dasar ini kemudian al-Albani menyatakan hadis ini daif. Ibn Hibban meriwayatkan hadis Abu Ishaq ini dalam Shahihnya, yang berarti menurutnya Abu Ishak adalah rawi yang hadisnya sahih. Begitu pula al-Arnauth menyatakan bahwa sanad hadis ini sahih memenuhi kriteria al-Bukhari dan Muslim.

Hadis ini mempunyai kesamaan makna dengan hadis salah seorang isteri Nabi saw yang menerangkan beliau melakukan puasa sembilan hari bulan Zulhijjah. Sanad terpendek hadis salah seorang isteri Nabi saw ini seorang isteri Nabi saw – isteri Hunaidah – Hunaidah – al-Hurr – Abu ‘Awanah. Hingga Abu ‘Awanah ini jalur periwayatan hadis ini semuanya sama. Dari Abu ‘Awanah kemudian baru terjadi percabangan menuju masing-masing ahli hadis. Pada dasarnya semua rawi dalam sanad hadis ini adalah terpercaya. Hanya saja ada rawi yang mubham dan majhul. Rawi mubham itu adalah salah seorang isteri Nabi saw. Siapa yang dimaksud dengan isteri Nabi ini. Bila dihubungkan dengan hadis terdahulu, kiranya dapat diduga bahwa salah seorang isteri Nabi saw ini adalah Hafsah (w. 41/661), putri Umar Ibn al-Khattab.

Adapun isteri Hunaidah memang majhul, yaitu tidak dikenal sama sekali identitas dirinya. Tidak ada satupun sumber biografis yang dilacak sejauh ini menyebutkan identitasnya. Namun penjelasan lain dapat diberikan. Hunaidah sendiri dinilai oleh para biografer ahli hadis sebagai rawi terpercaya. Nama lengkapnya adalah Hunaidah Ibn Khalid al-Khuza‘i, terbilang ke dalam kelompok tabiin. Tetapi ada beberapa biografer yang menyatakannya sebagai Sahabat. Ia banyak bergaul dengan Sahabat dan meriwayatkan hadis dari beberapa di antara mereka. Ia pernah bertemu Ali Ibn Abi Talib dan ikut bersamanya melaksanakan suatu hukuman hadd (dengan cambuk) terhadap seseorang pelaku kejahatan. Ia mula-mula di Madinah kemudian pindah ke Kufah. Ibunya adalah bekas budak Umar Ibn al-Khattab. Oleh karena itu Hunaidah tentulah dekat dengan keluarga Umar, termasuk anaknya Hafsah. Dengan begitu, meskipun isterinya majhul, namun antara Hunaidah dan Hafsah tidak ada keterputusan karena keduanya muasir (sezaman) dan mengingat hubungan keluarga mereka yang dekat tentu Hunaidah banyak mengetahui riwayat yang bersumber kepada Hafsah. Oleh karena itu ada alasan untuk menerima hadis ini.

Mengenai sanggahan ‘Aisyah, seperti disebutkan dalam riwayat Muslim yang dikutip di atas, para komentator (pensyarah) hadis menjelaskan sebagai beikut. An-Nawawi (w. 676/1278) dalam Syarh Shahih Muslim menegaskan, “Hadis ‘Aisyah ‘Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw melakukan puasa sepuluh” takwilnya adalah puasa sembilan hari sejak hari pertama bulan Zulhijjah. Hadis ini tidak menunjukkan bahwa puasa sembilan itu makruh, melainkan sangat disunatkan terutama pada hari yang ke-9, yaitu hari Arafah. Terdahulu telah diterangkan hadis-hadis yang menunjukkan keutamaannya, dan dalam Shahih al-Bukhari  diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: Tiadalah hari yang amal salih padanya lebih utama dari hari-hari ini, maksudnya sepuluh hari pertama bulan Zulhijjah. Pernyataan ‘Aisyah bahwa ia tidak pernah melihat Rasulullah puasa sepuluh hari takwilnya adalah bahwa ia tidak melihatnya melakukannya pada waktu sakit atau waktu dalam perjalanan atau lainnya. Atau bisa juga ditakwil bahwa tidak melihatnya itu tidak berarti bahwa beliau dalam kenyataannya tidak melakukannya. Takwil ini ditunjukkan oleh hadis Hunaidah dari salah seorang isteri Nabi saw [VIII: 71-72].

Dalam al-Majmu‘ an-Nawawi menegaskan bahwa ‘Aisyah ia tidak melihat Nabi saw melakukan puasa sepuluh itu tidak berarti bahwa beliau tidak melakukannya dalam kenyataan. Beliau kadang-kadang berada bersama ‘Aisyah pada salah satu dari sembilan hari Zulhijjah dan pada isterinya yang lain pada hari-hari sisanya. Atau dapat juga ditakwil bahwa beliau melakukan puasa sepuluh itu pada tahun tertentu dan tidak melakukannya pada tahun yang lain karena sakit atau dalam perjalanan atau karena alasan lain. Demikianlah jamak (kompromi) dilakukan terhadap hadis-hadis ini [VI: 414].

Ibnu Hajar (w. 852/1449), pensyarah terbesar Shahih al-Bukhari, menegaskan bahwa hadis ini [maksudnya hadis al-Bukhari tentang tiada hari yang amal salih lebih afdal untuk dikerjakan pada hari itu dari pada hari yang sepuluh ini] menjadi dalil atas keutamaan puasa sepuluh hari bulan Zulhijjah karena puasa itu termasuk dalam amal salih. Tidak ada pertentangan dengan hadis ‘Aisyah karena ada kemungkinan beliau pada waktu tertentu tidak melakukannya karena khawatir dianggap wajib oleh umatnya [II: 460].

Imam az-Zarkasyi (w. 794/1392) menyatakan bahwa hadis ‘Aisyah itu bisa diartikan bahwa ‘Aisyah tidak tahu bahwa beliau melakukan puasa sepuluh karena beliau membagi hari-harinya di antara isteri-isteri beliau. Ada kemungkinan beliau puasa tidak pada hari-hari bersama ‘Aisyah [Al-Ijabah, 173]. Ibnu Qudamah (w. 620/1223), dalam al-Kafi, menegaskan, “Disunatkan puasa sepuluh [sembilan] hari bulan Zulhijjah berdasarkan hadis dari Ibnu ‘Abbas yang menerangkan bahwa Rasulullah bersabda: Tiadalah hari yang amal salih padanya lebih disukai oleh Allah dari hari-hari sepuluh ini” [I: 362].

Dengan demikian dapat dipahami bahwa hadis tentang puasa sepuluh/sembilan Zulhijjah dapat diterima dan puasa sepuluh [sembilan] hari bulan Zulhijjah tersebut masyru' (disyariatkan). *sy)

 

FATWA TARJIH:

PERCERAIAN DI LUAR SIDANG PENGADILAN (12)

Pertanyaan dari:

Pengurus salah satu BPH Amal Usaha di lingkungan Persyarikatan,

disampaikan lisan pada sidang Tarjih

(disidangkan pada: Jum'at, 8 Jumadal Ula 1428 H / 25 Mei 2007 M)

 

 

Pertanyaan:

Menurut peraturan perundangan yang berlaku di negara kita talak harus diikrarkan di depan sidang pengadilan. Pada hal sering timbul pertanyaan tentang masalah talak yang diucapkan suami di luar sidang pengadilan, apakah talaknya jatuh? Mohon penjelasan dari Majelis Tarjih dan Tajdid.

 

 

Jawaban:

Menurut pasal 39 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan pasal 65 UU No. 9/1989 tentang Peradilan Agama, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pegadilan yang bersagkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian dapat terjadi karena permohonan suami kepada Pengadilan untuk menyaksikan ikrar talak yang disebut cerai talak atau karena gugatan isteri yang disebut cerai gugat. Untuk melakukan perceraian harus ada alasan yang cukup.

Meskipun termasuk ke dalam wilayah hukum privat, persoalan cerai sesungguhnya juga menyangkut kepentingan luas, yakni ketentraman rumah tangga, nasib anak-anak yang orang tuanya bercerai, bahkan menyangkut kepentingan lebih luas lagi, yaitu tentang kepastian dalam masyarakat apakah suatu pasangan telah berpisah atau masih dalam ikatan perkawinan. Oleh karena itu perceraian tidak dapat dilakukan secara serampangan. Sebaliknya harus dilakukan pengaturan sedemikian rupa agar terwujud kemaslahatan dan ketertiban di dalam masyarakat.

Dalam hadis Nabi saw dinyatakan bahwa perceraian itu adalah suatu hal yang halal tetapi sangat dibenci oleh Allah. Nabi saw bersabda,

أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إلى اللهِ تَعَالَى الطَّلاَقُ [رواه أبو داود والبيهقي].

Artinya: Suatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah SWT adalah talak [HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi].

Ini artinya perceraian jangan dianggap enteng dan dipermudah-mudah karena peceraian itu sangat dibenci oleh Allah meskipun halal. Wujud dari tidak mengenteng-entengkan perceraian itu adalah bahwa ia hanya dapat dilakukan bila telah terpenuhi alasan-alasan hukum yang cukup untuk melakukannya. Di samping itu harus dilakukan melalui pemeriksaan pengadilan untuk membuktikan apakah alasannya sudah terpenuhi atau belum. Oleh karena itulah ijtihad hukum Islam modern, seperti tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (ps. 115) misalnya, mewajibkan prosedur perceraian itu melalui pengadilan; dan bahwa perceraian terjadi terhitung sejak saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan (KHI, ps. 123).

Memang dalam fikih klasik, suami diberi hak yang luas untuk menjatuhkan talak, sehingga kapan dan di manapun ia mengucapkannya, talak itu jatuh seketika. Keadaan seperti ini dipandang dari sudut pemeliharaan kepentingan keluarga, kepastian hukum dan ketertiban masyarakat tidak mewujudkan maslahat bahkan banyak merugikan terutama bagi kaum wanita (isteri). Oleh karena itu demi terwujudnya kemaslahatan, maka perceraian harus diproses melalui pengadilan. Jadi di sini memang ada perubahan hukum, yaitu dari kebolehan suami menjatuhkan talak kapan dan di manapun menjadi keharusan menjatuhkannya di depan sidang pengadilan. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:

لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ [قواعد الفقه، ص 113].

Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman [Qawaid al-Fiqh, hlm. 113].

Ibnu al-Qayyim menyatakan :

تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ [إعلام الموقعين، 2: 3].

Artinya: Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat [I’lam al-Muwaqqi’in, Juz III, hlm. 3].

Para filosof syariah telah menyepakati bahwa tujuan syariah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan. Menurut asy-Syatibi, dasarnya adalah:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالمين. [الأنبياء (21): 107]

Artinya: Tiadalah Kami mengutus engkau melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam [QS. al-Anbiya’ (21): 107] [asy-Syatibi, al-Muwafaqat, Juz II, hlm. 142].

 

Dalam kaitan ini penjatuhan talak di depan sidang pengadilan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan berupa perlindungan terhadap institusi keluarga dan perwujudan kepastian hukum dimana perkawinan tidak dengan begitu mudah diputuskan. Pemutusan harus didasarkan kepada penelitian apakah alasan-alasannya sudah terpenuhi. Dengan demikian talak yang dijatuhkan di depan pengadilan berarti talak tersebut telah melalui pemeriksaan terhadap alasan-alasannya melalui proses sidang pengadilan.

K.H. Ahmad Azhar Basyir (mantan Ketua Majelis Tarjih dan Ketua PP Muhammadiyah), mengenai masalah ini, menyatakan:

Perceraian yang dilakukan di muka pengadilan lebih menjamin persesuaiannya dengan pedoman Islam tentang perceraian, sebab sebelum ada keputusan terlebih dulu diadakan penelitian tentang apakah alasan-alasannya cukup kuat untuk terjadi perceraian antara suami-istri. Kecuali itu dimungkinkan pula pengadilan bertindak sebagai hakam sebelum mengambil keputusan bercerai antara suami dan istri. [Hukum Perkawinan Islam, h. 83-84].

 

            Pada bagian lain dalam buku yang sama K.H. Ahmad Azhar menjelaskan lebih lanjut,

Untuk menjaga agar perceraian jangan terlalu mudah terjadi, dengan pertimbangan “maslahat mursalah” tidak ada keberatannya apabila diambil ketentuan dengan jalan undang-undang bahwa setiap perceraian apapun bentuknya diharuskan melalui pengadilan. [Hukum Perkawinan Islam, h. 85].

 

            Selain dari itu dapat pula ditegaskan bahwa penjatuhan talak di luar sidang pengadilan, mengingat mudarat yang ditimbulkannya, harus dilarang dan dinyatakan tidak sah berdasarkan prinsip sadduz-zari‘ah [menutup pintu yang membawa kepada kemudaratan].

            Dari apa yang dikemukakan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa,

1)               perceraian harus dilakukan melalui proses pemeriksaan pengadilan: cerai talak dilakukan dengan cara suami mengikrarkan talaknya di depan sidang pengadilan, dan cerai gugat diputuskan oleh hakim;

2)           perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan dinyatakan tidak sah.

Wallahu a'lam bish-shawab. *sy)

 

 

            

FATWA TARJIH:

HUKUM NIKAH SIRRI (13)

 

Pertanyaan dari:

Pengurus salah satu BPH Amal Usaha di lingkungan Persyarikatan,

disampaikan lisan pada sidang Tarjih

(disidangkan pada: Jum'at, 8 Jumadal Ula 1428 H / 25 Mei 2007 M)

 

 

Pertanyaan:

Sampai sekarang masih ada orang Islam yang melakukan nikah sirri, yaitu pernikahan yang dilakukan oleh wali pihak perempuan dengan seorang laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, tetapi tidak dilaporkan atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Bagaimana hukum pernikahan seperti ini?

[Pengurus salah satu BPH Amal Usaha di lingkungan Persyarikatan, disampaikan lisan pada sidang Tarjih]

 

Jawaban:

Istilah nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan memang dikenal di kalangan para ulama, paling tidak sejak masa imam Malik bin Anas. Hanya saja nikah sirri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah sirri pada masa sekarang. Pada masa dahulu yang dimaksud dengan nikah sirri yaitu pernikahan yang memenuhi unsur-unsur atau rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut syari'at, yaitu adanya mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, adanya ijab qabul yang dilakukan oleh wali dengan mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, hanya saja si saksi diminta untuk merahasiakan atau tidak memberitahukan  terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada i'lanun-nikah dalam bentuk walimatul-'ursy atau dalam bentuk yang lain. Yang dipersoalkan adalah apakah pernikahan yang dirahasiakan, tidak diketahui oleh orang lain sah atau tidak, karena nikahnya itu sendiri sudah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Adapun nikah sirri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini ialah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam, sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai Akta Nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perkawinan yang demikian di kalangan masyarakat selain dikenal dengan istilah nikah sirri, dikenal juga dengan sebutan perkawinan di bawah tangan.

Nikah sirri yang dikenal masyarakat seperti disebutkan di atas muncul setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan:

(1).                     Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing  agama dan kepercayaannya itu.

(2).                 Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan dari pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 selanjutnya  diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pasal-pasal yang berkaitan dengan tatacara perkawinan dan pencatatannya,  antara lain Pasal 10, 11, 12, dan 13.

Pasal 10 PP No. 9 Tahun1975 mengatur tatacara perkawinan. Dalam ayat (2) disebutkan: "Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya". Dalam ayat (3) disebutkan: "Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi".

Tentang pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 11:

(1).                     Sesaat setelah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.

(2).                 Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.

(3).                 Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.

Dalam Pasal 12 diatur hal-hal apa saja yang dimuat dalam akta perkawinan, dan dalam Pasal 13 diatur lebih lanjut tentang akta perkawinan dan kutipannya, yaitu:

(1).                     Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam  wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu berada

(2).                 Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan.

Dari ketentuan perundang-undangan di atas dapat diketahui bahwa peraturan perundang-undangan sama sekali tidak mengatur materi perkawinan, bahkan ditandaskan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Peraturan perundangan hanya mengatur perkawinan dari formalitasnya, yaitu perkawinan sebagai sebuah peristiwa hukum yang harus dilaksanakan menurut peraturan agar terjadi ketertiban dan kepastian hukumnya.

Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan.Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan hendaknya di'ilankan, diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-'ursy. Nabi saw bersabda:

أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ [رواه ابن ماجة عن عائشة]

Artinya: Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana [HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah].

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه البخارى عن عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ)

Artinya: Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing [HR. al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf].

Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian.

Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara sumai isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka. Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya Undang-undang atau peraturanlainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:

لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ.

Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.

Ibnu al-Qayyim menyatakan :

تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ.

Artinya: Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat [I’lam al-Muwaqqi’in, Juz III, hlm. 3].

Selain itu pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak. Tindakan preventif ini dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh Pegawai Pencatat, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975.

Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan, dalam hukum Islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam peroalanmudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya, seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:

g•ƒr'¯»tƒاšúïÏ%©!$#(#þqãZtB#uä#sŒÎ)LäêZtƒ#y‰s?Aûøïy‰Î/#’n<Î)9@y_r&‘wK|¡•Bçnqç7çFò2$$sù ...

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... .

               Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 21:

y#ø‹x.ur¼çmtRrä‹è{ù's?ô‰s%ur4Ó|Óøùr&öNà6àÒ÷èt/4’n<Î)<Ù÷èt/šcõ‹yzr&urNà6ZÏB$¸)»sV‹ÏiB$Zà‹Î=xî

Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.

Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam qaidah:

تََصَرُّفُ اْلاِمَامُ عَلىَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ.

Artinya: Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.

Atas dasar pertimbangan di atas, maka bagi warga Muhammadiyah, wajib hukumnya mencatatkan perkawinan yang dilakukannya. Hal ini juga diperkuat dengan naskah Kepribadian Muhammadiyah sebagaimana diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35, bahwa di antara sifat Muhammadiyah ialah "mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara yang sah".

Wallahu a'lam bish-shawab. *sp)

 

UPACARA TAHLILAN (14)

 

Pertanyaan dari:

Kus Anwaruddin, Sekretaris PC Pemuda Muhammadiyah Tersono

Mangunsari, Tersono, Batang, Jawa Tengah

 

 

Pertanyaan:

 

Sebagai warga Muhammadiyah walaupun belum punya KTA saya ingin menanyakan beberapa hal yang selama ini menjadi ganjalan dalam benak saya:

1.      Bagaimana sikap resmi PP Muhammadiyah mengenai tradisi Upacara Tahlilan dalam rangkaian upacara kematian?

2.      Sebagai warga Muhammadiyah bagaimana sikap saya bila diundang dalam upacara tahlilan yang di dalamnya ada jamuan makanannya? (Biasanya makanan tersebut dikumpulkan oleh warga RT/jamaah lalu diserahkan kepada keluarga yang terkena musibah dan selanjutnya dimakan bersama dalam upacara tahlilan tersebut).

3.      Apa hukumnya bila saya menghadiri undangan tahlilan tersebut dengan alasan untuk kerukunan sebagai warga masyarakat? (Perlu diketahui bahwa, sepengetahuan saya di daerah saya masih banyak para PCM yang menghadiri undangan tahlilan tersebut).

4.      Apa pula hukumnya makan bersama dalam perjamuan tahlilan tersebut dengan alasan yang meninggal dunia tidak punya anak yatim / anaknya sudah dewasa dan sudah berkeluarga semua serta makanan tersebut berasal dari para jamaah tahlil yang hadir/dari warga RT? (Biasanya hal ini sudah menjadi program RT).

Saya sangat mengharapkan atas jawaban yang memuaskan dan disertai dalil-dalil yang sohih sehingga sebagai warga Muhammadiyah saya tidak ragu-ragu dalam melaksanakan ibadah yang sesuai dengan ajaran Rasulullah saw.

Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih.

 

 

Jawaban:

 

Sebelumnya perlu kami sampaikan bahwa pertanyaan yang saudara sampaikan sudah sangat sering ditanyakan dan sekaligus dijawab dalam rubrik fatwa agama ini. Di antaranya adalah seperti yang ditanyakan oleh Saudara Ruslan Hamidi, Moyudan, Sleman (SM No. 11 Th. Ke-88/2003), Ferry al-Firdaus, Cilawu Garut (SM No. 24 Th. Ke-90/2005) Tamrin Mobonggi, Limbato, Gorontalo (SM No. 3 Th. Ke-92/2007). Saudara dapat membaca secara lengkap dalam edisi-edisi Majalah Suara Muhammadiyah sebagaimana yang kami sebutkan.

Namun demikian, tidak ada salahnya kami jelaskan kembali secara ringkas tentang persoalan tahlilan tersebut, agar saudara dapat lebih mudah memahaminya.

Jika yang dimaksudkan tahlil adalah membaca “La Ilaha illa Allah” (tiada Tuhan selain Allah), Muhammadiyah tidak melarang, bahkan menganjurkan agar memperbanyak membacanya, berapa kali saja, untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam al-Qur`an disebutkan:

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ [البقرة (2):152]

Artinya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.” [al-Baqarah (2):152]

Disebutkan pula pada ayat-ayat lain seperti QS. al-Ahzab (33): 41, QS. al-An’am (6): 19, QS. al-Ikhlas (112): 1-4, QS. Muhammad (47): 19.

Perintah berzikir dengan menyebut Lafal Jalalah (La Ilaha illa Allah) dalam hadits-hadits pun banyak diungkapkan, misalnya hadits riwayat Abu Hurairah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشَرَ رِقَابٍ وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ أَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلاَّ أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ وَمَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْحَرِّ. (رواه مسلم، كتاب الذكر، باب فضل التهليل، نمرة: 28/2691)

Artinya: Diriwayatkan dari Abi Hurairah; Bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa mengucapkan ‘La ilaha illa Allah wahdahu la syarika lahu lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘ala kulli syai`in qadir’, dalam satu hari sebanyak seratus kali, maka (lafal jalalah tersebut) baginya sama dengan memerdekakan sepuluh hamba sahaya, dan dicatat baginya seratus kebaikan, dan dihapus daripadanya seratus kejahatan, dan lafal jalalah tersebut baginya menjadi perisai dari syaitan selama satu hari hingga waktu petang; dan tidak ada seorang pun yang datang (dengan membawa) yang lebih afdal, daripada apa yang ia bawa (ucapkan), kecuali orang yang mengerjakan lebih banyak dari itu. Dan barangsiapa mengucapkan ‘subhana-llah wa bi hamdih’ (Allah Maha Suci dan Maha Terpuji) dalam satu hari sebanyak seratus kali, maka dihapus kesalahan-kesalahannya, sekalipun seperti buih air panas yang mendidih.” [Diriwayatkan oleh Muslim, Kitab az-Zikr, Bab Fadlut-Tahlil, No. 28/2691]

Disebutkan pula pada hadits-hadits lain seperti hadits riwayat al-Bukhari dari ‘Itban ibn Malik, dalam Shahih al-Bukhari, Kitab as-Shalah (420), Bab al-Masajid fi al-Buyut dan hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah, dalam Shahih Muslim, Kitab az-Zikr, Bab Fadlut-Tahlil, No. 32/2695.

Ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits tersebut memberikan pengertian bahwa memperbanyak membaca tahlil adalah termasuk amal ibadah yang sangat baik, sehingga mereka yang memperbanyak tahlil dijamin masuk surga dan haram masuk neraka. Tentu saja tidaklah cukup hanya mengucapkannya, atau melafalkannya saja, melainkan harus menghadirkan hati ketika membacanya, dan merealisasikannya dalam kehidupan keseharian. Yaitu dengan memperbanyak amal shalih dan meninggalkan segala macam syirik. Jika masih berbuat syirik, dan tidak beramal shalih, sekalipun membaca tahlil ribuan kali, tidak ada manfaatnya. Maka yang sangat penting sebenarnya ialah bahwa tahlil itu harus benar-benar diyakini dan diamalkan dengan berbuat amal shalih sebanyak-banyaknya.

Maka yang dilarang menurut Muhammadiyah adalah upacaranya yang dikaitkan dengan tujuh hari kematian, atau empat puluh hari atau seratus hari dan sebagainya.

Selamatan tiga hari, lima hari, tujuh hari, dan seterusnya itu adalah sisa-sisa pengaruh budaya animisme, dinamisme, serta peninggalan ajaran Hindu yang sudah begitu berakar dalam masyarakat kita. Karena hal itu ada hubungan dengan ibadah, maka kita harus kembali kepada tuntunan Islam. Apalagi, upacara semacam itu harus mengeluarkan biaya besar, yang kadang-kadang harus pinjam kepada tetangga atau saudaranya, sehingga terkesan tabzir (berbuat mubazir). Seharusnya, ketika ada orang yang meninggal dunia, kita harus bertakziyah/melayat dan mendatangi keluarga yang terkena musibah kematian sambil membawa bantuan/makanan seperlunya sebagai wujud bela sungkawa. Pada waktu Ja'far bin Abi Thalib syahid dalam medan perang, Nabi saw menyuruh kepada para shahabat untuk menyiapkan makanan bagi keluarga Ja'far, bukan datang ke rumah keluarga Ja'far untuk makan dan minum.

Perlu diketahui pula, bahwa setelah kematian seseorang, tidak ada tuntunan dari Rasulullah saw untuk menyelenggarakan upacara atau hajatan. Yang ada adalah tuntunan untuk memberi tanda pada kubur agar diketahui siapa yang berkubur di tempat itu (HR. Abu Dawud dari Muthallib bin Abdullah, Sunan Abi Dawud, Bab Fi Jam'i al-Mauta fi Qabr ..., Juz 9, hlm. 22), mendoakan atau memohonkan ampun kepada Allah SWT (HR. Abu Dawud dari 'Utsman ibn 'Affan dan dinyatakan shahih oleh al-Hakim, Sunan Abi Dawud, Bab al-Istighfar 'inda al-Qabr lil-Mayyit ..., Juz 9, hlm. 41) dan dibolehkan ziarah kubur (HR. Muslim dari Buraidah ibn al-Khusaib al-Aslami, Bab Bayan Ma Kana min an-Nahyi ..., Juz 13, hlm. 113).

Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan:

1.      Sebagai warga Muhammadiyah sikap yang harus diambil adalah menjauhi atau meninggalkan perbuatan yang memang tidak pernah dituntunkan oleh Rasulullah saw dan sekaligus memberikan nasehat dengan cara yang ma'ruf (mauidlah hasanah) jika masih ada di antara keluarga besar Muhammadiyah pada khususnya dan umat Islam pada umumnya yang masih menjalankan praktek-praktek yang tidak dituntunkan oleh Rasulullah saw tersebut.

2.      Dalam menjaga hubungan bermasyarakat, menurut hemat kami tidaklah tepat jika tolok ukurnya hanya kehadiran pada upacara/hajatan kematian. Namun, kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lain, seperti rapat RT, kerja bakti, ronda malam (siskamling), takziyah dan lain-lain juga perlu mendapat perhatian. Dengan aktif mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut, insya Allah, ketika kita hanya meninggalkan satu kegiatan saja (tahlilan/hajatan tersebut) tidak akan membuat kita dijauhi oleh masyarakat di mana kita tinggal.

