Kumpulan Fatwa M Tarjih Tahun 2007 (29 Fatwa)
Dibaca: 6173
Penulis :
ZAKAT DALAM HPT DAN AL-AMWAL FIL ISLAM (1)
Pertanyaan dari: Soedjarwo, Wakil Ketua PCM Subah, Batang
(disidangkan pada hari Jum'at, 21 Muharram 1428 H / 9 Februari 2007 M)
Pertanyaan:
Di daerah kami akan dilaksanakan zakat dengan menggunakan rumus:
1.K – H = + (wajib mengeluarkan zakat)
2.K – H = 0 (belum sampai nishab)
3.K – H = - (dlu’afa).
Keterangan:K adalah kekayaan terpadu, H adalah hutang terpadu.
Yang kami tanyakan adalah : Apakah Muhammadiyah Cabang Subah Daerah Batang boleh mengikuti model penetapan zakat seperti di atas yang bertentangan dengan HPT dan al Amwal fil Islam?
Jawaban:
Putusan Tarjih –baik yang sudah dimuat dalam buku Himpunan Putusan Tajih (HPT) atau yang belum dibukukan- adalah putusan yang dihasilkan oleh Muktamar Tarjih atau Muktamar Khususi yang diselenggarakan pada masa-masa periode terdahulu dan yang akhir-akhir ini diputuskan oleh Musyawarah Nasional Tarjih.
Muktamar Tarjih atau Muktamar Khususi atau Musyawarah Nasional Tarjih adalah lembaga tertinggi dalam persyarikatan Muhammadiyah yang berwenang untuk memutuskan permasalahan-permasalahan keagamaan. Putusan Tarjih setelah ditanfidz oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah berlaku mengikat bagi segenap jajaran persyarikatan Muhammdiyah pada semua tingkatan. Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, Pimpinan Daerah Muhammadiyah, Pimpinan Cabang Muhammdiyah dan Pimpinan Ranting Muhammadiyah bertugas memimpin dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan/instruksi Pimpinan Pusat dan Unsur Pembantu Pimpinan Pusat.
Untuk lebih jelasnya kami kutipkan:
1. Anggaran Dasar Muhammadiyah pasal 34:
(1) Tanfidz adalah pernyataan berlakunya keputusan Muktamar, Tanwir, Musyawarah, dan Rapat yang dilakukan oleh Muhammadiyah masing-masing tingkat.
(2) Keputusan Muktamar, Tanwir, Musyawarah, dan Rapat berlaku sejak ditanfidzkan oleh Pimpinan Muhammadiyah masing-masing tingkat.
2. Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah:
a. Pasal 11 ayat (1) huruf b: Pimpinan Wilayah bertugas: memimpin dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan/instruksi Pimpinan Pusat dan Unsur Pembantu Pimpinan.
b. Pasal 12 ayat (1) huruf b: Pimpinan Daerah bertugas: memimpin dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan/instruksi Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, serta Unsur Pembantu Pimpinannya.
c. Pasal 13 ayat (1) huruf b: Pimpinan Cabang bertugas: memimpin dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan/instruksi Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah serta Unsur Pembantu Pimpinannya.
d. Pasal 14 ayat (1) huruf b: Pimpinan Ranting bertugas: memimpin dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan/instruksi Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang serta Unsur Pembantu Pimpinannya.
Berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang dan Pimpinan Ranting, harus melaksanakan segala keputusan Pimpinan Pusat termasuk Putusan Tarjih. Berkaitan dengan pertanyaan saudara, maka secara organisatoris segenap jajaran Muhammadiyah harus melaksanakan pelaksanaan zakat sesuai dengan keputusan resmi Muhammadiyah seperti yang termaktub di dalam HPT dan al-Amwal fil-Islam, tidak terkecuali pada tingkat wilayah, daerah, cabang dan ranting manapun.
Wallahu a‘lam bish-shawab. *dw)
HUKUM BANTUAN “BODONG” (2)
Pertanyaan dari: Mudrikah Budiarti, Bendahara PWA Propinsi Lampung
(disidangkan pada hari Jum'at, 21 Muharram 1428 H / 9 Februari 2007 M)
Pertanyaan:
Sudah sering kita dengar bahwa sekolah-sekolah dan amal usaha Muhammadiyah menerima bantuan-bantuan “bodong”. Itu istilah umum untuk dana bantuan yang besarnya berbeda antara kuitansi/laporan dengan nominal yang diterima. Bahkan sudah umum bantuan dari instansi/departemen dengan potongan sekian persen tanpa tanda terima dan sebagian besar orang menganggap hal itu sebagai hal yang wajar. Saya dalam hal ini sebagai bendahara merasa tidak punya pegangan aturan yang pasti selain mengikuti keputusan rapat pleno. Mohon dengan sangat melalui Majelis Tarjih dan Tajdid yang saya kira paling berwenang, memberikan fatwanya.
Jawaban:
Dari pertanyaan yang Ibu sampaikan dapat kiranya dikatakan bahwa telah terjadi pemotongan atau pengambilan sebagian dana (uang) bantuan untuk amal usaha Muhammadiyah secara tidak sah oleh pihak atau oknum yang mengurusi penyaluran bantuan tersebut. Akibat pemotongan tersebut, maka dana (uang) bantuan menjadi berkurang, namun dalam laporan (administrasi) harus disebutkan diterima secara utuh dan penuh.
Terhadap perbuatan tersebut dapat diberi penjelasan sebagai berikut:
1. Pihak atau oknum yang diberi amanat untuk menyalurkan dana (uang) bantuan yang memotong secara tidak sah tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan pengkhianatan terhadap amanah. Perbuatan ini dilarang dalam agama. Allah berfirman:
$pkr'¯»tz`Ï%©!$#(#qãZtB#uäw(#qçRqèrB©!$#tAqߧ9$#ur(#þqçRqèrBuröNä3ÏG»oY»tBr&öNçFRr&urtbqßJn=÷ès?. [الأنفال، 8: 27]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” [QS. al-Anfal (8): 27]
2. Pihak atau oknum pegawai yang memotong dana (uang) bantuan, termasuk melakukan perbuatan ghulul (korupsi). Perbuatan mi dilarang oleh agama. Allah berfirman:
$tBurtb%x.@cÓÉ<oYÏ9br&¨@äót4`tBurö@è=øótÏNù't$yJÎ/¨@xîtPöqtÏpyJ»uÉ)ø9$#4§NèO4¯ûuqè?@à2<§øÿtR$¨BôMt6|¡x.öNèdurwtbqßJn=ôàã. [آل عمران، 3: 161]
Artinya: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” [QS. Ali Imran (3):161]
Dalam hadits disebutkan:
عَنْ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ. [رواه أبو داود]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Buraidah dari ayahnya dari Nabi saw, beliau bersabda: Barangsiapa yang telah kami angkat sebagai pegawai dalam suatu jabatan kemudian kami berikan gaji, maka sesuatu yang diterima di luar gaji itu adalah korupsi.” [HR. Abu Daud]
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ. [رواه أحمد]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Humaid as Sa‘idy bahwa Rasulullah saw bersabda: Hadiah yang diterima para pegawai adalah korupsi.” [HR. Ahmad]
3. Pihak yang menerima yang menyetujui dana (uang) bantuan yang telah dipotong, dapat dikategorikan sebagai persengkokolan atau secara langsung atau tidak langsung memberi bantuan untuk melakukan tindakan ma‘shiyat (melawan hukum Allah) atau perbuatan dosa. Perbuatan sepeerti itu dilarang oleh agama. Allah berfirman:
(#qçRur$yès?urn?tãÎhÉ9ø9$#3uqø)G9$#ur(wur(#qçRur$yès?n?tãÉOøOM}$#Èbºurôãèø9$#ur. [المآئدة، 5: 2]
Artinya: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [QS. al-Maidah (5): 2]
4. Pihak penerima dana (uang) bantuan setelah dilakukan pemotongan, kemudian melaporkan atau menuliskan secara utuh dan penuh seolah-olah tidak ada pemotongan, perbuatan seperti itu adalah merupakan sebuah kebohongan. Agama melarang kebohongan dan menjadikan sebagai sebagian dari tanda-tanda orang munafik. Dalam hadits disebutkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ. [متفق عليه]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu: apabila berkata ia bohong, apabila berjanji ia tidak menepati, apabila dipercaya ia berkhianat.” [Muttafaq ‘alaih]
Berdasar pada dalil-dalil di atas, jelas bahwa pemotongan dana (uang) bantuan sebagaimana yang Ibu sebutkan adalah termasuk perbuatan munkar atau ma’shiyat atau perbuatan yang dilarang oleh agama. Terhadap posisi Ibu, sebagai bendahara yang tidak dapat tidak harus mengikuti keputusan pleno, maka jika keputusan itu mentolerir adanya pemotongan, kami bependapat posisi Ibu dalam keadaan terpaksa atau darurat atau setidak-tidaknya dalam posisi menghadapi sesuatu yang sangat sulit untuk ditolak.
Menghadapi perbuatan mungkar tersebut, Islam mengajarkan agar berusaha dan berani mencegahnya. Allah berfirman:
`ä3tFø9uröNä3YÏiB×p¨Bé&tbqããôtn<Î)Îösø:$#tbrããBù'turÅ$rã÷èpRùQ$$Î/tböqyg÷ZturÇ`tãÌs3YßJø9$#4y7Í´¯»s9'ré&urãNèdcqßsÎ=øÿßJø9$#. [آل عمران، 3: 104]
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” [QS. Ali Imran (3); 104]
tbqãZÏB÷sßJø9$#uràM»oYÏB÷sßJø9$#uröNßgàÒ÷èt/âä!$uÏ9÷rr&<Ù÷èt/4crâßDù'tÅ$rã÷èyJø9$$Î/tböqyg÷ZturÇ`tãÌs3ZßJø9$#. [التوبة، 9: 71]
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar.” [QS. at-Taubah (9): 71]
Dalam hadits diterangkan:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ. [رواه مسلم عن أبي سعيد]
Artinya: “Barangsiapa di antara kamu yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangan (kekuatan)nya: jika tidak dapat, maka dengan lisannya; dan jika tidak dapat, maka dengan hati (do‘a)nya; dan hal yang demikian itu adalah iman yang paling lemah.” [HR. Muslim dari Abu Sa’id]
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الْمُنْكَرَ لاَ يُغَيِّرُونَهُ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمْ اللهُ بِعِقَابِهِ. [رواه ابن ماجه عن قيس بن أبي حازم]
Artinya: Sesungguhnya manusia jika melihat kemungkaran tidak melakukan perubahan, maka dikhawatirkan Allah akan menimpakan adzabnya. [HR. Ibnu Majah dari Qais Ibn Abi Hazim]
Mengingat bahwa Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dakwah Amar Maruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah; maka sudah seharusnya warga Muhammadiyah memulai dari diri sendiri untuk memberantas pemotongan dana (uang) bantuan seperti yang disebutkan di atas, karena hal itu merupakan salah satu bentuk dan praktik korupsi. Untuk Iebih memperluas wawasan tentang pemberantasan korupsi dalam pandangan ulama Muhammadiyah, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menerbitkan buku berjudul: FIKIH ANTI KORUPSI PERSPEKTIF ULAMA MUHAMMADIYAH.
Wallahu a‘lam bish-shawab. *dw)
ZAKAT HARTA DAGANGAN
DAN BAGIAN UNTUK FI SABILILLAH (3)
Pertanyaan dari: Hasyamba di Boyolali
(disidangkan pada hari Jum'at, 21 Muharram 1428 H / 9 Februari 2007 M)
Pertanyaan:
1. Bolehkah menghitung zakat harta dagangan dengan cara menghitung penjualan per hari, per bulan selama satu tahun, kemudian kami ambil labanya. Dari hasil laba itu kami keluarkan 2,5% sebagai zakatnya?