3.      Mengenai makan dan minum pada perjamuan tahlilan, sekalipun makanan dan minuman tersebut berasal dari para warga RT, namun tetap saja dapat digolongkan pada perbuatan tabzir, sehingga layak untuk ditinggalkan.

Wallahu a'lam bish-shawab. *)

 

SEPUTAR HUKUM BACAAN TATSWIB

PADA AZAN AWAL DAN AZAN TSANI (WAKTU SHUBUH) (15)

 

Pertanyaan Dari:

Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PCM Pekajangan,

Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah

 

 

Pertanyaan:

Di masyarakat/warga Cabang Muhammadiyah Pekajangan khususnya, dan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Pekalongan umumnya ada dua pendapat yang berbeda tentang bacaan tatswib (ash-shalatu khairun minan-naum) pada azan awal dan adzan tsani (waktu subuh), sebagaimana berikut:

Pertama, bersikeras dan mengharuskan bacaan tatswib dibaca pada azan tasni (waktu subuh), alasannya sebagaimana tersebut dalam buku Himpunan Putusan Tarjih (HPT), yakni bacaan tatswib dibaca pada waktu azan subuh.

Kedua, bacaan tatswib dibaca pada azan awal, pada azan tsani (waktu subuh) bacaan tatswib tidak dibaca. Hal ini sudah diamalkan sejak lama, dengan berpegang pada Fatwa Majelis Tarjih PP Muhammadiyah dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid I halaman 36-37 dan Jilid IV halaman 53, serta dalam Suara Muhammadiyah No. 21 tahun ke-85 edisi November 2000, yang merujuk pada hasil Muktamar Tarjih di Malang.

Yang kami tanyakan adalah, bagaimana kami bersikap terhadap orang yang berpegang pada pendapat pertama, yakni mengharuskan bacaan tatswib dibaca pada azan tsani (waktu subuh), sedangkan kami sudah menggunakan bacaan tatswib dibaca pada azan awal dan tidak dibaca pada azan tsani (waktu subuh)? Kami khawatir, apabila perbedaan itu terus berlangsung masyarakat akan bingung dan mengatakan bahwa Muhammadiyah itu kok berubah-ubah dalam menentukan hukum dan muamalah peribadatan.

Oleh karena itu kami mohon penjelasan yang dapat kami jadikan pegangan serta untuk meyakinkan warga Muhammadiyah, dan khususnya kepada orang yang memaksakan bacaan tatswib harus dibaca pada azan tsani (waktu subuh), sebab orang tersebut selalu menyalahkan dan menganggap salah kepada yang menggunakan bacaan tatswib hanya dibaca pada azan awal saja. Demikian, kami harap dapat segera mendapat penjelasan agar hal ini tidak sampai berlarut-larut penyelesaiannya.

 

 

Jawaban:

 

Memang benar, di masyarakat ada perbedaan pendapat tentang penggunaan bacaan tatswib dalam azan subuh, apakah dibaca pada azan awal dan azan tsani (waktu subuh) atau hanya dibaca pada azan awal saja, seperti halnya kasus yang saudara paparkan. Tentang bacaan tatswib itu, Majelis Tarjih Muhammadiyah juga telah memberikan penjelasan, yang telah saudara sebutkan pula secara rinci. Dari penjelasan-penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan bacaan tatswib dapat terjadi pada tiga kemungkinan:

1.      Bacaan tatswib dibaca pada azan awal saja (berpegang pada Fatwa Tarjih pada buku Tanya Jawab Agama Jilid I dan Majalah Suara Muhammadiyah No. 21/Th ke-85/2000, karena hukum bacaan tatswib pada azan tsani belum disepakati).

2.      Bacaan tatswib dibaca pada azan awal dan azan tsani (berpegang pada hasil Muktamar di Palembang tahun 1956).

3.      Bacaan tatswib dibaca pada azan tsani saja (karena di masjid yang bersangkutan kemungkinan tidak dikumandangkan azan awal)

Adapun mengenai persoalan yang terjadi di wilayah saudara, kami berpendapat bahwa akar permasalahannya hanya karena kurang pemahaman saja, sehingga perlu dilakukan pendekatan terhadap pihak-pihak yang bersikeras tersebut. Perlu pula diadakan diskusi atau dialog tentang persoalan tersebut dengan mengundang semua pihak yang berbeda pendapat atau pihak-pihak terkait, dan bilamana perlu PCM Pekajangan dapat mengundang narasumber yang dipandang ahli dalam bidang itu dan mengerti betul tentang proses pengambilan keputusan dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah.

Wallahu a'lam bish-shawab. *)

 

CARA MASUK KE DALAM JAMAAH

YANG MAKMUMNYA HANYA SATU ORANG

DAN MASALAH DUDUK DALAM KHUTBAH ‘ID

Pertanyaan dari: Sugiyanto, guru SMP dan aktivis Persyarikatan

(disidangkan pada hari Jum'at, 22 Jumadal Ula 1428 H / 8 Juni 2007 M)

 

 

Pertanyaan:

 

Saya ingin mendapat penjelasan tentang beberapa hal berikut. Sepanjang yang saya ketahui adalah bahwa apabila dalam shalat jamaah makmumnya satu orang, maka makmum tersebut berdiri di sebelah kanan imam. Kemudian apabila ada orang lain yang hendak ikut berjamaah, maka orang itu menarik makmum tersebut agar mundur ke belakang, kemudian orang tersebut berdiri sejajar dengan makmum yang ditarik mundur tadi. Dalilnya adalah hadis riwayat ath-Thabarani yang menyatakan bahwa Nabi saw bersabda, “Apabila seseorang kamu hendak masuk ke dalam saf pada hal sudah penuh, maka hendaklah ia menarik seseorang dari saf itu (ke belakang) untuk berdiri bersamanya (di saf belakang).” Akan tetapi ada pendapat bahwa hadis itu tidak sahih, dan cara masuk ke dalam shalat jamaah yang makmumnya satu orang bukan dengan menarik makmum satu orang itu ke belakang, melainkan imam yang maju ke muka. Pertanyaan saya dan mohon penjelasan:

1.      Apa benar hadis ath-Thabrani di atas itu tidak sahih?

2.      Kalau betul tidak sahih, bagaimana cara masuk ke dalam jamaah yang makmumya satu orang, apa makmum itu ditarik mundur, atau imamnya yang maju ke muka?

3.      Apa dalilnya?

            Pertanyaan lain adalah bahwa yang saya ketahui dan amalkan kalau khutbah Id itu satu kali saja dalam arti tidak ada duduk antara dua khutbah seperti shalat Jumat. Ada jamaah yang menganggap cara seperti itu tidak benar, khutbah Id itu harus dua kali diselingi oleh duduk antara dua khutbah, seperti khutbah Jumat. Mohon penjelasan berikut dalilnya.

 

 

Jawaban:

           

Terima kasih diucapkan kepada Bapak Sugianto atas pernyataannya. Jawaban kami meliputi butir-butir sebagai berikut:

 

CARA MASUK KE DALAM JAMAAH YANG MAKMUMNYA HANYA SATU ORANG

 

1.      Tentang hadis ath-Thabarani (dari Ibnu ‘Abbas)

Tekshadis ath-Thabarani yang ditanyakan adalah sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا انْتَهَى أَحَدُكُمْ إِلَى الصَّفِّ وَقَدْ تَمَّ فليجذب إِلَيْهِ رَجُلاً يقيمه إِلَى جَنْبِهِ . لاَ يَرْوِى هَذَا اْلحَدِيْث عَنْ رَسُولِ اللهِ إِلاَّ بِهَذَا اْلإِسْنَادِ تفرد به بِشْر بْنُ إِبْرَاهِيْم [رواه الطبرني] .

Artinya: Dari Ibn ‘Abbas (diwartakan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila seseorang kamu hendak masuk ke dalam saf yang sudah penuh, maka hendaklah ia menarik seseorang (ke belakang) agar berdiri di sampingnya. Hadis ini diriwayatkan dari Rasulullah saw hanya melalui sanad ini. Basyr Ibn Ibrahim menyendiri dalam meriwayatkannya. [HR. ath-Thabarani dalam al-Mu‘jam al-Ausath, VII: 374, hadis no. 7764].

Untuk menentukan kesahihan hadis harus dilakukan dua langkah penelitian, yaitu penelitian sanad dan penelitian matan, karena hadis terdiri dari dua bagian, yaitu sanad dan matan. Hadis yang hanya terdiri dari matan saja dan tidak ada sanadnya, maka itu bukanlah hadis. Begitu pula apabila hanya ada sanad saja tanpa matan, maka itu tidak ada gunanya dan tidak mungkin ada sanad tanpa matan. Biasanya dalam kutipan-kutipan, yang dikutip memang hanya matannya saja, sekedar untuk keringkasan. Sanadnya ada dalam sumber asli dari mana hadis bersangkutan diambil. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan sumber asli hadis adalah semua kitab yang penyusunnya memiliki sanad yang menghubungkannya langsung kepada Nabi saw. Oleh karena itu sumber asli hadis bukan hanya kitab-kitab hadis saja sepeti Shahih Muslim dan sejenisnya, tetapi juga meliputi semua kitab termasuk kitab fikih, tarikh, sirah, tafsir, atau usul fikih yang penyusunnya memiliki sanad yang menghubungkannya kepada Nabi saw. Jadi kitab Tafsir ath-Thabari, Sirah Ibn Hisyam, sertaal-Umm dan ar-Risalah karya Imam asy-Syafi‘i, misalnya, adalah sumber asli hadis karena mereka memiliki sanad hingga sampai kepada Nabi saw dan tidak mengutip hadisnya dari kitab hadis lain seperti dari Shahih al-Bukhari atau Shahih Muslim. Justru al-Bukhari dan Muslim datang lebih kemudian dari asy-Syafi‘i dan Ibn Hisyam. Sebaliknya, kitab-kitab hadis seperti Bulughul-Maram, Nailul-Authar, Subulus-Salam bukan sumber asli hadis karena para penyusunnya tidak memiliki sanad yang menhubungkan mereka kepada Nabi saw. Mereka hanya mengutip hadisnya dari sumber-sumber aslinya.

Suatu hadis dikatakan sahih adalah apabila sanad dan matannya terbukti sahih. Apabila sanadnya saja yang sahih, sedang matannya tidak sahih, maka itu bukan hadis sahih. Sebaliknya bilamana hanya matannya saja sahih, tetapi sanadnya tidak sahih, maka ini bukan hadis sahih. Sering kita menemukan ahli hadis mengatakan ‘hadis sahih sanadnya’. Ini artinya adalah sanadnya sahih, tetapi matannya belum tentu sahih, masih perlu diteliti lagi. Lazimnya penelitian hadis itu dimulai dari penelitian sanad, dan bila terbukti sanadnya sahih, maka dilanjutkan dengan penelitian matan. Bila terbukti matannya juga sahih, maka berarti hadis itu adalah hadis sahih. Bila dalam penelitian sanad, terbukti bahwa sanad hadis yang diteliti itu tidak sahih, maka otomatis hadis itu dinyatakan tidak sahih dan kerena itu tidak perlu dilanjutkan dengan penelitian matan.

Kriteria kesahihan suatu hadis adalah (1) sanadnya bersambung, (2) para rawinya adalah adil, (3) para rawi itu dabit, (4) bebas dari cacat tersembunyi (illat), dan (5) bebas dari kejanggalan (syuzuz). Kriteria no. (4) dan (5) sekaligus juga merupakan kriteria kesahihan matan. Kriteria ini bersifat kumulatif, dalam arti bahwa semua syarat harus dipenuhi sekaligus sehingga bilamana satu syarat saja tidak terpenuhi, maka hadisnya dinyatakan daif.

Perlu juga diketahui bahwa yang menjadi hujjah bukan hanya hadis sahih, tetapi juga hadis hasan. Dalam ilmu hadis, dari segi kehujjahannya, hadis dibedakan menjadi dua macam: hadis mardud (ditolak), yaitu semua hadis daif, dan hadis maqbul (diterima), yaitu hadis sahih dan hadis hasan. Dalam putusan Tarjih pada Munas XXV di Jakarta tahun 2000 dirumuskan, “Sumber ajaran Islam adalah al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbulah.” Sunah maqbulah meliputi hadis sahih dan hadis hasan. Kriteria keduanya adalah sama seperti tersebut di atas. Perbedaan hanya terletak pada kriteria ketiga, di mana untuk hadis hasan kedabitan rawi lebih rendah dari kedabitan rawi hadis sahih.

Mari kita coba meneliti hadis ini, apabila sanadnya sahih, maka kita lanjutkan dengan penelitian matan, dan bila ternyata sanadnya daif, otomatis hadis itu dinyatakan daif dan tidak perlu lagi dilanjutkan ke penelitian matan. Langkah awal dalam penelitian sanad adalah melakukan iktibar (al-i‘tibar), yaitu menghimpun seluruh sanad hadis ini dari berbagai sumber untuk melihat apakah sanadnya garib atau tidak. Dengan kata lain untuk melihat apakah ada banyak jalur periwayatannya atau hanya melalui satu jalur saja.

Setelah melakukan pelacakan intensif dalam berbagai sumber hadis, ternyata bahwa hadis di atas hanya diriwayatkan oleh ath-Thabarani (w. 360/971) saja dalam kitabnya al-Mu‘jam al-Ausath. Tidak ada ahli hadis lain yang meriwayatkannya, sehingga karena itu tidak ditemukan syahid dan mutabaahnya. Artinya hadis ini mempunyai jalur sanad tunggal dan karenanya hadis ini dapat dikatakan sebagai hadis garib. Ini sesuai pula dengan pernyataan ath-Thabrani sendiri dalam kitab tersebut, “Hadis ini diriwayatkan dari Rasulullah saw hanya melalui sanad ini saja. Bisyr Ibn Ibrahim menyendiri dalam meriwayatkannya.”

Selanjutnya mari kita menyelidiki rangkaian sanad hadis di atas untuk melihat apakah kriteria kesahihan hadis terpenuhi pada hadis di atas atau tidak. Untuk itu mari kita meneliti para rawi dalam sanadnya. Sanad hadis ini hingga sampai kepada Nabi saw adalah sebagai berikut: (1) ath-Thabarani, (2) Muhammad Ibn Ya‘qub (guru ath-Thabarani), (3) Hafsh Ibn ‘Amr ar-Rabali, (4) Bisyr Ibn Ibrahim, (5) al-Hajjaj Ibn Hassan, (6) ‘Ikrimah, dan (7)  Ibn ‘Abbas, Sahabat yang diklaim menerima hadis ini dari Nabi saw.

Ath-Thabarani nama lengkapnya adalah Sulaiman Ibn Ahmad Ibn Ayyub Ibn Mathar al-Lakhmi ath-Thabarani, lahir tahun 260/874 dan berusia panjang, yaitu 101 tahun hijriah kurang dua bulan. Ia meninggal tahun 360/971. Ia adalah ahli hadis terkenal, belajar hadis ke berbagai negeri, jumlah guru yang kepadanya ia mempelajari hadis lebih 1000 orang, dan kitab al-Mu‘jam ash-Shaghir karyanya memuat hadis-hadis dari seribu gurunya dan kitab itu disusun sistematikanya menurut urutan nama-nama gurunya. Kitab lain yang disusunnya adalah al-Mu‘jam al-Kabir, al-Mu‘jam as-Ausath dan Musnad asy-Syamiyyin. Dalam kitab al-Mu‘jam al-Ausath,ia merekam hadis-hadis garib dari gurunya. Salah seorang dari gurunya adalah Muhammad Ibn Ya‘qub.

Nama lengkap guru ini adalah Muhammad Ibn Ya‘qub al-Khathib al-Ahwazi. Ia berprofesi sebagai khatib di kota Ahwaz (Iran), dan dari profesi itulah ia dijuluki al-Khathib al-Ahwazi. Ia merupakan guru hadis yang kepadanya belajar sejumlah murid. Di antara muridnya ada beberapa ahli hadis terkenal, seperti ath-Thabarani sendiri dan Ibnu Hibban (w. 354/965). Ath-Thabarani meriwayatkan sejumlah hadisnya dalam berbagai kitab hadisnya. Sementara itu Ibnu Hibban meriwayatkan beberapa hadisnya dalam Sahihnya. Periwayatan hadis sang guru dalam Shahihnya oleh Ibnu Hibban dapat diartikan bahwa sang guru menurut Ibnu Hibban adalah rawi yang terpercaya.

Catatan biografis tentang Muhammad Ibn Ya‘qub ini memang langka. Sepanjang kitab rijal hadis yang dilacak sejauh ini tidak ditemukan entri namanya, meskipun di berbagai halaman namanya selalu disebut. Ibnu Hibban yang memasukkan hadisnya ke dalam kitab Shahihnya tidak membuat entri nama sang guru dalam Kitab ats-Tsiqat (Kitab tentang Orang-orang Terpercaya). Tidak diketahui kapan ia lahir dan kapan meninggal. Namun diperkirakan ia hidup pada parohan ke dua abad ke-3 hijriah.

Hafsh Ibn ‘Amr, nama lengkapnya adalah Abu Umar Hafsh Ibn ‘Amr Ibn Rabal Ibn ‘Ajlan al-Raqasyi al-Basri. Ia adalah guru dari Muhammad Ibn Ya‘qub al-Khathib al-Ahwazi. Ia merupakan ahli hadis dan diakui sebagai rawi yang terpercaya (tsiqah). Ibn Hibban memasukkannya dalam kitabnya ats-Tsiqat  dan ad-Daraquthni menegaskan bahwa ia adalah seorang terpercaya lagi handal. Ia meninggal tahun 258/872 (Tahdzib al-Kamal, VII: 52 dan 54).

Bisyr Ibn Ibrahim nama lengkapnya adalah Abu ‘Amr Bisyr Ibn Ibrahim al-Anshari al-Basri. Ia berasal dari Damaskus, kemudian tinggal di Basrah. Dikatakan bahwa ia adalah keturunan Anshar sehingga ia disebut al-Anshari, tetapi ada juga yang mengatakan keturunan Quraisy. Ia mengalami lumpuh sebelah badan. Para biografer hadis mencatat bahwa Bisyr Ibn Ibrahim ini adalah rawi hadis yang bermasalah. Ia dinyatakan sebagai pemalsu hadis, meriwayatkan hadis-hadis batil dan munkar, serta memalsukan nama-nama rawi terkenal dengan cara menyandarkan hadis-hadis yang sesungguhnya fiktif kepada mereka.

Para biografer mencatat namanya dalam daftar rawi-rawi lemah dan tercela. Al-‘Uqaili (w. 322/934) menyebutnya sebagai orang yang meriwayatkan hadis-hadis mauduk yang dipalsukan atas nama Imam al-Auza‘i (w. 157/774) dan yang tidak ada mutabaahnya (Kitab adl-Dlu‘afa’, I: 142). Ibn Hibban (w. 354/965) memasukkannya ke dalam daftar orang-orang tercela dan mengatakan “Ia adalah penduduk Basrah, lumpuh sebelah badannya, … memalsukan hadis-hadis atas nama para rawi terpercaya, dan karena itu hadisnya tidak boleh ditulis kecuali untuk menunjukkan cacatnya (Kitab al-Majruhin, I: 189). Ibn ‘Adi (w. 365/976) melukiskannya sebagai periwayat hadis-hadis munkar yang dipalsukan kepada para imam terpercaya, pemilik hadis-hadis fiktif dan membuat-buat hadis yang dinisbatkan kepada rawi-rawi terpercaya. Ibn ‘Adi menyebutkan sejumlah contoh hadisnya yang dipalsukan atas nama beberapa imam terkemuka (Al-Kamil fi Dlu‘afa’ ar-Rijal, II: 14).

Dengan keterangan ini terlihat bahwa sanad hadis ath-Thabarani di atas adalah daif karena di dalamnya terdapat rawi yang tertuduh sebagai pemalsu hadis, yaitu Bisyr Ibn Ibrahim. Berhubung juga hadis ini adalah hadis garib, sebagaimana dikemukakan terdahulu, yakni tidak ada sanad lain selain sanad yang sudah dibicarakan, maka kita tidak mempunyai jalur lagi untuk menguatkannya. Jadi pertanyaan pertama tentang apakah hadis ath-Thabarani ini makbul, dapat dijawab bahwa hadis ath-Thabarani di atas adalah daif. Oleh karena itu hadis tersebut tidak dapat menjadi hujah untuk menarik makmum seorang di sisi kanan imam ke belakang.

 

2.      Hadis-hadis mengenai cara masuk ke dalam jamaah yang makmumnya satu orang

Lalu bagaimana cara seseorang yang datang terlambat untuk masuk ke dalam jamaah yang makmumnya satu orang dan berdiri di samping kanan imam? Apakah ia ditarik atau imamnya yang maju ke muka?

Dalam hal ini terdapat beberapa hadis mengenai masalah tersebut. Hanya saja hadis-hadis dimaksud tampak saling berlawanan, ada yang mengatakan Nabi saw maju, dan ada yang menyebutkan makmumnya dimundurkan. Berikut mari kita lihat hadis-hadis tersebut.

Pertama, hadis-hadis yang menyatakan makmum seorang di samping kanan imam itu mundur atau ditarik ke belakang. Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Ibn Hibban, Ibn al-Jarud, al-Hakim dan al-Baihaqi. Al-Hakim menyatakannya sahih. Berikut ini adalah hadis Muslim yang panjang sekali, dan dikutipkan potongannya yang terkait dengan masalah kita:

(عن جابر قال) : ... ... ... سِرْنَا مع رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حتى إذا كانت عُشَيْشِيَةٌ وَدَنَوْنَا مَاءً من مِيَاهِ الْعَرَبِ قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  من رَجُلٌ يَتَقَدَّمُنَا فَيَمْدُرُ الْحَوْضَ فَيَشْرَبُ وَيَسْقِينَا قال جَابِرٌ فَقُمْتُ فقلت هذا رَجُلٌ يا رَسُولَ اللَّهِ فقال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  أَيُّ رَجُلٍ مع جَابِرٍ فَقَامَ جَبَّارُ بن صَخْرٍ فَانْطَلَقْنَا إلى الْبِئْرِ فَنَزَعْنَا في الْحَوْضِ سَجْلاً أو سَجْلَيْنِ ثُمَّ مَدَرْنَاهُ ثُمَّ نَزَعْنَا فيه حتى أَفْهَقْنَاهُ فَكَانَ أَوَّلَ طَالِعٍ عَلَيْنَا رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فقال أَتَأْذَنَانِ قُلْنَا نعم يا رَسُولَ اللَّهِ فَأَشْرَعَ نَاقَتَهُ فَشَرِبَتْ شَنَقَ لها فَشَجَتْ فَبَالَتْ ثُمَّ عَدَلَ بها فَأَنَاخَهَا ثُمَّ جاء رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إلى الْحَوْضِ فَتَوَضَّأَ منه ثُمَّ قُمْتُ فَتَوَضَّأْتُ من متوضأ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَذَهَبَ جَبَّارُ بن صَخْرٍ يقضى حَاجَتَهُ فَقَامَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لِيُصَلِّيَ وَكَانَتْ عَلَيَّ بُرْدَةٌ ذَهَبْتُ أَنْ أُخَالِفَ بين طَرَفَيْهَا فلم تَبْلُغْ لي وَكَانَتْ لها ذَبَاذِبُ فَنَكَّسْتُهَا ثُمَّ خَالَفْتُ بين طَرَفَيْهَا ثُمَّ تَوَاقَصْتُ عليها ثُمَّ جِئْتُ حتى قُمْتُ عن يَسَارِ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حتى أَقَامَنِي عن يَمِينِهِ ثُمَّ جاء جَبَّارُ بن صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جاء فَقَامَ عن يَسَارِ رسول اللَّهِ  صلى الله عليه وسلم ، فَأَخَذَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِيَدَيْنَا جميعا فَدَفَعَنَا حتى أَقَامَنَا خَلْفَهُ ، فَجَعَلَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَرْمُقُنِي وأنا لاَ أَشْعُرُ ثُمَّ فَطِنْتُ بِهِ فقال هَكَذَا بيده يَعْنِي شُدَّ وَسَطَكَ فلما فَرَغَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قال يا جَابِرُ قلت لَبَّيْكَ يا رَسُولَ اللَّهِ قال إذا كان وَاسِعًا فَخَالِفْ بين طَرَفَيْهِ وإذا كان ضَيِّقًا فَاشْدُدْهُ على حَقْوِكَ... [رواه مسلم ، حديث رقم 3010]

Artinya: (Dari Jabir diriwayatkan bahwa ia berkata): … … … Kami melakukan perjalanan bersama Rasulullah saw. Ketika menjelang petang dan kami mendekati sebuah mata air di perkampungan Arab, Rasulullah saw berkata: Siapa orang yang mau pergi lebih dahulu untuk menebat balong, kemudian minum dan mengambilkan air untuk kami? Jabir meneruskan ceriteranya: Maka akupun berdiri sambil berata: Saya orangnya wahai Rasulullah! Lalu Rasulullah saw berkata lagi: Siapa orang yang mau menemani Jabir? Maka Jabbar Ibn Shakhr berdiri dan berkata: Saya wahai Rasulullah! Lalu kami berangkat ke balong tersebut, lalu kami mengisi satu atau dua ember, kemudian kami menebatnya, lalu kami mengisi ember lagi sehingga penuh. Maka orang pertama yang datang kepada kami adalah Rasulullah saw dan berkata: Boleh saya ambil air ini? Kami menjawab: Silahkan wahai Rasulllah! Lalu beliau memberi untanya minum dan unta itupun minumlah. Setelah itu Rasulullah menarik tali kekang untanya dan unta tersebut berhenti minum, kemudian buang kencing. Kemudian Rasulullah mengendurkan tali kekangnya dan mendudukkan untanya. Kemudian Rasulullah pergi ke balong dan berwuduk. Kemudian aku berdiri dan berwuduk pada tempat wuduk Rasulullah itu, sementara Jabbar Ibn Shakr pergi buang hajat. Rasulullah saw berdiri hendak mengerjakan shalat, sementara saya memakai kain yang saya coba selempangkan dan menyambung ujungnya, akan tetapi tidak sampai. Kain itu mempunyai rumbai lalu saya balikkan dan kemudian selempangkan kedua ujungnya lalu saya tahan dengan daguku. Kemudian saya (Jabir) datang lalu berdiri di sebelah kiri Rasulullah saw, lalu beliau memegang tanganku dan menarikku agar berdiri di sebelah kanannya. Kemudian Jabbar Ibn Shakhr datang, lalu berwuduk, kemudian bergabung dan berdiri di sebelah kiri Rasulullah saw, maka beliau memegang tangan kami dan mendorong kami sehingga kami berdiri di belakang beliau. Rasulullah memandangi saya sementara saya tidak sadar, kemudian saya menyadarinya. Beliau berkata dengan isyarat tangannya: begini, maksudnya ikatkan ke pinggangmu. Setelah selesai shalat, beliau memanggilku: Wahai Jabir! Saya wahai Rasulullah, jawabku. Beliau berkata: Apabila kainnya lebar, maka selempangkan kedua ujungnya, akan tetapi apabila tidak lebar, maka ikatkan saja ke pinggangmu!  [HR Muslim].