2. Kalau di lingkungan kami tidak ada 8 ashnaf, bolehkah kami membagi kepada ashnaf yang ada saja?
3. Bolehkah sebagian zakat untuk pembangunan masjid sebagai ashnaf sabilillah?
Jawaban:
1. Dalam zakat perdagangan tidak ditentukan jenis barang dagangannya. Yang ditentukan adalah jumlah harga barang dagangan beserta keuntungannya telah mencapai nishab (seharga 85 gram emas murni) dan haul (satu tahun). Oleh karena itu dalam menghitung harga barang dagangan beserta keuntungannya tidak harus dengan menghitung satu per satu jenis barang, melainkan dengan menghitung dalam satu tahun seluruh modal yang berupa barang dagangan itu, ditambah seluruh keuntungan baik berupa uang tunai maupun berupa piutang seperti tabungan, deposito dan lain-lain. Dari hasil perhitungan di atas (perhitungan bersih/netto), jika telah mencapai nishab maka harus dikelurkan zakatnya yakni sebesar 2,5 % dari jumlah seluruh keuntungan dan harta dagangan (modal) tersebut. Jadi yang dihitung untuk dikeluarkan zakatnya bukan hanya dari keuntungannya saja. Dalam cara menghitung ini Syara’ (agama) tidak menentukan secara detail. Namun Islam menuntunkan agar orang mencari dan menggunakan cara (jalan) yang mudah selagi yang mudah ini tidak melanggar ketentuan Syara’, yakni tidak terjadi manipulasi sehingga akan merugikan. Dalam al-Qur’an disebutkan:
ßÌãª!$#ãNà6Î/tó¡ãø9$#wurßÌããNà6Î/uô£ãèø9$#. [البقرة، 2: 185]
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [QS. al-Baqarah (2): 185]
$tBur@yèy_ö/ä3øn=tæÎûÈûïÏd9$#ô`ÏB8ltym. [الحج، 22: 78]
Artinya: “Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” [QS. al-Hajj (22): 78]
Dalam hadits dijelaskan:
يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا. [رواه ابن ماجه عن أنس]
Artinya: “Mudahkanlah dan jangan mempersukar.” [HR. Ibnu Majah dari Anas]
Jika dengan menghitung per hari, per bulan dalam satu tahun dipandang paling mudah, sehingga akan dapat menghasilkan perhitungan yang tepat/akurat sesuai dengan ketentuan nishab dan haul di atas, menurut hemat kami dapat dilakukan. Memang dengan melakukan perhitungan per hari, per bulan dalam satu tahun itu akan lebih dapat menghindari kekeliruan dan kelupaan. Sebab sesuatu yang sudah berlalu dalam tempo yang relatif lama, akan menjadikan orang pada umumnya mudah lupa. Dan kelupaan ini sangat berpotensi untuk berakibat terjadinya kekeliruan.
Namun jika dengan perhitungan per hari per bualan dalam satu tahun mengakibatkan hasil perhitungan yang tidak tepat/yang tidak akurat, maka sekalipun dipandang mudah, tentu yang dipertahankan adalah mencari kebenaran bukan semata-mata kemudahan.
2. Kalau semua mustahik (yang berhak menerima zakat) yakni 8 ashnaf itu ada, maka semua berhak untuk mendapat bagian dari harta zakat, yang oleh karenanya muzakki (orang yang berzakat) atau ‘amil memberikan zakat itu kepada mereka seluruhnya. Jika di suatu daerah atau negara, hanya terdapat sebagian dan 8 ashnaf yang ada, maka yang ada itu sajalah yang diberikan bagian zakat. Tetapi jika terdapat ashnaf yang lain yang terdapat di daerah atau negara lain yang dipandang sangat mendesak keperluannya sementara harta zakat masih tersedia, hendaknya harta zakat disalurkan kepada mustahik di daerah atau di negara lain, ini sekiranya tidak ada kesulitan atau hambatan dalam pengirimannya.
3. Di kalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat dalam mengartikan fi sabilillah. Ibnul ‘Araby menerangkan bahwa menurut Imam Malik yang dimaksud sabilillahialah tentara yang berperang (Ahkamul Qur’an, II: 957). Pendapat tersebut juga merupakan pendapat Imam Syafi’i (Al-Um, II: 60). Dalam pada itu Rasyid Ridla mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan fi sabilillahadalah untuk kemaslahatan umum kaum muslimin (al-Manar, X: 585). Pandangan seperti ini juga didukung oleh Syaltut (Al-Fatawa: 219).
Dari dua pendapat yang telah dikemukakan kami cenderung kepada pendapat yang kedua yakni pendapat Rasyid Ridla dan Syaltut, mengingat bahwa peperangan pada hahekatnya adalah untuk menegakkan kalimat (agama) Allah. Pada masa sekarang untuk menegakkan kalimat (agama) Allah dapat dilakukan melalui jalur pendidikan, kesehatan, ekonomi, pembanguan infra struktur dan sosial.
Berkaitan dengan pertanyaan saudara, maka kami berpendapat boleh sebagian harta zakat untuk bagian sabilillahdisalurkan untuk pembangunan masjid yang masih membutuhkan dana.
Wallahu a‘lam bish-shawab. *dw)
NIKMAT DUNIA DAN AKHIRAT (4)
Penanya:
Hj. Baisri, NBM. 397357, Desa Glagahagung,
Kec. Purwoharjo, Banyuwangi, Jawa Timur
Pertanyaan:
1. Apakah ada hadits Nabi yang menerangkan nikmat yang diterima seorang mukmin hanya 1% di dunia sedang 99% sisanya akan diterima di akhirat kelak?
2. Apakah ada keterangan dari Nabi saw bahwa nikmat yang 99% itu bisa dipancing di dunia dengan cara membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali dan takbir 33 kali?
Jawaban:
Allah SWT telah memberikan banyak sekali petunjuk dan keterangan dalam al-Qur’an tentang nikmat-Nya yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
Nä39s?#uäur`ÏiBÈe@à2$tBçnqßJçGø9r'y4bÎ)ur(#rãès?|MyJ÷èÏR«!$#w!$ydqÝÁøtéB3cÎ)z`»|¡SM}$#×Pqè=sàs9Ö$¤ÿ2. [إبراهيم (14): 34]
Artinya: “Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).”[QS. Ibrahim (14): 34]
bÎ)ur(#rãès?spyJ÷èÏR«!$#w!$ydqÝÁøtéB3cÎ)©!$#Öqàÿtós9ÒOÏm§.[النحل (16): 18]
Artinya: “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. an-Nahl (16): 18]
$tBurNä3Î/`ÏiB7pyJ÷èÏoRz`ÏJsù«!$#(¢OèO#sÎ)ãNä3¡¡tBØ9$#Ïmøs9Î*sùtbrãt«øgrB .[النحل (16): 53]
Artinya: “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” [QS. An-Nahl (16): 53]
ª!$#ur@yèy_/ä3s9$£JÏiBYn=y{Wx»n=Ïß@yèy_ur/ä3s9z`ÏiBÉA$t6Éfø9$#$YY»oYò2r&@yèy_uröNä3s9@Î/ºu| ãNà6É)s?§ysø9$#@Î/ºtyurOä3É)s?öNà6yù't/4y7Ï9ºxx.OÏFã¼çmtGyJ÷èÏRöNà6øn=tæöNä3ª=yès9cqßJÎ=ó¡è@ÇÑÊÈ
Artinya: “Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah dia ciptakan, dan dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya).” [QS. an-Nahl (16): 81]
Nabi Muhammad saw juga telah memberikan beberapa keterangan tentang nikmat dalam sunnahnya yang maqbul, di antaranya adalah:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ [رواه البخاري والترمذي وابن ماجه وأحمد]
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra ia berkata: Nabi Muhammad saw bersabda: Dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” [HR. al-Bukhari, at-Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad]
Dari ayat-ayat dan hadits di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa nikmat Allah yang diberikan kepada manusia di dunia ini sangat banyak, di antaranya adalah nikmat yang berupa benda-benda, kesehatan dan waktu luang. Termasuk juga nikmat Allah yang berupa rahmah (kasih sayang) dari Allah, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
ÓÉLyJômuur…ôMyèÅur¨@ä.&äóÓx«4$pkâ:çGø.r'|¡sùtûïÏ%©#Ï9tbqà)Gtcqè?÷sãurno4q2¨9$#tûïÏ%©!$#urNèd$uZÏG»t$t«Î/tbqãZÏB÷sã. [الأعراف (7): 156]
Artinya: “… dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.”[QS. Al-A’raf (7): 156]
¨bÎ)|MuH÷qu«!$#Ò=Ìs%ÆÏiBtûüÏZÅ¡ósßJø9$#. [الأعراف (7): 56]
Artinya: “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” [QS. Al-A’raf (7): 56]
Dan hadits Nabi Muhammad saw:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ جَعَلَ اللهُ الرَّحْمَةَ مِائَةَ جُزْءٍ فَأَمْسَكَ عِنْدَهُ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ وَأَنْزَلَ فِي اْلأَرْضِ جُزْءًا وَاحِدًا فَمِنْ ذَلِكَ الْجُزْءِ تَتَرَاحَمُ الْخَلاَئِقُ ...[رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Allah menjadikan rahmat menjadi seratus bagian. Dia menahan 99 bagian di sisi-Nya dan menurunkannya ke bumi satu bagian. Dari satu bagian itulah makhluk hidup saling mengasihi …” [HR. Muslim]
Dari hadits tersebut, dapatlah dimengerti bahwa yang saudara maksudkan pada pertanyaan pertama secara tekstual bukanlah nikmat, melainkan rahmat yang merupakan salah satu bentuk dari nikmat Allah.
Adapun pertanyaan kedua, secara tekstual memang tidak kami temukan keterangan yang saudara maksudkan. Kami menemukan hadits-hadits yang hampir mirip isinya dengan pertanyaan saudara. Hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut:
1- مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي اْلآخِرَةِ وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنْ السُّوءِ مِثْلَهَا. [رواه أحمد والبراز وأبو يعلى عن أبي سعيد بأسانيد جيدة والحاكم وقال: صحيح الإسناد].
Artinya: “Tidaklah seorang muslim berdoa dengan doa yang di dalamnya tidak mengandung dosa dan tidak memutuskan hubungan persaudaraan/kekerabatan, melainkan Allah akan memberikan kepadanya karena doa itu, salah satu dari tiga perkara: Adakalanya disegerakan diterima permohonan itu, adakalanya akan disimpan pahalanya di akhirat nanti, dan adakalanya dia dipalingkan dari keburukan (kejahatan) yang sebanding dengan itu.” [HR. Ahmad, al-Bazzar, dan Abu Ya‘la dari Abu Sa‘id, dengan sanad-sanad yang baik, dan riwayat al-Hakim, katanya: sanadnya shahih].
2- مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو اللهَ بِدُعَاءٍ إِلاَّ اسْتُجِيبَ لَهُ فَإِمَّا أَنْ يُعَجَّلَ لَهُ فِي الدُّنْيَا وَإِمَّا أَنْ يُدَّخَرَ لَهُ فِي اْلآخِرَةِ وَإِمَّا أَنْ يُكَفَّرَ عَنْهُ مِنْ ذُنُوبِهِ بِقَدْرِ مَا دَعَا مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ أَوْ يَسْتَعْجِلْ يَقُولُ دَعَوْتُ رَبِّي فَمَا اسْتَجَابَ لِي. [رواه الترمذى عن أبي هريرة].
Artinya: “Tidaklah seseorang berdoa dengan suatu doa melainkan dikabulkan baginya, adakalanya disegerakan pahalanya di dunia atau ditunda pahalanya nanti di akhirat, atau adakalanya ditutup (dihapus) sebagian dosa-dosanya menurut kadar yang dimohon, selama ia tidak memohon dengan yang dosa atau untuk memutus hubungan kekerabatan ataupun tidak meminta untuk disegerakan pahalanya dimana ia berkata: aku telah bermohon kepada Tuhanku, mengapa gerangan tidak dikabulkan doaku.” [HR. at-Turmudzi dari Abu Hurairah ra.].
3- مَنْ سَبَّحَ اللهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَحَمِدَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَكَبَّرَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ فَتْلِكَ تِسْعٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ. [رواه أحمد ومسلم عن أبي هريرة].