Keduaadalah hadis-hadis yang menyatakan bahwa imam maju ke muka bilamana ada orang ketiga yang hendak ikut berjamaah. Hadis-hads itu diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dan ath-Thabarani. Hadis Ibn Khuzaimah adalah sebagai berikut:

عن عمرو بن سعيد أنه قال دخلت على جابر بن عبد الله أنا وأبو سلمة بن عبد الرحمن فوجدناه قائما يصلي عليه أزار فذكر بعض الحديث وقال أقبلنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم  فخرج لبعض حاجته فصببت له وضوءا فتوضأ فالتحف بازاره فقمت عن يساره فجعلني عن يمينه وأتى آخر فقام عن يساره فتقدم رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي وصلينا معه فصلى ثلاث عشرة ركعة بالوتر[رواه ابن خزيمة] .

Artinya: Dari ‘Amr Ibn Sa‘id (diwartakan bahwa) ia berkata: Aku dan Abu Salamah Ibn ‘Abdur-Rahman menemui Jabir Ibn ‘Abdullah. Kami mendapatinya sedang berdiri mengerjakan shalat dengan memakai sehelai kain pinggang. Ia menceritakankan sebagian kisahnya dan mengatakan: Kami berangkat bersama Rasulullah saw, maka beliau keluar untuk suatu keperluan dan aku menuangkan air wuduknya. Maka beliau berwuduk, lalu memakai kain pinggangnya, kemudian aku berdiri di sebelah kirinya, maka beliau memindahkanku ke sebelah kanannya. Seseorang datang dan berdiri di sebelah kirinya, maka Rasulullah saw maju ke muka sambil shalat, dan kamipun shalat bersamanya. Beliau melakukan shalat tiga belas rakaat [HR Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibn Khuzaimah, III: 18, hadis no. 1536].

Pada bagian lain [III: 87-88, hadis no. 1674], dengan sanad yang persis sama (kecuali rawi dari Jabir yang disebut ‘Amr Ibn Abi Sa‘id), Ibnu Khuzaimah membawakan hadis ini dengan agak lebih panjang dengan beberapa detail mirip dengan hadis Muslim di atas, yaitu:

عن عمرو بن أبي سعيد أنه قال دخلت على جابر بن عبد الله أنا وأبو سلمة بن عبد الرحمن فوجدناه قائما يصلي فذكر الحديث وقال أقبلنا مع رسول الله  صلى الله عليه وسلم حتى إذا كنا بالسقيا أو بالقاحة قال ألا رجل ينطلق إلى حوض الأياية فيمدره وينزع فيه وينزع لنا في أسقيتنا حتى نأتيه فقلت أنا رجل وقال جابر بن صخر أنا رجل فخرجنا على أرجلنا حتى أتيناها أصيلا فمدرنا الحوض ونزعنا فيه ثم وضعنا رؤوسنا حتى ابهار الليل أقبل رجل حتى وقف على الحوض فجعلت ناقته تنازعه على الحوض وجعل ينازعها زمامها ثم قال أتأذنان ثم أشرع فإذا هو رسول الله  صلى الله عليه وسلم  فقلنا نعم بأبينا أنت وأمنا فأرخى لها فشربت حتى ثملت ثم قال لنا جابر بن عبد الله فدنا حتى أناخ بالبطحاء التي بالعرج فخرج لبعض حاجته فصببت له وضوءا فتوضأ فالتحف بإزاره فقمت عن يساره فجعلني عن يمينه ثم أتاه آخر فقام عن يساره فتقدم رسول الله  صلى الله عليه وسلم  يصلي وصلينا معه ثلاث عشرة ركعة بالوتر.

Artinya: Dari ‘Amr Ibn Abi Sa‘id(diwartakan bahwa) ia berkata: Saya dan Abu Salamah Ibn ‘Abdur-Rahman menemui Jabir Ibn ‘Abdullah. Kami menemuinya sedang berdiri mengerjakan shalat. Kemudian ia menceritakan kisahnya dan mengatakan: Kami berangkat bersama Rasulullah saw sehingga ketika kami sampai di as-Suqya atau al-Qahah, beliau berkata: Apa tidak ada orang yang mau berangkat duluan ke telaga al-Uyayah [dalam teks lain disebut al-Utsayah, MTT] untuk menebatnya serta mengambil air dan mengisikan gentong air kami sampai kami datang ke sana. Maka saya (Jabir Ibn ‘Abdullah) berkata: Saya orangnya! Lalu Jabir Ibn Sakhr [dalam hadis-hadis lain: Jabbar Ibn Sakhr, dan yang terakhir ini yang benar, MTT] berkata pula: Saya juga! Lalu kami pergi berjalan kaki sehingga kami sampai di telaga itu di waktu sore. Kami lalu menebatnya dan mengambil air, kemudian kami membaringkan diri sehingga malam larut. Seorang lelaki datang dan berhenti di dekat telaga. Untanya bersikeras untuk minum di telaga dan ia melawannya dengan menarik kekangnya. Kemudian lelaki itu bertanya:  Boleh saya ambil air ini? Kemudian ia menggiring untanya untuk minum. Ternyata lelaki itu adalah Rasulullah saw. Maka kami mengatakan: Sungguh, silahkan! Lalu ia menundukkan untanya dan unta itupun minum dan menyisakan sedikit air. Kemudian Jabir Ibn Abdullah melanjutkan ceritanya kepada kami: Kemudian beliau mendekat dan mendudukkan untanya di hamparan pasir bagian sungai yang tidak berair (batha’) di al-‘Arj. Kemudian beliau pergi untuk suatu keperluan, sementara aku menuangkan air wuduknya. Lalu kemudian beliau berwuduk, kemudian memakai kain pingangnya, lalu aku berdiri di sebelah kirinya dan beliau memindahkanku ke sebalah kanannya. Kemudian datang orang lain dan berdiri di sebelah kirinya, maka Rasulullah saw  maju ke muka sambil shalat, dan kami salat bersamanya tiga belas rakaat dengan witir [HR Ibnu Khuzaimah, III: 87-88, hadis no. 1674].       

Sedangkan ath-Thabarani juga meriwayatkan hadis ini tetapi dengan versi amat pendek sebagai berikut:

عن جابر قال قام رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي فقمت عن يساره فحولني عن يمينه ثم أتى جبار بن صخر فقام عن يساره فتقدم رسول الله صلى الله عليه وسلم فقمنا خلفه .لم يرو هذا الحديث عن خالد بن يزيد إلا ابن لهيعة[رواه الطبرني]

Artinya: Dari Jabir (diwartakan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw berdiri shalat, maka aku berdiri di sebelah kirinya, maka ia memindahkanku ke sebelah kanannya. Kemudian Jabbar Ibn Shakhr datang dan berdiri di kirinya, maka Rasulullah saw maju sehingga kami berada di belakangnya. Hanya Ibnu Lahi‘ah saja yang meriwayatkan hadis ini dari Khalid [HR ath-Thabrani, al-Mu‘jam al-Ausath, VIII: 375, hadis no. 8918].   

At-Turmudzi meriwayatkan hadis versi lain pendek yang juga digunakan untuk menjadi dasar imam maju ke muka, sebagai berikut:

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ قَالَ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كُنَّا ثَلاَثَةً أَنْ يَتَقَدَّمَنَا أَحَدُنَا[رواه الترمذي] .

Artinya: Dari Samurah Ibn Jundab (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw menyuruh kami, apabila ada tiga orang, agar salah seorang maju ke muka[HR. at-Turmudzi].

 

3.      Otentikasi hadis-hadis di atas

Bagimana kesahihan hadis-hadis di atas? Dengan mengikuti prosedur penelitian hadis, seperti dikemukakan terdahulu, dapat dikatakan bahwa hadis Muslim sahih sanadnya. Rangkaian rawi dalam sanad Muslim adalah: Muslim – Harun dan Muhammad – Hatim – Ya‘qub Ibn Mujahid – ‘Ubadah Ibn al-Walid – Jabir yang merupakan Sahabat yang menjadi sumber hadis ini. Setelah melakukan proses penelitian dengan langkah-langkah seperti disebutkan pada permulaan tulisan ini diperoleh data bahwa semua rawi dalam sanad Muslim di atas adalah terpercaya (tsiqah), sanadnya sendiri muttasil (bersambung) dan marfuk (sampai kepada Nabi saw).

Hanya saja perlu dijelaskan bahwa tentang Hatim (Ibn Isma‘il) dalam sanad tersebut ada pernyataan an-Nasa‘i bahwa dia daif. Akan tetapi ahli-ahli hadis lain menyatakannya tsiqah (terpercaya). Ia adalah rawi yang dipakai oleh jamaah ahli hadis, khususnya ahli hadis yang enam termasuk al-Bukhari dan Muslim. Ibn Sa‘ad (w. 230/844) menegaskan: ia adalah seorang terpercaya dan dapat dihandalkan (tsiqah ma‘mun) [At-Thabaqat al-Kubra, V: 425]. Ibnu Hibban memasukkannya dalam daftar rawi terpercaya [ats-Tsiqat, VIII: 210-211]. Al-‘Ijli (w. 261/875) dan Ibnu Ma‘in (w. 233/847) menyatakannya terpercaya (tsiqah). Ia berasal dari Kufah, kemudian pindah dan tinggal di Madinah. Ia meninggal tahun 186/802 atau 187/803.

Ibnu Hajar (w. 852/1449) ada menyatakan, “Saya membaca pada tulisan adz-Dzahabi dalam al-Mizan bahwa an-Nasa‘i mengatakan: Hatim tidak kuat (laisa bil-qawi) [at-Tahdzib, II: 110]. Setelah dicek dalam al-Mizan memang adz-Dzahabi (w. 748/1348) menegaskan sebagai berikut: Hatim Ibn Isma‘il – rawi yang dipakai al-Bukhari dan Muslim, orang Madinah – adalah terpercaya dan masyhur lagi jujur (shaduq); an-Nasa‘i mengatakan: tidak kuat (laisa bil-qawi); sejumlah ahli hadis menyatakannya terpercaya; Ahamd mengatakan: mereka menganggap padanya ada sedikit kealpaan (fihi ghaflah) [Mizan al-I‘tidal, II: 162].

Benarkah an-Nasa’i mengatakan Hatim laisa bil-qawi seperti ditegaskan oleh adz-Dzahabi? Dari pelacakan terhadap kitab-kitab karya an-Nasa’i tidak ditemukan pernyataan semacam itu. Bahkan dalam karyanya Kitab  adl-Dlu‘afa’ wa al-Matrukin tempat di mana an-Nasa’i mendaftar nama-nama rawi daif, an-Nasa’i tidak membuat entri nama Hatim Ibn Isma‘il. Hatim Ibn Isma‘il hanya disebut dua kali di bawah entri nama lain, yaitu entri ke-143 [I: 33] dan entri ke-670 [I:116] sebagai berikut:

143- حميد بن صخر يروي عنه حاتم بن إسماعيل ليس بالقوي

670- أبو الأسباط يروي عنه حاتم بن إسماعيل ليس بالقوي

      143-   Humaid Ibn Shakhr, yang meriwayatkan hadis darinya adalah Hatim Ibn Isma‘il, tidak kuat (laisa bil-qawi);

      670-   Abu al-Asbath, yang meriwayatkan hadis darinya adalah Hatim Ibn Isma‘il, tidak kuat (laisa bil-qawi).

Hanya pada dua tempat ini saja an-Nasa’i menyebut nama Hatim dalam Kitab adl-Dlu‘afa wa al-Matrukin. Jelas dari dua pernyataan an-Nasa’i di atas bahwa yang didaifkan bukan Hatim Ibn Isma‘il, melainkan nama yang menjadi entri kitab, yaitu Humaid dan Abu al-Asbath. Walhasil tidak dapat dibuktikan bahwa an-Nasa’i mendaifkan Hatim. Bahkan an-Nasa’i sendiri dalam dua kitab hadisnya, yaitu Sunan al-Mujtaba (yang lebih dikenal dengan Sunan an-Nasa’i) dan as-Sunan al-Kubra menggunakan Hatim Ibn Isma’il sebagai rawi dalam sanad-sanad hadisnya. Seandainya an-Nasa’i memang mendaifkannya, maka di sisi lain lebih banyak kritikus hadis menyatakannya terpercaya. Dalam hal seperti ini, suatu pernyaaan daif harus dijelaskan sebab kedaifannya. Jika tidak, maka didahulukan pernyataan yang mentsiqahkan. Berhubung tidak ada penjelasan mengapa ia didaifkan, maka dipegangi pendapat yang mentsiqahkan Hatim, yang memang jumlahnya lebih banyak. Sedangkan pernyataan Ahmad bahwa fihi ghaflah (ada sedikit kealpaan) tidak menjadi unsur pencacat. Yang menjadi unsur pencacat adalah fahsyul-ghalath (keliru mencolok) dan katsratul ghaflah (banyak kealpaan). Adapun sesekali keliru atau terkadang lengah adalah hal yang manusiawi dan ada pada setiap orang.

Atas dasar itu, maka Hatim Ibn Isma‘il dipandang sebagai rawi yang terpercaya seperti dinyatakan oleh banyak ahli hadis. Oleh karena itu hadis Muslim yang dikutip di atas adalah sahih sanadnya dan ini sesuai dengan pernyataan al-Hakim bahwa hadis ini sahih.

Adapun dua hadis Ibnu Khuzaimah di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Sanadnya adalah: Ibnu Khuzaimah – Yunus Ibn ‘Abd al-A‘la – Yahya Ibn ‘Abdullah Ibn Bukair – al-Lais Ibn Sa‘ad – Khalid Ibn Yazid – Sa‘id Ibn Abi Hilal – ‘Amr Ibn Sa‘id [dalam hadis kedua ‘Amr Ibn Abi Sa‘id] – Jabir, yaitu Sahabat yang menjadi sumber hadis. Perlu diperhatikan pada hadis kedua dari Ibn Khuzaimah sanadnya bukan ‘Amr Ibn Sa‘id, melainkan ‘Amr Ibn Abi Sa‘id.  

Setelah biografi para rawi dalam sanad ini diteliti secara keseluruhan ditemukan data sebagai berikut. Pertama bahwa sanad Ibn Khuzaimah memuat rawi bernama Sa‘id Ibn Abi Hilal. Terdapat penilaian yang berlawanan tentang dirinya. Kebanyakan ahli hadis menyatakannya sebagai rawi yang dapat diterima. Abu Hatim (w. 277/890), Ibn Sa‘ad (w. 244/848), dan as-Saji (w. 309/920), menyatakannya sebagai rawi tsiqah (terpercaya). Begitu pula al-‘Ijli (w. 261/875), Ibn Khuzaimah (w. 311/923), ad-Daraqutni (w. 385/995), al-Baihaqi (w. 458/1066), dan al-Khathib al-Baghdadi (w. 463/1071) semuanya mentsiqahkannya. Akan tetapi Imam Ahmad (w. 241/855) dan Ibn Hazm (w. 456/1062) mendaifkannya. Imam Ahmad mengatakan: Saya tidak mengerti hadis macam apa hadisnya, ia melakukan kekacauan dalam hadis [at-Tuhfah al-Lathiah, I: 407]. Jadi alasan Ahmad mendaifkannya karena ia melakukan kekacauan (at-takhlith) dalam hads-hadis. Al-A‘zhami yang mentahqiq kitab Shahih Ibn Khuzaimah membuat catatan yang menunjukkan keraguannya tentang kesahihan hadis ini. Ia mengatakan: Sanadnya sahih, kecuali Sa‘id, ia mengalami kekacauan [Catatan kaki dalamShahih Ibn Khuzaimah, III: 18]. Untuk hadis nomor 1674 ia mengutip catatan al-Albani: Rijal sanad ini terpercaya, kecuali ‘Amr Ibn Abi Sa‘id, tidak saya kenali, di samping itu Sa‘id Ibn Abi Hilal mengalami kekacauan (ikhtalatha) [III: 87, catatan kaki].

Sanad hadis Ibnu Khuzaimah ini memang problematik. Problemnya, di samping ada rawi yang dipertentangkan ketsiqahannya, juga adanya kekacauan nama rawi dari siapa Sa‘id Ibn Abi Hilal menerima hadis. Apakah dia adalah ‘Amr Ibn Sa‘id seperti tertera dalam sanad hadis nomor 1536 atau ‘Amr Ibn Abi Sa‘id seperti pada sanad hadis nomor 1674, yang keduanya adalah hadis yang sama dengan sanad yang sama. Bahkan al-Bukhari [at-Tarikh al-Kabir, V: 338] dan Ibnu Abi Hatim [al-Jarh wa at-Ta‘dil, VI: 271] menyebut namanya ‘Amr Abu Sa‘id (Ibn diganti Abu). Siapakah gerangan rawi ini? Apabila ia adalah ‘Amr Ibn Sa‘id, maka ada tiga kemungkinan. Pertama, ‘Amr Ibn Sa‘id Ibn a-‘Ash Abu Umayyah al-Ansari, mantan gubernur Madinah untuk Muawiyah dan Yazid. Ia meninggal tahun 69/688 atau tahun 70/689, seorang rawi hadis terpercaya. Kalau memang inilah dia, berarti sanad ini terputus dan karena itu daif, sebab Sa‘id Ibn Abi Hilal yang menerima hadis darinya lahir di Mesir tahun 70/689 sehingga tidak ada muasarah dan tidak mungkin bertemu (liqa’) dengan ‘Amr Ibn Sa‘d Abu Umayyah. Kemungkinankedua ia adalah ‘Amr Ibn Sa‘id al-Khaulani, maka ini adalah rawi lemah “yang tidak halal menulisnya dalam buku”, begitu ia dideskripsikan. Kalau ia adalah rawi ini, maka sanad hadis ini berarti daif. Kemungkinan ketiga ialah bahwa ia  adalah ‘Amr Ibn Sa‘id Abu Sa‘id al-Qurasyi ats-Tsaqafi, seorang Tabiin, rawi terpercaya. Namun tidak ada petunjuk yang meyakinkan bahwa rawi kita ini adalah ‘Amr ats-Tsaqafi ini. Dalam buku-buku biografi isyarat malah mengarah kepada Abu Umayyah di atas. Dalam Tahdzib al-Kamal disebutkan bahwa Sa‘id Ibn Abi Hilal meriwayatkan hadis dari Abu Umayyah dan tidak menyebut-nyebut ‘Amr ats-Tsaqafi. Kitab Tarikh Madinah Dimasyq yang memuat riwayat hidup ats-Tsaqafi secara panjang tidak memberikan isyarat bahwa di antara orang yang meriwayatkan hadisnya adalah Sa‘id Ibn Abi Hilal. Selanjutnya apabila rawi kita ini adalah ‘Amr Ibn Abi Sa‘id, maka nama ini sama sekali tidak tercatat dalam kitab-kitab rijal hadis, dan berarti ia adalah majhul. Kalau ia adalah ‘Amr Abu Sa‘id, maka keterangan tentang ‘Amr Abu Sa‘id ini juga tidak ada. Abu Hatim hanya menyatakan singkat: “‘Amr Abu Sa‘id meriwayatkan hadis dari Jabir; yang meriwayatkan hadis darinya adalah Sa‘id Ibn Abi Hilal” [al-Jarh wa at-Ta‘dil, VI: 271], tanpa ada keterangan tentang identitas dan kualifikasinya sebagai rawi hadis.  

Adapun hadis singkat ath-Thabarani sanadnya adalah: ath-Thabarani  – Miqdam – Asad Ibn Musa – Ibn Lahi‘ah – Khalid Ibn Yazid – Abu az-Zubair – Jabir yang merupakan Sahabat yang menjadi sumber hadis tersebut.

Setelah melakukan pelacakan terhadap rawi-rawi yang merangkai sanad ini ditemukan hal-hal sebagai berikut ini. Pertama dalam sanad itu ada nama Miqdam. Nama lengkapnya adalah Abu ‘Amr Miqdam Ibn Dawud Ibn ‘Isa Ibn Talid al-Ra‘ini al-Misri. Para biografer yang dirujuk sejauh ini tidak mencatat kelahiranya, namun disebutkan wafatnya tahun 283/896 [al-Mizan, VI: 507. Lisan al-Mizan, VI: 84]. Ia adalah fakih dan mufti, namun dari segi periwayatan hadis ia dinilai lemah. An-Nasa‘i menyatakannya tidak tsiqah. Ibnu Yunus mengatakan: ia menjadi omongan (takallamu fih). Muhammad Ibn Yusuf al-Kindi mengatakan: ia adalah fakih dan mufti yang riwayat hadisnya tidak terpuji. Abu al-‘Abbas Ibn Dilhats mendaifkannya [adz-Dzahabi, Tarikh, XXI: 309]. Dalam al-Kasyf al-Hatsits, kitab yang menghimpun nama-nama rawi yang tertuduh memalsukan hadis, ada isyarat bahwa Miqdam tertuduh meriwayatkan hadis mauduk [I: 261].

Kemudian hal kedua yang perlu dicatat adalah bahwa dalam sanad ini terdapat pula Ibnu Lahi‘ah yang juga dinilai lemah oleh banyak ahli hadis, tetapi ada yang menilainya diterima. Al-Bukhari mencatat nama lengkapnya sebagai ‘Abdullah Ibn Lahi‘ah Ibn ‘Uqbah Abu ‘Abdur-Rahman al-Hadlrami [at-Tarikh al-Ausath, II: 207]. Ia adalah hakim Mesir, diangkat tahun 155/772 oleh Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur dengan gaji 30 dinar (Rp. 12.750.000,-) per bulan. Lahir tahun 97/717 dan tahun 170/786 rumah dan buku-bukunya terbakar dan pada tahun 174/790 ia meninggal [Tadzkirah a-Huffazh, I: 239]. Yahya al-Qattan menilainya sebagai rawi tidak ada apa-apanya (laisa bi sayai’). ‘Abdur-Rahman Ibn Mahdi menyatakan: Jangan meriwayatkan hadis darinya sedikit ataupun banyak. Ahmad Ibnu Hanbal mendaifkannya. Yahya Ibnu Ma‘in pernah ditanya tentang riwayat Ibnu Lahi‘ah dari Abu az-Zubair, dia menjawab: Ibnu Lahi‘ah lemah hadisnya. Abu Zur‘ah menilainya sebagai rawi yang tidak dabit dan hadisnya tidak dapat menjadi hujjah [al-Jarh wa at-Ta‘dil, V: 145]. Ahmad Ibn Hanbal cenderung menerima. Jadi hadis ath-Thabarani ini juga daif karena di dalamnya ada rawi yang disepakati lemah, yaitu Miqdam, dan diperselisihkan, tetapi lebih banyak yang menyatakannya lemah, yaitu Ibnu Lahi‘ah.

Atas dasar apa yang dikemukakan di atas terlihat bahwa hadis-hadis tentang imam maju ke muka apabila ada orang masuk ke dalam jamaah yang makmumnya satu orang adalah lemah dan tidak bisa menjadi hujjah. Apakah tidak mungkin bahwa hadis-hadis yang dibicarakan di atas bercerita tentang kisah pada waktu yang berlainan, dalam arti suatu kali Rasulullah saw memundurkan jamaah satu orang di sampingnya ketika ada orang lain masuk seperti riwayat Muslim, dan pada ketika yang lain beliau maju ke muka seperti dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dan ath-Thabarani? Apabila dilihat keseluruhan hadis itu, ternyata semuanya sesungguhnya berbicara tentang kisah yang sama dengan variasi matan yang berbeda bahkan bertentangan. Dengan kata lain hadis Ibnu khuzaimah dan ath-Thabarani adalah varian dari hadis Muslim dkk. Hal ini tampak jelas dengan membaca hadis Ibnu Khuzaimah versi yang lebih panjang, yang detailnya mirip dengan hadis Muslim dkk. Mata air tempat Jabir dan Shakhr mengambil air dan kemudian Rasulullah shalat di situ adalah Mata Air al-Utsayah, yang terletak pada rute perjalanan Madinah – Mekah setelah melewati Zulhulaifah.

Berhubung dalam satu peristiwa yang mengisahkan kisah yang sama terdapat episode yang mengandung detail yang bertentangan, yaitu di satu sisi dinyatakan Rasulullah mendorong Jabir dan Shakhr agar mundur ke belakang, dan di sisi lain Rasulullah yang maju ke muka, maka berarti dalam hadis-hadis ini ada pertentangan matan. Manakah yang mahfuz dan mana yang syazz. Hasil kajian memperlihatkan bahwa hadis Muslim mahfuz dan karena itu hadis Ibnu Khuzaimah dipandang syazz karena sanad Muslim lebih kuat dan lebih banyak rawi yang meriwayatkan dengan matan yang menyatakan Nabi saw mendorong Jabir dan Shakhr agar mundur ke belakang. Ibnu ‘Abdil-Barr juga mengatakan bahwa hadis Jabir melalui ‘Ubadah ini adalah mahfuz [at-Tamhid, XXIV: 271]. Oleh karena itu hadis Ibnu Khuzaimah dan ath-Thabarani harus ditolak karena ada kekacauan sanad dan bertentangan dengan hadis Muslim dkk yang sanadnya lebih kuat.

Sedangkan hadis at-Turmudzi ternyata juga daif karena di dalam rangkaian sanadnya terdapat seorang rawi yang bernama Abu Ishak Ismail Ibn Muslim al-Basri, termasuk generasi Tabiin kecil, dari suku al-Azd, berasal dari Kufah dan tinggal di Mekah [Tahdzib al-Kamal, III: 189]. Ia sebenarnya seorang fakih dan memberi fatwa serta orang jujur. Namun dari segi periwayatan hadis ia banyak melakukan kekacauan hadis, dan sering melakukan kesalahan. Oleh karena itu para ahli hadis menilainya daif. Sufyan ats-Tsauri (w. 161/778) menegaskan bahwa ia adalah seorang yang kacau. Imam Ahmad (w. 264/855) mengatakan bahwa hadisnya munkar. Yahya Ibn Ma‘in (w. 233/847) menyatakan ia seorang yang tidak bermutu (laisa bi syai‘). ‘Ali Ibn al-Madini (w. 234/848) menyatakan bahwa hadisnya tidak ditulis (la yuktabu hadisuh). Al-Juzajani (w. 259/873), Abu Zur‘ah (w. 264/878), dan Abu Hatim (w. 277/890), ketiganya ahli hadis terkemuka, menyatakannya sebagai sangat lemah dan kacau [Tahdzib at-Tahdzib, I: 289]. Oleh karena itu hadis at-Turmudzi di atas tidak dapat dijadikan hujah. Lagi pula sebenarnya hadis ini tidak berbicara tentang masbuk yang masuk jamaah yang makmumnya satu orang, melainkan berbicara tentang jamaah dua orang di mana posisi berdirinya apakah di kiri dan kanan imam, atau di belakang imam. Hadis ini menegaskan bahwa posisi berdiri dua makmum itu di belakang imam, bukan di kanan dan kiri imam sebagaimana pendapat Ibnu Mas‘ud, seperti ditegaskan oleh at-Turmudzi setelah mengutip hadis dimaksud.