Artinya: “Barangsiapa bertasbih setiap selesai shalat 33 kali tasbih, 33 kali tahmid, dan 33 kali takbir, lalu menjadi 99 kali dan sempurna 100 kali dengan membaca: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌniscaya diampuni kesalahan-kesalahannya sekalipun sebanyak buih di laut.” [HR. Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah ra.].
4- قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلاَ أَدُلُّكُمَا عَلَى خَيْرٍ مِمَّا سَأَلْتُمَاهُ إِذَا أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا فَكَبِّرَا اللهَ أَرْبَعًا وَثَلاَثِينَ وَاحْمَدَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَسَبِّحَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمَا مِمَّا سَأَلْتُمَاهُ. [رواه البخاري و مسلم وأحمد عن عليّ رضي الله عنه].
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: Maukah kalian berdua (Ali dan Fatimah ra.) aku tunjukkan atas sesuatu yang lebih baik dari apa yang kamu berdua memintanya, yaitu apabila kalian berdua menuju ke tempat tidur kalian, maka bertakbirlah 34 kali, dan bertasbihlah 33 kali serta bertahmidlah 33 kali, karena yang demikian itu lebih baik bagi kalian berdua daripada diberi seorang pembantu.” [HR. al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad, dari Ali ra.].
Penjelasan Singkat:
Dari hadits no. 1 dan no. 2, intinya bahwa doa seseorang yang bukan untuk tujuan maksiat/dosa dan tidak pula untuk memutuskan hubungan kekerabatan, Insya Allah diterima oleh Allah dengan tiga kategori. Pertama disegerakan ganjarannya di dunia, kedua disimpan ganjarannya oleh Allah dan diberikan besok di hari akhirat, dan ketiga tidak diberikan persis seperti yang dimohon tetapi diganti dengan yang lain yaitu dipalingkan dia dari berbuat dosa atau dihapus sebagian dosanya.
Bahkan pada hadits no. 2 tersirat bahwa kurang sopan atau tidak etis kalau kita mohon kepada Allah dengan meminta disegerakan ganjarannya di dunia. Yang baik adalah kita serahkan pada Allah mana yang terbaik untuk kita.
Selanjutnya dalam hadits no. 3 dan 4 mengandung pengajaran bahwa untuk meringankan beban kesulitan kita, supaya banyak bertasbih, bertahmid, dan bertakbir dan disempurnakan dengan kalimat:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Insya Allah akan diampuni pula kesalahan-kesalahan betapapun banyaknya dengan syarat tidak menyekutukan Tuhan dengan sesuatu dari ciptaan-Nya.
Dalam sebuah hadits disebutkan pula:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِاْلأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ. [رواه مسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Dzar, ada beberapa orang di antara para shahabat Nabi saw berkata: Ya Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong pahala, mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Di samping itu mereka bershadaqah dengan kelebihan harta mereka. Rasulullah saw bersabda: Tidakkah Allah telah memberi kepadamu kesempatan untuk bershadaqah? Sesungguhnya setiap bacaan tasbih adalah shadaqah, setiap bacaan takbir adalah shadaqah, setiap bacaan tahmid adalah shadaqah, setiap bacaan tahlil adalah shadaqah, menganjurkan berbuat baik adalah shadaqah, mencegah perbuatan munkar adalah shadaqah, bahkan pada senggama yang dilakukan olehmu adalah shadaqah. Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, apakah seseorang menyalurkan nafsu seksualnya ia mendapat pahala? Nabi bersabda: Bagaimana menurut kamu andaikata seseorang menyalurkan nafsu seksualnya pada yang haram, bukankah ia berdosa? Maka demikian pula sebaliknya jika ia menyalurkan nafsu seksualnya pada yang halal, pastilah ia mendapat pahala.”[HR. Muslim].
Dengan demikian dapatlah diambil kesimpulan bahwa tasbih, tahmid, takbir dan tahlil adalah bacaan dzikir dan doa yang dituntunkan lagi sangat mulia diamalkan sesuai dengan tuntunannya. Oleh sebab itu, untuk menambah wawasan saudara tentang dzikir dan doa, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menerbitkan buku melalui Penerbit Suara Muhammadiyah berjudul Tuntunan Dzikir dan Doa. Kami persilahkan saudara menghubungi penerbit bersangkutan atau agen-agennya di tempat tinggal saudara.*th)
BACAAN SALAM KEPADA NABI MUHAMMAD SAW DALAM TASYAHUD DAN HADITS TENTANG HABBAS-SAUDA (5)
Penanya:
Rusydi, NBM. 581449, Anggota PCM Kalinyamat
Jepara, Jawa Tengah
Pertanyaan:
1. Dalam kaset video "Sifat-sifat Shalat Rasulullah saw. yang dikeluarkan oleh Markaz tentang doa tasyahud disebutkan bagian:
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Diganti dengan:
اَلسَّلاَمُ عَلَي النَّبِيِّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Alasannya:
Diucapkanاَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ ,karena Nabi Muhammad saw pada waktu itu masih hidup, tetapi setelah beliau meninggal dunia, para sahabat sepakat menggantinya dengan: اَلسَّلاَمُ عَلَي النَّبِيِّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ , karena kaset tersebut juga mengacu kepada hadis: صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي
2. Hadis yang berbunyi:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَيْكُمْ بِهَذِهِ اْلحَبَّةِ السَّوْدِاءِ، فَإِنَّ فِيْهَا شِفَاءً مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلاَّ السَّامِ. [رواه البخاري ومسلم]
Bagaimana derajat keshohehan hadis tersebut?
Mohon penjelasan kedua pertanyaan di atas.
Jawaban:
1. Bacaan salam kepada Nabi Muhammad saw dalam tasyahud itu seperti yang diajarkan Nabi Muhammad saw adalah: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ yang berarti: ""Salam sejahtera serta rahmat dan berkah Allah bagimu wahai Nabi", jadi bukan: اَلسَّلاَمُ عَلَي النَّبِيِّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُyang berarti: "Salam sejahtera serta rahmat dan berkah Allah bagi Nabi".
Dalam ibadah, terutama shalat, kita harus mengikut tuntunan Nabi Muhammad saw, sesuai dengan sabdanya: صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي (Shalatlah sebagaimana kamu melihatku shalat). Dalam hal ini tidak ada kesepakatan para sahabat untuk menggantikan salam yang diajarkan Nabi Muhammad saw tersebut dengan salam kedua di atas setelah kewafatan beliau. Jadi, meskipun maknanya lebih tepat bagi sebagian ulama karena Nabi Muhammad saw. telah wafat, namun mengucapkan salam kepada Nabi saw di dalam tasyahud itu yang harus diikuti adalah sebagaimana yang diajarkan Nabi saw meskipun kita tidak mengetahui hikmahnya. Perlu ditambahkan di sini bahwa Nabi saw sendiri tidak pernah mengucapkan: اَلسَّلاَمُ عَلَيَّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُyang berarti: "Salam sejahtera serta rahmat dan berkah Allah bagiku" dalam shalat beliau, padahal itu lebih tepat bagi beliau. Adapun di luar shalat, kita boleh mengucapkan salam kepada beliau dengan bentuk kedua di atas.
2. Arti hadits di atas: Rasulullah saw bersabda: "Hendaklah kamu mengkonsumsi al-Habbah as-Sauda’ (black seed/jintan hitam) karena di dalamnya ada kesembuhan bagi setiap penyakit, kecuali kematian". Namun lafaz hadis yang terdapat pada kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim tidak persis seperti di atas. Di dalam kitab Shahih Bukhari Bab al-Habbah as-Sauda’, ada dua hadis yaitu:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا سَمِعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّ هَذِهِ اْلحَبَّةَ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلاَّ مِنَ السَّامِ. قُلْتُ: وَمَا السَّامُ؟ قَالَ: اَلْمَوْتُ
Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah bahwa dia mendengar Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya al-Habbah as-Sauda’ ini adalah kesembuhan (obat) dari setiap penyakit kecuali dari as-Sam". Kataku (Aisyah): Apa itu as-Sam? Jawab Nabi saw: "Kematian".”
Dan hadis:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: فِي اْلحَبَّةِ السَّوْدَاءِ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلاَّ السَّامِ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَالسَّامُ اْلمَوْتُ، وَاْلحَبَّةُ السَّوْدَاءُ الشُّونِيزُ
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda: "Di dalam al-Habbah as-Sauda’ itu ada kesembuhan (obat) bagi setiap penyakit kecuali as-Sam" Ibn Syihab berkata: As-Sam itu adalah kematian dan al-Habbah as-Sauda’ itu adalah as-Syuniz (nama lain dari al-Habbah as-Sauda’/jintan hitam).”
Sedang di dalam kitab Shahih Muslim Bab Berobat dengan al-Habbah as-Sauda’ juga ada dua hadis, yaitu:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: فِي اْلحَبَّةِ السَّوْدَاءِ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلاَّ السَّامِ.وَالسَّامُ اْلمَوْتُ وَاْلحَبَّةُ السَّوْدَاءُ الشُّونِيزُ
Artinya: “Dari Abu Hurairah bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya di dalam al-Habbah as-Sauda’ itu ada kesembuhan (obat) bagi setiap penyakit kecuali as-Sam".Dan as-Sam itu adalah kematian dan al-Habbah as-Sauda’ itu adalah as-Syuniz (nama lain dari al-Habbah as-Sauda’/jintan hitam).
Dan hadis:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا مِنْ دَاءٍ إِلاَّ فِي اْلحَبَّةِ السَّوْدَاءِ مِنْهُ شِفَاءٌ إِلاَّ السَّامُ.
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: "Tiada suatu penyakit kecuali di dalam al-Habbah as-Sauda’ ada kesembuhan (obat), kecuali kematian".”
Benarkah al-Habbah as-Sauda’ ini obat untuk semua penyakit? Untuk memahami hadits ini lebih mendalam kita harus merujuk kepada para pensyarah (pemberi keterangan) hadits. Ibn Hajar al-Asqalani mengatakan: "Maksud al-Habbah as-Sauda’ itu merupakan kesembuhan (obat) bagi setiap penyakit ialah, bahwa ia tidak dipakai pada semua penyakit begitu saja, tetapi kadang-kadang dipakai sendirian dan kadang-kadang dipakai dengan campuran bahan lainnya, kadang-kadang dipakai dengan ditumbuk hingga halus dulu dan kadang-kadang tidak, kadang-kadang dimakan, diminum, dimasukkan hidung, ditempelkan dan lainnya. Dan ada yang mengatakan: sabda Nabi: "dari segala penyakit" itu maksudnya dari segala penyakit yang bisa diobati dengannya, karena al-Habbah as-Sauda’ itu memang bermanfaat bagi penyakit-penyakit dingin, sedang penyakit-penyakit panas itu tidak. (lihat kitab Fathul Bari, 10/144). Hal ini menunjukkan bahwa al-Habbah as-Sauda’ adalah obat yang sangat berfaidah dan banyak terdapat pada zaman Nabi Muhammad saw, namun cara berobat dengannya perlu dipelajari.
Jadi pada dasarnya, kita perlu berobat ketika sakit dengan obat-obat yang sesuai dengan macam penyakitnya, bukan hanya dengan al-Habbah as-Sauda’.
Adapun mengenai derajat keshahihan hadits di atas, perlu saudara ketahui bahwa para ulama ahli hadits dari kalangan ahlus sunnah wal jama'ah sepakat bahwa seluruh hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitab Shahihnya itu adalah hadits shahih. Demikian pula seluruh hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya. Dan hadis yang lebih shahih dari itu adalah hadis yang diriwayatkan oleh keduanya di dalam kitab Shahih masing-masing. mi*).
Wallahu a’lam bish-shawab.
KHUTBAH SHALAT ‘ID DIMULAI DENGAN HAMDALAH (6)
Penanya:
H.M. Wahjudi Budihardjo, NBM. 739466,
Ponorogo, Jawa Timur
Pertanyaan:
Tuntunan Shalat ‘Idain Keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah di Kota Garut Jawa Barat tanggal 18 s.d. 23 Rabi’ul Akhir 1396/ 18 s.d. 23 April 1976 qarar 13:
وَلْيَخْطُبْ بَعْدَ الصَّلاَةِ خُطْبَةً وَاحِدَةً وَيَبْدَأُهَا بِاْلحَمْدِ ِللهِ وَيَذْكُرُ فِيْهَا اْلحَاضِرِيْنَ وَيَحُضُّهُمْ عَلَى اْلخَيْرِ.