Jadi atas dasar itu semua yang dapat dijadikan hujjah adalah hadis Muslim dkk. Menurut hadis ini, makmum seorang yang berdiri di samping imam mundur apabila ada makmum yang baru datang hendak ikut berjamaah dan makmum yang baru datang itu berdiri bersamanya di belakang imam. Praktik seperti ini dilakukan pula oleh Sahabat Nabi saw sebagaimana disebutkan dalam sebuah asar dari ‘Abdullah Ibn ‘Utbah:

عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بِالْهَاجِرَةِ فَوَجَدْتُهُ يُسَبِّحُ فَقُمْتُ وَرَاءَهُ فَقَرَّبَنِي حَتَّى جَعَلَنِي حِذَاءَهُ عَنْ يَمِينِهِ فَلَمَّا جَاءَ يَرْفَا تَأَخَّرْتُ فَصَفَفْنَا وَرَاءَهُ [رواه مالك]

Artinya: Dari ‘Ubaidillah Ibn ‘Abdillah, dari ayahnya (yaitu ‘Abdullah Ibn ‘Utbah, diriwayatkan) bahwa ia berkata: Aku mendatangi ‘Umar Ibn al-Khattab di tengah hari, dan aku menemukannya tengah mengerjakan shalat tathawwu‘, maka aku berdiri di belakangnya, lalu dia menarikku dan menempatkanku di sebelah kanannya sejajar dengannya. Ketika Yarfa [Yarfa adalah salah seorang pembantu rumah tangga Umar Ibn al-Khattab] datang, aku mundur dan kami berdiri bersaf di belakangnya [HR Malik].

Para fukaha juga banyak mengikuti pendapat ini. Al-Mawardi (w. 450/1058), dalam ensiklopedi fikihnya al-Hawi al-Kabir, menyatakan bahwa apabila imam mengimami seorang makmum laki-laki, maka makmum itu berdiri di samping kanannya, kemudian bilamana orang lain datang untuk ikut berjamaah, maka yang lebih utama adalah bahwa makmum tersebut mundur dan berdiri di belakang imam bersama orang baru datang itu, dan bukan imam yang maju bergeser dari tempatnya. Hal itu karena Nabi saw menggeser Ibnu ‘Abbas dari kiri ke sebelah kanannya dan bukan beliau yang bergeser tempat. Begitu pula dalam kasus Jabir dan Ibnu Shakhr [al-Hawi al-Kabir, II: 340].

Ibnu ‘Abidin (w. 1258/1888) menegaskan bahwa pendapat yang jelas adalah bahwa makmumlah yang harus mundur apabila datang orang ketiga, atau jika tidak, orang ketiga itu menariknya ke belakang … Ini didukung oleh riwayat dalam Shahih Muslim tentang kisah Jabir [Hasyiyah, I: 568].   

Asy-Syaukani, dalam kitab as-Sail al-Jarrar, menegaskan, “Adapun mengenai  masyruknya menarik makmum yang berdiri di samping imam, hal itu ditunjukkan oleh hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim dan kitab-kiab hadis lain dari Jabir bahwa Nabi saw menyuruhnya berdiri di samping kanan beliau dan kemudian seseorang lain datang dan berdiri di samping kirinya, lalu Nabi saw memegang kedua tangan mereka dan mendorong mereka agar berdiri di belakang beliau” [I:264].  

 

4.      Kesimpulan         

Dari semua uraian di atas, ringkasan fatwa ini ketegasannya adalah :

  1. Hadis ath-Thabrani tentang menarik makmum ke belakang, yang dikutip pada permulaan uraian ini, adalah daif dan tidak dapat menjadi hujjah.
  2. Hadis-hadis tentang imam maju ke muka apabila ada orang masuk ke dalam jamaah yang makmumnya satu orang, yang dirwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, ath-Thabarani dan at-Trmudzi, adalah juga daif dan tidak dapat menjadi hujjah.
  3. Hadis yang sahih adalah hadis Muslim bahwa makmum satu orang di samping imam itu mundur atau diberi tahu supaya mundur ke belakang apabila ada orang yang hendak masuk ke dalam jamaah yang makmumnya satu yang berdiri di samping kanan imam. Inilah cara masuk jamaah yang makmumnya satu orang yang didukung oleh hadis-hadis yang sahih.

 

 

MASALAH DUDUK ANTARA DUA KHUTBAH DALAM KHUTBAH ‘ID (16)

 

Mengenai ini telah dijelaskan dalam buku Tuntunan Ramadan dan Idul Fitri yang disusun oleh Majelis Tarjih [Bab VIII E]. Dalam buku tersebut diuraikan sebagai berikut.

Salat Id dikerjakan dua rakaat, mendahului khutbah dan setelah selesai shalat imam langsung berkhutbah dan khutbahnya hanya satu kali, yaitu tidak diantarai dengan duduk antara dua khutbah. Dasarnya adalah,

1.   Hadis Sa‘id al-Khudri,

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ [متفق عليه واللفظ للبخاري] .

Artinya: Dari Abu Sa‘id al-Khudri (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw keluar pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha menuju lapangan tempat shalat, maka hal pertama yang dia lakukan adalah shalat, kemudian manakala selesai beliau berdiri menghadap orang banyak yang tetap duduk dalam saf-saf mereka, lalu Nabi saw menyampaikan nasehat dan pesan-pesan dan perintah kepada mereka; lalu jika beliau hendak memberangkatkan angkatan perang atau hendak memerintahkan sesuatu beliau laksanakan, kemudian beliau pulang [Hadis muttafaq ‘alaih, dan ini lafal al-Bukhari].  

2.   Hadis Jabir,

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلاَةَيَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلاَلٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ ... [رواه مسلم والنسائي] .

Artinya:Dari Jabir Ibnu ‘Abdillah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya menghadiri shalat hari raya bersama Rasulullah saw, beliau mulai dengan shalat sebelum khutbah tanpa azan dan qamat, kemudian beliau berdiri dengan bersandar kepada Bilal. Lalu ia mengajak orang supaya bertakwa kepada Allah, menyuruh patuh kepada-Nya, memberikan nasehat dan peringatan kepada mereka, kemudian beliau berjalan mendatangi wanita-wanita, lalu menyampaikan nasehat dan peringatan untuk mereka ... [HR Muslim dan an-Nas±’i].

Dari hadis-hadis yang dikemukakan di atas dan hadis-hadis sahih lainnya tidak terdapat keterangan bahwa khutbah Id itu dua kali seperti khutbah Jumat. Dalam hadis-hadis di atas khutbah disebut dengan bentuk tunggal, tidak dalam bentuk ganda (mutsanna). Semua itu mengisyaratkan bahwa khutbah ‘Id itu hanya satu kali. Pada hadis Abu Said (no. 1) dan hadis Jabir (no. 2) di atas tidak disebutkan bahwa Rasulullah saw mengantarai khutbahnya dengan duduk. Dengan demikian disimpulkan bahwa khutbah Id itu adalah satu kali tanpa diselingi dengan duduk.

Memang terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang menyatakan bahwa Nabi saw keluar pada hari Idul Fitri atau Idul Adha, kemudian berkhutbah, lalu duduk sejenak kemudian berdiri lagi. Dalam praktik memang banyak yang mengamalkan khutbah ‘Id itu dua kali. Hanya saja hadis Ibnu Majah itu daif, karena di dalam sanadnya terdapat Abu Bahr ‘Abdur-Rahman Ibnu Usman yang dinyatakan daif. As-Sayyid Sabiq menegaskan, “Semua hadis yang menyebutkan khutbah Id itu dua kali adalah daif” [As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, I: 322].  An-Nawawi dalam al-Khulashah menyatakan, “tidak ada satu hadispun yang sahih mengenai pengulangan khutbah (khutbah dua kali) pada shalat Id. Dasar bahwa khutbah ‘Id itu dua kali adalah qiyas” [Dikutip oleh az-Zaila‘i dalam Nashb ar-Rayah, II: 221].

Qiyas tidak dijadikan dasar suatu amalan apabila mengenai hal tersebut tedapat hadis. Qiyas baru digunakan apabila mengenai suatu masalah tidak ada hadis. Mengenai khutbah ‘Id ini jelas terdapat hadis-hadis yang menerangkan khutbah ‘Id Nabi saw dan di dalamnya tidak disebutkan adanya duduk antara dua khutbah. Oleh karena itu qiyas tidak digunakan dan Majelis Tarjih dan Tajdid menarjih pendapat yang menyatakan bahwa dalam khutbah ‘Id tidak ada duduk antara dua khutbah sesuai dengan hadis-hadis dimaksud.

Wallahu a'lam. *sy)

 

SHALAT LAIL, SHALAT  IFTITAH

DAN DO'A IFTITAH DALAM QIYAMU LAIL

(disidangkan pada hari Rabu, 26 Rajab 1428 H / 10 Agustus 2007 M) (17)

 

 

Pertanyaan:

 

1.      Selama ini di kalangan umat Islam ada yang berpendapat shalat lail berbeda dengan qiyamu Ramadhan, sehingga setelah qiyamu Ramadhan masih diperbolehkan untuk melakukan shalat lail. Bagaimana sebenarnya?

2.      Dalam melaksanakan shalat lail atau qiyamu Ramadhan, di kalangan umat Islam ada yang mengawalinya dengan shalat dua rakaat dan ada pula yang langsung melakukan qiyamu Ramadhan. Bagaimana tuntunan yang benar menurut Hadits Nabi saw?

3.      Apakah do’a iftitah pada shalat dua rakaat sebelum qiyamu Ramadhan tersebut hanya satu-satunya seperti yang tercantum dalam HPT?

 

 

Jawaban Pertanyaan No. 1:

Shalat lail adalah shalat sunat yang biasa dilakukan oleh Nabi saw pada waktu malam hari. Menurut Muhammadiyah shalat lail disebut juga shalat tahajjud, witir, qiyamul-lail dan qiyamu Ramadhan. (lihat HPT hal. 341)

Shalat lail disebut shalat tahajjud karena shalat tersebut dilaksanakan setelah bangun tidur.  Disebut shalat witir karena dalam melaksanakan shalat tersebut diakhiri dengan witir (bilangan ganjil). Disebut qiyamul-lail karena shalat tersebut  dilaksanakan hanya pada waktu malam. Disebut qiyamu Ramadhan karena shalat tersebut dilakukan pada bulan Ramadhan dan istilah yang sering digunakan untuk shalat lail di bulan Ramadhan adalah shalat tarawih, karena dalam shalat malam tersebut dilaksanakan dengan bacaan yang bagus dan lama dan setelah empat rakaat pertama dan kedua ada istirahat sebentar. (al-'Utsaimin, Majalis Syahr Ramadhan)

 

Jawaban Pertanyaan No. 2:

Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dibaca ulang hadits-hadits Nabi saw yang menjelaskan tentang pelaksanaan shalat iftitah.

Adapun hadits-hadits yang menjelaskan tentang pelaksanaan shalat iftitah adalah  sebagai berikut:

1- عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ لِيُصَلِّيَ افْتَتَحَ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ. [رواه مسلم، باب الدعاء فى صلاة الليل وقيامه]

Artinya:"Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata: Adalah Rasulullah saw apabila akan melaksanakan shalat lail, beliau memulai (membuka) shalatnya dengan (shalat) dua rakaat yang ringan-ringan." [HR Muslim, bab ad-Du'a fi shalat al-lail wa qiyaamih]

2- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنْ اللَّيْلِ فَلْيَفْتَتِحْ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ. [رواه مسلم، باب الدعاء فى صلاة الليل وقيامه]

Artinya:"Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda: Apabila salah saeorang dari kamu akan melakukan shalat lail, hendaklah memulai (membuka) shalatnya dengan dua rakaat yang ringan-ringan." [HR Muslim, bab ad-Du'a fi shalat al-lail wa qiyaamih]

3-  عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنْ اللَّيْلِ فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ. [رواه ابو داود، باب افتتاح صلاة الليل بركعتين]

Artinya:"Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah saw bersabda: "Apabila salah seorang dari kamu akan melaksanakan shalat lail, hendalah ia melakukan shalat dua rakaat yang ringan-ringan." [HR Abu Dawud, bab Iftitah Shalat al-Lail bi Rak'atain]

4- عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّهُ قَالَ لَأَرْمُقَنَّ صَلاَةَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّيْلَةَ فَصَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ أَوْتَرَ فَذَلِكَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً. [رواه ابو داود باب فى صلاة الليل]

Artinya:"Diriwayatkan dari Zaed bin Khalid al-Juhany ia berkata, sungguh saya mencermati shalat  Rasulullah saw. pada suatu malam, beliau shalat dua rakaat yang ringan-ringan, kemudian shalat dua rakaat yang panjang (lama) sekali, lalu shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat sebelumnya, lalu shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat sebelumnya, lalu shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat sebelumnya, lalu shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat sebelumnya, lalu kemudian melakukan witir. Maka demikianlah, shalat tigabelas rakaat." [HR Abu Dawud, bab fi Shalat al-Lail]

5- عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ قَالَ قُلْتُ لَأَرْمُقَنَّ صَلاَةَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّيْلَةَ فَقَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَوْتَرَ فَتِلْكَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً. [ابن ماجه: ما جاء فى كم يصلى بالليل]

Artinya:"Diriwayatkan dari Zaed bin Khalid al-Juhany ia berkata, sungguh saya mencermati shalat  Rasulullah saw. pada suatu malam, beliau shalat dua rakaat yang ringan-ringan, kemudian shalat dua rakaat yang panjang (lama) sekali, lalu shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat sebelumnya, lalu shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat sebelumnya, lalu shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat sebelumnya, lalu shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat sebelumnya,lalu kemudian melakukan witir. Maka demikianlah, shalat tigabelas rakaat." [HR Ibnu Majah, bab Maa Ja-a fi Kam Yushalli bi al-Lail]

6- عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ يُصَلِّي افْتَتَحَ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ. [رواه احمد]

Artinya:"Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata: Adalah Rasulullah saw. apabila akan melaksanakan shalat lail, beliau memulai shalatnya dengan (shalat) dua rakaat yang ringan-ringan." [HR Ahmad]

7- عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا. [رواه البخارى، كتاب صلاة التراويح، باب من قامرمضان: 1874]

Artinya:"Diriwayatkan dari Abu Salamah Ibn ‘Abdul Rahman bahwa ia bertanya kepada ‘Aisyah ra bagaimana shalat Rasulullah saw di bulan Ramadlan. ‘Aisyah menjawab: Baik di bulan Ramadlan ataupun bukan bulan Ramadlan Rasulullah saw melakukan shalat (lail) tidak lebih dari sebelas raka’at. Beliau shalat empat raka’at; dan jangan ditanyakan tentang baik dan panjangnya shalat yang beliau lakukan. Kemudian shalat lagi empat raka’at; (demikian pula) jangan ditanyakan tentang baik dan panjangnya shalat yang beliau lakukan. Lalu beliau shalat tiga raka’at." [HR al-Bukhari, Kitab Shalat at-Tarawih, Bab Man Qama Ramadhan]

8- عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا. [رواه مسلم: كتاب صلاة المسافرين وقصرها، باب صلاة الليل وعدد ركعات النبى فى الليل: 1219)

Artinya:"Diriwayatkan dari Abu Salamah Ibn ‘Abdul Rahman bahwa ia bertanya kepada ‘Aisyah ra bagaimana shalat Rasulullah saw di bulan Ramadlan. ‘Aisyah menjawab: Baik di bulan Ramadlan ataupun bukan bulan Ramadlan Rasulullah saw melakukan shalat (lail) tidak lebih dari sebelas raka’at. Beliau shalat empat raka’at; dan jangan ditanyakan tentang baik dan panjangnya shalat yang beliau lakukan. Kemudian shalat lagi empat raka’at; (demikian pula) jangan ditanyakan tentang baik dan panjangnya shalat yang beliau lakukan. Lalu beliau shalat tiga raka’at." [HR Muslim]

 

Keterangan:

Hadits pertama (hadits riwayat Muslim dari Aisyah) menjelaskan bahwa Nabi saw apabila beliau bangun malam untuk melakukan shalat lail, beliau memulai shalatnya dengan (shalat) dua rakaat yang ringan-ringan.

Hadits kedua dan ketiga (hadits riwayat Muslim dan Abu Dawud dari Abu Hurairah) menjelaskan bahwa beliau bersabda: apabila salah seorang akan melakukan shalat lail hendaklah memulai shalatnya dengan (shalat) dua rakaat yang ringan-ringan.

Haditskeempat dan kelima (hadits riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Zaed bin Khalid al-Juhany menceritakan berdasarkan pencermatan Zaed bin Khalid al-Juhany bahwa Rasulullah melakukan shalat dua rakaat yang ringan-ringan kemudian dua rakaat, dua rakaat, dua rakaat, dua rakaat, dua rakaat yang kesemuanya panjang-panjang lalu melaksanakan witir (satu rakaat)

Hadits keenam (hadits riwayat Ahmad dari Aisyah) menjelaskan bahwa Rasulullah saw apabila melakukan shalat lail membukanya dengan dua rakaat yang ringan-ringan.

Hadits ketujuh dan kedelapan (hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Salamah bin Abdirrahman) menjelaskan bahwa menurut Aisyah, shalat lail Rasulullah baik pada bulan Ramadhan atau di luar bulan Ramadhan tidak lebih dari sebelas rakaat dan kedua hadits tersebut tidak menjelaskan adanya shalat iftitah.

Dari hadits-hadits di atas dapat disimpulkan bahwa kalau kita lihat sepintas, seakan-akan hadits-hadits tersebut saling bertentangan satu sama lainnya. Satu riwayat Aisyah menyebutkan bahwa Nabi shalat lail sebelas raka’at sedang riwayat lain, yaitu Zaed bin Khalid al-Juhaniy menjelaskan bahwa Nabi saw shalat lail tiga belas raka’at. Sebenarnya hadis-hadis tersebut tidak saling bertentangan, tetapi bisa dipahami secara utuh bahwa kalau dalam hadis disebutkan tiga belas raka’at, maka masuk di dalamnya dua raka’at khafifatain.

Dalam buku Himpunan Putusan Tarjih (HPT) beberapa hadits Nabi saw yang dijadikan dasar dalam HPT tentang persoalan ini (hal. 346-352), dan dapat disimpulkan bahwa:

1.      Shalat malam diawali dengan dua rakaat yang ringan-ringan (rak'atain khafifatain).

2.      Beberapa tuntunan dalam tata cara pelaksanaan shalat iftitah tersebut adalah;

a.       Adanya bacaan do’a iftitah pada rakaat pertama dalam shalat khafifatain (baca diktum putusan No. 19 hal. 342 dengan berdasarkan dalil No. 19 hal. 350).

b.      Bacaan yang dibaca pada tiap-tiap raka’at, yaitu pada rakaat pertama setelah membaca do’a iftitah dilanjutkan dengan membaca surat al-Fatihah, sedang pada raka’at kedua hanya membaca surat al-Fatihah (baca diktum putusan No. 20 hal. 342 dengan berdasarkan dalil No. 20 hal. 350)

 

Cara Pelaksanaan Shalat Iftitah (sendiri-sendiri atau berjamaah)?

Dalam hal ini kita bisa membaca ulang bagaimana cara Rasulullah melakukan shalat iftitah. Adapun hadits-hadits yang bisa dijadikan dasar dalam pelaksanaan shalat iftitah sebagai berikut:

1-   عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ بَاتَ عِنْدَ مَيْمُونَةَ وَهِيَ خَالَتُهُ فَاضْطَجَعْتُ فِي عَرْضِ وِسَادَةٍ وَاضْطَجَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَهْلُهُ فِي طُولِهَا فَنَامَ حَتَّى انْتَصَفَ اللَّيْلُ أَوْ قَرِيبًا مِنْهُ فَاسْتَيْقَظَ يَمْسَحُ النَّوْمَ عَنْ وَجْهِهِ ثُمَّ قَرَأَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ آلِ عِمْرَانَ ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى شَنٍّ مُعَلَّقَةٍ فَتَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ قَامَ يُصَلِّي فَصَنَعْتُ مِثْلَهُ فَقُمْتُ إِلَى جَنْبهِ فَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رَأْسِي وَأَخَذَ بِأُذُنِي يَفْتِلُهَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَوْتَرَ ثُمَّ اضْطَجَعَ حَتَّى جَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ فَقَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى الصُّبْحَ. [رواه البخارى، باب ما جاء فى الوتر]

2-   عَنْ مَخْرَمَةَ بْنِ سُلَيْمَانَ أَنَّ كُرَيْبًا مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ قَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّيْلِ قَالَ بِتُّ عِنْدَهُ لَيْلَةً وَهُوَ عِنْدَ مَيْمُونَةَ فَنَامَ حَتَّى إِذَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفُهُ اسْتَيْقَظَ فَقَامَ إِلَى شَنٍّ فِيهِ مَاءٌ فَتَوَضَّأَ وَتَوَضَّأْتُ مَعَهُ ثُمَّ قَامَ فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ عَلَى يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَلَى يَمِينِهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِي كَأَنَّهُ يَمَسُّ أُذُنِي كَأَنَّهُ يُوقِظُنِي فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَدْ قَرَأَ فِيهِمَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى حَتَّى صَلَّى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً بِالْوِتْرِ ثُمَّ نَامَ فَأَتَاهُ بِلاَلٌ فَقَالَ الصَّلاَةُ يَا رَسُولَ اللهِ فَقَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى لِلنَّاسِ. [رواه ابو داود]

 

Keterangan:

            Hadits pertama(hadits riwayat al-Bukhari dari Aisyah) dan hadits kedua (hadits riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah) menjelaskan bahwa Ibnu Abbas pernah bermalam di tempat Maemunah, ketika waktu telah habis dua pertiga malam atau setengah malam Nabi saw bangun dari tidurnya kemudian berwudlu lalu berdiri (untuk melaksanakan shalat) dan ia (Ibnu Abbas) berdiri di sebelah kirinya dan beliau memindahkan Ibnu Abbas ke sebelah kanannya kemudian beliau melaksanakan shalat dua rakaat ringan-ringan. Dan dari kedua hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan shalat khafifatain sebagaimana pelaksanaan qiyamu Ramadhan sebelas rakaat dapat dilaksanakan secara berjamaah.

 

Jawaban Pertanyaan No. 3:

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita coba mengkaji kembali apa yang telah diputuskan oleh Majlis Tarjih pada tahun 1972 yang tercantum dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT), dengan cara membandingkan teks matan hadis Nabi saw yang terdapat dalam HPT dan membuka kembali kitab yang dijadikan rujukan oleh HPT dalam pengambilan keputusan atau dengan membaca hadis-hadis lain yang kemungkinan bisa dijadikan sebagai pegangan dalam menetapkan do’a iftitah yang dibaca ketika melakukan shalat khafifatain.

Dalam HPT hal. 342 disebutkan bahwa pada raka’at pertama dari shalat khafifatain setelah takbiratul ihram hendaklah membaca:

سُبْحَانَ ذِى الْمُلْكِ وَ الْمَلَكُوْتِ وَاْلِعزَّةِ وَالْجَبَرُوْتِ وَالْكِبْرِِياَءِ وَاْلعَظَمَةِ.

Dengan beralasan pada dalil no. 19 hal. 350 yang redaksinya sebagai berikut:

وَلِحَدِيْثِ خُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِىَّ صلعم ذَاتَ لَيْلَةٍ فَتَوَضَّأَ وَقَامَ يُصَلِّى، فَأَتَيْتُهُ فَقُمْت عَنْ يَسَارِهِ فَأقَامَنِى عَنْ يَمِيْنِهِ فَقَالَ (سُبْحَانَ ذِى الْمُلْكِ – الْحَدِيْث  (أخرجه الطبرانى فى الأوسط وقالفى مجمع الزوائد: رجاله موثّقون)

Dari uraian di atas jelas bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh Ath-Thabrany dalam kitab al-Ausath, ia mengatakan dalam kitab Majma’ az-Zawaid: bahwa perawinya orang-orang terpercaya.

Setelah dibuka kembali kitab Majma’ az-Zawaid yang dijadikan rujukan oleh HPT, ternyata ada perbedaan redaksi teks matan hadis yang dikemukan oleh HPT dengan apa yang terdapat dalam kitab Majma az-Zawaid wa Manba' al-Fawaid dan kitab al-Mu’jam al-Ausath.  Dalam kitab Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid, karangan Nuruddin Ali bin Abi Bakar al-Haisamy, Jilid 2 hal. 107, redaksinya sebagai berikut:

وَعَنْ خُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ لَيْلَةٍ فَتَوَضَّأَ وَقَامَ يُصَلِّى فَأَتَيْتُهُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ قَأَقَامَنِى عَنْ يَمِيْنِهِ فَقَالَ سُبْحَانَ اللهِ ذِى الْمَلَكُوْتِ وَالْجَبَرُوْتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ. [رواه الطبرانى فى الأوسط ورجاله موثّقون]

Dan dalam kitab “al-Mu’jam al-Ausath” karangan ath-Thabrany, redaksinya sebagai berikut:

وَ عَنْ خُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَتَوَضّأَ وَقَامَ يُصَلِّى فَأَتَيْتُهُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَأَقَامَنِى عَنْ يَمِيْنِهِ فَقَالَ سُبْحَانَ اللهِ ذِى الْمَلَكُوْتِ وَالْجَبَرُوْتِ وَالْكِبْرِيَاء وَالْعَظَمَةِ.

Do’a iftitah yang terdapat dalam teks matan hadis kitab Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid sama persis redaksinya, dan apabila kita membandingkan teks hadis Nabi saw yang terdapat dalam HPT dan kitab Majma’ az-Zawaid tersebut, ada beberapa perbedaan. Kalau teks hadis yang terdapat dalam kitab Majma’ az-Zawaid tersebut dijadikan dasar, maka teks hadis yang terdapat dalam HPT hendaknya disesuaikan dengan teks hadis yang terdapat dalam kedua kitab tersebut karena dalam teks tersebut ada beberapa lafaz tambahan, yaitu al-Mulk, al-‘Izzati dan ada kekurangan, yaitu lafaz “ Allah”, setelah lafaz “Subhana”.

Jadi, do'a iftitah yang dibaca pada shalat dua rakaat khafifatain tersebut adalah:

سُبْحَانَ اللهِ ذِى الْمَلَكُوْتِ وَالْجَبَرُوْتِ وَالْكِبْرِيَاء وَالْعَظَمَةِ.

Selanjutnya, apabila kita membuka kitab-kitab hadis lain, maka ditemukan do’a iftitah lain yang biasa dibaca oleh Nabi saw ketika melakukan shalat lail. Do’a iftitah tersebut berdasarkan pada beberapa hadis sebagai berikut:

(1) حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَأَبُو مَعْنٍ الرَّقَاشِيُّ قَالُوا حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ بِأَيِّ شَيْءٍ كَانَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْتَتِحُ صَلاَتَهُ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ قَالَتْ كَانَ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ افْتَتَحَ صَلاَتَهُ اللَّهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنْ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ. [مسلم، كتاب صلاة المسافرين وقصرها، باب الدعاء فى صلاة الليل: 1289]

(2) أَخْبَرَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ قَالَ أَنْبَأَنَا عُمَرُ بْنُ يُونُسَ قَالَ حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ قَالَ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ بِأَيِّ شَيْءٍ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْتَتِحُ صَلاَتَهُ قَالَتْ كَانَ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ افْتَتَحَ صَلاَتَهُ قَالَ اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اللَّهُمَّ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنْ الْحَقِّ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ. [النسائ، كتاب قيام الليل وتطوع النهار، باب بأى شيئ تستفتح صلاة الليل: 1607]

Wallahu a'lam bish-shawab. *A.56h)

 

FATWA TARJIH SEPUTAR MASALAH HAJI

(MIQAT MAKANI DAN SAI SETELAH THAWAF IFADLAH) (18)

 

Pertanyaan dari:

Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Magelang

(disidangkan pada: Jum'at, 23 Rabiul Akhir 1428 H / 11 Mei 2007 M)

 

Pertanyaan:

I.       Bagi Jamaah Haji dari Indonesia gelombang kedua (langsung ke Makkah), di manakah letak Miqot Makaninya? Dan bagaimanakah kedudukan hadits yang menyatakan tentang Miqot-miqot Makani (seperti Yalamlam, Qornul Manazil dan lain-lain)?

II.    Bagi Haji Tamathu' (yang ketika melaksanakan Thowaf Qudum telah melaksanakan Sa'i), maka apakah setelah melaksanakan Thowaf Ifadloh masih diharuskan melaksanakan Sa'i? Dan bagaimanakah kedudukan Hadits dari Ibnu Abbas dan Abdus Shomad yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni yang meniadakan Sa'i bagi Haji Tamathu'? Dan bagaimana pula hukumnya bagi orang yang telah melaksanakan ibadah haji, tapi karena tidak tahu dan hanya mengikuti petunjuk pembimbing, tidak melaksanakan Sa'i sesudah Thowaf Ifadloh, apakah hajinya syah?

 

 

Jawaban:

 

I.       PELABUHAN UDARA KING ABDUL AZIZ SEBAGAI MIQAT MAKANI BAGI CALON HAJI GELOMBANG II DARI INDONESIA

 

A.     Penetapan Miqat Makani pada masa Rasulullah saw

Miqat Makani bagi orang yang akan menunaikan haji atau umrah yang ditetapkan oleh Rasulullah saw, yaitu:

1.      Bagi orang yang bertempat tinggal di Madinah atau orang yang datang dari arah Madinah, miqat makaninya di Dzul Hulaifah, yang terletak kurang lebih 12 km di sebelah selatan kota Madinah atau kurang lebih 486 km di sebelah utara kota Makkah. Tempat ini sekarang dikenal dengan sebutan Bir Ali atau Abar Ali.

2.      Bagi orang yang bertempat tinggal di Syam atau orang yang datang dari arah Syam, miqat makaninya di Juhfah sebuah desa dekat Rabigh yang jaraknya kurang lebih 204 km di sebelah barat laut kota Makkah. Desa ini sekarang sudah tidak ada lagi, sehingga sekarang ini kota Rabigh yang dijadikan sebagai miqat.

3.      Bagi orang yang bertempat tinggal di Najd atau orang yang datang dari arah Najd, miqat makaninya di Qarnul Manazil yang terletak kurang lebih 94 km di sebelah timur kota Makkah atau kurang lebih 220 km dari pelabuhan udara King Abdul Aziz di Jedah. Tempat ini sekarang dikenal dengan sebutan As-Sail.

4.      Bagi orang yang bertempat tinggal di Yaman atau orang yang datang dari arah Yaman, miqat makaninya di Yalamlam, yang letaknya kurang lebih 89 km di sebelah selatan kota Makkah.

Ketetapan tersebut diterangkan dalam hadits:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: وَقَّتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَهلِ اْلمَدِيْنَةِ ذَا اْلحُلَيْفَةِ، وَلِأَهْلِ الشَّامِ اْلجُحْفَةَ، وَلِأَهْلِ نَجدٍ قَرْنَ اْلمَنَازِلِ، وَلِأَهْلِ اْليَمَنِ يَلَمْلَمَ، فَهُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِنَّ لِمَنْ كَانَ يُرِيْدُ اْلحَجَّ وَاْلعُمْرَةَ، فَمَنْ كَانَ دُوْنَهُنَّ فَمُهَلُّهُ مِنْ أَهْلِهِ وَكَذَاكَ حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ يُهِلّوْنَ مِنْهَا. [رواه البخاري ومسلم]

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata: Rasulullah saw menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam di Juhfah, bagi penduduk Najd di Qarnul Manazil dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam. Ia berkata: Itu semua bagi mereka dan bagi orang yang akan menunaikan haji dan umrah yang datang melaluinya. Bagi selain mereka --yakni bagi yang tinggal di antara miqat dan kota Makkah,- maka melakukan ihram haji dan umrah dari tempat tinggalnya, sehingga bagi orang Makkah cukup dari Makkah. [HR. al-Bukhari dan Muslim]. Hadits ini shahih.

 

 

B.     Penetapan Miqat Makani bagi penduduk Iraq

Pada masa Rasulullah saw, Islam belum masuk ke negeri Iraq. Islam masuk ke negeri ini pada masa pemerintahan ‘Umar Ibnu al-Khaththab. Setelah penduduknya memeluk Islam, kemudian sebagian mereka berniat untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah, maka berdasarkan ijtihad ‘Umar menetapkan miqat makaninya di Dzatu ‘Irq. Ketetapan ini disebutkan dalam sebuah riwayat:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: لَمَّا فُتِحَ هَذَانِ اْلمِصْرَانِ أَتَوْا عُمَرَ فَقَالُوْا: يَا أَمِيْرَ اْلمُؤْمِنِيْنَ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّ لِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْناً وَهُوَ جَوْرٌ عَنْ طَرِيْقِنَا، وَإِنَّا إِنْ أَرَدْنَا قَرْناً شَقَّ عَلَيْنَا. قَالَ: فَانْظُرُوا حَذْوَهَا مَنْ طَرِيْقِكم. فَحَدَّ لَهُمْ ذَاتَ عِرْقٍ. [رواه البخاري]

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar ra, ia berkata: Ketika dua kota ini (Bashrah dan Kufah) dikuasai oleh Islam, orang-orang berdatangan menghadap ‘Umar, dan berkata: Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Rasulullah saw telah menetapkan Qarnul Manazil sebagai miqat bagi penduduk Najd, tetapi tempat itu, menyimpang dari jalan yang kami lalui. Kalau kami harus melewati Qarnul Manazil, kami mengalami kesukaran. ‘Umar berkata: Coba kamu lihat arah yang setentang dengan Qarnul Manazil pada jalan yang kamu lalui. Kemudian ‘Umar menetapkan Dzatu ‘Irq sebagai miqat bagi mereka. [HR. al-Bukhari]

 

C.     Penetapan Pelabuhan Udara King Abdul Aziz sebagai Miqat Makani bagi Calon Haji Gelombang II

Sebelum membahas tentang Pelabuhan Udara King Abdul Aziz sebagai miqat makani, kiranya dapat dilihat terlebih dahulu penetapan Dzatu ‘lrq oleh ‘Umar sebagai yang telah disebutkan. Penetapan tersebut adalah didasarkan kepada ijtihad dengan pertimbangan:

1.      Menghilangkan pelaksanaan ihram yang menyukarkan bagi orang yang akan haji dan umrah.

2.      Mengambil yang setentang dengan Qarnul Manazil, yakni miqat yang terdekat.

Sejalan dengan argumen di atas maka untuk penetapan Pelabuhan Udara King Abdul Aziz sebagai miqat makani bagi calon haji Indonesia gelombang II, dapat dikemukanan:

1.      Kalimat dalam hadits لمن أتى عليهنorang yang datang dan mengakhiri perjalanan untuk memulai haji dan umrah, maka bagi calon haji Indonesia gelombang II Pelabuhan Udara King Abdul Aziz adalah tempat terakhir perjalanan dari Indonesia, dan segera akan dilanjutkan dengan memulai ihram haji dan umrah.

2.      Pelabuhan Udara King Abdul Aziz adalah tempat yang setentang dengan kota Makkah sebagai miqat yang terdekat, yakni berjarak kurang lebih 89,04 km.

3.      Dengan prinsip jalbu at-taisir (menarik kemudahan) serta ‘adamul-haraj (menghilangkan kesukaran) maka Pelabuhan Udara King Abdul Aziz dipandang tempat yang dapat memenuhi prinsip tersebut.

 

II.    SA’I SETELAH THAWAF IFADLAH BAGI HAJI TAMATTU’

 

Dalam hadits disebutkan:

عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُولُ: لَمْ يَطُفِ النَّبِيُّ وَلاَ أَصْحَابُهُ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، إِلاَّ طَوَافاً وَاحِداً. [رواه مسلم]

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Juraij bahwa Abu Zubair telah memberitahukan kepada saya bahwa ia mendengar Jabir Ibnu ‘Abdillah berkata: Nabi saw dan para shahabatnya tidak melakukan sa‘i antara Shafa dan Marwa kecuali hanya sekali saja. [HR. Muslim (Shahih Muslim, Juz I, hal 587, no. 1279)]

Keterangan dalam hadits ini menunjukkan bahwa Nabi saw tidak melakukan sa‘i (setelah thawaf ifadlah), karena dalam haji Nabi saw hanya melakukan sa‘i satu kali saja, yakni sewaktu thawaf qudum.

Sebagaimana diketahui bahwa Rasulullah saw melaksanakan ibadah haji hanya sekali yang dikenal dengan haji tahun wada’. Dalam haji ini Rasulullah saw beserta beberapa orang shahabat melaksanakan dengan haji ifrad; namun sebagian shahabat ada yang melaksanakan haji dengan qiran dan sebagian shahabat yang lain ada yang melaksanakan haji dengan tamattu’. Diterangkan dalam hadits:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ أَرَادَ مِنْكُمْ أَنْ يُهِلَّ بِحَجٍّ وَعُمْرَةٍ، فَلْيَفْعَلْ. وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُهِلَّ بِحَجٍّ، فَلْيُهِلَّ. وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُهِلَّ بِعُمْرَةٍ، فَلْيُهِلَّ. قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: فَأَهَلَّ رَسُوْلُ اللهِ بِحَجٍّ وَأَهَلَّ بِهِ نَاسٌ مَعَهُ. وَأَهَلَّ نَاسٌ بِالْعُمْرَةِ وَالْحَجِّ وَأَهَلَّ نَاسٌ بِعُمْرَةٍ. وَكُنْتُ فِيمَنْ أَهَلَّ بِالْعُمْرَةِ. [رواه مسلم]

Artinya: Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, ia berkata: Kami keluar (untuk menunaikan haji) bersama Rasulullah saw. Beliau bersabda: Barangsiapa yang hendak berihram untuk haji dan umrah (haji qiran) silakan dilaksanakan; barangsiapa yang akan berihram untuk haji saja (haji ifrad) silakan dilaksanakan; dan barangsiapa yang akan berihram untuk umrah (haji tamattu’) silakan dilaksanakan. ‘Aisvah berkata: Rasulullah saw berihram untuk haji (haji ifrad) dan sebagian orang ada yang berihram bersama dengan beliau; sebagian orang berihram untuk haji dan umrah (haji qiran); dan sebagian lagi berihram untuk umrah (haji tamattu’) dan saya termasuk berihram untuk umrah. [HR. Muslim (Shahih Muslim, Juz I, hal 551, nomor 1211)]

Dalam haji ifrad dan haji qiran didahului dengan thawaf qudum. Dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir Ibnu ‘Abdillah ra bahwa Nabi saw melakukan sa‘i setelah melaksanakan thawaf (qudum), sebagaimana dikatakan:

ثُمَّ خَرَجَ مِنَ الْبَابِ إِلَى الصَّفَا. فَلَمَّا دَنَا مِنَ الصَّفَا قَرَأَ: {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ} [رواه مسلم]

Artinya: Kemudian beliau keluar dari pintu (Shafa) menuju ke Shafa. Kemudian setelah dekat dari Shafa beliau membaca:إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ  [HR Muslim (Shahih Muslim, Juz I, hal 560, no. 1218)]

 

Jika dalam thawaf qudum (untuk haji dengan ifrad dan qiran) telah dilaksanakan sa‘i, maka dalam thawaf ifadlah tidak lagi dilakukan sa‘i sebagaimana dimaksudkan oleh hadits yang disebutkan di awal pembicaraan ini.

Sedangkan bagi orang yang melaksanakan haji tamattu’ dalam thawaf ifadlah tetap harus melaksanakan sa‘i, sebagaimana dijelaskan dalam hadits:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ مُتْعَةِ اْلحَجِّ فَقَالَ أَهَلَّ اْلمُهَاجِرُوْنَ وَاْلأَنْصَارُ وَأَزْوَاجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ اْلوَدَاعِ وَأَهْلَلْنَا، فَلَمَّا قَدِمْنَا مَكَّةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِجْعَلُوْا إِهْلاَلَكُمْ بِاْلحَجِّ عُمْرَةً إِلاَّ مَنْ قَلَّدَ اْلهَدْيَ، فَطُفِنَا بِاْلبَيْتِ وَبِالصَّفَا وَاْلمَرْوَةِ وَأَتَيْنَا النِّسَاءَ وَلَبِسْنَا الثِّيَابَ، وَقَالَ: مَنْ قَلَّدَ اْلهَدْيَ فَإِنَّهُ لاَ يَحِلُّ لَهُ حَتَّى يَبْلُغَ اْلهَدْيُ مَحِلَّهُ. ثُمَّ أَمَرَنَا عَشِيَّةَ التَّرْوِيَةِ أَنْ نُهِلَّ بِاْلحَجِّ، فَإِذَا فَرَغْنَا مِنَ اْلمَنَاسِكِ جِئْنَا فَطُفِنَا بِاْلبَيْتِ وَبِالصَّفَا وَاْلمَرْوَةِ وَقَدْ تَمَّ حَجُّنَا وَعَلَيْنَا اْلهَدْيُ. [رواه البخاري]

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra, bahwa ia ditanya tentang haji tamattu’. Kemudian ia mengemukakan: Orang-orang Muhajirin dan Anshar serta isteri-isteri Nabi saw berihram, lalu kami pun berihram. Setelah kami sampai di Makkah, Rasulullah saw bersabda: Ubahlah ihrammu untuk haji menjadi ihram untuk umrah, kecuali orang-­orang yang membawa hadyu (binatang untuk dam). Kami pun thawaf di Baitullah dan sa‘i antara Shafa dan Marwa. Setelah itu kami pun mengumpuli isteri kami dan berpakaian biasa. Kemudian beliau bersabda: Barangsiapa yang telah membawa hadyu maka sesungguhnya dia tidak boleh bertahallul sampai hadyu tiba di tempatnya (di hari nahar). Kemudian beliau menyuruh kami di sore hari tarwiyah supaya berihram untuk haji. Maka apabila telah selesai dari manasik (amalan-amalan) haji kami datang lalu mengerjakan thawaf ifadlah di Baitullah dan sa‘i dari Shafa ke Marwa. Maka sempurnalah haji kami dan kami wajib membayar hadyu. [HR. al-Bukhari (Shahih al-Bukhari, Juz I, hal 274)]

Dari hadits di atas dapat difahami bahwa, para shahabat yang tidak membawa hadyu dianjurkan oleh Nabi saw untuk mengerjakan haji dengan tamattu’. Dalam hadits di atas jelas bahwa orang yang melaksanakan hajinya dengan tamattu’ setelah thawaf ifadlah melaksanakan sa‘i.

Mengenai hadits dari Ibnu Abbas dan Abdus Shomad yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni, matan hadits tersebut adalah sebagai berikut:

حَدَثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ ابْنُ عَلِيٍّ حَدَثَنَا أَبُو إِسْمَاعِيلَ التُّرْمُذِي حَدَثَنَا اْلحَسَنُ ابْنُ سُوَار، حَدَثَنَا عَمْرُ ابْنُ قَيْسٍ عَنْ عَطَاءِ ابْنِ أَبَي رَبَاحٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « «فيمن تمتع بالعمرة إلى الحج قال : يطوف بالبيت سبعا، ويسعى بين الصفا والمروة، فإذا كان يوم النحر طاف بالبيت وحده، ولا يسعى بين الصفا والمروة» . [سنن الدارقطني، ، باب المواقيت، جـ 2، صـ 252]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abdush-Shamad ibnu Ali, dari Abu Ismail at-Turmudzi, dari Hasan ibnu Suwar, dari Amr ibn Qais, dari Atha' ibn Rabah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi saw: Tentang orang yang berhaji tamattu, Rasulullah saw bersabda: Thawaf mengelilingi Baitullah sebanyak tujuh kali dan Sa'i dari Shafa ke Marwah. Apabila ia berada pada hari Nahr, maka thawaf mengelilingi Baitullah saja dan tidak melakukan Sa'i antara Shafa dan Marwah.” [Sunan ad-Daruqutniy]

Ada beberapa catatan tentang hadits ini: Pertama, periwayatan hadits ini tunggal, yakni hanya diriwayatkan oleh ad-Daruquthniy saja dalam Sunan-nya, tidak ada syahid dan mutaba'ahnya. Kedua, dalam kitab Lisanul-Mizan, Abdush-Shamad yang nama lengkapnya adalah Abdush-Shamad bin Ali bin Abdullah bin Abbas al-Hasyimi al-Amir, disebutkan sebagai perawi yang haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah. Berdasarkan hal tersebut, maka menurut pendapat kami hadits tersebut tidak dapat dijadikan dasar dalam penetapan hukum suatu ibadah.

Adapun orang yang telah terlanjur menunaikan ibadah haji dengan melakukan praktek seperti dalam hadits tersebut karena tidak mengetahui kualitas hadits tersebut dan hanya mengikuti petunjuk dari pembimbing, maka menurut pendapat kami hajinya tetap sah dan tidak perlu diulang kembali.

Wallahu a’lam bishshawab. *dw)

 

LAFADZ DOA SESUDAH KHUTBAH KEDUA (19)

 

Pertanyaan Dari:

Mahmud, NBM. 1150.140601.64798,

Jl. Imam Bonjol No. 90 B Melayu, Salong, Lombok Timur, NTB

(disidangkan pada hari Rabu, 24 Rajab 1428 H / 8 Agustus 2007 M)

 

 

Pertanyaan:

Assalaamu ’alaikum Wr. Wb.

Dalam SM No. 9 tahun ke-92, Mei 2007, tercantum dalam doa sesudah khutbah kedua رَبَّيَانَا صِغَارًا. Apakah itu ayat atau bukan? Apakah hasil Tarjih atau belum? Apakah sudah dilegalkan oleh Muhammadiyah menjadi doa?

Semua kita yakin bahwa satu huruf pun dari ayat-ayat al-Qur'an tidak boleh diubah agar kita tidak ketularan watak Yahudi yang sudah berani mengubah kitab sucinya. Kasus seperti ini pernah kami tanyakan kepada ustadz di kampung yang mereka jawab: ... agar mencakup banyak orang sesuai dengan qaidah nahwu sharaf bahasa Arab, ... . Maka, apakah sesudah menjadi sarjana bahasa Arab, mereka akan bebas mengubah huruf ayat al-Qur'an?

Di samping itu kami sangat menyambut baik rubrik Suara Muhammadiyah yang memuat khutbah Jum'at, karena sangat membantu kami di kampung-kampung yang saat ini sedang berusaha membenahi masjid-masjidnya, sesuai dengan perubahan dan kemajuan zaman. Akhirnya atas perhatian PP Muhammadiyah, kami sampaikan terima kasih.

Billahit taufiq wal hidayah.

Wassalaamu ’alaikum Wr. Wb.

 

Jawaban:

Rubrik khutbah yang dimuat di Suara Muhammadiyah adalah hasil tulisan perorangan bukan produk Majelis Tarjih dan Tajdid. Maka doa tersebut belum mendapat pengesahan dari Muhammadiyah. Doa tersebut bukan ayat al-Qur'an. Kami tidak mengetahui persis apakah doa tersebut berasal dari ayat al-Qur'an yang sudah diubah dlamirnya, dari dlamir mutakallimin wahid menjadi dlamir mutakallimin ma'al-ghair (dari نيmenjadi نا) dan صَغِيْرًا(mufrad) menjadi صِغَارًا(jama').

Doa yang ada dalam al-Qur'an, pada surat al-Isra' (17): 24, berbunyi sebagai berikut:

Éb>§‘$yJßg÷Hxqö‘$#$yJx.’ÎT$u‹­/u‘#ZŽÉó|¹. [الإسراء (17): 24].

Artinya: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” [QS. al-Isra' (17): 24].

Kami sependapat dengan saudara bahwa mengubah ayat al-Qur'an, baik kalimat, kata-kata, maupun huruf-hurufnya, tidak diperbolehkan, sebab perubahan tersebut mengakibatkan perubahan makna. Dalam hal ini Allah berfirman:

tbqãèyJôÜtGsùr&br&(#qãZÏB÷sãƒöNä3s9ô‰s%urtb%x.×,ƒÌsùöNßg÷YÏiBtbqãèyJó¡o„zN»n=Ÿ2«!$#¢OèO¼çmtRqèùÌhptä†.`ÏBω÷èt/$tBçnqè=s)tãöNèduršcqßJn=ôètƒ. [البقرة (2): 75].

Artinya: Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?[QS. al-Baqarah (2): 75].

z`ÏiBtûïÏ%©!$#(#rߊ$ydtbqèùÌhptä†zNÎ=s3ø9$#`tã¾ÏmÏèÅÊ#uq¨Btbqä9qà)tƒur$oY÷èÏÿxœ$uZøŠ|Átãurôìoÿôœ$#uruŽöxî8ìyJó¡ãB$uZÏãºu‘ur$CŠs9öNÍkÉJt^Å¡ø9r'Î/$YY÷èsÛur’ÎûÈûïÏd‰9$#....[النسآء (4): 46].

Artinya: “Di antara orang-orang Yahudi mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: "Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya". Dan (mereka mengatakan pula): "Dengarlah sedang kamu Sebenarnya tidak mendengar apa-apa". Dan (mereka mengatakan): "Raa'ina" (sangat bodoh) dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama …” [QS. an-Nisa' (4): 46]

Ayat-ayat tersebut, sekalipun berkenaan dengan orang-orang Yahudi, tetapi tujuannya untuk mencela orang-orang yang mengubah ayat-ayat al-Qur'an. Maka siapa saja yang mengubah ayat-ayat al-Qur'an, sekalipun hanya satu huruf, termasuk orang yang dicela Allah SWT.

Para ulama telah sepakat bahwa doa-doa yang maqbul adalah doa-doa yang ma'tsur, yaitu doa-doa yang bersumber dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Dalam al-Qur'an sebenarnya banyak doa-doa, baik doa-doa untuk pribadi maupun doa untuk orang banyak. Maka tidak perlu mengubah kata-kata atau huruf-hurufnya, tinggal memilih saja doa apa yang tepat, misalnya doa untuk orang banyak:

!$oY­/u‘$oYÏ?#uä’Îû$u‹÷R‘‰9$#ZpuZ|¡ym’ÎûurÍotÅzFy$#ZpuZ|¡ym$oYÏ%urz>#x‹tã͑$¨Z9$#. [البقرة (2): 201].

Doa untuk diri sendiri:

$oY­/u‘öÏÿøî$#’Í<£“t$Î!ºuqÏ9urtûüÏZÏB÷sßJù=Ï9urtPöqtƒãPqà)tƒÜ>$|¡Åsø9$#. [إبراهيم (14): 41].

Wallaahu a’lam bish-shawab. *sd)

 

DZIKIR DENGAN SUARA KERAS MENURUT IBNU 'ABBAS (20)

 

Pertanyaan Dari:

Thamrin Ariadhie, NBM. 483638,

 (disidangkan pada hari Jum'at, 11 Sya'ban 1428 H / 14 September 2007 M)

 

 

Pertanyaan:

Assalaamu ’alaikum Wr. Wb.

Zikir dengan suara keras selesai shalat wajib menurut Ibnu 'Abbas biasa dilakukan pada masa Rasulullah saw, apakah dapat diamalkan?

Wassalaamu ’alaikum Wr. Wb.

 

Jawaban:

Perlu kami sampaikan bahwa masalah dzikir, pernah pula ditanyakan dan dijawab pada rubrik ini, namun tidak ada salahnya pertanyaan saudara kami jawab secara khusus di sini.

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, baiklah dikutipkan lebih dulu ayat-ayat yang berhubungan dengan doa dan dzikir:

(#qãã÷Š$#öNä3­/u‘%Y敎|Øn@ºpuŠøÿäzur4¼çm¯RÎ)Ÿw=Ït䆚úïωtF÷èßJø9$#. [الأعراف (7): 55]

Artinya: Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” [QS. al-A’raf (7): 55].

ä.øŒ$#urš­/§‘’ÎûšÅ¡øÿtR%Y敎|Øn@Zpxÿ‹Åzurtbrߊur̍ôgyfø9$#z`ÏBÉAöqs)ø9$#Íir߉äóø9$$Î/ÉA$|¹Fy$#urŸwur`ä3s?z`ÏiBtû,Î#Ïÿ»tóø9$#.[الأعراف (7): 205]

Artinya: “Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” [QS. al-A’raf (7): 55].

Dalam suatu hadits disebutkan sebagai berikut:

عَنْ أَبِي مُوسَى، قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ فِي سَفَرٍ. فَجَعَلَ النَّاسُ يَجْهَرُونَ بِالتَّكْبِيرِ. فَقالَ النَّبِي صلى الله عليه وسلم: أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ. إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِباً. إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعاً قَرِيباً. [رواه البخاري]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Musa, ia berkata: Kami pernah bersama Nabi saw dalam suatu perjalanan, kemudian orang-orang mengeraskan suara dengan bertakbir. Lalu Nabi saw bersabda: Wahai manusia, rendahkanlah suaramu. Sebab sesungguhnya kamu tidak berdoa kepada (Tuhan) yang tuli, dan tidak pula jauh, tetapi kamu sedang berdoa kepada (Allah) Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat.” [HR. Muslim, No. 44/2704]

Pada dua ayat tersebut, yaitu ayat 55 dan 205 surat al-A’raf, Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar berdoa dan berzikir dengan merendahkan diri dan tidak mengeraskan suara. Demikian pula hadits yang diriwayatkan Abu Musa, menegaskan agar merendahkan suara dalam berdoa kepada Allah, sebab Allah SWT tidak tuli dan tidak jauh, melainkan Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat.

Jelaslah bahwa apa yang diriwayatkan Ibnu Abbas menurut yang saudara sampaikan itu bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Muslim. Maka riwayat tersebut tidak dapat diamalkan. Sebaiknya ikuti saja apa yang telah ditegaskan dalam al-Qur’an.

Wallaahu a’lam bish-shawab. *sd)

 

LARANGAN-LARANGAN SEPUTAR KUBURAN (21)

 

 

Pertanyaan Dari:

Irfan M., S.Pd., Kore, Sanggar, Bima, NTB

(Disidangkan pada hari Jum’at, 16 Ramadan 1428 H / 28 September 2007 M)

 

 

Pertanyaan:

Assalaamu ’alaikum Wr. Wb.

1.      Apakah nama, tanggal lahir, tanggal wafat, dan doa-doa untuk mayit di sisi kuburnya termasuk larangan Rasulullah yang harus ditinggalkan?

2.      Apakah membina atau mengkeramik kubur termasuk atau tergolong mendirikan tembok-tembok di atas kubur sebagaimana yang dilarang oleh Rasulullah?

3.      Kalau kedua pertanyaan saya di atas termasuk larangan yang harus ditinggalkan, adakah dalil lain yang membolehkan dengan alasan sebagaimana yang saya maksudkan? (agar tidak mudah dibongkar, agar mudah diziarahi)

Wassalaamu ’alaikum Wr. Wb.

 

 

Jawaban:

Sebelum menjawab pertanyaan saudara, kami kutipkan lebih dahulu hadits-hadits yang berkenaan dengan kubur:

عَنْ ثُمَامَةَ بْنَ شُفَيَّ قَالَ كُنَّا مَعَ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ بِأَرْضِ الرُّومِ بِرُوْدِسَ فَتُوُفِّيَ صَاحِبٌ لَنَا، فَأَمَرَ فَضَالَةَُ بْنُ عُبَيْدٍ بِقَبْرِهِ فَسُوِّيَ، ثُمَّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِتَسْوِيَتِهَا. [رواه مسلم: 92/968]

Artinya: Diriwayatkan dari Tsumamah bin Syufayya, ia berkata: Kami bersama Fadlalah bin 'Ubaid di Negeri Rum, di Rudisa, kemudian teman kami wafat. Lalu Fadlalah bin 'Ubaid menyuruh menguburnya dan meratakannya. Kemudian dia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw menyuruh supaya meratakannya.[HR. Muslim, hadits no. 92/968].

عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ اْلقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ. [رواه مسلم: 94/970]

Artinya: Diriwayatkan dari Jabir, ia berkata: Rasulullah saw melarang memplester kubur, mendudukinya dan mendirikan bangunan di atasnya.[HR. Muslim, no. 94/970].

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَنْ يَجْلِسَنَّ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ. [رواه مسلم: 96/971]

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Seseorang duduk di atas bara api, hingga membakar bajunya dan mengelupas kulitnya adalah lebih baik daripada duduk di atas kubur.[HR. Muslim, no. 96/971].

 

Penjelasan

Hadits pertama, yang diriwayatkan oleh Tsumamah, memerintahkan agar semua kubur diratakan dengan tanah, tidak boleh lebih tinggi dari tanah di sekitarnya. Hadits kedua, yang diriwayatkan oleh Jabir, melarang memplester kubur, duduk di atasnya dan mendirikan bangunan di atasnya. Hadits ketiga menegaskan kembali larangan duduk di atas kubur dengan cara membandingkan, bahwa duduk di atas bara api lebih baik daripada duduk di atas kubur. Ini memberikan pengertian bahwa duduk di atas kubur dosanya sangat besar.

Di samping larangan mendirikan bangunan di atasnya, atau menambah tanah agar lebih tinggi, atau memplester kubur, juga dilarang menulis dengan tulisan apa saja di atas kubur, sebagaimana diungkapkan dalam suatu hadits:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبْنَى عَلَى اْلقَبْرِ أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ أَوْ يُجَصَّصَ، زَادَ سُلَيْمِانُ بْنُ مُوسَى أَوْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ. [رواه النسآئى كتاب الجنائز جـ 4: 86].

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir, ia berkata: Rasulullah saw melarang dibangun suatu bangunan di atas kubur, atau ditambah tanahnya, atau diplester; Sulaiman ibn Musa menambah: Atau ditulis di atasnya.” [HR. an-Nasai, Kitab al-Jana'iz, Juz IV: 86].

Sebagian besar ulama, berpendapat bahwa larangan tersebut menunjukkan kepada tahrim (keharaman), dengan alasan untuk saddu az-zari'ah (menutup jalan perbuatan dosa), dan juga untuk menarik kemaslahatan dan menolak mafsadah (kerusukan aqidah).

Dilarang mendirikan bangunan, memplester dan meninggikan tanah, karena dikhawatirkan di masa yang akan datang, kubur tersebut dianggap mempunyai kekuatan, sehingga perlu dipuja-puja dan diberi sesaji dan mungkin juga dimintai pertolongan dan sebagainya, sebagaimana terjadi umat dahulu yang menyembah berhala-berhala.

Sebenarnya, nenek moyang mereka hanya berniat untuk peringatan saja, lalu mendirikan patung-patung. Tetapi cucu-cucunya, tidak mengerti tujuan yang sebenarnya, lalu mereka mengagung-agungkan dan menyembahnya. Karena itulah sebaiknya meninggalkan larangan-larangan tersebut, sebab kami tidak menemukan satu hadits pun yang memberikan jalan atau memperbolehkan membangun bangunan di atas kubur, memplester, atau meninggikan kubur.

Wallaahu a’lam bish-shawab. *sd)

 

NASIKH-MANSUKH

SURAT AN-NAJM AYAT 39 DENGAN SURAT AT-THUR AYAT 21 .....(22)

 

Pertanyaan Dari:

Thamrin Ariadhie, NBM. 483638,

 (disidangkan pada hari Jum'at, 11 Sya'ban 1428 H / 14 Agustus 2007 M dan 22 Syawwal 1428 H / 2 November 2007 M)

 

 

Pertanyaan:

Assalaamu ’alaikum Wr. Wb.

Benarkah surat an-Najm ayat 39 telah dimansukh dengan surat ath-Thur ayat 21?

Wassalaamu ’alaikum Wr. Wb.

 

Jawaban:

Sebelum mengetahui apakah surat an-Najm ayat 39 telah mansukh dengan surat ath-Thur ayat 21, kami paparkan lebih dahulu apakah naskh itu?

Para ulama berbeda pendapat dalam memberikan pengertian naskh, tetapi esensinya sama. Menurut Manna al-Qaththan, dimaksudkan dengan naskh ialah:

رَفْعُ اْلحُكْمِ الشَّرْعِيِّ بِخِطَابٍ شَرْعِيٍّ.

Artinya: “Penghapusan hukum syar'i dengan khithab (pernyataan) syar'i.” [Manna al-Qaththan, 1971: 196].

Para ulama membagi naskh menjadi empat macam:

a.       Naskh as-sunnah bi as-sunnah (penghapusan sunnah dengan sunnah). Jumhur (sebagian besar) ulama membolehkannya.

b.      Naskh as-sunnah bi al-Kitab (penghapusan sunnah dengan al-Kitab). Jumhur ulama membolehkannya.

c.       Naskh al-Kitab bi al-Kitab (penghapusan al-Kitab dengan al-Kitab, misalnya penghapusan Injil dengan al-Qur'an). Para ulama sepakat membolehkannya.

d.      Naskh al-Qur'an bi al-Qur'an (penghapusan al-Qur'an dengan al-Qur'an). Sebagian ulama seperti Imam asy-Syafi'i dan pengikutnya berpendapat boleh, baik penghapusan bacaannya, hukumnya, atau bacaannya saja, dengan alasan

$tBô‡|¡YtRô`ÏB>ptƒ#uä÷rr&$ygÅ¡YçRÏNù'tR9Žösƒ¿2!$pk÷]ÏiB÷rr&!$ygÎ=÷WÏB. [البقرة (2): 106]

Artinya: “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.” [QS. al-Baqarah (2): 106]

Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa dalam al-Qur'an tidak ada naskh (penghapusan), misalnya penghapusan suatu ayat dengan ayat lainnya. Pendapat ini dilontarkan oleh Abu Muslim al-Ashfahani. Pendapat tersebut mendapat perhatian yang sangat besar dari para ulama mutaakhir, asy-Syaikh Muhammad Abduh, as-Sayyid Rasyid Ridla dan Dr. Taufiq Shidqi. Abu Muslim al-Ashfahani menyatakan, jika dalam al-Qur'an ada ayat yang mansukh (dihapus), maka sebagian ayat al-Qur'an ada yang dibatalkan, dan jika dalam al-Qur'an ada ayat yang dibatalkan, maka sebagian ayat al-Qur'an ada batil. Padahal Allah telah menegaskan dengan firman-Nya:

žwÏm‹Ï?ù'tƒã@ÏÜ»t7ø9$#.`ÏBÈû÷üt/Ïm÷ƒy‰tƒŸwurô`ÏB¾ÏmÏÿù=yz.[فصلت (41): 42]

Artinya: “Tidaklah datang kepadanya (al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya.” [QS. Fushshilat (41): 42]

Dari penjelasan tersebut jelaslah bahwa dalam al-Qur’an tidak satu ayat pun yang mansukh. Kami cenderung kepada pendapat ini.

Selanjutnya, jikalau kita kaji kedua ayat tersebut, maka tidak didapatkan adanya ta'arudl (pertentangan) antara keduanya, sehingga tidak mungkin terjadi nasakh. Bahkan sebaliknya, kedua ayat tersebut justru saling melengkapi.

Firman Allah dalam surat an-Najm (53): 39:

br&ur}§øŠ©9Ç`»|¡SM~Ï9žwÎ)$tB4Ótëy™

Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”

Firman Allah dalam surat ath-Thur (52): 21:

tûïÏ%©!$#ur(#qãZtB#uäöNåk÷Jyèt7¨?$#urNåkçJ­ƒÍh‘èŒ?`»yJƒÎ*Î/$uZø)ptø:r&öNÍkÍ5öNåktJ­ƒÍh‘èŒ!$tBurNßg»oY÷Gs9r&ô`ÏiBOÎgÎ=uHxå`ÏiB&äóÓx«4‘@ä.¤›ÍöD$#$oÿÏ3|=|¡x.×ûüÏdu‘

Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”

Perlu difahami, bahwa Allah menghubungkan (meninggikan derajat) anak cucu orang yang beriman seperti derajat mereka bukan lantaran keimanan mereka, tetapi lantaran keimanan anak cucu mereka sendiri. Dalam kitab Shafwah at-Tafasir (Muhammad Aliy ash-Shabuni) disebutkan, maksud dari ayat 39 surat an-Najm adalah manusia tidak mendapatkan balasan kecuali dari amal atau uasahanya sendiri di dunia. Ibnu Katsir berkata: Sebagaimana ia tidak dibebani dosa orang lain, demikian pula ia tidak mendapatkan pahala kecuali dari amal yang diusahakannya untuk dirinya sendiri. Adapun maksud dari ayat 21 surat ath-Thur adalah anak cucu orang yang beriman tersebut dihubungkan (dinaikkan derajatnya oleh Allah di surga) adalah karena keimanan mereka sendiri, bukan karena bapak-bapak mereka. Ringkasnya, pada umumnya semua manusia akan mendapat balasan dari Allah sesuai dengan amal perbuatan mereka masing-masing di dunia. Namun, orang yang beriman akan dikumpulkan oleh Allah dengan keturunan mereka di surga berdasarkan keimanan mereka untuk lebih membahagiakan mereka.

Dari uraian tersebut kami berpendapat bahwa surat an-Najm ayat 39 tidak mansukh dengan surat ath-Thur ayat 21.

Wallaahu a’lam bish-shawab. *sd)

 

ORANG MASUK ISLAM YANG TIDAK PERNAH MENJALANKAN SYARIAT ISLAM DAN ORANG ISLAM YANG TIDAK PERNAH SHALAT ATAU MATI BUNUH DIRI, PERLU DISHALATKAN ATAU TIDAK JENAZAHNYA? (23)

 

 

Pertanyaan Dari:

Moh. Slamet, TU SMP Muhammadiyah 10 Yogyakarta

(Disidangkan pada hari Jum’at, 16 Ramadan 1428 H / 28 September 2007 M dan 22 Syawwal 1428 H / 2 November 2007 M)

 

 

Pertanyaan:

Assalaamu ’alaikum Wr. Wb.

Melalui Suara Muhammadiyah, dengan ini saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan, yaitu:

1.      Di kampung kami sering terjadi orang non muslim ingin diislamkan. Akan tetapi masuknya Islam orang tersebut hanya untuk menikah saja. Setelah menjadi seorang muslim, ia tidak pernah menjalankan syari'at Islam, bahkan kembali melaksanakan ibadah agama semula. Berdosakah orang yang membimbing dan menjadi saksi?

2.      Orang Islam yang meninggal dunia tetapi semasa hidupnya tidak pernah menjalankan shalat, apakah tetangga kanan-kirinya wajib menshalatkannya atau tidak?

3.      Orang Islam yang meninggal dunia karena bunuh diri wajib dimandikan dan dishalatkan atau tidak?

Atas jawaban yang diberikan saya ucapkan jazakumullah khairan katsira.

Wassalaamu ’alaikum Wr. Wb.

 

 

Jawaban:

1.      Peristiwa yang saudara ceritakan tidak hanya terjadi di kampung saudara, melainkan terjadi juga di kampung-kanpung lain. Hidayah itu hanya dari Allah SWT, kita semua tidak dapat memberikan hidayah kepada siapa pun. Nabi Muhammad pun tidak dapat memberikan hidayah, sebagaimana diungkap dalam surat al-Baqarah (2): 272:

}§øŠ©9šø‹n=tãóOßg1y‰èd£`Å6»s9ur©!$#“ωôgtƒÆtBâä!$t±o„

Artinya: “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya.”

Di kampung kami pun sering tejadi peristiwa, seperti yang saudara saksikan di kampung saudara, yaitu orang non muslim minta dituntun syahadat, yang tujuannya untuk menikah dengan orang muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Di antara mereka ada yang kembali lagi kepada agama semula, dan ada pula yang tetap menganut agama Islam, bahkan lebih kuat daripada orang yang menganut agama Islam karena turunan.

Maka tentu saja orang yang menuntun syahadat dan para saksinya harus niat dengan ikhlas, dan tidak boleh ragu-ragu, sebab yang memberikan hidayah hanya Allah SWT. Seandainya nanti di belakang hari orang tersebut kembali lagi kepada agama semula, tak lain karena Allah belum memberikan hidayah kepadanya.

Menurut pendapat kami, baik orang yang menuntun syahadat maupun para saksinya tidak berdosa, yang berdosa hanya orang yang murtad (kembali kepada agama semula). Apabila seseorang diminta untuk menuntun syahadat, tetapi tidak mau menuntunnya, maka ia berdosa.

2.      Pertanyaan tentang apakah orang Islam yang tidak pernah mengerjakan shalat, wajib dishalati jenazahnya?

Pertanyaan tersebut muncul karena seorang muslim harus memenuhi lima rukun Islam, sebagaimana ditegaskan dalam suatu hadits yang menyatakan sebagai berikut:

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصِيَامِ رَمَضَانَ وَحِجِّ اْلبَيْتِ. [رواه مسلم عن ابن عمر: 22/16: 32]

Artinya: Islam dibangun di atas lima (rukun): Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang pantas disembah kecuali Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadan, dan haji ke Baitul-Haram.[HR. Muslim dari Ibnu 'Umar, hadits no. 22/16: 32].

Hadits tersebut menyatakan bahwa orang Islam (muslim) belum sempurna keislamannya kalau belum memenuhi lima rukun tersebut. Sebagian ulama menyatakan bahwa seseorang belum menjadi muslim sejati kalau belum memenuhi lima rukun tersebut.

Dengan kata lain, muslim itu ada beberapa tingkatan, dan yang paling rendah ialah muslim yang baru mengucapkan syahadat. Sekalipun belum mengerjakan shalat, tetapi ia sudah dapat digolongkan sebagai seorang muslim. Dalam suatu hadits dinyatakan sebagai berikut:

عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عَدِيٍّ بْنِ اْلخِيَارِ عَنِ اْلمِقْدَادِ بْنِ اْلأَسْوَدِ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ لَقِيْتُ رَجُلاً مِنَ اْلكُفَّارِ فَقَاتَلَنِي فَضَرَبَ إِحْدَى يَدَيَّ بِالسَّيْفِ فَقَطَعَهَا ثُمَّ لاَذَ مِنِّي بِشَجَرَةٍ فَقَالَ أَسْلَمْتُ أَفَأَقْتُلُهُ يَا رَسُولَ اللهِ بَعْدَ أَنْ قَالَهَا قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَقْتُلْهُ قَالَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ قَدْ قَطَعَ يَدَي ثُمَّ قَالَ ذَلِكَ بَعْدَ أَنْ قَطَعَهَا أَفَأَقُلْتُهُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَقْتُلْهُ فَإِنْ قَتَلْتَهُ فَإِنَّهُ بِمَنْزِلَتِكَ قَبْلَ أَنْ تَقْتُلَهُ وَإِنَّكَ بِمَنْزِلَتِهِ قَبْلَ أَنْ يَقُولَ كَلِمَتَهُ الَّتِى قَالَ. [رواه مسلم: 155/95: 61]

Artinya: Diriwayatkan dari 'Ubaidillah ibn 'Adiy bin al-Khiyar, dari al-Miqdad bin al-Aswad, bahwa dia menyampaikan berita kepada 'Ubaidillah, bahwa dia pernah bertanya kepada Rasulullah: Hai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika saya bertemu dengan seorang laki-laki dari golongan orang kafir, lalu dia menyerang saya, dia menyabet salah satu dari dua tanganku dengan pedang hingga memutuskannya, lalu dia berlindung dengan sebuah pohon dari seranganku, kemudian dia berkata: Saya telah masuk Islam. Bolehkah saya membunuhnya sesudah dia menyatakan masuk Islam Hai Rasulullah? Rasulullah saw bersabda: Janganlah kau membunuhnya. Dia berkata: Lalu saya berkata: Hai Rasulullah, ia telah memotong tangan saya. Lalu ia berkata lagi: Ia menyatakan masuk Islam sesudah memotong tangan saya, bolehkah ia saya bunuh? Rasulullah bersabda: Janganlah kau membunuhnya. Jika engkau membunuhnya, maka sesungguhnya ia sederajat dengan engkau sebelum engkau membunuhnya dan sesungguhnya engkau (sesudah membunuhnya) sederajat dengan dia sebelum mengucapkan kalimat yang dia ucapkan.[HR. Muslim, no. 155/95: 61].

Hadits tersebut membeirkan pengertian bahwa orang yang telah menyatakan masuk Islam, kedudukannya sama dengan orang Islam (muslim), dan mempunyai hak yang sama dengan muslim lainnya termasuk dishalati jenazahnya. Maka teman atau tetangga kanan-kirinya juga wajib menshalati jenazahnya.

3.      Pertanyaan tentang orang Islam yang meninggal karena bunuh diri, apakah wajib dimandikan dan dishalatkan.

Menurut sebagian ulama tidak wajib dishalatkan, dengan alasan-alasan sebagai berikut:

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ. [رواه مسلم: 107/978: 430]

Artinya: Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah, ia berkata: Didatangkan kepada Nabi saw seorang laki-laki yang mati karena bunuh diri dengan sebilah pisau besar, tetapi beliau tidak mau menshalatinya.[HR. Muslim, no. 107/978: 430].

Ulama lainnya berpendapat sebagai berikut:

Al-Auzai dan sebagian besar ahli fikih berpendapat, wajib dishalati, tentu saja wajib dimandikan dan dikafani. Mereka juga mengatakan bahwa para sahabat menshalatinya. Peristiwa seperti ini sama dengan peristiwa orang meninggal yang mempunyai hutang. Rasulullah saw tidak menshalatinya, tetapi beliau menyuruh para sahabat untuk menshalatinya.

Nabi Muhammad saw pernah bersabda:

عَنْ جَابِرٍ أَنَّ الطُّفَيْلَ بْنَ عَمْرٍو الدَّوْسِيَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ هَلْ لَكَ فِي حِصْنٍ حَصِينٍ وَمَنْعَةٍ قَالَ حِصْنٌ كَانَ لِدَوْسٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَأَبَى ذَلِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلَّذِي ذَخَرَ اللهُ لِلْأَنْصَارِ فَلَمَّا هَاجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمَدِينَةِ هَاجَرَ إِلَيْهِ الطُّفَيْلُ بْنُ عَمْرٍو وَهَاجَرَ مَعَهُ رَجُلٌ مِنْ قَوْمِهِ فَاجْتَوَوْا الْمَدِينَةَ فَمَرِضَ فَجَزِعَ فَأَخَذَ مَشَاقِصَ لَهُ فَقَطَعَ بِهَا بَرَاجِمَهُ فَشَخَبَتْ يَدَاهُ حَتَّى مَاتَ فَرَآهُ الطُّفَيْلُ بْنُ عَمْرٍو فِي مَنَامِهِ فَرَآهُ وَهَيْئَتُهُ حَسَنَةٌ وَرَآهُ مُغَطِّيًا يَدَيْهِ فَقَالَ لَهُ مَا صَنَعَ بِكَ رَبُّكَ فَقَالَ غَفَرَ لِي بِهِجْرَتِي إِلَى نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا لِي أَرَاكَ مُغَطِّيًا يَدَيْكَ قَالَ قِيلَ لِي لَنْ نُصْلِحَ مِنْكَ مَا أَفْسَدْتَ فَقَصَّهَا الطُّفَيْلُ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ وَلِيَدَيْهِ فَاغْفِرْ. [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir ra., ia berkata: Thufail bin Amar ad-Dausi dating kepada Nabi saw seraya berkata: Berkenankah anda tinggal di benteng kami yang kuat lagi tangguh, yaitu benteng suku Dausi masa jahiliyah? Rasulullah saw tidak berkenan memenuhi permintaan itu, karena beliau yakin terhadap ketangguhan yang telah ditanamkan Allah di hati kaum Anshar. Ketika Rasulullah saw hijrah ke Madinah, Thufail bin Amar ikut pula hijrah. Dia membawa serta seorang laki-laki warganya. Tetapi hawa Madinah tidak cocok bagi mereka, sehingga teman Thufail sakit dan tak sabar menahan derita itu. Karena itu, diambilnya senjatanya lalu dipotongnya tangannya sehingga darah mengucur dengan derasnya dan menyebabkan kematiannya. Pada suatu malam Thufail bin Amar bermimpi melihat temannya itu segar bugar, dengan tangan terbungkus. Thufail bertanya kepadanya: Apakah yang diperbuat Tuhan terhadapmu? Jawabnya: Allah mengampuni dosa-dosaku, karena aku telah ikut hijrah Nabi saw. Tanya Thufail: Kulihat tanganmu dibungkus, kenapa? Jawabnya: Dikatakan (Tuhan) kepadaku: Kami tidak akan memperbaiki apa yang telah kamu rusakkan sendiri. Mimpi Thufail itu diceritakannya kepada Nabi saw, lalu beliau berdoa: Ampunilah dia ya Allah karena dia telah memotong tangannya.” [HR. Muslim]

Dalam syarahnya, an-Nawawi berkata: hadits ini menjadi dalil bagi ahlu sunnah bahwa orang yang bunuh diri atau mengerjakan sesuatu maksiat, kemudian dia mati sebelum tobat lebih dahulu, orang-orang itu tidak dihukumi kafir, hanya disiksa karena dosanya.

Berdasarkan beberapa keterangan tersebut, kami berpendapat bahwa orang Islam yang meninggal dunia karena bunuh diri masih tetap memeluk agama Islam, artinya ia tetap sebagai seorang muslim. Maka jenazahnya wajib diperlakukan sebagaimana orang muslim kebanyakan.

Wallaahu a’lam bish-shawab. *sd)

 

PENGERTIAN "SYATRAL MASJIDIL HARAM", IMAM DAN KHATIB DILAKUKAN OLEH DUA ORANG YANG BERBEDA, DAN MENGUBUR SUA JENAZAH DALAM SATU LIANG KUBUR (24)

 

Pertanyaan dari:

Achdiyat Haroen Rasyid, NBM. 721398

(Disidangkan pada hari Jum'at, 6 Dzulqa'dah 1428 H / 16 November 2007 M)

 

 

Pertanyaan:

 

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

1.      Apakah pengertian "Syathral Masjidil Haram"? Apa cukup arahnya atau harus benar-benar mengarah ke masjidil haram?

2.      Bolehkah khatib dan imam dalam shalat Jum'at personilnya masing-masing, padahal pada zaman Rasulullah saw dan pada zaman Khalifatul Rasyidin hanya satu personil saja?

3.      Dalam buku tuntunan Merawat Jenazah yang diterbitkan oleh MPKSDI PP Muhammadiyah halaman 46, disebutkan bahwa mengubur jenazah dalam satu liang kubur boleh lebih dari satu jenazah. Mengapa alasannya tidak ada larangan, padahal ibadah itu dasarnya perintah?

Terima kasih.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

 

 

Jawaban:

 

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.

Berikut ini jawaban atas pertanyaan-pertanyaan bapak:

1.      Kata "Syathr" (شَطْرٌ) dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti antara lain "arah" dan "sebagian". Adapun maksud "Syahral Masjidil Haram" (شَطْرَ اْلمَسْجِدِ اْلحَرَامِ) ialah arah Masjidil Haram yaitu Ka'bah. Para ulama tidak berbeda pendapat bahwa Ka'bah itu adalah kiblat bagi semua umat di setiap penjuru dunia. Dan mereka berijma' bahwa orang yang dapat melihat Ka'bah harus menghadap kepadanya ketika shalat, sedang mereka yang tidak dapat melihatnya hendaklah menghadap ke arahnya dengan bantuan cara atau benda atau alat apapun.

2.      Memang sebaiknya imam dan khatib shalat Jum'at dan juga shalat 'Id itu satu personil sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabat. Namun para ulama menyatakan bahwa hal itu bukan merupakan syarat sahnya shalat dan khutbah, sehingga dengan demikian, kedua perkara itu boleh dilakukan oleh dua orang yang berbeda. Realitas dalam masyarakat juga menunjukkan bahwa banyak orang yang mempunyai kapasitas keilmuan memadai untuk menjadi khatib namun kurang fasih dalam membaca al-Quran, sehingga mereka mempersilahkan orang yang lebih fasih membaca al-Quran untuk menjadi imam, berdasarkan kepada hadis tentang orang yang paling layak menjadi imam shalat, yaitu sebagai berikut:

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ اْلأَنْصَارِي قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَؤُمُّ اْلقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ، فَإِنْ كَانُوا فِي اْلقِرَاءَةِ سَوَاءٌ فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ، فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءٌ فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوا فِي اْلهِجْرَةِ سَوَاءٌ فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا. [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Mas'ud al-Ansari katanya: Rasulullah saw bersabda: 'Yang (paling berhak) mengimami sebuah kaum adalah yang paling bagus bacaan al-Quran di antara mereka. Jika mereka bacaannya sama (bagusnya) maka yang paling mengerti hadis. Jika mereka dalam hadis sama (pengetahuannya) maka yang paling dahulu berhijrah. Jika mereka dalam berhijrah sama maka yang paling dahulu masuk Islam'.”[HR. Muslim].

3.      Alasan yang membolehkan mengubur lebih dari satu jenazah dalam satu liang kubur itu --selain tidak ada larangan mengenainya--, hal tersebut juga pernah dilakukan oleh Nabi saw sendiri. Simak dua hadits sahih riwayat Imam al-Bukhari berikut:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَجْمَعُ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ مِنْ قَتْلىَ أُحُدٍ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، ثُمَّ يَقُولُ: أَيُّهُمْ أَكْثَرُ أَخْذًا لِلْقُرْآنِ؟ فَإِذَا أُشِيرَ لَهُ إِلَى أَحَدِهِمَا قَدَّمَهُ فِي اللَّحْدِ وَقَالَ: أَنَا شَهِيدٌ عَلَى هَؤُلاَءِ. وَأَمَرَ بِدَفْنِهِمْ بِدِمَائِهِمْ وَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِمْ وَلَمْ يَغْسِلْهُمْ. [رواه البخاري]

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a. bahwa Rasulullah saw mengumpulkan di antara dua orang laki-laki dari korban (perang) Uhud di dalam satu kain kemudian beliau bertanya: 'Siapakah di antara keduanya yang lebih banyak pengetahuannya tentang al-Quran?' Jika ditunjukkan kepada beliau salah seorang dari keduanya, beliau mendahulukannya di dalam liang lahad, lalu beliau bersabda: 'Aku menjadi saksi bagi mereka'. Kemudian beliau menyuruh untuk mengubur mereka dengan darah mereka dan beliau tidak menyalatkan serta tidak memandikan mereka.” [HR. al-Bukhari]

Dan sabda beliau:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لِقَتْلىَ أُحُدٍ: أَيُّ هَؤُلاَءِ أَكْثَرُ أَخْذًا لِلْقُرْآنِ؟ فَإِذَا أُشِيرَ لَهُ إِلَى رَجُلٍ قَدَّمَهُ فِي اللَّحْدِ قَبْلَ صَاحِبِهِ. [رواه البخاري]

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a.: Rasulullah saw bertanya tentang korban (perang) Uhud: 'Siapakah di antara mereka yang paling banyak pengetahuannya tentang al-Quran?' Jika ditunjukkan kepada beliau salah seorang laki-laki, beliau mendahulukannya di dalam liang lahad sebelum kawannya.” (HR. al-Bukhari).

Dua hadis di atas cukup menjadi dalil bahwa menguburkan lebih dari satu jenazah di dalam satu liang lahad itu dibenarkan. Jadi menurut tuntunan syariat, dalam keadaan normal sedapat mungkin satu liang lahad diperuntukkan bagi satu jenazah. Namun dalam kondisi tertentu atau dalam keadaan darurat seperti terjadi musibah gempa bumi, kebakaran, kapal tenggelam, perang dan lain sebagainya, satu liang lahad boleh dipakai untuk lebih dari satu jenazah.

Wallahu a'lam bish-shawab. *mi)

ADAKAH HADITS TENTANG

KEWAJIBAN MEMPERINGATI MAULID NABI MUHAMMAD SAW DAN BAGAIMANAKAH KEDUDUKAN HADITS TENTANG BERSEDEKAH UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL DUNIA? (25)

 

Pertanyaan dari:

Iluluddin, Agen SM No. 15, Manna Bengkulu

(Disidangkan pada hari Jum'at, 6 Dzulqa'dah 1428 H / 16 November 2007 M)

 

 

Pertanyaan:

 

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Berhubung keterbatasan ilmu dalam mencari kebenaran terutama masalah agama Islam saya mohon bantuan kiranya Bapak dapat menjelaskan:

1.      Hadits yang dikemukakan khatib dalam berkhutbah berkenaan dengan memperingati hari kelahiran Rasulullah yang merupakan keharusan bagi umat Islam dengan alasan sebuah hadits. Setelah dikonfirmasikan ternyata hadits tersebut diperolehnya dalam buku khutbah (matan hadits terlampir). Yang menjadi pertanyaan saya, benarkah matan terlampir itu sebuah hadits? Kalau benar, bagaimana kedudukan hadits tersebut? Shahih, hasan, dhaif, atau yang lain?

2.      Dalam buku berjudul "Pilihan Hadits Politik, Ekonomi Dan Sosial" yang disusun oleh S. Ziyad 'Abbas terbitan Pustaka Panji Mas Jakarta 1991 halaman 291 s.d. 294 tentang sedekah untuk orang mati (matan hadits terlampir). Yang menjadi pertanyaan saya, apa makna dan maksud hadits tersebut, dan bagaimana kedudukan hadits tersebut kalau dihubungkan dengan al-Quran surat an-Najm ayat 39 dan dengan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari maupun Muslim (dalam Tanya Jawab Agama Jilid I halaman 117 dan 118 susunan Tim Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah)?

Demikian, keberkenanan Bapak menjawab serta menjelaskan pertanyaan saya tersebut di atas saya aturkan banyak terima kasih. Nasruminallah wa fathun qarib.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

 

 

Jawaban:

 

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.

Berikut ini jawaban atas pertanyaan bapak:

1.      Hadits yang bapak lampirkan pada lampiran no. 1 berbunyi:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدِي كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ، وَمَنْ أَنْفَقَ دِرْهَمًا فِي مَوْلِدِي فَكَأَنَّمَا أَنْفَقَ جَبَلاً مِنْ ذَهَبٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ.

Artinya: “Nabi saw bersabda: 'Barang siapa mengagungkan hari kelahiranku, niscaya aku akan memberi syafa'at kepadanya kelak pada hari kiamat. Dan barang siapa mendermakan satu dirham di dalam menghormati hari kelahiranku, maka seakan-akan dia telah mendermakan satu gunung emas di jalan Allah'.”

Setelah kami lacak dan teliti dalam kitab-kitab hadits, kami tidak mendapatkan hadits tersebut. Kami cenderung untuk mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits maudhu' atau palsu. Kecurigaan kami terhadap hadits ini karena beberapa sebab, antara lain hadits tersebut tidak ada perawinya. Selain itu, redaksinya juga menunjukkan bahwa itu bukan sabda Rasulullah saw, karena di dalam redaksinya disebutkan amalan yang kecil (sedekah satu dirham) dibalas dengan pahala yang sangat besar (seakan-akan telah mendermakan satu gunung emas). Tambahan pula dalam masalah maulid (hari kelahiran) Nabi saw itu memang banyak hadits palsu yang dibuat untuk mengagungkan perayaan hari kelahiran tersebut oleh orang-orang yang mengaku mencintai Nabi saw. Mereka membuat hadits palsu itu dengan alasan tidak mengapa berbohong untuk (kepentingan) Nabi saw. Padahal Nabi saw tidak perlu kepada pembohongan mereka itu. Menurut pendapat kami, memperingati hari kelahiran Nabi saw itu hukumnya bukan wajib, tetapi ia boleh dilakukan dengan syarat menjauhi perkara-perkara bid'ah dan syirik.

2.      Hadits-hadits yang bapak lampirkan pada lampiran no. 2 berbunyi:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِرَسُولِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أُمَّهُ تُوُفِّيَتْ، أَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَإِنَّ لِي مِخْرَافًا وَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا. [رواه البخاري]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibn Abbas r.a.: Bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw: Sesungguhnya ibuku telah wafat, apakah bermanfaat baginya jika saya bersedekah atas namanya? Jawab beliau: "Ya". Orang itu berkata: Sesungguhnya saya mempunyai kebun yang berbuah, maka saya mempersaksikan kepadamu bahwa saya telah menyedekahkannya atas namanya.” [HR. al-Bukhari]

Dansabda beliau:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أُمِّي افْتَلَتَتْ نَفْسُهَا، وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ. [رواه البخاري ومسلم واللفظ للبخاري]

Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah r.a.: Bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw: Sesungguhnya ibuku meninggal secara mendadak, dan saya menduga jika dia berkata pasti dia bersedekah, maka apakah dia mendapat pahala jika saya bersedekah atas namanya? Jawab beliau: "Ya".” [HR. al-Bukhari dan Muslim, lafadz al-Bukhari]

Dan sabda beliau lagi:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أَبِي مَاتَ وَتَرَكَ مَالاً وَلَمْ يُوْصِ، فَهَلْ يُكَفِّرُ عَنْهُ إِنْ أَتَصَدَّقُ عَنْهُ؟ قَالَ: نَعَمْ. [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.: Bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw: Sesungguhnya ayahku wafat dan meninggalkan harta akan tetapi beliau belum berwasiat. Maka apakah dia dihapuskan (dosanya) jika saya bersedekah atas namanya? Jawab beliau: "Ya".” [HR. Muslim]

Hadits-hadits sahih riwayat al-Bukhari dan atau Muslim ini menunjukkan dengan jelas bahwa sedekah yang kita lakukan dengan mengatasnamakan orang tua kita itu pahalanya sampai kepada mereka. Adapun jika hadits-hadits di atas dihubungkan dengan ayat dan hadis berikut:

br&ur}§øŠ©9Ç`»|¡SM~Ï9žwÎ)$tB4Ótëy™ÇÌÒÈ  

Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” [QS. An-Najm (53): 39].

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ. [رواه البخاري ومسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah r.a. beliau berkata: “Rasulullah saw bersabda: 'Barangsiapa yang membuat hal baru pada ajaran kami ini yang bukan termasuk darinya maka tertolaklah ia'.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Maka dapat diambil kesimpulan berikut:

  1. Pada umumnya, sebagaimana dinyatakan dalam surat an-Najm (53) ayat 39, seorang manusia itu tidak memperoleh pahala dari Allah selain apa yang telah diusahakannya/dikerjakannya sebelum dia meninggal dunia. Oleh karena itu, setelah meninggal dunia, dia tidak akan mendapatkan pahala apa-apa dari Allah karena dia tidak bisa lagi beramal saleh.
  2. Namun keumuman ayat di atas dikhususkan oleh hadits-hadits yang menyatakan bahwa sedekah yang dilakukan seorang anak atas nama orang tuanya yang telah meninggal dunia, pahalanya sampai kepada orang tua yang telah meninggal dunia tersebut. Sebagian ulama menambahkan, bahwa kemauan anak untuk bersedekah atas nama orang tuanya itu termasuk hasil usahanya mendidik anak tersebut ketika masih di dunia dahulu, sehingga layak jika sedekahnya itu sampai kepadanya.
  3. Adapun hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim terakhir itu adalah mengenai sesuatu yang dibuat-buat dalam agama atau disebut dengan bid'ah, yaitu sesuatu yang tidak mempunyai sandaran hukum. Dan masalah sedekah atas nama orang tua yang telah meninggal itu --karena ada dalil atau sandaran hukumnya-- bukan termasuk perkara bid'ah.

 

Wallahu a'lam bish-shawab. *mi)

 

PEMBAGIAN WARISAN (1)....(26)

 

Pertanyaan dari:

Hasan Nasrullah, di Binjai

(Disidangkan pada Jum’at, 13 Zulqa'dah 1428 H / 23 November 2007 M)

 

 

Pertanyaan:

 

Melalui surat ini saya sampaikan kepada Bapak tentang permasalahan mengenai hukum pembagian waris menurut agama Islam untuk dimuat dalam rubrik Tanya Jawab Agama di Majalah Suara Muhammadiyah.

Kasus:

Si A dan B telah melangsungkan perkawinan pada tahun 1950 dan sekarang mempunyai 7 (tujuh) orang anak yaitu C (laki-laki), D (laki-laki), E (perempuan), F (laki-laki), G (perempuan), H (laki-laki) dan I (laki-laki).

Si B (ibu) meninggal dunia pada tahun 1999 dan si A (ayah) meninggal dunia pada tahun 2004. Pada tahun 1975 si C anak pertama, bekerja dengan ayahnya (A) usaha dagang dengan membuka sebuah toko ukuran 3 x 12 m. Sampai sekarang si C tetap membuka toko tersebut walaupun si A telah meninggal dunia.

Harta Warisan:

  1. Ruko ukuran 3 x 12 m
  2. Ruko ukuran 12 x 20 m

Pertanyaan: Bagaimana cara membagi harta warisan tersebut karena pada saat sekarang ini harta warisan tersebut masih belum dibagi. Ke tujuh anak-anaknya masih hidup.

Demikian, dan terima kasih.

 

 

Jawaban:

 

Untuk sampai kepada jawaban dari pertanyaan saudara, perlu diperjelas lebih dahulu:

1.      Kedudukan kerjasama antara A dan C dalam usaha dagang.

2.      Kematian ibu (B) yang berakibat hukum harus diselesaikan pembagian warisannya.

Dua peristiwa hukum tersebut sangat berpengaruh terhadap jumlah harta kekayaan A yang juga berdampak terhadap harta waris yang akan dibagikan kepada ahli waris yang dalam hal ini adalah anak-anaknya.

1.      Kedudukan kerjasama antara A dan C dalam usaha dagang. Kerjasama dalam usaha dagang dalam Hukum Islam dikenal dengan sebutan syirkah.Dalam syirkah yang terjadi antara A dan C, perlu diketahui apakah masing-masing membawa modal atau tidak. Jika dalam syirkah ini A dan C membawa modal, maka syirkah ini disebut dengan musyarakah.Dalam musyarakah keuntungan dan kerugian ditanggung bersama oleh pihak-pihak yang bersyarikat atau melakukan perjanjian kerja sama, sesuai dengan prosentase modal atau menurut kesepakatan mereka. Jika yang terjadi dalam syirkah antara A dan C adalah musyarakah, dan sekarang akan diperhitungkan, maka langkah yang harus ditempuh yakni: Pertama, mengembalikan modal masing-masing yakni modal A dikembalikan kepada A dan modal C dikembalikan kepada C. Kedua, menghitung untung dan rugi. Jika dalam perhitungan terjadi kerugian lebih besar daripada keuntungan, maka kerugian ditanggung oleh A dan C sesuai dengan kesepakatan atau prosentase modalnya. Jika antara kerugian dan keuntungan ternyata sama, maka A dan C hanya kembali modal sebagaimana telah dilakukan pada langkah yang pertama. Jika dalam perhitungan terjadi keuntungan lebih besar daripada kerugian, maka keuntungan yang diperoleh dibagi antara A dan C menurut kesepakatan atau prosentase modal masing-­masing.

Mungkin juga syirkah yang terjadi antara A dan C, modal berasal dari salah satu pihak, sedang pihak lain hanya memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam usaha. Syirkah yang demikian disebut dengan mudlarabah.Dalam mudlarabah, jika dalam usaha ini memperoleh keuntungan, maka keuntungan menjadi hak pemilik modal dan pekerja, sedangkan kalau terjadi kerugian, sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal. Jika syirkah yang terjadi antara A dan C dalam bentuk mudlarabah, maka jika akan diperhitungkan kekayaan masing-masing, ditempuh: Langkah pertama, mengembalikan modal kepada pemiliknya, misalnya A sebagai pemilik modal, maka modal dikembalikan kepada A dan jika C sebagai pemilik modal maka modal dikembalikan kepada C. Langkah kedua, menghitung keuntungan dan kerugian. Jika kerugian lebih besar daripada keuntungan, maka kerugian ditanggung oleh pemilik modal dan pekerja tidak menanggung kerugian dan juga tidak memperoleh bagian apapun. Jika kerugian sama dengan besarnya keuntungan, maka pemilik modal hanya mendapat pengembalian modal tanpa tambahan apapun dan pekerja tidak memperoleh bagian apapun pula. Jika keuntungan lebih besar daripada modal, kepada pemilik modal disamping dikembalikan modalnya juga mendapat bagian keutungan yang telah disepakati demikian pula pekerja mendapat bagian keuntungan yang telah disepakati.

Dapat juga terjadi dalam mudlarabah ini masing-masing juga berlaku sebagai pekerja. Jika yang demikian ini yang terjadi, pemilik modal menerima pengembalian modal, kemudian keuntungan dibagi antara pemilik modal dengan pekerja menurut yang disepakati; kemudian keuntungan milik para pekerja dibagi kepada mereka yang ikut dalam menangani usaha ini sesuai dengan kesepakatan.

Selain dalam syirkah, mungkin juga dalam kerjasama ini dalam bentuk perburuhan (al-Ijarah ‘ala al-a‘mal). Dalam al-Ijarah ‘ala al-a‘mal pemilik usaha menanggung segala kerugian dan memiliki semua keuntungan. Pekerja adalah sebagai buruh, yang mendapat gaji tertentu dari pemilik usaha. Misalnya A sebagai pemilik usaha dan C sebagai tenaga pekerja, maka modal dan semua keuntungan milik A, dan C memperoleh upah (gaji) dari A.

Dari kemungkinan-kemungkinan tersebut perlu dilihat mana yang paling sesuai di antara tiga kemungkinan tersebut. Setelah itu akan diketahui berapa kekayaan A.

2.      Pewarisan harta ibu. Dengan meninggalnya ibu (B), maka secara hukum akan terjadi peristiwa pewarisan. Yang diwarisi adalah harta ibu dan pewaris adalah suami dan anak-anaknya.

Harta ibu, terdiri dari:

a.       Harta bawaan, yakni harta milik Ibu yang diperoleh atau dimiliki sebelum perkawinan dengan A, dan harta yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan.

b.      Separoh dari harta bersama yakni harta yang didapatkan oleh A dan B semenjak akad perkawinan dilangsungkan sampai dengan akhir hayat B. Ketentuan ini didasarkan kepada pasal 96 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”. Dengan ketentuan tersebut A memperoleh separoh harta bersama, sedang separohnya lagi adalah menjadi harta B yang yang kemudian akan menjadi bagian dari harta peninggalan yang akan diwarisi oleh ahli warisnya.

Sebelum harta dibagikan kepada ahli waris terlebih dahulu digunakan untuk biaya perawatan jenazah, misalnya membeli kain kafan, ongkos menggali kuburan dan sebagainya; membayar hutang jika B mempunyai hutang, baik hutang kepada Allah misalnya zakat yang belum terbayar, nadzar yang belum terlaksana dan sebagainya maupun hutang kepada sesama; dan menunaikan wasiat jika B pernah berwasiat selama hidupnya.

Setelah harta peninggalan dikurangi dengan biaya-biaya yang telah disebutkan, maka saatnya untuk dibagikan kepada ahli waris, yang dalam hal ini yaitu A sebagai suami serta C, D, E, F, G, H dan I anak-anaknya.

 

Cara pembagiannya:

Pertama, suami (A) diberikan seperempat (¼) dari seluruh harta waris yang ditinggalkan B, berdasarkan firman Allah:

öNà6s9urß#óÁÏR$tBx8ts?öNà6ã_ºurø—r&bÎ)óO©9`ä3tƒ£`ßg©9Ó$s!ur4bÎ*sùtb$Ÿ2 Æßgs9Ó$s!urãNà6n=sùßìç/”9$#$£JÏBz`ò2ts?4.`ÏBω÷èt/7p§‹Ï¹uršúüϹqãƒ!$ygÎ/÷rr&&úøïyŠ

Artinya:“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” [QS. an-Nisa’ (4): 12]

 

Kedua, sisanya yakni 3/4 harta waris yang ditinggalkan B dibagikan kepada tujuh orang anaknya dengan ketentuan bagian untuk seorang anak laki-laki adalah sama dengan bagian untuk dua orang anak perempuan, atau dengan kata lain bagian bagi seorang anak laki-laki dua kali bagian seorang anak perempuan. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah:

ÞOä3ŠÏ¹qリ!$#þ’ÎûöNà2ω»s9÷rr&(̍x.©%#Ï9ã@÷VÏBÅeáymÈû÷üu‹sVRW{$#4

Artinya:“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.” [QS. an-Nisa’ (4): 11] 

 

  1. Bagian lima orang anak laki-laki         : 5 x 2 = 10
  2. Bagian dua orang anak perempuan     : 2 x 1 =   2

Jumlah                                                 :             12

Bagian untuk lima orang anak laki-laki 10/12 x ¾ harta waris yang ditinggalkan B. Jadi untuk satu orang anak laki-laki = 1/5 x hasil perhitungan bagian lima orang anak laki-laki, yakni masing-masing mendapat 2/12 x ¾ harta waris yang ditinggalkan B. Bagian untuk dua orang anak perempuan = 2/12 x ¾ harta waris yang ditinggalkan B. Jadi bagian untuk seorang anak perempuan = 1/2 x hasil perhitungan bagian dua orang anak perempuan, yakni masing-masing mendapat 1/12 x ¾ harta waris yang ditinggalkan B.

 

Dengan menggunakan keterangan sebagaimana yang telah dikemukakan dari awal sampai yang terakhir, kiranya sudah dapat diperhitungkan jumlah harta warisan yang ditinggalkan oleh A dari harta yang berupa; ruko ukuran 3 x 12 m dan ruko 12 x 20 m (setelah sebelumnya dihargai/dinilai dengan uang). Setelah itu kemudian ditambah (jika ada) harta bawaan A dan hadiah atau warisan yang diterima selama perkawinan dengan B. Jumlah seluruhnya ini menjadi harta peninggalan A.

Setelah dapat diketahui jumlah harta peninggalan A, sebelum dibagikan kepada ahli waris yang dalam hal ini adalah anak-anaknya, terlebih dahulu digunakan untuk biaya perawatan jenazah, membayar hutang jika A dalam hidupnya punya hutang dan membayar wasiat jika pernah berwasiat. Setelah itu harta warisan dibagikan kepada tujuh orang anaknya.

 

Cara pembagiannya:

Bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.

1.      Bagian lima orang anak laki-laki               : 5 x 2 = 10

2.      Bagian dua orang anak perempuan           : 2 x 1 =   2

Jumlah                                                       :             12

Bagian untuk lima orang anak laki-laki 10/12 x seluruh harta waris yang ditinggalkan A. Jadi untuk satu orang anak laki-laki = 1/5 x hasil perhitungan bagian lima orang anak laki-laki, yakni masing-masing mendapat 2/12 x seluruh harta waris yang ditinggalkan A. Bagian untuk dua orang anak perempuan = 2/12 x seluruh harta waris yang ditinggalkan A. Jadi bagian untuk seorang anak perempuan = 1/2 x hasil perhitungan bagian dua orang anak perempuan, yakni masing-masing mendapat 1/12 x seluruh harta waris yang ditinggalkan A.

 

Contoh perhitungan:

Seandainya setelah dikurangi dengan biaya-biaya sebagaimana telah disebutkan di atas, harta peninggalan A adalah Rp 300.000.000,-, maka perhitungannya adalah sebagai berikut:

1.      Bagian lima orang anak laki-laki               : 5 x 2 = 10

2.      Bagian dua orang anak perempuan           : 2 x 1 =   2

Jumlah                                                       :             12

Bagian lima orang anak laki-laki 10/12 x 300.000.000,- = 250.000.000,-. Bagian satu orang anak laki-laki 1/5 x 250.000.000,- = 50.000.000,-. Jadi masing-masing mendapat 50.000.000,-. Bagian dua orang anak perempuan 2/12 x 300.000.000,- = 50.000.000,-. Bagian seorang anak perempuan 1/2 x 50.000.000,- = 25.000.000,-. Jadi masing-masing mendapat 25.000.000,-.

 

Wallahu a‘lam bish-shawab. *dw)

PEMBAGIAN WARISAN (2)...(27)

 

Pertanyaan dari:

EJ, di Cirebon (nama dan alamat diketahui redaksi)

(Disidangkan pada Jum’at, 13 Zulqa'dah 1428 H / 23 November 2007 M)

 

 

Pertanyaan:

 

Sehubungan kami sangat awam masalah hukum Faraid (pembagian warisan) maka dengan ini kami memohon bantuan kepada bapak untuk memecahkan masalah kami dengan silsilah seperti:

A (istri) menikah dengan B (suami) dikaruniai 2 anak, C (putri) dan D (putra). Sehubungan hal sesuatu terjadi perceraian. Anak C (putri) diserahkan dan dipelihara oleh Nenek dari B, anak D (putra) ikut ibu. Setahun kemudian B (bapak) menikah lagi dengan istri II (E). Istri II membawa seorang anak (F) dari hasil pernikahannya dengan suaminya yang dulu. Rumah tangga B dan E dikaruniai seorang anak (G), jadi memiliki seorang anak kandung dan seorang anak tiri.

B masih hidup, ia menjual warisannya senilai Rp 600.000.000,- dan memberikan warisan hanya kepada anak dari istri II (E) saja yaitu hanya kepada anak kandungnya (G) dan anak tirinya (F), sedangkan dua anak kandung yang dilahirkan dari istri pertama, yaitu C dan D tidak diberi warisan. Kata B haram hukumnya jika diberi warisan darinya, karena dulu A menikah dengan B tidak membawa harta sedikit pun.

Hukum persoalan kami, kepada bapak mohon penjelasan dan mendapat bagian berapa, siapa saja yang berhak mendapatkan warisan tersebut, berapa % harta yang diterima dari B dan haram tidak anak dapat warisan?

Demikianlah permohonan kami semoga bapak dapat memecahkan persoalan kami. Atas kebaikan dan bantuan bapak kami ucapkan terima kasih.

 

 

Jawaban:

 

Perlu diketahui bahwa salah satu syarat dalam pembagian warisan menurut ajaran Islam, yakni bahwa pewaris telah meninggal dunia. (Periksa: Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid, Ahkamul Mawarits fisy Syari‘atil Islamiyah ‘ala Madzahibil Arba‘ah, halaman 13; H. Ahmad Azhar Basyir, M.A., Hukum Waris Islam, halaman 16). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jika pewaris belum meninggal dunia atau dengan kata lain masih hidup, maka tidak terjadi pembagian warisan. Sehubungan dengan pertanyaan yang saudara ajukan, maka sesungguhnya permasalahan yang saudara tanyakan, menurut ajaran atau hukum Islam tidak atau belum menjadi permasalahan warisan.

Sungguhpun demikian akan kami jelaskan beberapa ketentuan hukum Islam yang berkaitan dengan permasalahan yang saudara hadapi, yakni:

1.      Pemberian harta oleh seseorang kepada orang yang masih ada hubungan kekerabatan bahkan jika pemberi meninggal dapat mewariskan harta kepada yang diberi selama pemberi masih hidup, tidak dapat dikategorikan pewarisan. Sehubungan dengan pertanyaan saudara, maka pemberian B kepada salah seorang anak kandungnya demikian pula kepada anak tirinya tidak dapat dikategorikan sebagai pewarisan, melainkan dikategorikan sebagai hibah.

Dalam hal pemberian atau hibah kepada anak diajarkan agar pemberian itu dilakukan secara adil antara anak yang satu dengan anak yang lain. Disebutkan dalam hadits:

1- اعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ فِي الْعَطِيَّةِ. [رواه البخاري]

Artinya: “Berbuat adillah kamu dalam pemberian di antara anak-anakmu.” [HR. al-Bukhari]

 

2- عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ أَنْحَلَنِي أَبِي نُحْلاً قَالَ إِسْمَعِيلُ بْنُ سَالِمٍ مِنْ بَيْنِ الْقَوْمِ نِحْلَةً غُلاَمًا لَهُ قَالَ فَقَالَتْ لَهُ أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ ائْتِ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشْهِدْهُ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشْهَدَهُ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَهُ إِنِّي نَحَلْتُ ابْنِي النُّعْمَانَ نُحْلاً وَإِنَّ عَمْرَةَ سَأَلَتْنِي أَنْ أُشْهِدَكَ عَلَى ذَلِكَ قَالَ فَقَالَ أَلَكَ وَلَدٌ سِوَاهُ قَالَ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ فَكُلَّهُمْ أَعْطَيْتَ مِثْلَ مَا أَعْطَيْتَ النُّعْمَانَ قَالَ لاَ قَالَ فَقَالَ بَعْضُ هَؤُلاَءِ الْمُحَدِّثِينَ هَذَا جَوْرٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ هَذَا تَلْجِئَةٌ فَأَشْهِدْ عَلَى هَذَا غَيْرِي قَالَ مُغِيرَةُ فِي حَدِيثِهِ أَلَيْسَ يَسُرُّكَ أَنْ يَكُونُوا لَكَ فِي الْبِرِّ وَاللُّطْفِ سَوَاءٌ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَشْهِدْ عَلَى هَذَا غَيْرِي وَذَكَرَ مُجَالِدٌ فِي حَدِيثِهِ إِنَّ لَهُمْ عَلَيْكَ مِنْ الْحَقِّ أَنْ تَعْدِلَ بَيْنَهُمْ كَمَا أَنَّ لَكَ عَلَيْهِمْ مِنْ الْحَقِّ أَنْ يَبَرُّوكَ. [رواه أبو داود وأحمد]

Artinya: “Diriwayatkan dari asy-Sya‘bi dari Nu‘man Ibnu Basyir, ia berkata: Ayahku memberiku suatu pemberian. Berkata Isma‘il Ibnu Salim dari salah seorang saudara-saudaranya. Ia (ayahnya) telah memberikan kepadanya seorang budak laki-laki. Ia berkata: Ibuku ‘Amrah Binti Rawahah berkata kepadanya: Datanglah kamu kepada Rasulullah saw dan persaksikanlah kepadanya. Kemudian ia mendatangi Rasulullah saw dan mempersaksikan serta menyampaikan hal itu seraya berkata: Saya telah memberi kepada anakku (an-Nu'man) suatu pemberian, kemudian ‘Amrah meminta saya agar mempersaksikan ini kepadamu (kepada Rasulullah saw). Rasulullah kemudian bertanya: Apakah kamu punya anak laki-laki yang lain? Ia mengatakan; Saya menjawab: Ya. Kemudian beliau bertanya lagi: Apakah mereka telah kau beri sebagaimana yang kau berikan kepada an-Nu‘man? Ia menjawab, tidak. Maka sebagian anak-anak akan mengatakan: Ini merupakan perbuatan curang, sedang yang lain akan mengatakan: Ini adalah perbuatan pilih kasih. Maka persaksikanlah pemberian ini kepada selain diriku. Berkata Mughirah dalam pembicaraan dengannya: Bukankah kamu menjadi senang, mereka berbuat baik dan bersikap sopan yang sama kepadamu? la menjawab: Ya. Ia berkata; Persaksikanlah hal itu kepada selain diriku. Dan disampaikan oleh Mujalid dalam pembicaraan dengannya: Mereka punya hak terhadapmu untuk berlaku adil di antara mereka, sebagaimana kamu mempunyai hak agar mereka berbuat baik kepadamu.” [HR. Abu Dawud dan Ahmad]

 

Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni menjelaskan bahwa pemberian orang tua kepada anak boleh untuk dilebihkan dari yang lain apabila dalam keadaan khusus, seperti kepada anak yang cacat, misalnya buta atau yang lain, atau karena anak yang disibukkan dengan mendalami dan mengembangkan ilmu; dan juga anak boleh dijauhkan dari pemberian, apabila pemberian itu justru untuk berbuat maksiat. Dalam hal melebihkan pemberian tersebut hendaknya dilakukan orang tua dengan penuh hikmah/kebijaksanaan dan sedapat mungkin atas sepengetahuan atau sepersetujuan anak-anaknya yang lain.

Demikian pula Islam mengajarkan, tidak boleh seseorang melakukan pemberian kepada orang lain yang mengakibatkan kerugian atau kesengsaraan bagi anak. Secara umum dalam hadits Nabi saw disebutkan:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. [رواه ابن ماجه وأحمد]

Artinya: “Tidak boleh (memulai) berbuat kemadlaratan dan tidak boleh pula berbuat untuk membalas kemadlaratan.”[HR. Ibnu Majah dan Ahmad].

 

Dalam hadits lain yang berkaitan dengan pemberian wasiat, Nabi saw bersabda:

إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ [متفق عليه]

Artinya:“Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada orang-orang.” [Muttafaq Alaih]

 

2.      Sekali lagi kami tegaskan bahwa pewarisan baru akan terjadi apabila pewaris telah meninggal dunia. Hanya saja diandaikan B telah meninggal dunia, dalam saat itu isterinya masih hidup dan di kala B meninggal dunia masih terikat dalam perkawinan atau dalam keadaan iddah talak raj’i; demikian pula anak-anaknya yang disebutkan itu masih hidup, maka mereka semua adalah ahli waris yang berhak mendapat bagian warisan.

 

3.      Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 96 ayat (1) yang berbunyi: “Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”. Dengan demikian istri II (E) memperoleh separoh dari harta bersama yaitu harta yang diusahakan selama perkawianan antara B dan E. Selain itu E juga memperoleh bagain 1/8 dari harta waris yang ditinggalkan oleh B. Dalam al-Qur’an disebutkan:

 Æßgs9urßìç/”9$#$£JÏBóOçFø.ts?bÎ)öN©9`à6tƒöNä3©9Ӊs9ur4bÎ*sùtb$Ÿ2öNà6s9Ó$s!ur£`ßgn=sùß`ßJ›V9$#$£JÏBLäêò2ts?4.`ÏiBω÷èt/7p§‹Ï¹uršcqß¹qè?!$ygÎ/÷rr&&ûøïyŠ3

Artinya: “Maka para isteri memperoleh seperempat dari harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.” [QS. an-Nisa' (4): 12]

 

4.      Bahwa anak dari perkawinan yang sah, berhak mendapat warisan dari orang tuanya (ayah atau ibu) yang telah meninggal dunia. Jika suami beristri lebih dari seorang atau menikah lebih dari satu kali dan dari masing-masing istri mempunyai anak, maka anak dari istri yang manapun berhak mendapat warisan dari ayahnya yang telah meninggal dunia. Anak laki-laki bersama anak perempuan berkedudukan sebagai ahli waris ‘ashabah (mewarisi seluruh harta waris setelah dikurangi bagian ahli waris yang memperoleh bagian tertentu, misalnya bagian isteri adalah seperdelapan jika suami meninggal dunia). Bagian masing-masing anak laki-laki dua kali bagian untuk masing-masing anak perempuan. Berdasarkan firman Allah:

ÞOä3ŠÏ¹qリ!$#þ’ÎûöNà2ω»s9÷rr&(̍x.©%#Ï9ã@÷VÏBÅeáymÈû÷üu‹sVRW{$#4

Artinya:“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.” [QS. an-Nisa’ (4): 11] 

 

Jika anak lebih dari satu orang dan semuanya laki-laki bagian mereka dibagi secara sama. Jika ahli waris seorang anak perempuan saja, maka ia memperoleh separoh dari harta waris dan jika ahli waris dua orang anak perempauan atau lebih tanpa anak laki-laki, mereka secara bersama-sama memperoleh dua pertiga dari harta waris, yang kemudian dibagi secara sama kepada semua ahli waris anak perempuan itu. Firman Allah:

bÎ*sù £`ä.[ä!$|¡ÎSs-öqsùÈû÷ütGt^øO$#£`ßgn=sù$sVè=èO$tBx8ts?(bÎ)urôMtR%x.Zoy‰Ïmºur$ygn=sùß#óÁÏiZ9$#4

Artinya: “…dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua (maksudnya dua atau lebih), maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta.”[QS. an-Nisa’ (4): 11]

 

5.      Pemberian oleh orang tua kepada anak selama hidupnya, kelak dapat diperhitungkan dalam pembagian warisan jika orang tua telah meninggal dunia. Disebutkan dalam Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam: “Hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan”.

 

6.      Contoh Perhitungan

Diumpamakan seluruh harta peninggalan B, sebanyak Rp. 650.300.000,-. Sebelum harta peninggalan ini dibagi, maka terlebih dahulu dikeluarkan untuk membayar biaya perawatan jenazah, misalnya untuk membeli perlengkapan dalam memandikan jenazah, membeli kain kafan dan ongkos gali kubur, sebesar Rp. 300.000,-. Selama hidupnya ia pernah berwasiat akan memberikan hartanya sebesar Rp 45.000.000,- untuk panti asuhan anak yatim; maka sebelum harta peninggalan dibagi kepada ahli waris, wasiat ini harus ditunaikan terlebih dahulu. Sampai dengan saat meninggal dunia B tidak mempunyai hutang, namun masih mempunyai kesanggupan memberi dana untuk pembangunan masjid sebesar Rp. 5.000.000,-; maka sebelum harta peninggalan dibagi, kesanggupan ini harus dibayar terlebih dahulu, karena kesanggupan tersebut termasuk dalam kategori hutang. Dengan demikian, harta warisnya sebesar Rp. 650.300.000,- dikurangi dengan biaya-biaya perawatan janazah, wasiat dan hutang, sebesar Rp. 50.300.000,- yakni menjadi Rp. 600.000.000,-. Setelah dilakukan perhitungan secara seksama terhadap harta peninggalan ini, ternyata dari Rp. 600.000.000,- tersebut terdiri dari Rp. 200.000.000,- harta bawaan B, sedangkan yang Rp. 400.000.000,- merupakan harta yang diperoleh selama perkawinan dengan E, atau yang lazim disebut dengan harta bersama.

Cara perhitungannya adalah: Mula-mula separoh harta bersama, diberikan kepada isteri (E), yakni 1/2 xRp. 400.000.000,- yaitu Rp. 200.000.000,-. Selebihnya yaitu Rp 200.000.000,- ditambah dengan harta bawaan B sebesar Rp. 200.000.000,-, sehingga menjadi Rp. 400.000.000,- dibagikan kepada ahli waris, yakni:

  1. Isteri (E) memperoleh 1/8 harta warisan x Rp. 400.000.000,- = Rp. 50.000.000,-. Dengan demikian secara keseluruhan E memperoleh Rp. 200.000.000,- + Rp. 50.000.000,- = Rp. 250.000.000,-.
  2. Sisa harta waris yakni Rp. 400.000.000,- dikurangi Rp. 50.000.000,- sama dengan Rp. 350.000.000,- dibagi kepada semua anaknya, yaitu: C, D dan G. Jika G berjenis kelamin laki-laki, maka pembagiannya adalah sebagai berikut:

C (perempuan) mendapat bagian        1 x 1    = 1

D dan G (laki-laki) mendapat bagian  2 x 2    = 4

Jumlah                                                             = 5

 

Bagian C adalah 1/5 x Rp. 350.000.000,-       = Rp.   70.000.000.-

Bagian D dan G 4/5 x Rp. 350.000.000,-       = Rp. 280.000.000.-

Bagian D Rp. 280.000.000,- : 2                      = Rp. 140.000.000,-

Bagian G Rp. 280.000.000,- : 2                      = Rp. 140.000.000,-

 

Jika G berjenis kelamin perempuan, maka pembagiannya adalah sebagai berikut:

C dan G (perempuan) mendapat bagian         2 x 1    = 2

D (laki-laki) mendapat bagian             1 x 2    = 2

Jumlah                                                                         = 4

 

Bagian C dan G 2/4 x Rp. 350.000.000,-       = Rp. 175.000.000,-

Bagian C Rp. 175.000.000,- : 2                      = Rp.   87.500.000,-

Bagian G Rp. 175.000.000,- : 2                      = Rp.   87.500.000,-

Bagian D 2/4 x Rp. 350.000.000,-                  = Rp. 175.000.000,-

 

Sebagaimana telah disebutkan bahwa pemberian orang tua kepada anak selama hidupnya dapat diperhitungkan dalam pembagian warisan ini. Maka jika memang telah terjadi pemberian orang tua kepada anak, demi keadilan perlu untuk diperhatikan ketentuan ini.

F sebagai anak tiri tidak mendapat warisan, namun al-Qur’an mengajarkan agar kerabat atau orang miskin dan anak yatim yang hadir saat pembagian warisan hendaknya diberi sekedarnya sebagai infaq atau shadaqah.

 

Demikian yang dapat kami sampaikan semoga bermanfaat.

Wallahu a'lam bish-shawab. *dw)

BAGIAN ZAKAT FITRAH UNTUK AMIL DAN ANAK-ANAK,

BACAAN DOA SETELAH WITIR

DAN SIKAP MENGHADAPI PERBEDAAN HARI RAYA (28)

 

Pertanyaan dari:

Arif Rochmanuddin, Samben, Argomulyo, Sedayu, Bantul

(Disidangkan pada hari Jum'at, 4 Zulhijjah 1428 H / 14 Desember 2007 M)

 

 

Pertanyaan:

 

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Dengan ini saya mohon penjelasan tentang berbagai hal berikut:

1.      Bolehkah Amil mengambil bagian dari zakat fitrah? Hal ini mengingat zakat fitrah hanya untuk fakir miskin sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah, bukan untuk 8 asnaf.

2.      Anak-anak TK dan SD di tempat saya selalu mendapat bagian zakat fitrah yang berwujud uang Rp. 1000,- s.d Rp 5000,- pada malam hari raya. Apakah hal tersebut dapat dibenarkan?

3.      Doa setelah shalat witir ada yang sebagai berikut: "Subhaanal Malikil Quddus 3X Rabbul Malaikati warruh" dan ada yang "Subhanal malikul quddus 3X Subuhun quddusus Rabbuna warabbul malaaikati waruh" mohon penjelasan tentang 2 macam doa tersebut beserta dalil-dalilnya serta kualitasnya ?

4.      Tahun ini saya / dusun kami mendapat tugas dari P2A Desa sebagai panitia pelaksanaan shalat idul fitri di lapangan, namun hingga hari ini belum ada keputusan kapan akan dilaksanakan shalat 'Id tsb. Jika hari Raya yang diambil P2A adalah hari Sabtu, maka bagaimanakah sikap saya dalam rangka menjalankan tugas saya mengatur shaf di lapangan tsb karena saya jelas ikut yang Jum'at dan bagaimanakah sikap orang non-Muhammadiyah dalam menghadapi masalah tsb jika P2A mengambil hari Jum'at sebagai hari raya.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

 

 

Jawaban:

 

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.

Berikut ini jawaban atas pertanyaan-pertanyaan bapak:

1.      Amil tidak boleh mengambil bagian dari zakat fitri (kami menggunakan istilah zakat fitri untuk penyebutan zakat fitrah), karena yang berhak menerima zakat fitri hanyalah orang-orang miskin sebagaimana dinyatakan dalam hadits Ibn Abbas berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: "فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ اْلفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ". [رواه أبو داود]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibn Abbas, ia berkata: "Rasulullah saw mewajibkan zakat fitri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari kata-kata yang sia-sia dan porno dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barang siapa membayarkannya sebelum shalat (Hari Raya) maka itu adalah zakat (fitri) yang diterima, dan barang siapa membayarkannya setelah shalat maka itu hanyalah berupa sedekah dari sedekah (biasa)". [HR. Abu Dawud]

Hadits di atas dengan jelas menyatakan bahwa zakat fitri itu diperuntukkan kepada orang-orang miskin saja, bukan delapan golongan sebagaimana dalam zakat maal. Sehingga dengan demikian Amil tidak berhak menerima zakat fitri, kecuali jika Amil tersebut termasuk dalam golongan orang miskin. Akan tetapi Amil boleh memperuntukkan sebagian harta zakat fitri untuk biaya urusan administrasi, transportasi dan lainnya yang berhubungan dengan pengurusan zakat fitri tersebut, jika memang tidak ada sumber dana yang lain.

 

2.      Anak-anak TK dan SD tersebut juga tidak boleh diberi zakat fitri, melainkan mereka juga termasuk dalam golongan orang miskin. Anak-anak tersebut boleh diberi sedekah dari sumber dana lain, misalnya shadaqah, infaq dan lain-lain.

 

3.      Pertanyaan anda tentang bacaan doa setelah shalat witir sebenarnya telah dijawab oleh Majelis Tarjih dengan mengeluarkan buku Tuntunan Ramadan. Di dalam buku Tuntunan Ramadan yang dikeluarkan oleh Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah itu disebutkan bahwa doa setelah witir adalah sebagai berikut: "Subhaanal Malikil Quddus" (3X) dengan suara nyaring dan panjang pada bacaan yang ketiga, lalu membaca: "Rabbul Malaikati warruh".

Hal ini berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka'ab sebaga berikut:

عَنْ أُبَيْ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي اْلوِتْرِ: بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى، وَ قُلْ يَا أَيُّهَا اْلكَافِرُونَ، وَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، فَإِذَا سَلَّمَ قَالَ: "سُبْحَانَ اْلمَلِكِ اْلقُدُّوسِ" ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، [رواه النسائي]

Artinya: Diriwayatkan dari Ubay bin Ka'ab, ia berkata: Rasulullah saw membaca dalam (shalat) witir: Sabbihisma Rabbikal-'aladan Qul yaa ayyuhal kaafiruundan Qul huwallahu ahad. Setelah salam beliau membaca: "Subhaanal Malikil Qudduus" tiga kali.” [HR. an-Nasai].

Dan berdasarkan hadis berikut:

عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أُبْزِي عَنْ أَبِيهِ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى، وَ قُلْ يَا أَيُّهَا اْلكَافِرُونَ، وَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَإِذَا سَلَّمَ قَالَ: "سُبْحَانَ اْلمَلِكِ اْلقُدُّوسِ" ثَلاَثَ مَرَّاتٍ يَمُدُّ صَوْتَهُ فِي الثَّالِثَةِ ثُمَّ يَرْفَعُ. [رواه النسائي]

Artinya: “Diriwayatkan dari Said bin Abdurrahman bin Ubzi, diriwayatkan dari ayahnya, ia berkata: Rasulullah saw (shalat) witir dengan (membaca) Sabbihisma Rabbikal a'ladan Qul yaa ayyuhal kaafiruundan Qul huwallahu ahad. Apabila telah salam beliau membaca: "Subhaanal Malikil Qudduus" tiga kali dengan memanjangkan suaranya pada yang ketiga dan menyaringkannya.” [HR. an-Nasai].

Dan berdasarkan hadis berikut:

عَنْ أُبَيْ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى، وَ قُلْ يَا أَيُّهَا اْلكَافِرُونَ، وَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَإِذَا سَلَّمَ قَالَ: "سُبْحَانَ اْلمَلِكِ اْلقُدُّوسِ" ثَلاَثَ مَرَّاتٍ وَمَدَّ بِاْلأَخِيرَةِ صَوْتَهُ وَيَقُولُ: "رَبِّ اْلمَلاَئِكَةِ وَالرُّوحِ". [رواه الطبراني]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ubay bin Ka'ab, ia berkata: Rasulullah saw (shalat) witir dengan (membaca) Sabbihisma Rabbikal 'ala, dan Qul yaa ayyuhal kaafiruun, dan Qul huwallahu ahad. Setelah salam beliau membaca: "Subhaanal Malikil Qudduus" tiga kali. Beliau memanjangkan suaranya pada yang terakhir dan membaca: "Rabbil Malaikati warruuh".” [HR. ath-Thabrani]

 

4.      Sikap kita dalam menghadapi Hari Raya yang berbeda ialah hendaknya kita melaksanakan apa yang kita yakini benar, dan dalam waktu yang sama kita menghormati pendapat orang lain. Jadi, sebagaimana diharapkan orang lain tidak mengganggu keyakinan kita, kita juga jangan menghalangi, mengganggu dan menghina keyakinan orang lain dalam masalah ini. Biarlah masing-masing melaksanakan apa yang diyakininya benar, karena masing-masing mempunyai pegangan dalilnya yang tersendiri. Yang lebih penting ialah, kita harus menyadari bahwa perbedaan dalam masalah furu'iyyah --termasuk perbedaan Hari Raya-- bukan berarti retaknya ukhuwwah Islamiyyah, dan hendaknya perbedaan tersebut tidak dijadikan unsur pemecah belah umat Islam.

 

Wallahu a'lam. (*mi)

 

SILATURRAHIM ATAU SILATURRAHMI? (29)

 

Pertanyaan Dari:

Muhammad, KTAM: 1107-3698-838483, Jl. Sugriwo X/1 Semarang

(Disidangkan pada hari Jum'at, 4 Zulhijjah 1428 H / 14 Desember 2007 M)

 

 

Pertanyaan:

 

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

 

Melalui surat ini saya informasikan, bahwa banyak di antara para anggota Muhammadiyah maupun Aisyiah di kota Semarang tidak berseragam dalam mengucapkan kata "silaturrahim" atau "silaturrahmi". Jadi antara rahim dan rahmi. Saya atau kami para anggota Muhammadiyah di Semarang menanti penjelasan dari Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, manakah yang benar; rahim atau rahmi? (Pertanyaan diringkas karena terlalu panjang)

 

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

 

 

Jawaban:

 

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.

Berikut ini jawaban atas pertanyaan bapak:

Kata-kata "silaturrahim" atau "silaturrahmi" itu berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata; silat dan ar-rahim atau ar-rahmi.

(صلة الرحم)

Silatitu huruf-hurufnya adalah : shaad, laam dan taa' marbuthah,

(صلة)

Taa'marbuthah tersebut tetap diucapkan taa' apabila kata ini diidhofahkan (disambungkan) dengan kata lain, tapi kalau disebut secara terpisah diucapkan "silah" memakai haa'. Transliterasi (penyalinan huruf abjad ke huruf abjad lain) silat atau silah itu sebenarnya kurang tepat, karena huruf pertama adalah shaad, bukan siin. Yang lebih tepat jika ditulis shilat/h atau silat/h dengan titik di bawah huruf s. Silat atau silah artinya sambungan atau menyambung atau menjalin atau menghubungkan.

Sedang ar-rahim atau ar-rahmi dari satu akar kata yang sama yaitu rahimayarhamu. Transliterasinya ada yang menulis seperti di atas, dan ada pula yang menulis seperti berikut: al-rahim atau al-rahm. Dari kata-kata rahimayarhamu bisa menghasilkan dua bentuk masdar (kata infinitif) yang berbeda dan mempunyai arti yang berbeda pula; Pertama: rahimayarhamuruhmanwa ruhumanwa rahmatanwa rahamatanmarhamatan yang artinya kasih sayang. Kedua: rahimayarhamurahmanwa rahamanwa rahamatan yang mempunyai arti rasa sakit pada rahim wanita setelah melahirkan.

Dari penjelasan ini tampak bahwa bahasa Arab itu mempunyai makna yang luas, sehingga dengan demikian tidak salah jika kita mengatakan silaturruhmi, silaturruhumi, silaturrahmati, silaturrahamati, silatulmarhamati. Namun yang paling tepat adalah "silaturrahim", karena ini disebut dalam banyak hadis, antara lain seperti berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ". [رواه البخاري ومسلم واللفظ للبخاري]

Artinya: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: "Barang siapa yang suka dilapangkan rezekinya atau ditambahkan umurnya maka hendaklah ia menyambung kekerabatannya".” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ". [رواه البخاري]

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, diriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia menghormati tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia menyambung kekerabatannya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berbicara yang baik atau hendaklah ia diam". [HR. al-Bukhari].

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ الرَّحِمَ شِجْنَةٌ مُتَمَسِّكَةٌ بِاْلعَرْشِ تَكَلَّمَ بِلِسَانٍ ذَلِقٍ: "اَللَّهُمَّ صِلْ مَنْ وَصَلَنِي وَاقْطَعْ مَنْ قَطَعَنِي". فَيَقُولُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: "أَنَا الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ، وَإِنِّي شَقَقْتُ لِلرَّحِمِ مِنَ اسْمِي، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ، وَمَنْ نَكَثَهَا نَكَثْتُهُ". [أخرجه الهيثمي]

Artinya: Diriwayatkan dari Anas, diriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda: "Sesungguhnya rahim (kekerabatan) itu adalah cabang kuat di 'Arsy berdoa dengan lisan yang tajam: "Ya Allah sambunglah orang yang menyambungku dan putuslah orang yang memutusku". Maka Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman: "Aku adalah ar-Rahman ar-Rahim. Sungguh Aku pecahkan dari namaKu untuk rahim (kekerabatan), maka barangsiapa menyambungnya niscaya Aku menyambung orang itu, dan barangsiapa memutuskannya pasti Aku memutuskan orang itu".”[Diriwayatkan oleh al-Haitsami].

Boleh juga kita mengatakan "silaturrihmi" karena arti "ar-rihmi" sama dengan "ar-rahim" yang mempunyai tiga arti; rahim wanita, kekerabatan dan kerabat itu sendiri. Kerabat itu adalah mereka yang antara orang itu dengan lainnya ada ikatan nasab atau keturunan, baik ia mewarisinya atau tidak.

Kata-kata silaturrahim atau silaturrahmi ini sangat populer bagi penduduk Indonesia dan masuk ke dalam bahasa Indonesia tanpa perlu diterjemahkan lagi. Ini seperti istilah-istilah Islam lainnya seumpama shalat, haji, amar ma'ruf nahi munkar dan lainnya. Namun supaya lebih jelas dan tegas berikut ini dipaparkan arti silaturrahim yaitu menyambung atau menjalin kasih sayang kita dengan kerabat dan kenalan kita dengan cara memberinya sedekah atau salam atau pertolongan atau mengunjunginya atau lainnya sesuai dengan keadaan kita dan mereka.

Jadi meskipun dalam hal ini yang paling tepat adalah "silaturrahim" atau "silaturrihmi", kami berpendapat, jika kata-kata Arab itu telah menjadi bahasa kita, maka tidak mengapa menuliskan atau mengucapkannya sesuai dengan yang mudah bagi lisan kita. Tambahan pula, bahasa itu berkembang dan senantiasa mengalami modifikasi, apalagi ketika ditransliterasikan (disalin) atau diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Dan bukan suatu kesalahan menurut syara' jika kita melakukan hal itu.

 

Wallahu a'lam. (*mi)

 


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website