Sesudah selesai shalat hendaklah Imam membaca khutbaah satu kali dimulai dengan Alhamdu lillah, dan menyampaikan nasehat kepada para hadirin dan menganjurkan untuk berbuat baik.
Tetapi masih ada sebagian khatib Persyarikatan yang memulai khutbahnya tidak dengan Alhamdu lillah melainkan dengan takbir.
Mohon tambahan penjelasan dalil yang mendukung qarar (13) tersebut dan sebutkan pula maraji’nya.
Terima kasih atas penjelasannya.
Jawaban:
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah pernah menjawab pertanyaan yang sama beberapa waktu lalu, dan telah dimuat di rubrik Fatwa Agama Majalah Suara Muhammadiyah No. 02 tahun ke-91/2006. Namun, karena hal tersebut kami pandang cukup penting, tidak ada salahnya kami sampaikan kembali kepada saudara pada rubrik ini.
Sebelumnya perlu kami sampaikan terlebih dahulu bahwa Keputusan Muktamar Tarjih ke XX di Garut pada tanggal 18 s.d. 23 Rabi’ul Akhir 1396 H / 18 s.d. 23 April 1976, yang berbunyi: “Sesudah selesai shalat hendaklah Imam membaca khutbah satu kali, dimulai dengan “Al Hamdulillah” dan menyampaikan nasehat kepada para hadirin dan menganjurkan untuk berbuat baik.”, berdasarkan dalil:
لِحَدِيْثِ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ. [رواه البخاري ومسلم واللفظ للبخاري].
Artinya: Beralasan hadits Abu Sa’id yang mengatakan: “Pada hari raya Fithri dan Adlha Rasulullah saw kalau pergi ke tempat shalat, maka yang pertama beliau kerjakan adalah shalat, kemudian apabila telah selesai beliau bangkit menghadap orang banyak ketika mereka masih duduk pada shaf-shaf mereka. Lalu beliau menyampaikan peringatan dan wejangan kepada mereka dan mengumumkan perintah-perintah pada mereka, dan jika beliau hendak memberangkatkan angkatan atau mengumumkan tentang sesuatu beliau laksanakan kemudian pulang.” [HR. al-Bukhari dan Muslim, lafadz al-Bukhari].
وَلِحَدِيْثِ جَابِرٍ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلاَةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلاَلٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ. الحديث [رواه مسلم والنسائى] وَفِى رِوَايَةٍ عَنْهُ عِنْدَ مُسْلِمٍ فَلَمَّا فَرَغَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَزَلَ وَ أَتَى النِّسَاءَ فَذَكَرَهُنَّ ... الحديث.
Artinya: Beralasan pula hadits Jabir yang mengatakan: “Pernah aku mengalami shalat hari raya bersama Rasulullah saw, lalu dimulai shalat sebelum khutbah tanpa adzan dan iqamah. Kemudian beliau bangkit bersandar pada Bilal, lalu beliau menganjurkan orang tentang taqwa kepada Allah dan menyuruh patuh kepada-Nya dan menyampaikan nasehat dan peringatan kepada mereka. Lalu beliau mendatangi para wanita dan menyampaikan nasehat dan peringatan kepada mereka …” dan seterusnya hadits. [HR. Muslim dan an-Nasai]. Dalam riwayat Muslim dengan kalimat: “Setelah Nabiyullah saw selesai, beliau turun dan mendatangi para wanita dan menyampaikan peringatan-peringatan kepada mereka … dan seterusnya hadits.”
Dalam hadits-hadits yang telah disebutkan di atas, tidak ada keterangan tentang memulai khutbah Id dengan takbir. Demikian pula tidak ada keterangan tentang khutbah Id dengan dua khutbah. Oleh karena dalam hadits tersebut tidak disebutkan bahwa khutbah Id dimulai dengan takbir, maka dalam khutbah Id ini, digunakan hadits yang menjelaskan praktik Rasulullah saw dalam memulai khutbah, sebagaimana dijelaskan dalam hadits:
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا تَشَهَّدَ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ ... [رواه أبو داود].
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw jika memulai khutbah dengan mengucapkan ‘al-hamdulillah’ …”. [HR. Abu Dawud].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ كَلاَمٍ لاَ يُبْدَأُ فِيهِ بِالْحَمْدُ لِلَّهِ فَهُوَ أَجْذَمُ. [رواه أبو داود].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Setiap pidato yang tidak dimulai dengan ‘al-hamdulillah’, maka tidak barakah.” [HR. Abu Dawud].
Memang ada hadits yang menyatakan:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُتْبَةَ قَالَ السُّنَّةُ أَنْ تُفْتَتَحَ اْلخُطْبَةُ بِتِسْعِ تَكْبِيْرَاتٍ تَتْرَى وَبِسَبْعِ تَكْبِيْرَاتٍ تَتْرَى. [رواه البيهقي].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Abdullah Ibnu ‘Utbah ia berkata: Merupakan sebuah sunnah Nabi membuka khutbah dengan tujuh takbir secara pelan-pelan dan yang kedua dengan sembilan takbir secara pelan-pelan.” [HR. al-Baihaqi].
Asy-Syaukani dalam Nailul-Authar Juz III halaman 374 mengatakan bahwa Abdullah Ibnu Abdullah adalah seorang tabi’in, maka berdasarkan ushulul-hadits ia tidak dapat diterima kalau ia mengatakan ‘sebagai suatu sunnah Nabi’. Dengan demikian dapat kiranya dikatakan bahwa hadits ini termasuk hadits maqtu’ yang oleh karenanya hadits tersebut tidak maqbul, sehingga tidak dapat diamalkan isinya. Dengan tegas Ibnul-Qayyim mengatakan bahwa memulai khutbah Idain (Fithri dan Adlha) dengan takbir, sama sekali tidak ada sunnah yang dapat dijadikan dasarnya. Sebaliknya yang disunnahkan adalah memulai segala macam khutbah dengan ‘al-hamdu’. Sejalan dengan pendapat itu, Prof. Dr. TM Hasbi Ash-Shiddieqy, mengatakan tidak ada keterangan yang kuat yang menerangkan bahwa Nabi saw memulai khutbah dengan takbir (Pedoman Shalat, halaman 458).
Wallaahu a’lam bish-shawab.
HUKUM MEROKOK (7)
Penanya:
Minhajul Abidin, NBM. 875780,
Banjarsari, Pruwodadi, Purworejo, Jawa Tengah
Pertanyaan:
Assalaamu ’alaikum Wr. Wb.
Mohon penjelasan tentang hukum merokok menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah, karena di daerah banyak ulama’ Muhammadiyah yang mengharamkan merokok.
Mohon penjelasan ini dimuat pada Majalah Suara Muhammadiyah. Atas terkabulnya permohonan ini kami sampaikan terma kasih.
Wassalaamu ’alaikum Wr. Wb.
Jawaban:
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah pernah menjawab pertanyaan yang sama beberapa waktu lalu, dan telah dimuat di rubrik Fatwa Agama Majalah Suara Muhammadiyah No. 24 tahun ke-90/2005. Namun, tidak ada salahnya jawaban tersebut kami sampaikan kembali kepada saudara pada rubrik ini.
Pada asalnya hukum merokok itu adalah mubah, boleh dilakukan karena tidak ada nash (al-Qur’an dan al-Hadits) yang melarangnya. Namun sebahagian ulama memandangnya sebagai perbuatan makruh. Mereka beralasan bahwa merokok itu bukan saja merusak kesehatan diri sendiri, tetapi juga merusak kesehatan orang lain yang ikut menghisap asap rokoknya (perokok pasif). Sesuatu yang dapat menimbulkan kerusakan bagi manusia harus dijauhi, sesuai dengan makna yang terkandung dalam firman Allah Swt:
... وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ ... [الأعراف (7): 157].
Artinya: “… dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” [QS. al-A‘raf (7): 157].
Menurut Ibnul Qayyim, ‘ath-Thayyibaat’ berarti segala sesuatu yang bermanfaat bagi jasmani, rohani, akal dan pikiran, sedang ‘al-Khabaaits’ ialah segala sesuatu yang dapat menimbulkan mafsadat bagi jasmani, rohani, akal dan pikiran.
Berdasar pada penjelasan di atas, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat bahwa hukum merokok adalah mubah, sekalipun demikian menjauhinya adalah lebih baik daripada melakukannya.
Wallaahu a’lam bish-shawab.
PEMBAGIAN WARISAN (8)
Pertanyaan dari J, di Madura (nama dan alamat diketahui redaksi)
Disidangkan pada: Jum’at, 19 Shafar 1428 H / 9 Maret 2007 M
Pertanyaan:
Saya sangat mengharap bantuan penjelasan, bagaimana menurut agama pembagian harta waris yang saya hadapi saat ini dan sekarang sudah menjadi masalah di Pengadilan, yang saya maksud begini.
A (ayah) kawin dengan B (ibu) mempunyai 8 anak (2 orang laki-laki dan 6 orang perempuan) yang hidup cuma 1 orang adalah (C/lakilaki). Kemudian ibu (B) C meninggal dunia, meninggalkan harta hasil gono gini A dan B yaitu, sebidang tanah, rumah diatas tanah ini dengan isinya.
Setelah itu A kawin lagi dengan D (tidak menempati tanah dan rumah tersebut) dan mempunyai 2 orang anak perempuan yaitu, E dan F, kemudian isteri yang kedua (D) meninggal dunia, sedangkan C hidup/ikut juga bersama isteri yang ke-2 itu. Beberapa hari setelah D meninggal dunia, kedua anaknya (E dan F) diboyong ke rumah peninggalan isteri I (B), disitu mereka E dan F tinggal dengan bibinya (adik dari ayah/A). A kawin lagi dengan G (isteri ketiga) di tempat lain, C juga ikut/hidup bersama dengan isteri ke-3 dan akhirnya G meninggal dunia.
Harta gono gini antara A dan D dan juga antara A dan G banyak. Sebelum A meninggal, C sudah diberi tanah kering diatas segel tertulis sedangkan tanah sawah (pemberiannya dengan tidak tertulis). Kemudian C kawin dengan H, pada waktu/saat A masih kawin dengan isteri ke-3 (G), akhirnya perkawinannya C+H punya anak perempuan yaitu (J). Pada waktu J berusia 1 tahun, A meninggal dunia karena sakit. Setelah lewat 40 hari A meninggal, C meninggal karena kena setrum listerik, dengan meninggalkan seorang anak yatim yaitu (J) juga dengan banyak meninggalkan harta, yaitu harta waris dari A yang belum dibagi, kecuali tanah yang pakai surat diatas segel tadi itu.
Yang saya tanyakan, bagaimana cara pembagian harta-harta ini?
1. Apakah harta hasil gono gini dari isteri yang I (pertama) juga harus dibagi ke E dan F?
2. Apakah hanya harus dimiliki J kanena sebagai anak dari C?
3. Jika harus dibagi bagaimana pembagiannya?
4. Apakah J harus mendapat lagi dari sisa harta yang belum dibagi? Karena yang belum dibagi itu masih ada 4x dari apa yang telah diberikan langsung pada C, atau bagaimana pembagian yang benar menurut Islam atau pemerintah? Sebagai anak yatim J ditelantarkan oleh bibi-bibinya tersebut, yaitu (E+F).
Mohon penjelasannya, tolong didahulukan dari yang lain, karena penjelasan ini akan J jadikan petunjuk dalam sidang di pengadilan yang sudah berlangsung ini.
Atas segala bantuannya J ucapkan terima kasih, semoga betul-betul akan menjadi acuan penjelasan J di pengadilan nanti.
Jawaban:
Dari keterangan saudara tentang hubungan dalam keluarga dapat kami gambarkan dalam diagram sebagai berikut: