PDM Kabupaten Kediri - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Kediri
.: Home > Artikel

Homepage

Kumpulan Fatwa M Tarjih Tahun 2006 (20 Fatwa)

.: Home > Artikel > PDM
25 April 2014 07:39 WIB
Dibaca: 4623
Penulis :

WALIMATUL ‘URSY DENGAN HEWAN QURBAN (1)

 

Penanya:

Khaoir, Semarang

(disidangkan pada hari Jum'at, 16 Desember 2005)

 

 

Pertanyaan:

 

Saya seorang pengasuh Panti Asuhan di Semarang. Tahun yang lalu kami menyembelih hewan qurban sebanyak 3 ekor sapi (hasil serikat para donator). Sebagian dimakan oleh anak asuh dan sebagian lainnya kami bagikan kepada yang berhak menerima. Bertepatan pada saat itu saya melangsungkan walimah (nikah). Lalu 1 ekor sapi oleh pengurus Panti diserahkan pada pihak wanita sebagai tanggungan saya, dan disembelih pada hari tasyriq. Dan pihak wanita tidak mengetahui kalau itu adalah hewan qurban. Pertanyaan saya adalah:

1.      Bagaimana hukumnya dengan hal itu? Karena sampai sekarang saya masih bingung, takut akan dosa dan siksaan Allah.

2.      Kalau toh memang saya harus menggantinya, bolehkah saya menggantinya dalam bentuk uang seharga sapi itu?

Demikian, atas jawabannya kami ucapkan terima kasih.

 

Jawaban:

Para donator adalah pihak yang memberi amanah atau kepercayaan kepada pengurus Panti Asuhan, agar uang yang diserahkan kepada pengurus Panti Asuhan dibelikan sapi sebagai hewan qurban. Selanjutnya daging qurban dibagi-bagikan kepada yang berhak menerima. Pengurus Panti Asuhan adalah pihak yang diberi amanah, harus menunaikan amanah tersebut dengan sebaik-baiknya, mengingat firman Allah:

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا ... [النساء (4): 58].

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya …” [QS. an-Nisa’ (4): 58].

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَخُونُوا اللهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ. [الأنفال (8): 27].

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” [QS. al-Anfal (8): 27].

Pelaksanaan amanah di sini adalah pengurus Panti Asuhan setelah menerima uang dari para donatur, membelikan sapi dan menyembelihnya pada hari Idul Adlha atau hari tasyriq, kemudian dagingnya dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerima. Pengurus Panti Asuhan tidak dibenarkan mentasharrufkan atau menggunakan untuk selain yang diamanahkan oleh para donatur, termasuk memberikan kepada orang lain sekalipun ia adalah pengasuh Panti Asuhan atau istrinya. Segala macam penggunaan hewan qurban selain untuk yang telah ditetapkan oleh para donatur tidak sah kecuali atas izin semua donatur. Karena pemberian tersebut tidak sah, maka pengurus Panti Asuhan harus bertanggung jawab untuk mengganti dengan seekor sapi yang seharga dengan sapi yang telah disembelih. Jika sebelum atau di saat pemberian sapi itu dilakukan, saudara mengetahui dan menyetujui, maka saudara yang harus bertanggung jawab atas penggantian sapi tersebut, dengan besar sapi atau harga sapi yang sebanding. Kami menghargai perasaan takut dosa dan siksa yang muncul dari sanubari saudara, yang oleh karenanya selain mengganti dengan seekor sapi yang sebanding atau seharga sapi tersebut, untuk memohon diampuni dosa dan dijauhkan dari siksa; kiranya melakukan taubat juga merupakan perbuatan yang amat terpuji.

Kemudian setelah dibelikan seekor sapi yang sebanding atau seharga, diserahkan kepada Panti Asuhan. Untuk tetap menjaga maksud para donatur, sapi tersebut disembelih waktu Idul Adlha atau hari-hari tasyriq yang terdekat, kemudian dagingnya dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerima. Semakin cepat menggantinya tentu akan lebih baik, mengingat firman Allah:

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ. [آل عمران (3): 133].

Artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” [QS. Ali ‘Imran (3): 133].

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ. [آل عمران (3): 135].

Artinya: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”[QS. Ali ‘Imran (3): 135].

Wallahu a‘lam bish-shawab. *dw)

 

WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK(2)

 

Penanya:

Abdul Salam, Grabag, Purworejo.

(disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006)

 

Pertanyaan:

Kami lima orang bersaudara: 4 orang laki-laki dan  1 orang perempuan, dengan urutan sebagai berikut:

Pertama: A (laki-laki) telah meninggal dunia sebelum bulan Ramadlan 1426 H yang lalu, meninggalkan seorang isteri Z dan tidak mempunyai anak. Kedua: B (perempuan). Ketiga: C (laki-laki) telah meninggal dunia 15 tahun yang lalu, dengan meninggalkan seorang isteri dan 6 orang anak yang terdiri dari 4 orang anak laki-laki dan  2 orang anak perempuan. Satu di antara anak laki-laki tersebut sudah meninggal dunia dengan meninggalkan seorang isteri. Keempat:  D (laki-laki). Kelima: E (laki-laki). Sampai sekarang harta warisan A belum dibagikan kepada ahli waris. Di kala hidupnya, A  mewasiatkan sebagian hartanya kepada salah seorang anak C.

Harta peninggalannya terdiri dari harta bawaan dan harta hasil usaha selama perkawinan dengan Z. Dalam pada itu Z pun punya harta bawaan dalam menempuh hidup berkeluarga dengan A.

Mohon dijelaskan:

1.      Bagaimanakah cara pembagiannya dan pelaksanaan wasiatnya menurut Hukum Islam?

2.      Bolehkah jika kami melakukan kerukunan dalam pembagian tersebut?

3.      Bolehkah jika sebagian dari ahli waris menshadaqahkan atau mewakafkan sebagian harta waris yang diterima diatasnamakan pewaris?

Kami mohon dengan hormat lagi sangat Majelis Tarjih dapat menjelaskan dengan  disebutkan dalil al-Qur’an dan al-Hadits atau dasar hukumnya. Demikian atas perkenan dan bantuan Bapak,  kami ucapkan terima kasih, dengan iringan do’a semoga kita semua mendapat ridla Allah swt.

 

Jawaban:

1.      Sebelum dilakukan pembagian harta waris, terlebih dahulu harus dipastikan berapa atau apa saja yang termasuk harta waris yang ditinggalkan oleh A. Menurut hemat kami ada dua hal yang harus diperhatikan:

Pertama:Berkaitan dengan harta bawaan dan pembagian harta bersama. Harta bawaan isteri (Z) dikembalikan kepada Z. Kemudian harta bersama dibagi dua; separoh diberikan kepada Z. Hal ini didasarkan kepada:

a.       Pasal 86 ayat (2) KHI:

Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

b.      Pasal 87 ayat (1) KHI:

Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh  masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

c.       Pasal  96 ayat (1) KHI:

Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

Kedua:Setelah jelas harta peninggalan A, yakni harta bawaan A dan separoh harta bersama; kemudian yang harus diperhatikan biaya perawatan jenazah (tajhiz), hutang dan wasiat jika dua hal yang disebutkan terakhir tersebut memeng ada. Dengan kata lain, sebelum harta peninggalan A dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerima, maka terlebih dahulu dikeluarkan untuk biaya perawatan di kala sakit dan perawatan jenazahnya, hutang dan wasiat; baru setelah itu sisanya sebagai harta warisan dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerima.

  1. Biaya Perawatan Pewaris (Muwarris).

Biaya untuk perawatan sakit pewaris demikian pula biaya untuk perawatan jenazahnya dari semenjak untuk memandikan, mengkafani sampai dengan menguburkannya, jika pewaris memiliki harta harus diambilkan dari hartanya. Jika yang meninggal dunia tidak meninggalkan harta, maka biaya perawatan jenazah dibebankan kepada orang yang menanggung nafkahnya di akhir hidupnya. (As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid I halaman 438). Bahkan menurut Ibnu Hazm jika seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan harta, maka biaya perawatan jenazah diambil dari hartanya, bukan menjadi kewajiban suaminya; dengan alasan bahwa harta seseorang dilindungi oleh Syara’, hanya boleh dikeluarkan apabila dibenarkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Al-Qur’an dan as-Sunnah mewajibkan kepada suami untuk memberi nafkah dan tempat tinggal kepada isteri. Mengkafani dan menguburkan tidak termasuk ke dalam pengertian memberi nafkah dan memberikan tempat tinggal.

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf e, disebutkan: Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya perawatan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

  1. Hutang

Dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 11, dijelaskan bahwa pembagian harta waris dilakukan kepada ahli waris setelah hutang dan wasiat ditunaikan terlebih dahulu. Ketegasan itu berbunyi:

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوْصِى بِهَا أَوْدَيْنٍ. [النسآء (4): 11]

Artinya: “(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat  yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” [QS. an-Nisa’ (4): 11].

Dalam Hadits dijelaskan:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: نَفْسُ اْلمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ. [رواه أحمد].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw beliau bersabda: Jiwa orang beriman itu digantungkan dengan hutangnya, sampai hutang itu dilunasi. HR Ahmad.

Dimaksud dengan hutang di sini mencakup hutang yang dilakukan pewaris di kala hidupnya dengan sesama hamba Allah (umat manusia) maupun hutang yang berupa kewajiban yang harus ditunaikan untuk menjalankan agama Allah, seperti: zakat yang belum dibayar, kafarat atau diyat yang belum dibayar dan nadzar yang belum ditunaikan. Semua itu dapat dikatakan sebagai hutang kepada Allah Swt. Dalam hadits dijelaskan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ... قَالَ فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى. [رواه البخاري].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., … Rasulullah saw bersabda: Hutang kepada Allah lebih utama untuk dibayar.” [HR. al-Bukhari].

  1. Wasiat

Berdasarkan pada firman Allah dalam surah an-Nisa’ (4): 11, sebagai telah disebutkan di atas, maka jika pewaris pernah berwasiat semasa hidupnya, harus dipenuhi terlebih dahulu wasiat yang pernah dibuat itu. Orang yang berhak menerima wasiat  pada dasarnya adalah selain orang yang menerima warisan.  Ahli waris yang menerima warisan dapat menerima wasiat bila semua ahli waris menyetujuinya. Rasulullah saw bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَجُوْزُ وَصِيَّةً لِوَارِثٍ إلاَّ أَنْ يَشَاء الْوَرَثَةُ. [رواه الدرقطنى].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Tidak boleh ada wasiat bagi penerima warisan kecuali semua ahli waris menyetujuinya.” [HR. ad-Daruquthny].

Dari permasalahan pewarisan yang saudara tanyakan, kami melihat ada seorang anak dari saudara laki-laki pewaris yaitu C yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pada A (pewaris). Dalam pandangan jumhur ulama anak C yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari meninggal dunianya A, tidak dapat menerima warisan, karena terhijab (terhalang) oleh saudara-saudara A yang masih hidup. Dengan demikian anak C dapat menerima wasiat dari A yang ketika hidup pernah mewasiatkan sebagian hartanya diberikan kepada anak C. Namun jika menggunakan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan:

1).    Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat diganti oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.[1]

2).    Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Maka anak C (bersama saudara-saudaranya) menjadi ahli waris atau dapat ikut menerima harta waris A. Dengan berdasarkan kepada hadits riwayat ad-Daruquthny di atas, maka anak C tidak berhak menerima wasiat, kecuali semua ahli waris yang lain membolehkannya. Ketentuan ini sejalan dengan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 195 ayat (3), yang menyatakan: Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.

Jika semua ahli waris setuju terhadap wasiat tersebut, maka sebelum harta peninggalan A dibagi kepada para ahli waris, harus ditunaikan wasiat tersebut. Dengan kata lain, harta peninggalan tersebut harus dikurangi dengan wasiat yang diberikan kepada anak C yang diberi wasiat. Besar wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 jumlah harta waris. Oleh karena itu wasiat yang diberikan kepada anak C harus dihitung secara cermat. Jika melebihi dari 1/3 jumlah harta waris, maka hanya maksimal 1/3 yang diberikan kepada anak C penerima wasiat. Berdasarkan hadits:

جَاءَنِى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَيَعُوْدُنِى عَامَ حَجَّةِ اْلوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ اشْتَدَّ بِى فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّى قَدْ بَلَغَ بِى مِنَ اْلوَجَعِ مَا تَرَى وَأَنَا ذُو مَالٍ وَلاَ تَرِثُنِى إِلاَّ ابْنَةٌ أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِى قَالَ لاَ فَقُلْتُ فَالشَّطْرُ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ لاَ فَقُلْتُ فَالثُّلُثُ قَالَ الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ أَوْ كَبِيْرٌ إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءً خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ. [رواه البخارى ومسلم عن سعد بن أبى وقاص].

Artinya: “Rasulullah saw mengunjungi saya pada tahun haji wada’ ketika saya sedang sakit keras. Saya bertanya: Wahai Rasulullah, saya dalam keadaan sakit keras. Bagaimana pendapat anda. Saya kaya dengan harta; tidak ada yang mewarisi harta saya kecuali seorang anak perempuan. Bolehkah saya menshadaqahkan (mewasiatkan) 2/3 hartaku? Beliau menjawab: Jangan. Kemudian saya bertanya lagi: Bagaimana kalau ½ nya wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Jangan. Lalu saya bertanya lagi: Bagaimana kalau 1/3 nya? Rasulullah saw menjawab: Ya 1/3; dan 1/3 itu sudah banyak atau sudah besar. Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli waris yang berkecukupan lebih baik dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan kekurangan yang meminta-minta kepada orang lain.” [HR. al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Sa'd bin Abi Waqash].

Apabila wasiat melebihi 1/3 harta waris, diperlukan persetujuan semua ahli waris. Jika ahli waris tidak menyetujui, maka wasiat maksimal hanya 1/3 harta waris. Dalam pasal 195 ayat (2) KHI disebutkan: Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.

Setelah langkah-langkah di atas dilalui, maka tibalah saat pembagian warisan. Perlu kami sebutkan lagi ahli warisnya, yakni terdiri: 1 orang isteri, 1 orang saudara perempuan dan 3 orang saudara laki-laki. Sedangkan harta warisnya ialah harta bawaan A ditambah dengan separoh harta bersama, setelah dikurangi dengan biaya perawatan, wasiat dan hutang.

a.       Isteri (Z), memperoleh  ¼ berdasarkan firman Allah:

وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ. [النسآء (4): 12].

Artinya: “Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak.” [QS. an-Nisa’ (4): 12].

Jadi istri (Z) di samping memiliki harta bawaannya, juga memperoleh separoh harta usaha bersama dan memperoleh seperempat dari harta waris.

b.      Selebihnya harta waris tersebut dibagikan kepada 1 orang saudara perempuan dan 3 orang saudara laki-laki dengan ketentuan, bagian seorang saudara laki-laki dua kali  bagian saudara perempuan, berdasarkan firman Allah:

وَإِنْ كَانُوْا إِخْوَةٌ رِجَالاً وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ. [النسآء (4): 176].

Artinya:“Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri) saudara laki-laki dan perempuan, maka bahagian seorang laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan.” [QS. an-Nisa’ (4): 176].

Dengan cara sederhana dapat diperhitungkan, sebagai berikut:

1 orang saudara  perempuan mendapat: 1 x 1 bagian= 1 bagian

3 orang saudara laki-laki mendapat: 3 x 2 bagian       = 6 bagian

Jumlah                                                                         = 7 bagian

Jadi dalam pembagian ini:

B (saudara perempuan) mendapat 1/7 bagian, C (saudara laki-laki) mendapat 2/7 bagian, D (saudara laki-laki) mendapat 2/7 bagian dan E (saudara laki-laki) mendapat 2/7 bagian.

Untuk selanjutnya bagian C dibagikan kepada anak-anaknya yang masih hidup, juga dengan ketentuan bagian anak laki-laki memperoleh bagian dua kali bagian anak perempuan, berdasarkan firman Allah:

يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِى أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ. [النسآء (4): 11].

Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu; bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.” [QS. an-Nisa’ (4): 11].

Berdasarkan ketentuan ayat tersebut, dapat diperhitungkan sebagai berikut:

      2 orang anak perempuan mendapat: 2 x 1 bagian       = 2 bagian

3 orang anak laki-laki mendapat: 3 x 2 bagian            = 6 bagian

Jumlah                                                                         = 8 bagian

Jadi setiap anak perempuan mendapat 1/8 bagian dan setiap anak laki-laki mendapat bagian 2/8 dari bagian harta waris A yang diberikan kepada C.

    

2.      Melakukan kerukunan dalam pembagian harta waris dalam Hukum Islam disebut dengan tashaluh (perdamaian) atau takharuj (sebagaian ahli waris dengan sukarela keluar dari penerimaan harta waris baik untuk seluruh atau sebagian). Menurut Hukum Islam, pada dasarnya seorang pemilik harta dapat mentasharufkan atau menggunakan harta miliknya sekehendak si pemilik sepanjang tidak dilarang oleh Syara’ (Agama). Atas dasar itu orang yang memperoleh bagian harta waris dapat untuk merelakan harta waris yang diterima itu untuk diberikan kepada ahli waris yang lain, baik seluruh atau sebagian baik dengan imbalan atau tidak. Dalam sejarah pernah terjadi pada diri seorang sahabat, yang kejadiannya sebagai berikut:

أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ تُمَاضِرَ بنت الأِصْبَغِ اْلكَلْبِيَّةِ فِى مَرَضِ مَوْتِهِ ثُمَّ مَاتَ وَهِيَ فِى اْلعِدَّةِ فَوَرَّثَهَا عُثْمَانُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَعَ ثَلاَثِ نِسْوَتِهِ آخَرُ فَصَالِحُوْهَا عَنْ رُبُعِ ثُمُنِهَا عَلَى ثَلاَثَةِ وَثَمَانِيْنَ أَلْفًا وَقِيْلَ هِيَ دَنَانِيْرُ وَقِيْلَ هِيَ دَرَاهِيْمُ. [محمد يوسف موسى، التركة والميراث, الصفحة 375].

Artinya: “Abdur Rahman Ibn ‘Auf di saat sakit yang membawa kematiannya, mentalak isterinya yang bernama Tumadhir Binti al-Ishbagh al-Kalbiyah; setelah itu ia meninggal dunia, di saat isterinya masih dalam masa ‘iddah. Kemudian ‘Utsman ra memberikan warisan kepadanya beserta tiga isterinya yang lain. Lalu mereka berdamai sepertigapuluhduanya diganti dengan pembayaran delapan puluh tiga ribu. Ada yang mengatakan dinar ada pula yang mengatakan dirham.” [Muhammad Yusuf Musa, at-Tirkah wal-Mirats, halaman 375].

Pembagian harta warisan dengan tashaluh ini, dilakukan setelah masing-masing ahli waris  mengetahui bagiannya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan pembagian harta waris menurut Hukum Islam. Dalam Pasal 183 KHI ditegaskan: Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.

 

3.      Pada dasarnya Islam mengajarkan bahwa amal seseorang dinilai sebagai amal shalih, apabila dilakukan oleh dirinya sendiri, bukan oleh orang lain. Dalam al-Qur’an disebutkan:

... لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ... [البقرة (2): 286].

Artinya: “… ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya, dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya …”. [QS. al-Baqarah (2): 286].

فَاْليَوْمَ لاَ تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَلاَ تُجْزَوْنَ إِلاَّ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ. [يـس (36): 54].

Artinya: “… Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun, dan kamu tidak dibalas kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan.” [QS. Yasin (36): 54].

أَلاَّ تَزِرُ وَازِرَةُ وِزْرَ أُخْرَى. وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى. [النجم (53): 38-39].

Artinya: “(yaitu) bahwasanya seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seseorang manusia tidak memperoleh sesuatu selain dari apa yang telah diusahakannya.” [QS. an-Najm (53): 38-39].

Ketentuan umun tersebut dapat berlaku lain, apabila ada dalil yang menunjukkannya. Dalam hal ini, antara lain diterangkan dalam hadits:

عَنِ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. [رواه مسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw bersabda: Apabila keturunan Adam meninggal dunia, terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya.” [HR. Muslim]. 

Ada pula hadits yang mengajarkan bahwa anak dibolehkan bershadaqah atas nama orang tuanya, yang pahalanya akan dinikmati oleh pewaris juga.

عَنِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّى افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ لَهَا مِنْ أَجْرٍ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ. [متفق عليه].

Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra., ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw: Bahwa ibuku meninggal dunia secara mendadak. Saya kira, andaikata ia sempat berbicara, niscaya ia akan bershadaqah. Apakah ada pahala baginya, jika saya bershadaqah atas namanya? Beliau menjawab: Ya.” [Muttafaq ‘Alaih].

Hadits-hadits Nabi saw mengenai amal anak atas nama orang tua itu merupakan perkecualian dari ketentuan umum tersebut di atas. Dengan demikian, dibolehkan ahli waris menyisihkan sebagian harta warisan dengan maksud untuk shadaqah jariyah atas nama pewaris misalnya untuk membantu pembangunan masjid, rumah sekolah, rumah sakit, pembuatan jalan umum, saluran air dan sebagainya, tetapi bukan hanya untuk sedekahan yang berupa makan minum untuk jamuan tamu-tamu yang datang berta’ziyah, untuk jamuan selamatan tiga hari, tujuh hari dan sebagainya bagi mereka yang datang dalam upacara-upacara kematian yang memang tidak diajarkan. (Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, halaman 66-67). *dw)

     



[1]   Pasal 173:

Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan keputusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan   hukum yang tetap, dihukum karena:

a.       dipersalahkan telah membunuh atau menganiaya berat pada pewaris;

b.       dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu  kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

 

HUKUM TAQLID, DOA IFTITAH DAN SHALAWAT KHUTBAH JUM'AT(3)

 

Penanya:

Nyakmat, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Kauman,

Pisang, Labuhan Haji, NAD

(disidangkan pada tanggal 13 Januari 2006)

 

Pertanyaan:

1.      Pengertian taqlid, hukumnya serta beramal dengan taqlid

2.      Apa benar orang yang selama hidupnya terus menerus membaca doa iftitah “Allahumma baa‘id …” dianggap taqlid?

3.      Kenapa bacaan shalawat dalam khutbah Jum‘at yang dimuat pada Majalah Suara Muhammadiyah tidak sama dengan bacaan shalawat yang tertulis dalam HPT?

 

Jawaban:

1.      Tentang Taqlid

a.       Pengertian Taqlid

Kata “Taqlid” adalah kata dalam bahasa Arab, yang berasal dari kata تَقْلِيْدٌ (taqlid), yaitu: قَلَّدَ (qallada), يُقَلِّْدُ (yuqallidu), تَقْلِيْدًا (taqliidan). Artinya bermacam-macam tergantung kepada letak dan pemakaiannya dalam kalimat. Adakalanya kata “taqlid” berarti “menghiasi”, “meniru”, “menyerahkan”, “mengikuti” dan sebagainya.

Para ulama Ushul mendefinisikan taqlid: “menerima perkataan (pendapat) orang, padahal engkau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar perkataan (pendapat) itu”. Para ulama yang lain seperti al-Ghazali, asy-Syaukani, ash-Shan‘ani dan ulama yang lain juga membuat definisi taqlid, namun isi dan maksudnya sama dengan definisi yang dibuat oleh ulama Ushul, sekalipun kalimatnya berbeda. Demikian pula dengan definisi yang dibuat oleh Muhammad Rasyid Ridla dalam Tafsir al-Manar, yaitu: “mengikuti pendapat orang-orang yang dianggap terhormat atau orang yang dipercayai tentang suatu hukum agama Islam tanpa meneliti lebih dahulu benar salahnya, baik buruknya serta manfaat atau mudlarat dari hukum itu”.

Dalam menjalani dan menempuh kehidupan dunia ini Allah Swt memberikan petunjuk kepada manusia yang termuat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Orang yang mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya adalah orang-orang yang beriman, sedang orang yang tidak mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya adalah orang-orang yang kafir. Allah Swt berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِيْعُوْا اللهَ وَأَطِيْعُوْا الرَّسُولَ وَلاَ تُبْطِلُوْا أَعْمَالَكُمْ. [محمد (47): 33].

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ta'atlah kepada Allah dan ta'atlah kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” [Muhammad (47): 33].

قُلْ أَطِيْعُوْا اللهَ وَأَطِيْعُوْا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِيْنَ. [آل عمران (3): 32].

Artinya: “Katakanlah: Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” [Ali 'Imran (3): 32].

وَأَطِيْعُوْا اللهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. [الأنفال (8): 1].

Artinya: “… dan ta'atlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.” [al-Anfal (8): 1].

Taat kepada Allah ialah mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya yang termuat dalam al-Qur’an dan taat kepada Rasul-Nya ialah mengikuti petunjuk Nabi Muhammad saw, berupa perkataan, perbuatan dan taqrirnya yang diyakini berasal dari beliau, yang disebut “Sunnah Maqbulah”. Kenapa Majelis Tarjih dan Tajdid menggunakan “sunnah maqbulah”?

Sebagaimana diketahui bahwa perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi Muhammad saw (as-Sunnah), baru ditulis dan dibukukan setelah lebih dari seratus tahun beliau meninggal dunia. Selama seratus tahun lebih itu as-Sunnah berada dalam hafalan kaum muslimin yaitu para sahabat, tabi‘in, tabi‘it tabi‘in dan atba‘ at-tabi‘it tabi‘in. As-Sunnah yang dihafal oleh sahabat disampaikan kepada tabi‘in dan mereka menghafalnya, demikian pula para tabi‘in menyampaikan kepada tabi‘it tabi‘in, kemudian kepada atba‘ at-tabi‘it tabi‘in dan yang terakhir diterima oleh para perawi hadits dan membukukannya. Para perawi itu sebelum membukukannya meneliti setiap para penyampai dan penerima as-Sunnah itu. Setelah diteliti ternyata ada para penyampai dan penerima as-Sunnah itu yang dapat dipercaya dan ada yang tidak dapat dipercaya, ada yang kuat atau baik hafalannya dan ada pula yang lemah dan sebagainya. Lalu para perawi membuat ranking as-Sunnah, sehingga as-Sunnah itu bertingkat-tingkat, ada yang shahih, ada yang hasan, ada yang dla‘if dan sebagainya. Pada umumnya para ulama tidak menerima sunnah yang dla‘if (lemah), kecuali asy-Syafi‘i yang menggunakannya untuk fadla’ilul a‘mal (amalan-amalan utama). Majelis Tarjih dan Tajdid pada umumnya menerima as-Sunnah yang shahih dan hasan dengan syarat tidak berlawanan dengan nash (al-Qur’an dan as-Sunnah) yang lebih kuat daripadanya. As-Sunnah yang seperti ini disebut “sunnah maqbulah”.

Berdasarkan uraian di atas maka taqlid menurut Majelis Tarjih dan Tajdid ialah: “mengikuti perkataan atau pendapat orang (seperti ulama, syekh, kiyai atau pemimpin) tentang suatu hukum Islam tanpa meneliti lebih dahulu apakah perkataan atau pendapat itu ada dasarnya atau tidak dalam al-Qur’an dan sunnah maqbulah”. Jika ada dasarnya maka perkataan dan pendapat itu dapat diterima dan diamalkan, sebaliknya jika tidak ada dasarnya, sedang yang mengatakan atau yang berpendapat tetap mengatakan bahwa itu adalah ajaran Islam, maka pendapat yang demikian termasuk bid‘ah. Orang yang berbuat bid‘ah adalah orang yang telah menyediakan semasa ia hidup tempat duduk dalam neraka nanti. Hal ini berdasarkan:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ. [رواه البخاري ومسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi saw beliau bersabda: Barangsiapa yang berdusta atasku, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya dalam neraka.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Pada saat ini banyak terdapat di Indonesia perguruan Tinggi Islam, baik pemerintah maupun swasta, seperti UIN, STAIN dan sebagainya, sehingga tidaklah sukar untuk menentukan apakah pendapat seseorang itu ada dasarnya atau tidak ada dasarnya, dengan mengadakan pembahasan mendalam pada suatu seminar atau diskusi. Dengan demikian taqlid dan bid‘ah itu semakin berkurang terdapat dalam nasyarakat Islam. Demikian pula para ustadz, para kiyai, para da‘i hendaknya menyampaikan kepada masyarakat yang berhubungan dengan ajaran Islam, yang benar-benar ada dasarnya.

b.      Hukum Taqlid

Dari ayat al-Qur’an dan Sunnah Maqbulah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa taqlid itu tercela hukumnya. Bagi orang yang belum tahu apa-apa tentang ajaran Islam, dan kaum muslimin yang belum sanggup mencari dasar suatu hukum yang disampaikan kepadanya, maka hal itu bukanlah taqlid, dan hendaklah ia menanyakan kepada orang yang lebih tahu.

 

2.      Tentang hukum membaca doa Iftitah: “Allahumma baa‘id …

Sampai saat ini Majelis Tarjih dan Tajdid belum menemukan ayat al-Qur’an atau Sunnah Maqbulah yang menyatakan bahwa orang yang terus membaca “Allahumma baa‘id …” dalam selama hidupnya dianggap telah melakukan bid’ah. Karena itu mungkin sebaliknya bahwa orang yang mengatakan demikianlah yang telah berbuat bid’ah. Menurut hasil penelitian kami bahwa ada dua macam doa iftitah yang diajarkan Rasulullah saw yang dibaca setelah takbiratul ihram pada setiap mengerjakan shalat, dengan arti bahwa salah satu dari dua doa iftitah itu boleh dibaca dalam shalat. Kedua doa itu ialah “Allahumma baa‘id …” dan “Wajjahtu wajhiya …”.

Doa iftitah “Allahumma baa‘id …” berdasarkan:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَبَّرَ فِي الصَّلاَةِ سَكَتَ هُنَيْمَةً قَبْلَ يَقْرَأُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ بِأَبِى أَنْتَ وَأُمِّى أَرَأَيْتَ سُكُوْتَكَ بَيْنَ التَّكْبِيْرِ وَالقِرَاءَةِ مَا تَقُوْلُ قَالَ أَقُوْلُ اللَهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِى وَبَيْنَ خَطَايَاىَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ اللَهُمَّ نَقِّنِى مِنَ اْلخَطَايَا كَمَا يُنَقِّى الثَّوبُ الاَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اللَهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَاىَ بِالمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ. [رواه البخارى ومسلم وأصحاب السنن إلا الترمذى].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, adalah Rasulullah saw setelah mengucapkan takbiratul ihram dalam shalat diam sebentar sebelum membaca al-Fatihah. Lalu aku bertanya: Ya Rasulullah, Demi bapakku, engkau dan ibuku, apa yang engkau baca ketika engkau diam antara takbiratul ihram dan membaca al-Fatihah? Rasulullah saw menjawab: Aku membaca:

اللَهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِى وَبَيْنَ خَطَايَاىَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ اللَهُمَّ نَقِّنِى مِنَ اْلخَطَايَا كَمَا يُنَقِّى الثَّوبُ الاَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اللَهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَاىَ بِالمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ.

Artinya: Ya Allah, jauhkanlah antaraku dan antara segala kesalahanku sebagaimana Kau telah jauhkan antara Timur dan Barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan sebagaimana dibersihkannya pakaian putih dari kotoran. Ya Allah, cucilah segala kesalahanku dengan air, salju dan air hujan beku.” [HR. al-Bukhari, Muslim dan penyusun Kitab-kitab Sunan kecuali at-Tirmudzi].

Doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …” berdasarkan:

عَنْ عَلِيٍّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ كَبَّرَ ثُمَّ قَالَ وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَ الاَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا اَنَا مِنَ المُشْرَكِيْن اِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى ِللهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَبِذَالِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا مِنَ المُسْلِمِيْنَ اللَهُمَّ اَنْتَ المَلِكُ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ اَنْتَ رَبِّى وَاَنَا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِى وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِى فَاغْفِرْلِى ذُنُوبِى جَمِيْعًا لاَيَغْفِرُ الذَُنُوبَ اِلاَّ اَنْتَ وَاهْدِنِى لِاَحْسَنِ اْلأَخْلاَقِ لاَيَهْدِى لِاَحْسَنِهَا اِلاَّ اَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا اِلاَّ اَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيكَ وَالخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ اِلَيْكَ اَنَا بِكَ وَاِلَيكَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ اَسْتَغْفِرُكَ وَاَتَوبُ اِلَيكَ. [رواه أحمد ومسلم والترمذى وأبو داود وغيرهم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ali, ia berkata: Rasulullah saw apabila berdiri untuk shalat lalu bertakbiratul ihram, kemudian mengucapkan:

وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَ الاَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا اَنَا مِنَ المُشْرَكِيْن اِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى ِللهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَبِذَالِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا مِنَ المُسْلِمِيْنَ اللَهُمَّ اَنْتَ المَلِكُ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ اَنْتَ رَبِّى وَاَنَا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِى وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِى فَاغْفِرْلِى ذُنُوبِى جَمِيْعًا لاَيَغْفِرُ الذَُنُوبَ اِلاَّ اَنْتَ وَاهْدِنِى لِاَحْسَنِ اْلأَخْلاَقِ لاَيَهْدِى لِاَحْسَنِهَا اِلاَّ اَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا اِلاَّ اَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيكَ وَالخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ اِلَيْكَ اَنَا بِكَ وَاِلَيكَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ اَسْتَغْفِرُكَ وَاَتَوبُ اِلَيكَ.

Artinya: Aku hadapkan wajahku kepada Yang menciptakan langit dan bumi dengan tunduk dan menyerahkan diri dan tiadalah aku termasuk golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku untuk Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan sebab demikian itu aku diperintah dan aku termasuk orang-orang yang menyerahkan diri (kepada-Nya). Wahai Allah, hanya Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau, hanya Engkau Tuhanku sedang aku adalah hamba-Mu, aku telah menganiaya diriku sendiri dan aku akui dosa-dosaku, karena itu ampunilah seluruh dosaku, sesungguhnya hanya Engkau sajalah yang mengampuni dosa, bimbinglah aku kepada akhlaq yang baik, hanya Engkaulah yang dapat membimbingku kepada akhlaq yang baik, jauhkanlah aku dari akhlaq yang buruk dan hanya Engkaulah yang dapat menjauhkan aku dari akhlaq yang buruk itu. Aku penuhi panggilan-Mu dan aku gembira dengan memenuhi perintah-Mu, semua kebaikan berada dalam kekuasaan-Mu, sedangkan kejahatan itu tidak dapat (mendekatkan diri) kepada Engkau, aku hanya dapat hidup dengan-Mu dan hanya akan kembali kepada-Mu. Maha Berkah Engkau dan Maha Tinggi, aku mohon ampun kepada Engkau dan aku mohon taubat kepada Engkau” [HR. Ahmad, Muslim, at-Tirmudzi, Abu Dawud dan lain-lain].

Sekalipun kedua doa iftitah itu boleh dibaca salah satunya dalam shalat, namun ada yang perlu direnungkan dan dipertimbangkan dalam mengamalkannya, yaitu:

a.       Dasar dari kedua doa iftitah itu adalah Sunnah Maqbulah, karenanya Majelis Tarjih dan Tajdid memberikan kewenangan kepada kaum muslimin untuk memilih doa mana yang akan mereka baca, atau mereka boleh membaca keduanya secara bergantian.

b.      Doa iftitah “Allahumma baa‘id …” lebih pendek dibanding doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …”. Doa iftitah “Allahumma baa‘id …” dimulai dengan kalimat “Allahumma baa‘id ” dan diakhiri dengan “bil-ma'i wats-tsalji wal-barad”, sedang doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …” dimulai dengan kalimat “Wajjahtu wajhiya” dan diakhiri dengan kalimat “astaghfiruka wa atuubu ilaik”.

c.       Jika ingin mengikuti sunnah Rasulullah saw, tentu kita harus membaca doa iftitah itu secara lengkap, tidak setengah-setengah.

d.      Sekalipun kedua doa iftitah itu berdasarkan Sunnah Maqbulah, jika ditinjau dari segi perawi, maka doa iftitah “Allahumma baa‘id …” lebih kuat daripada doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …”, karena doa iftitah “Allahumma baa‘id …” diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Majah, sedangkan doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …” diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, at-Tirmudzi, Abu Dawud dan yang lain.

Selanjutnya kami serahkan kepada penanya untuk menetapkan pendapatnya berdasarkan keterangan di atas.

 

3.      Tentang bacaan shalawat dalam Khutbah Shalat Jum’at

Allah Swt menyuruh kaum muslimin agar selalu membaca shalawat untuk Nabi Muhammad saw agar beliau selalu diberi rahmat oleh Allah Swt, berdasarkan firman-Nya:

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوأ عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيْمًا. [الأحزاب (33): 56].

Artinya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [QS. al-Ahzab (33): 56].

Perintah yang terkandung pada ayat di atas adalah umum, dengan arti tidak diterangkan kapan membacanya, apa lafadznya. Karena itu kaum muslimin membacanya kapan mereka inginkan dan mengutamakan membacanya dalam melaksanakan ibadah, seperti dalam khutbah Jum’at. Demikian pula halnya dengan lafadz yang akan dibaca, kaum muslimin ada yang menyusunnya sendiri, namun isi dari lafadz itu hendaklah memanjatkan doa untuk Rasulullah sebagaimana yang dimaksud oleh ayat di atas.

Mengenai bacaan shalawat dalam shalat memang Rasulullah saw memberikan tuntunannya, berdasarkan hadits:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى لَيْلَى قَالَ لَقِبَنِي كَعْبُ بْنُ عُجْرَةَ فَقَالَ أَلاَ أُهْدِى لَكَ هَدِيَّةً سَمِعْتُهَا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ بَلَى فَأَهْدِهَا لِى فَقَالَ سَأَلْنَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ الصَّلاَةُ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْبَيْتِ فَإِنَّ اللهَ قَدْ عَلَّمَنَا كَيْفَ نُسَلِّمُ عَلَيْكُمْ قَالَ قُوْلُوْا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى اِبْرَاهِيمَ وَ عَلَى آلِ اِبْرَاهِيمَ اِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى اِبْرَاهِيمَ اِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ. [رواه البخارى ومسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi Laila, ia berkata: Aku bertemu dengan Ka’ab bin ‘Ujrah, ia berkata: Maukah engkau aku beri hadiah yang aku dengar dari Nabi saw? Aku berkata: Baiklah, berikanlah kepadaku. Maka ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah saw: Ya Rasulullah, bagaimana bacaan shalawat atasmu Ahlul Bait? Maka sesungguhnya Allah telah mengajarkan kepada kami bagaimana mengucapkan salam atasmu. Beliau berkata: Katakanlah:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى اِبْرَاهِيمَ وَ عَلَى آلِ اِبْرَاهِيمَ اِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى اِبْرَاهِيمَ اِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.

Artinya: Ya Allah, limpahkanlah rahmat-Mu atas Muhammad dan atas keluarganya, sebagaimana Engkau telah melimpahkan rahmat atas Ibrahim dan atas keluarganya. Sungguh Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah limpahkanlah berkah-Mu atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad sebagaimana yang telah Engkau limpahkan atas Ibrahim dan keluarganya, sungguh Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Pada sunnah maqbulah yang lain, setelah kalimat “wa ‘alaa aali Ibraahiim” tidak terdapat kalimat “innaka hamiidun majiid”, langsung disebut kalimat “Allaahumma baarik ‘alaa Muhammad …” sampai akhir. Hal ini berarti kedua lafadz shalawat itu boleh dibaca dalam shalat.

Tentu saja membaca shalawat atas Nabi saw di luar shalat seperti yang telah diajarkannya itu adalah lebih baik, sedang bacaan shalawat dalam khutbah Jum’at tidak diharuskan seperti bacaan shalawat dalam shalat. Namun yang paling baik dibaca adalah seperti bacaan shalawat dalam shalat.

Wallahu a‘lam bish-shawab. *km)

 

“AL-KA'INAT” DAN “AL-IKHTIYAR”

DALAM HIMPUNAN PUTUSAN TARJIH MUHAMMADIYAH

HALAMAN 12 DAN 19 (4)

 

 

Penanya:

Hisam Salih Salim Basuleman, Wonosobo

Telp. 325428, HP. 081578592200

(disidangkan pada hari Jum’at, 10 Shaffar 1427 H / 10 Maret 2006 M)

 

Pertanyaan:

 

Saya membaca buku yang berjudul: Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah (Muqarrarat Majlis at-Tarjih) yang sudah diperbaiki menurut putusan Muktamar Tarjih di Wiradesa, Pekalongan, yang dikerjakan oleh team/panitia penelitian, yang ditetapkan oleh PP Muhammadiyah dan Majelis Tarjih.

1.      Pada halaman 12 saya membaca tapi kurang paham:

لاَ يُشْبِهُهُ شَيْئٌ مِنَ الْكَائِنَاتِ

Apa yang dimaksudkan dengan al-ka'inat?

2.      Pada halaman 19 terdapat kalimat:

لَيْسَ لِلعِبَادِ إِلاَّ اْلإِخْتِيَارُ

Apa arti al-ikhtiyar?

Saya sangat berterima kasih jika antum dapat menolong saya untuk memahami dari yang tertulis di atas, atau mungkin pertanyaan saya sudah pernah ditanyakan oleh orang lain dan sudah dijawab, mohon saya diberi rujukannya. Jazakumullah khairal-jaza'.

 

Jawaban:

Terima kasih atas pertanyaan saudara, sehingga kami memerlukan membaca ulang Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah. Ternyata kedua pertanyaan saudara belum ditanyakan oleh orang lain. Kami telah berijtihad, dan telah dibahas bersama (ijtihad jama'iy), kalau jawaban ini benar adalah dari Allah SWT, tetapi kalau salah, adalah dari kami.

 

1.      Pertanyaan yang pertama, yaitu makna al-ka'inat, yang terdapat dalam HPT halaman 12.

Kata al-ka'inat adalah bentuk jamak dari kata al-ka'inah, yang berarti segala yang ada atau semua makhluk Allah SWT.

Maka yang dimaksudkan dengan pernyataan: لاَ يُشْبِهُهُ شَيْئٌ مِنَ الْكَائِنَاتِ, ialah: tiada suatu pun dari makhluk Allah yang menyamai Allah. Jika dikatakan bahwa Allah mempunyai tangan, maka tangan Allah berbeda dengan tangan manusia atau makhluk lainnya. Jika dia mempunyai wajah, maka wajah Allah berbeda dengan wajah manusia atau makhluk lainnya, dan seterusnya.

 

2.      Pertanyaan kedua, tentang makna al-ikhtiyar, yang terdapat pada halaman 19 HPT.

Kata al-ikhtiyar, berarti pilihan, bentuk masdar dari fi'il madli ikhtara. Kadang-kadang diartikan dengan usaha, sebab biasanya usaha itu dilakukan melalui proses memilih, mana yang lebih baik atau lebih mudah.

Maka yang dimaksudkan dengan pernyataan: لَيْسَ لِلعِبَادِ إِلاَّ اْلإِخْتِيَارُ, ialah: bahwa hamba Allah (manusia) dapat memilih apa yang dikehendakinya (keinginannya) dan berusaha untuk mencapainya, tetapi ketentuan akhir berada di tangan Allah SWT. Artinya, bahwa hanya Allah-lah yang menentukan nasib hamba-Nya. Maka sering terjadi, seseorang sudah berusaha keras agar penyakitnya sembuh, tetapi Allah menentukan yang lain.

 

Wallahu a'lam bish-shawab. *sd)

 

FATWA TENTANG

SHALAT WITIR, LETAK HADITS SHALAT MALAM 4-4 RAKAAT, DAN

HUTANG PUASA DIGANTI DENGAN FIDYAH (5)

 

 

Penanya:

Abu Nahar, Keprabon Tengah I/4a Solo

(disidangkan pada hari Jum’at, 10 Shaffar 1427 H / 10 Maret 2006 M)

 

Pertanyaan:

1.      Benarkah dalil: لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ ? Hal ini terjadi karena perdebatan antara yang berpendapat setelah shalat lail 13 raka’at, nanti malam boleh shalat malam lagi asal tidak witir lagi. Yang lain makmum setelah 8 raka’at pulang meninggalkan imam, sebab nanti malam akan shalat lagi dan witir.

2.      Di mana letak dalam kitab, nomor 10 halaman 347 HPT tentang shalat malam 4, 4 raka’at? Di al-Bukhari dan Muslim, jilid berapa tahun berapa dan nomor berapa?

3.      Isteri saya, Ramadlan yang lalu mempunyai hutang puasa 5 hari. Sekarang sedang hamil 8 bulan. Apakah yang 5 hari belum dilaksanakan boleh dibayar dengan fidyah karena hamil?

 

 

Jawaban:

1.      Dalil yang saudara sebutkan dalam pertanyaan nomor 1, terdapat dalam hadits:

عَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ. [رواه أحمد وأبو داود والترمذى والنسائى].

Artinya: “Diriwayatkan dari Talq Ibn ‘Ali ia berkata: Saya mendengar Nabi saw bersabda: Tidak ada dua witir dalam satu malam.” [HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasai].

At Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan, sedangkan yang lain mengatakan bahwa hadits ini shahih; demikian pula Ibn Hibban mengatakan hadits ini shahih (Asy-Syaukani, Nailul Authar, Juz  III, halaman 55). Selanjutnya dijelaskan bahwa, hadits ini menunjukkan tidak dibolehkan membatalkan shalat witir yang telah dilakukan. Artinya setelah shalat witir seseorang boleh melakukan shalat sunat lagi, yakni dengan melakukan shalat sunat dengan bilangan genap (dua raka’at-dua raka’at), hingga datangnya waktu shubuh. Pendapat ini didasarkan kepada hadits:

عَنْ أَبِى سَلَمَةَ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنْ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كَانَ يُصَلِّى ثَلاَثَ عَشَرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ يُوْتِرُ ثُمَّ يُصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ قَامَ فَرَكَعَ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَاْلإِقَامَةِ مِنْ صَلاَةِ الصُبْحِ. [رواه مسلم]

Artinya:“Diriwayatkan dari Abu Salamah, ia berkata: Saya bertanya kepada ‘Aisyah ra. tentang shalat (malam) Rasulullah saw. Kemudian ‘Aisyah berkata:Beliau saw melakukan shalat 13 raka’at. Beliau shalat 8 raka’at, kemudian witir. Lalu beliau shalat (lagi) dua raka’at dilakukan dengan duduk. Jika beliau akan ruku’ beliau berdiri kemudian ruku’ dan shalat dua raka’at antara adzan dan iqamah di waktu shalat shubuh.” [HR. Muslim].

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الوِتْرِ. [رواه الترمذى وأحمد وابن ماجه وَزَادَ وَهُوَ جَالِسٌ].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ummu Salamah diterangkan bahwa Nabi saw melakukan shalat dua raka’at setelah shalat witir.” [HR. at-Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu Majah. Dalam riwayat beliau ada tambahan bahwa Nabi melakukan shalat tersebut dengan duduk.]

Pendapat ini, dikemukakan oleh kebanyakan ulama, di kalangan para shahabat antara lain: Abu Bakar ash-Shiddiq, ‘Ammar Ibn Yasir, Rafi’ Ibnu  Khudaij. ‘Aid Ibn ‘Amr, Talq Ibnu ‘Ali, Abu Hurairah, Aisyah, Sa’d Ibnu Abi Waqash, Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas. Dari kalangan tabi’in yang berpendapat seperti di atas antara lain: Sa’id Ibnu Musayyab, ‘Alqamah, asy-Sya’bi, Ibrahim an-Nakha’i, Sa’id Ibnu Jubair, Makkhul, al-Hasan al-Bishri dan Thawus. Sedangkan dari kalangan para imam mazhab, antara lain: Sufyan ats-Tsauri, Malik, Ibnu al-Mubarak dan Ahmad (AsySyaukani, Nailul-Authar).  Dalam pada itu ada ulama yang tidak sependapat, dengan mengatakan: jika setelah shalat witir dilakukan shalat dua raka’at-dua raka’at, berarti shalat yang terakhir di waktu malam tidak ganjil bilangan raka’atnya; yang sekaligus  berlawanan  dengan hadits:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْعَلُوأ آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا. [رواه الجماعة إلا ابن ماجه].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar diterangkan bahwa Nabi saw bersabda: Jadikanlah yang terakhir shalatmu di waktu malam shalat witir.” [HR. al-Jama’ah kecuali Ibnu Majah].

Tegasnya pendapat ini menyatakan bahwa shalat witir adalah shalat terakhir di waktu malam. At-Tirmidzi mengatakan pendapat ini didukung oleh sekelompok shahabat.

Menghadapi perbedaan pendapat ini, dengan menggunakan qa’idah tarjih yang dikemukakan oleh kebanyakan ulama, bahwa apabila terjadi pertentangan antara dua dalil, yang satu menetapkan adanya perbuatan yang disyari’akan sedang dalil yang lain menetapkan tidak adanya perbuatan yang disyari’atkan, dikuatkan dalil yang menetapkan adanya perbuatan yang disyari’atkan (Al-Hafnawi, at-Ta’arud wat-Tarjih ‘indal-Ushuliyyin wa Atsaruhuma fi Fiqhil-Islamiy, halaman 360-361), maka kami cenderung kepada pendapat yang pertama.

 

2.      Hadits nomor 10 yang tertera  dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) halaman 347 tentang 4, 4 raka’at dalam shalat tarawih, terdapat dalam Kitab Shahih al-Bukhari, Juz I, 342 – 343, Kitab Shalat Tarawih, terbitan Darul Kitabil Islami, Beirut, tanpa tahun, dengan lafadz:

عَنْ أَبِى سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ يَزِيْدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهَا عَلَى إِحْدَى عَشَرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْئَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمّّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْئَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوْتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةَ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِى.

Artinya:  “Diriwayatkan dari Abu Salamah Ibn ‘Abdul Rahman bahwa ia bertanya kepada ‘Aisyah ra bagaimana shalat Rasulullah saw di bulan Ramadlan. ‘Aisyah menjawab: Baik di bulan Ramadlan ataupun bukan bulan Ramadlan Rasulullah saw melakukan shalat (lail) tidak lebih dari sebelas raka’at. Beliau shalat 4 raka’at; dan jangan ditanyakan tentang baik dan panjangnya shalat yang beliau lakukan. Kemudian shalat lagi 4 raka’at; (demikian pula) jangan ditanyakan tentang baik dan panjangnya shalat yang beliau lakukan. Lalu beliau shalat 3 raka’at. Kemudian saya bertanya: Wahai Rasulullah apakah anda tidur sebelum shalat witir? Beliau menjawab: Wahai ‘Aisyah, dua biji mataku memang tidur, tetapi hatiku tidak tidur.”

Hadits tersebut terdapat dalam Kitab Shahih Muslim Jilid I, Bab Shalat Lail, halaman 329 hadits nomor 125 (738), terbitan Darul Fikri, Beirut, tahun 1414/1993. Hanya saja lafadznya agak sedikit berbeda yakni:

عَنْ أَبِى سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى رَمَضَانَ قَالَتْ مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيْدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهَا عَلَى إِحْدَى عَشَرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمّّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا فَقَالَتْ عَائِشَةَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوْتِرَ فَقَالَ يَا عَائِشَةَ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِى.

Jika diamati hadits yang dikutip dalam HPT, kemudian dibandingkan dengan hadits yang terdapat dalam dua kitab sebagaimana yang telah ditulis di atas, dapat dikatakan bahwa lafadz hadits yang terdapat dalam HPT menggunakan lafadz Muslim, hanya saja tidak lengkap, yakni dalam HPT tidak ditulis lafadz:

فَقَالَتْ عَائِشَةَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوْتِرَ فَقَالَ يَا عَائِشَةَ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِى.

 

3.      Halangan yang menjadikan seseorang tidak boleh  atau  tidak dapat melaksanakan puasa di bulan Ramadlan dimungkinkan karena berbagai sebab. Di kalangan wanita antara lain disebabkan karena menstruasi dan dapat juga disebabkan karena kehamilan. Bagi wanita yang sedang haidl (menstruasi) tidak boleh melaksanakan ibadah puasa. Wanita baru dibenarkan menjalankan ibadah puasa setelah bersih dari menstruasinya. Ia diwajibkan mengganti (qadla’) setelah bulan Ramadlan di saat dalam keadaan suci. Dalam hadits dijelaskan:

كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ. [رواه مسلم عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا].

Artinya: “Adalah kami mengalami demikian (haidl), kami diperintahkan mengqadla’   puasa dan tidak diperintah mengqadla shalat.” [HR. Muslim dari ‘Aisyah ra.].

Bagi wanita yang hamil, yang karena lemah kondisi fisiknya, sehingga menjadi sangat berat untuk menjalankan puasa, maka dibolehkan tidak berpuasa pada bulan Ramadlan. Orang yang karena kondisi tertentu, sehingga menjadikan tidak mampu berpuasa pada bulan Ramadlan, diwajibkan membayar fidyah. Dalam al-Qur’an disebutkan:

وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ. [البقرة (2): 184]

Artinya:  “… Dan wajib orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin…” [QS. al-Baqarah (2): 184]. 

Dalam hadits disebutkan:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ اْلكَعْبِى أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ اْلمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ اْلمُرْضِعِ الصَّوْمَ. [رواه الخمسة]

Artinya: “Diriwayatkan dari Anas Ibn Malik al-Ka’bi diterangkan bahwa Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah Yang Maha Besar dan Maha Mulia telah membebaskan puasa dan separoh shalat bagi orang yang bepergian serta membebaskan puasa bagi orang hamil dan menyusui.” [HR. al-Khamsah].

Dijelaskan oleh Ibnu ‘Abbas:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ) قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ وَاْلمَرْأَةِ الْكَبِيْرَةِ وَهُمَا يُطِيْقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَا كَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَالحبلى وَاْلمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا. [رواه أبو داود].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas (ketika menjelaskan) وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِوْقُوْنَ ...[Dan wajib orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)], berkata: Yang demikian itu merupakan keringanan bagi orang laki-laki dan perempuan  yang sudah sangat tua. Mereka adalah orang yang sangat berat  berpuasa, oleh karenanya kepada mereka boleh tidak berpuasa, sebagai gantinya memberi makan apa yang biasa dimakan kepada orang miskin per harinya. Hal ini berlaku pula bagi wanita  hamil dan  menyusui, jika keduanya merasa takut.” [HR. Abu Dawud].

Dikatakan pula oleh Ibnu ‘Abbas:

أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِى يُطِيْقُهُ فَعَلَيْكِ الْفِدَاءُ وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْكِ. [رواه البزار وصححه الدارقطنى].

Artinya: “Kamu (perempuan hamil atau menyusui) termasuk orang yang sangat berat berpuasa, maka kepadamu wajib membayar fidyah dan tidak diwajibkan mengqadla’.” [HR. al-Bazzar dan dishahihkan oleh ad-Daruquthni].

Dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ketentuan hukum pengganti berpuasa bagi wanita haidl (menstruasi) dengan wanita hamil tidak sama, sehingga tidak dapat disatukan. Yakni pengganti tidak berpuasa karena hamil dilakukan dengan membayar fidyah; sedangkan pengganti tidak berpuasa karena haidl (menstruasi) tetap harus mengqadla puasa yang ditinggalkan.

Wallahu a’lam bishshawab. *dw)

 

 

HUKUM PEMAKAIAN SAJADAH DI MASJID

DAN HUKUM MENYIMPAN UANG KAS MUHAMMADIYAH DI BANK (BNI) (6)

 

 

Penanya:

H. Tamrin Harahap dan Aziz Harahap, Ketua dan Sekretaris PRM Sibaruang

(disidangkan pada hari Jum’at, 24 Shaffar 1427 H / 24 Maret 2006 M)

 

Pertanyaan:

1.      Bagaimana hukumnya pemakaian sajadah (tempat shalat) di masjid?

2.      Bagaimana hukumnya menyimpan uang kas Muhammadiyah di bank (BNI)?

 

Jawaban:

1.      Untuk menjawab pertanyaan yang pertama, kami kemukakan beberapa hadits sebagai berikut:

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: إِنَّ أَبَا سَعِيْدٍ دَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَهُ يُصَلِّى عَلَى حَصِيْرٍ. [رواه مسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir ra., ia berkata: Bahwa Abu Sa‘id masuk ke rumah Rasulullah saw, mendapatkan (melihat) beliau sedang shalat di atas tikar dan bersujud padanya.” [HR. Muslim].

عَنْ مَيْمُوْنَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى عَلَى اْلخُمْرَةِ. [رواه الجماعة إلا الترمذى].

Artinya: “Diriwayatkan dari Maimunah ra., ia berkata: Bahwa Rasulullah saw shalat di atas hamparan yang dibuat dari anyaman pelepah kurma.” [HR. al-Jama‘ah kecuali at-Tirmidzi].

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ يُخَالِطُنَا حَتَّى كَانَ يَقُولُ لِأَخِ لِى صَغِيْرٍ يَا أَبَا عُمَيْرَ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ فَقَالَ وَنُضِحَ بِسَاطٌ لَنَا فَصَلَّى عَلَيْهِ. [رواه الترمذى].

Artinya: “Diriwayatkan dari Anas Ibn Malik ra., ia berkata bahwa Rasulullah saw selalu bersama kami, sehingga pada suatu saat beliau berkata kepada adikku yang masih kecil; Wahai Abu ‘Umair, apa yang dilakukan oleh anak burung serindit? Anas berkata: Disiramlah hamparan permadani itu, kemudian beliau shalat di atasnya.” [HR. at-Tirmidzi].

Memperhatikan hadits-hadits yang ditulis di atas, kami berpendapat bahwa dibenarkan shalat di atas sajadah atau alas lain, sepanjang suci; baik untuk shalat di rumah maupun untuk shalat di masjid.

 

 

2.      Perlu diketahui bahwa pada saat ini BNI ada dua macam, yakni BNI konvensional yang dalam praktik perbankan menggunakan sistem bunga; dan BNI syariah yang dalam praktik perbankannya menggunakan sistem bagi hasil (mudlarabah). Boleh jadi yang saudara tanyakan atau dimaksudkan dalam pertanyaan tersebut adalah BNI konvensional. Terhadap penggunaan bank milik Pemerintah yang konvensional ini, dalam Muktamar Majelis Tarjih 1968 di Sidoarjo Jawa Timur, - dan sampai saat ini belum ada perubahan,- diputuskan: Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat. Kata musytabihat dalam pengertian bahasa ialah perkara (sesuatu) yang tidak jelas. Adapun menurut pengertian Syara’ ialah sebagaimana yang tersimpul dalam Hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Nu'man Ibn Basyir yang kesimpulannya sebagai berikut: Bahwasanya yang halal sudah jelas, demikian pula yang haram, yaitu telah dijelaskan oleh al-Qur’an maupun al-Hadits dengan nash-nash sharihnya. Misalnya, daging kambing halal dimakan dan daging babi haram dimakan. Selain yang telah ditentukan hukumnya dengan jelas itu, terdapat beberapa hal yang hukumnya tidak jelas bagi seseorang atau beberapa orang, apakah itu halal atau haram, sehingga dari mereka timbul ragu-ragu dan tidak dapat menentukan salah satu di antara dua macam hukum itu. Perkara yang masih meragukan dan tidak jelas hukumnya inilah yang disebut musytabihat.

Terhadap hal yang masih musytabihat atau masih diragukan hukumnya, Nabi Muhammad saw telah menganjurkan agar kita berlaku hati-hati dengan menghindari atau menjauhinya demi untuk menjaga kemurnian jiwa dalam pengabdian kita kepada Allah Swt. Hal ini dikecualikan manakala dalam rangka menjaga kemaslahatan kehidupan baik dalam urusan keduniaan maupun urusan keakhiratan tidak ada jalan lain atau nyaris tidak mungkin untuk dihindari, seperti di suatu daerah yang tidak atau belum ada lembaga keuangan seperti bank yang beroperasi dengan menggunakan sistem syariah. Namun pada saat ini lembaga keuangan syariah sudah berdiri di berbagai tempat, seperti BNI juga telah membuka kantor cabang BNI Syariah di berbagai daerah. Selain itu, di berbagai dareah juga telah berdiri Baitul Mal wat Tamwil (BMT).

Dengan memperhatikan keterangan di atas, hendaknya dana milik Muhammadiyah disimpan di lembaga keuangan yang beroperasi dengan menggunakan sistem syariah, misalnya BNI Syariah. Jika demikian, dana milik Muhammadiyah yang telah terlanjur disimpan di BNI konvensional dapat dipindahkan ke BNI Syariah yang terdekat yang telah ada, atau di lembaga keuangan syariah yang lain. Jika memang di daerah saudara belum ada lembaga keuangan syariah, maka tentunya masih dibolehkan menggunakan Bank konvensional milik Pemerintah, mengingat sebuah hadits:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. [رواه أحمد وابن ماجه].

Artinya: “Tidak boleh membuat kemadlaratan pada diri sendiri dan tidak boleh membuat kemadlaratan pada orang lain.” [HR. Ahmad dan Ibnu Majah].

 

Dan kaidah ushul fiqh:

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ اْلمَحْضُوْرَاتِ

Artinya: “Kemadlaratan-kemadlaratan itu membolehkan larangan-larangan

 

Wallahu a’lam bishshawab. *dw)

 

SHALAT IFTITAH, JADWAL WAKTU SHALAT, SAHUR DAN BERBUKA,

SALAM DALAM SHALAT, ADZAN SUBUH TANPA TATSWIB DAN

MENGAKHIRI KHUTBAH DENGAN SALAM (7)

 

 

Penanya:

H. Daming, NBM. 788.866 di Makasar

(disidangkan pada hari Jum’at, 10 Shaffar 1427 H / 10 Maret 2006 M)

 

 

Pertanyaan:

 

Setelah membaca surat saudara yang cukup panjang, kiranya dapat kami ringkas dalam butir-butir pertanyaan sebagai berikut:

1.      Bagaimana tuntunan dalam melaksanakan shalat iftitah?.

2.      Bolehkah dalam menentukan waktu shalat dan waktu sahur serta berbuka puasa menggunakan Jadwal Sepanjang Masa yang dikeluarkan oleh Suara Muhammadiyah tahun 1973?

3.      Bagaimana hukum salam dalam mengakhiri shalat yang diucapkan dengan Assalamu 'alaikum wa rahmatullah tidak dilengkapi dengan wa barakatuh?

4.      Bagaimana tentang adzan subuh yang tidak menggunakan tatswib: ash-Shalatu khairun minan-naum?

5.      Apakah mengakhiri khutbah dengan salam sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw?

 

Jawaban:

1.      Pertanyaan saudara tentang tuntunan shalat iftitah, sesungguhnya sudah sering ditanyakan oleh pembaca Suara Muhammadiyah; dan kami pun dari Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah sudah memberikan jawabannya. Untuk itu kami persilakan saudara baca:

a.       Himpunan Putusan Tarjih Cetakan ke-3 Kitab Keputusan Tarjih Wiradesa tentang Shalat Tathawwu’ halaman 340 s.d. 355.

b.      Buku Tanya Jawab Agama Jilid I Cetakan ke-1 halaman 106-107

c.       Buku Tanya Jawab Agama Jilid III Cetakan ke-3 halaman 115 s.d. 124

d.      Buku Tanya Jawab Agama Jilid IV Cetakan ke-1 halaman 150 s.d. 152

e.       Buku Tanya Jawab Agama Jilid V Cetakan ke-1 halaman 62 s.d. 63

 

2.      Shalat fardlu dan puasa adalah di antara ibadah yang harus dilaksanakan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Melaksanakan shalat fardlu dan puasa di luar waktu yang telah ditetapkan pada dasarnya tidak dapat dibenarkan atau katakanlah shalat dan puasanya tidak sah. Oleh karena itu setiap muslim dituntut untuk mengetahui waktu-waktunya secara tepat. Waktu-waktu tersebut, dalam ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-hadits diterangkan dengan ditandai adanya gejala-gejala alam, seperti terbit dan terbenam matahari, bayan-bayang benda yang terkena sinar matahari, munculnya mega merah dan sebagainya. Mengingat tanda-tanda alam tersebut tidak selalu tetap waktunya, maka perlu upaya untuk mencari ketepatan waktu tersebut. Satu di antaranya ialah dengan perhitungan atau hisab yang cermat dan tepat (akurat). Untuk itu, pada saat ini setiap tahun khususnya menjelang bulan Ramadlan dalam Suara Muhammadiyah dimuat Jadwal Imsakiyah Ramadlan. Untuk puasa Ramadlan 1426 H atau 2005 M yang lalu Jadwal Imsakiyah untuk Makassar (Sulawesi Selatan) dimuat dalam Suara Muhammadiyah Nomor 19 (1-15 Oktober 2005), Bagian Suplemen halaman 6. Dengan berpedoman kepada Jadwal Imsakiyah yang dikeluarkan per tahun itu akan lebih dijamin ketepatannya. Insya Allah.

 

3.      Memang dalam Himpunan Putusan Tarjih disebutkan: “Kemudian bersalamlah dengan berpaling ke kanan dan ke kiri, yang pertama sampai terlihat pipi kananmu dan yang kedua sampai terlihat pipi kirimu oleh orang yang di belakangmu sambil membaca: Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh” (Himpunan Putusan Tarjih, Kitab Shalat, halaman 81). Keputusan tersebut di dasarkan hadits-hadits:

عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: كُنْتُ اَرَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَلِّمُ عَنِ يَمِينِهِ وَعَنِ يَسَارِهِ حَتَّى اَرَى بَيَاضَ خَدِّهِ. [رواه مسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Amir Ibn Sa’d dari ayahnya, ia berkata: Saya melihat Rasulullah saw mengucap salam ke arah kanan dan ke arah kirinya, sampai kulihat putih pipinya.” [HR. Muslim].

عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ وَعَنْ شِمَالِهِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ. [رواه أبو داود].

Artinya: “Diriwayatkan dari Wail Ibn Hujr, ia berkata: Saya shalat bersama Nabi saw, maka beliau mengucap salam ke kanan dengan membaca Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh dan ke kiri dengan membaca Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.” [HR. Abu Dawud].

Disebutkan pula dalam Shahih Ibnu Khuzaimah:

عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ خَذِّةِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ وَعَنْ شِمَالِهِ حَتَّى يَبْدُوَ بَيَاضُ خَذِّةِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ. [صحيح ابن خزيمة].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah, ia berkata: Adalah Rasulullah saw mengucapkan salam ke sebelah kanan sampai terlihat putih pipinya dengan membaca Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh dan ke sebelah kiri sampai terlihat putih pipinya dengan membaca Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.” [Shahih Ibnu Khuzaimah].

Selain hadits-hadits seperti yang telah disebutkan di atas, sesungguhnya tentang bacaan salam dalam mengakhiri shalat, ada pula hadits yang menerangkan bahwa bacaan salam tersebut adalah: Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi tanpa wa barakatuh, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits-hadits:

عَنْ ابْنِ مَسْعُوْدٍ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ خَدِّهِ. [رواه الخمسة وصححه الترمذى].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud, bahwa Nabi saw mengucap salam ke kanan dan ke kiri dengan membaca Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi sampai kelihatan putih pipinya.” [HR. al-Khamsah dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi].

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ إِذَا كُنَّا صَلَّيْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْنَا السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ ... [رواه أحمد ومسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir Ibn Samurah, ia berkata: Jika kami shalat bersama Rasulullah saw, kami mengucapkan Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah, Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah ...” [HR. Ahmad dan Muslim].

Dengan memperhatikan hadits-hadits di atas, kami berpendapat bahwa boleh seseorang yang mengakhiri shalat dengan membaca Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi tanpa dilengkapi dengan bacaan wa barakatuh.

 

4.      Pertanyaan saudara tentang tatswib juga sering ditanyakan oleh pembaca Suara Muhammadiyah; dan kami juga telah memberikan jawabannya. Intinya, bacaan tatswib pada adzan shubuh adalah masyru' atau boleh dikerjakan. Silakan saudara periksa pada:

a.       Buku Tanya Jawab Agama Jilid I Cetakan ke-1 halaman 41-43

b.      Buku Tanya Jawab Agama Jilid IV Cetakan ke-1 halaman 53

 

5.      Sejauh yang kami ketahui salam dalam berkhutbah adalah di kala akan memulai, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا صَعِدَ اْلمِنْبَرَ سَلَّمَ. [رواه ابن ماجه].

Artinya:  “Diriwayatkan dari Jabir Ibn Abdullah ra., ia berkata: bahwa Nabi saw setelah naik mimbar selalu memberikan salam.” [HR. Ibnu Majah]. 

Sementara itu, kami belum menemukan hadits yang menerangkan bahwa Nabi saw memberi salam di kala turun dari mimbar.

 

Wallahu a’lam bishshawab. *dw)

 

 

FATWA MAJELIS TARJIH DAN TAJDID

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH (8)

 

                                   NOMOR : 08 TAHUN 2006

بسم الله الرحمن الرحيم

 

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, setelah:   

 

MEMBACA DAN MEMPELAJARI         :      

 

hasil Halaqah Nasional Tarjih yang dilaksanakan di Jakarta pada hari Ahad tanggal 21 Jumadalawal 1427 H yang bertepatan dengan 18 Juni 2006 M dan dihadiri oleh Pimpinan Majelis Tarjih dan Tajdid Pusat dan wakil dari Pimpinan Majelis Tarjih dan Tajdid Wilayah serta undangan dari Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan;

 

MENIMBANG :             

                                       

1.     Bahwa sistem ekonomi berbasis bunga (interest) semakin diyakini sebagai berpotensi tidak stabil, tidak berkeadilan, menjadi sumber berbagai penyakit ekonomi modern, menggantungkan pertumbuhan pada penciptaan hutang baru, merupakan pemindahan sistematis uang dari orang yang memiliki lebih sedikit uang kepada orang yang memiliki lebih banyak uang, seperti tampak dalam krisis hutang Dunia Ketiga dan di seluruh dunia, serta merupakan pencurian uang diam-diam dari orang yang menabung, yang berpenghasilan tetap dan memasuki kontrak jangka panjang;

2.    Bahwa oleh karena itu terdapat argumen kuat untuk mendukung sistem keuangan bebas bunga bagi abad ke-21 yang sejalan dengan ajaran Islam dan ajaran Kristen awal (James Robertson), perlu mengeliminir peran bunga dan bahwa absensi riba dalam perekonomian mencegah penumpukan harta pada sekelompok orang dan terjadinya mislokasi produksi, serta mencegah gangguan-gangguan dalam sertor riil, seperti inflasi dan penurunan produktifitas ekonomi makro;

3.    Bahwa Ekonomi Islam yang berbasis prinsip syariah dan bebas bunga telah diperkenalkan sejak beberapa dasawarsa terakhir dan institusi keuangan Islam (syariah) telah diakui keberadaannya dan di Indonesia telah terdapat di banyak tempat;

4.    Bahwa perlu mendorong Persyarikatan dan seluruh warga Muhammadiyah serta umat Islam secara umum untuk berperan aktif dalam pengembangan ekonomi yang berdasarkan prinsip syariah dan bebas bunga, dan yang tidak saja bertujuan meningkatkan ekonomi rakyat dan kesejahteraan bersama, tetapi juga secara nyata telah menjadi wahana dakwah konkret yang efektif;

 

 

MENGINGAT :

1.     Ayat-ayat al-Qur’an:

a.     Surat an-Nisa’ (4): ayat 160-161:

فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِيْنَ هَادُوْا حَرَّمْناَ عَلَيْهِمْ طَيِّبتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيْلِ الله كَثِيْرًا [160] وَأَخْذٍِهِمُ الرَّبوا وَقَدْ نُهُوْا عَنْهُ وَأَكْلِهِم أَمْوَالِ النَّاسِ بِاْلباَطِلِ وَأَعْتَدْناَ لِلْكفِرِيْنَ مِنْهُمْ عَذَاباً أَلِيْماً [161].

Artinya: Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka memakan makanan yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya meereka telah dilarang daripadanya, dan karena memakan harta orang dengan jalan batil. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.

b.    Surat Ali Imran (3): 130,

يآ أَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَأْكُلُوْا الرِّبوا أَضْعَافًا مُضعَفَةً وَاتَّقُوْا الله لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ [آل عمران : 130] .

Artinya: Hai orang-orang beriman, janganlah kamu makan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan [Q. 3: 130].

c.     Surat al-Baqarah (2): 275 dan 278-279,

اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبوا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ اْلمَسِّ ذلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوْا إِنَّماَ اْلبَيْعُ مِثْلُ الرِّبوا وَأَحَلَّ الله اْلبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبوا ... ... ... يآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا الله وَذَرُوْا ماَ بَقِيَ مِنَ الرِّبوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ . فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِنَ الله وَرَسُوْلِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوْسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ [البقرة : 275 و 278 - 279] .    

Artinya: Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila. Hal itu disebabkan mereka berkata (berpendapat): sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, pada hal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba … … … Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu adalah orang-orang yang beriman. Maka jika tidak kamu lakukan, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya [Q. 2: 275 dan 278-279].

2.    Hadis-hadis Rasulullah saw,

a.     Hadis Ab­ Hurairah,

عَنْ أَبي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوْا السَّبْعَ اْلمُوْبِقَاتِ قِيْلَ ياَ رَسُوْلَ اللهِ وَماِ هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ باللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتي حَرَّمَ الله إِلاَّ باِلْحَقِّ وَأَكْلُ مَالِ اْليَِتِيْمِ وَأكْلُ الرِّباَ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفِ الْمُحْصَناَتِ اْلغَافِلاَتِ اْلمُؤْمِنَاتِ [رواه الجماعة واللفظ لمسلم] .

Artinya: Dari Ab­ Hurairah (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw bersabda: Hindarilah tujuh dosa besar yang mencelakakan! Kepada Rasulullah ditanyakan: Apa dosa-dosa besar dimaksud wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Menyekutukan Allah, melakukan sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya secara tanpa hak, makan harta anak yatim, makan riba, lari dari medan pertempuran, dan mencemarkan nama baik wanita mukmin yang lengah [Riwayat jamaah ahli hadis, dan lafal ini adalah lafal Muslim].

b.    Hadis ‘Amr riwayat Ab­ D±w­d,

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ عَمْروٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلُ الله (ص) ِفيْ حَجَّةِ اْلوَدَاعِ يَقُوْلُ : أَلاَ إِنَّ كُلَّ رِباً مِنْ رِباَ اْلجاَهِلِيَّةِ مَوْضُوْعٌ لَكُمْ رُؤُوْسُ أَمْواَلِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ [رواه أبو داود] .

Artinya: Dari Sulaim±n Ibn ‘Amr, dari ayahnya (dilaporkan bahwa) ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda pada waktu Haji Wadak: Ketahuilah bahwa setiap bentuk riba Jahiliah telah dihapus; bagimu pokok hartamu, kamu tidak menzalimi dan tidak dizalimi [HR Ab­ D±w­d].

c.     Hadis ‘Ub±dan Ibn a¡-¢±mit,

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَاْلفِضَّةُ بِاْلفِضَّةِ وَاْلبُرُّ بِاْلبُِرِّ وَالشَّعِيْرُ باِلشَّعِيْرِ وَالتَّمَرُ بِالتَّمَرِ وَالْمِلْحُ باِلْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَواَءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذه اْلأَصْناَفِ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدِ [رواه الجماعة وهذا لفظ مسلم] .

Artinya: Dari ‘Ub±dah Ibn a¡-¢±mit (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: [Pertukarkanlah] emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jawawut dengan jawawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam secara sama jumlahnya dan secara tunai. Apabila macamnya berbeda, maka perjualbelikanlah sesuai kehendakmu asalkan secara tunai [HR Jamaah ahli hadis, dan ini adalah lafal Muslim].

d.    Hadis Ab­ Hurairah

عَنْ أَبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً تَقاَضى رَسُوْلَ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَغْلَظَ لَهُ فَهَمَّ أَصْحَابُهُ فَقاَلَ دَعُوْهُ فَإِنَّ لِصَاحِبِ اْلحَقِّ مَقَالاً وَاشْتَرُوْا لَهُ بَعِيْرًا فَأَعْطُوْهُ إِياَّهُ ، وَقَالُوْا لاَ نَجِدُ إِلاَّ أَفْضَلَ مِنْ سِنِّهِ قَالَ اشْتَرُوْهُ فَأَعْطُوْهُ إِياَّهُ ، فَإِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضاَءً [رواه البخاري ومسلم] .  

Artinya: Dari Ab­ Hurairah r.a. (diriwayatkan) bahwa seorang laki-laki menagih hutang kepada Rasulullah saw dengan kasar sehingga geramlah para Sahabatnya, lalu Rasulullah saw bersabda: Biarkanlah dia, karena pemilik hak mempunyai hak untuk bersuara, dan belikan untuknya seekor unta kemudian serahkan kepadanya. Para Sahabat mengatakan: Kami tidak mendapatkan unta yang sama dengan untqanya, yang ada adalah unta yang lebih baik dari untanya. Rasulullah saw bersabda: Berikan kepadanya, sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik melakukan pembayaran [HR al-Bukh±ri dan Muslim].

e.     Hadis Ibn ‘Abb±s (juga diriwayatkan dari ‘Ub±dah Ibn a¡-¢±mit, ‘Aisyah dan Ab­ Hurairah),

عَنِ ابْنِ عَباَّسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ ضَرَرَ  وَلاَ ضِرَارَ [رواه أحمد وابن ماجه ومالك والدارقطني والبيهقي]

Artinya: Dari Ibn ‘Abb±s (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Tidak ada tindakan mudarat dan membalas kemudaratan [HR Ahmad, Ibn M±jah, M±lik, D±raqu¯n³ dan al-Baihaq³].

3.    Kaidah-kaidah Hukum Islam (al-qaw±‘id al-fiqhiyyah)

a.     اَلضَّرَرُ يُزَالُ    (Kemudaratan dihilangkan)

b. اْلأَمْرُ إِذَا ضَاقَ اتَّسَعَ  (Suatu hal apabila mengalami kesulitan diberi kelapangan).

c.     اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرِ  (Kesukaran membawa kemudahan).

4.    Fatwa, keputusan dan kesepakatan para fukaha dalam berbagai forum yang mengharamkan bunga:

a.     Keputusan Muktamar II Lembaga Penelitian Islam (Majma‘ al-Bu¥­£ al-Isl±miyyah) al-Azhar, Kairo, Muharam 1385 H/Mei 1965 M.

b.    Keputusan Muktamar Bank Islam II, Kuwait, 1403 H/1983 M.

c.     Keputusan Muktamar II Lembaga Fikih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI), Jeddah, 10-16 Rabiulakhir 1406 / 22-28 Desember 1985.

d.    Keputusan Sidang IX Dewan Lembaga Fikih Islam, Rabitah Alam Islami, Mekah, 19 Rajab 1406 H / 1986 M.

e.     Fatwa Komite Fatwa al-Azhar tanggal 28 Februari 1988.

f.      Fatwa D±r al-Ift±’ Mesir tanggal 20-02-1989 yang ditandatangani oleh Mufti Negara Mesir yang menyatakan, “Setiap pinjaman (kredit) dengan bunga yang ditetapkan di muka adalah haram.”

 

5.    Penegasan para ulama,

a.     Al-Ja¡¡±¡ dalam A¥k±m al-Qur’an (I: 635 dan 637),

وَالرِّباَ الَّذِيْ كاَنَت اْلعَرَبُ تَعْرِفُهُ وَتَفْعَلُهُ إِنَّماَ كَانَ قَرْضَ الدَّرَاهِمِ وَالدَّناَنِيْرِ إِلى أَجَلٍ بِزِياَدَةٍ عَلى مِقْدَارِ ماَ اسْتُقْرِضَ عَلى مَا يَتَرَاضَوْنَ بِهِ ... هَذاَ كاَنَ الْمُتَعاَرَفَ الْمَشْهُوْرَ بَيْنَهُمْ .

Artinya: Riba yang dikenal dan dipraktikkan oleh masyarakat Arab (Jahiliah) itu sesungguhnya adalah mengkreditkan (meminjamkan) uang dirham atau dinar untuk jangka waktu tertentu dengan tambahan atas jumlah yang dipinjam sesuai dengan kesepakatan mereka …. Inilah praktik yang populer di kalangan mereka [I: 635].

وَالثَّاني أَنَّهُ مَعْلُوْمٌ أَنَّ رِباَ الْجَاهِلِيَّةِ إِنَّماَ كَانَ قَرْضًا مُؤَجَّلاً بِزياَدَةٍ مَشْرُوْطَةٍ فَكاَنَتِ الزِّياَدَةُ بَدَلاً مِنَ اْلأَجَلِ فَأَبْطَلَهُ الله تَعَالى وَحَرَّمَهُ وَقَالَ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوْسُ أَمْوَالِكُمْ وَقَالَ تَعَالى وَذَرُوْا ماَ بَقِيَ مِنَ الرِّباَ.

Artinya: Kedua, diketahui bahwa riba Jahiliah itu sesungguhnya adalah suatu kredit berjangka dengan tambahan pengembalian yang disyaratkan. Jadi tambahan itu merupakan imbalan atas jangka waktu yang diberikan. Maka Allah Yang Maha Tinggi membatalkan dan mengharamkannya, serta menegaskan ‘Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu’dan menegaskan juga ‘… dan tinggalkanlah sisa-sisa riba’[I: 637].

 

b.    Ar-R±z³ dalam at-Tafs³r al-Kab³r [VII: 85],

كَانُوْا يَدْفَعُوْنَ اْلماَلَ عَلى أَنْ يَأْخُذُوْا كُلَّ شَهْرٍ قَدَرًا مُعَيَّناً وَيَكُوْنَ رَأْسَ اْلماَلِ بَاقِياً ثُمَّ إِذَا حَلَّ الدَّيْنُ طَاَلبُوْا اْلمَدْيُوْنَ بِرَأْسِ اْلماَلَ فَإِِنْ تَعَذَّرَ عَلَيْهِ اْلآدَاءُ زَادُوْا فيِ اْلحَقِّ وَاْلأَجَلِ.

      Artinya: Mereka [di zaman Jahiliah] menyerahkan harta dengan ketentuan akan mengambil sejumlah imbalan tertentu setiap bulan, sementara pokok modal tetap, kemudian apabila hutang itu telah jatuh tempo mereka menagih debitur untuk mengembalikan modal tadi, dan apabila ia tidak dapat mengembalikannya, mereka memberi tambahan sebagai imbalan penangguhan [VII: 85].   

c.     Syeikh Mu¥ammad Ab­ Zahrah,

وَرِبَا اْلقُرْآنِ هُوَ الرِّباَ الَّذِيْ تَسِيْرُ عَلَيْهِ اْلمَصَارِفُ وَيَتَعَامَلُ بِهِ النَّاسُ فَهُوَ حَرَامٌ لاَ شَكَّ فِيْهِ .

      Artinya: Dan riba [yang dilarang dalam] al-Qur’an itu adalah riba yang berlaku pada bank-bank dan  dipraktikkan oleh masyarakat; itu tidak ragu lagi adalah haram.

d.    Syeikh Y­suf al-Qar±«±w³,

فَوَائِدُ اْلبُنُوْكِ هِيَ الرِّباَ الْمُحًرَمُ  (Bunga bank adalah riba yang diharamkan).

MEMPERHATIKAN      :  

 

1.     Putusan Tarjih tentang “Kitab Beberapa Masalah” No. 19 a dan b;

2.            Putusan Tarjih di Sidoarjo Tahun 1968 tentang Masalah Bank, khususnya angka 4 yang, “Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesduai dengan qaidah Islam;”

3.            Putusan Tarjih di Wiradesa Tahun 1972 tentang Perbankan angka 1 yang “Mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah untuk segera dapat memenuhi keputusan Muktamar Tarjih di Sidoarjo tahun 1968 tentang terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan qaidah Islam;”

4.            Keputusan Tarjih di Malang Tahun 1989;

5.             Putusan Tarjih di Padang Tahun 2003.

 

MENDENGARKAN      :  

 

1.     Penyajian makalah oleh para narasumber dan diskusi serta pendapat yang berkembang dalam halaqah,

2.            Usulan-usulan yang disampaikan para peserta,

 

MENCERMATI              :   Tugas dan fungsi Majelis Tarjih dan Tajdid

 

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

 

Pertama          :   Ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang berbasiskan nilai-nilai syariah antara lain berupa keadilan, kejujuran, bebas bunga, dan memiliki komitmen terhadap peningkatan kesejahteraan bersama.

Kedua              :   Untuk tegaknya ekonomi Islam, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar makruf nahi munkar dan tajdid, perlu terlibat secara aktif dalam mengembangkan dan mengadvokasi ekonomi Islam dalam kerangka kesejahteraan bersama.

Ketiga             :   Bunga (interest) adalah riba karena (1) merupakan tambahan atas pokok modal yang dipinjamkan, pada hal Allah berfirman, Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; (2) tambahan itu bersifat mengikat dan diperjanjikan, sedangkan yang bersifat suka rela dan tidak diperjanjikan tidak termasuk riba.

Keempat         :   Lembaga Keuangan Syariah diminta untuk terus meningkatkan kesesuaian operasionalisasinya dengan prinsip-prinsip syariah.

Kelima             :   Menghimbau kepada seluruh jajaran dan warga Muhammadiyah serta umat Islam secara umum agar bermuamalat sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, dan bilamana menemui kesukaran dapat berpedoman kepada kaidah “Suatu hal bilamana mengalami kesulitan diberi kelapangan” dan “Kesukaran membawa kemudahan.”

Keenam          :   Umat Islam pada umumnya dan warga Muhammadiyah pada khususnya agar meningkatkan apresiasi terhadap ekonomi berbasis prinsip syariah dan mengembangkan budaya ekonomi berlandaskan nilai-nilai syariah.

Ketujuh          :   Agar fatwa ini disebarluaskan untuk dimaklumi adanya;

Kedelapan     :   Segala sesuatu akan ditinjau kembali sebagaimana mestinya apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam fatwa ini.

 

                                                                                 Difatwakan di Yogyakarta,

                                                                                 Pada tanggal 1 Jumadilakhir 1427 H

                                                                                 bertepatan dengan tanggal 27 Juni 2006 H

 

Pimpinan Majelis Tarjih dan Tajdid

PP Muhammadiyah

 

                                                                       Ketua,                                                          Sekretaris,

 

 

                                                         Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA                             Drs. H. Dahwan, M. Si.

 

HUKUM MEMAKAN DAGING YANG TIDAK DIKETAHUI DISEMBELIH

DENGAN MEMBACA BASMALAH ATAU TIDAK (9)

 

Penanya:

Abdullah, Mandiraja

 (disidangkan pada hari Jum’at, 24 Shaffar 1427 H / 24 Maret 2006 M)

 

Pertanyaan:

 

Kami sering mendapatkan undangan makan di rumah tetangga, atau makan di warung, atau menerima kiriman makanan dari tetangga, yang di dalamnya ada daging, yang kami tidak tahu apakah ketika menyembelih membaca basmalah atau tidak, atau apakah penyembelihannya sesuai dengan syari'ah Islamiyah atau tidak. Yang kami tanyakan:

Bagaimana cara mengatasinya? Bolehkah kami memakannya, atau harus kita tinggalkan? Mohon dijelaskan dengan dalilnya.

 

 

Jawaban:

 

Sebelum kami jelaskan cara mengatasinya, kami kutipkan lebih dahulu dalil-dalilnya yang dapat kami temukan, baik ayat al-Qur'an maupun hadits Nabi saw:

1.      al-Qur'an:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ اْلمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ اْلخِنْزِيْرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ. [البقرة (2): 173].

Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. al-Baqarah (2): 173].

Lihat pula ayat-ayat lainnya, seperti an-Nahl (16): 115, al-Maidah (5): 87, al-A'raf (7): 3, 5 dan 87, al-An'am (6): 145, al-Anfal (8): 69, dan Thaha (20): 81.

2.      al-Hadits:

1-   عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ. [أخرجه مسلم، كتاب الصيد، جـ: 2، نمرة: 15/1933: 233].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw, beliau bersabda: Setiap binatang buas yang mempunyai taring, adalah haram memakannya.” [Ditakhrijkan oleh Muslim, Kitab ash-Shaid; II; No. 15/1933: 233].

2-   عَنْ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِى مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ. [أخرجه مسلم، كتاب الصيد، جـ: 2، نمرة: 16/1934: 234].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah saw melarang memakan setiap binatang buas yang mempunyai taring, dan setiap burung yang mempunyai cengkeram (burung pemakan daging).” [Ditakhrijkan oleh Muslim, Kitab ash-Shaid; II; No. 16/1934: 234].

3-   عَنْ الشَّعْبِي عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُوْلُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِنَّ اْلحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ اْلحَراَمَ بَيِّنٌ وَبَينَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ. فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى اْلحَراَمِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ اْلحِمَى يُوْشَكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ. أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى. أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ. أَلاَ وَإِنَّ فِى اْلجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ اْلجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ اْلجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ. [أخرجه مسلم، كتاب المساقاة، جـ: 2، نمرة: 107/1599: 47].

Artinya: “Diriwayatkan dari asy-Sya'biy, dari an-Nu'man bin Basyir, ia berkata: Saya mendengar ia (asy-Sya'biy) berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya barang yang halal sudah jelas, dan sesungguhnya barang yang haram sudah jelas, dan di antara keduanya adalah musytabihat (barang yang meragukan; tidak halal dan tidak haram). Sebagian besar manusia tidak dapat mengetahuinya. Maka barangsiapa menjaga diri dari syubuhat, berarti ia telah membersihkan agamanya dan kehormatannya, dan barangsiapa jatuh dalam syubuhat, maka ia telah jatuh dalam barang haram. Bagaikan penggembala yang menggembalakan (binatang ternak) di sekitar tanaman suaka, maka tentu saja binatang tersebut nyaris memakannya. Ketahuilah, bahwa setiap raja mempunyai barang suaka, dan sesungguhnya barang suaka Allah adalah barang-barang yang diharamkan-Nya. Ketahuilah, bahwa di dalam jasad terdapat mudlghah (sepotong daging), apabila mudlghah tersebut baik, maka seluruh jasad menjadi baik, dan apabila mudlghah tersebut rusak, maka seluruh jasad menjadi rusak. Ketahuilah, bahwa mudlghah tersebut adalah al-qalb (hati). ” [Ditakhrijkan oleh Muslim, Kitab al-Musaqah; II; No. 107/1599: 47].

4-   عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ اْلمُؤْمِنِيْنَ أَنَّ قَوْمًا قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُوْنَا بِلَحْمٍ لاَ نَدْرِى ذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ أَمْ لاَ قَالَ سَمُّوْا أَنْتُمْ وَكُلُوْا. [رواه وابن ماجه].

Artinya: “Diriwayatkan dari 'Aisyah r.a., bahwa ada beberapa orang berkata kepada Nabi saw: Bahwa ada beberapa orang datang kepada kami membawa daging, tetapi kami tidak mengerti apakah mereka menyebut nama Allah (ketika menyembelihnya) atau tidak. Kemudian Nabi saw bersabda: Sebutlah nama Allah atas daging itu dan makanlah.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah].

 

Penjelasan:

Firman Allah SWT pada surat al-Baqarah (2): 173, menjelaskan bahwa bangkai, darah, daging babi dan daging hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, adalah haram dimakan. Dimaksudkan dengan bangkai, ialah hewan yang mati tanpa disembelih, atau disembelih tetapi tidak sesuai dengan cara penyembelihan menurut syrai'ah Islamiyyah.

Pada ayat tersebut dijelaskan pula barangsiapa dalam keadaan darurat (terpaksa), yaitu apabila tidak memakannya jiwanya terancam bahaya, maka menurut syari'ah diperbolehkan memakannya, dengan tidak berlebihan dan tidak menginginkannya. Kemudian pada hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah (1) dan dari Ibnu ‘Abbas (2), dijelaskan bahwa binatang buas yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai cengkeram (pemakan daging) juga diharamkan memakannya, sekalipun disembelih secara syar'iy.

Kemudian pada hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari asy-Sya'biy (3), ditegaskan bahwa barang yang halal sudah jelas, dan barang yang haram juga sudah jelas, dan di antara barang yang haram dan barang yang halal terdapat barang musytabihat (yang diragukan halal dan haramnya). Terhadap barang yang msuytabihat, kita harus berhati-hati, dan dihimbau untuk meninggalkannya, jika ingin membersihkan agama dan kehormatannya. Pada hadits tersebut dijelaskan pula bahwa makanan itu sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan tubuh seseorang, karena itulah Nabi Muhammad saw menjelaskan bahwa jika segumpal daging itu baik, maka seluruh tubuhnya akan menjadi baik (sehat), demikian pula sebaliknya. Karena itulah kita harus berhati-hati dalam mengkonsumsi makanan.

Pada hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhariy dari ‘Aisyah r.a. (4), Nabi Muhammad saw memberikan jalan keluar, jika tidak mengerti apakah ketika menyembelihnya telah membaca basmalah atau tidak; jika demikian maka ketika memakannya diharuskan membaca basmalah (Bismillahir-Rahmanir-Rahim), agar menjadi halal.

Tetapi apabila tetap ragu-ragu, maka sebaiknya ditinggalkan saja, sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Hasan bin Sinan:

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ.

Artinya: “Tinggalkanlah apa yang meragukan kamu, ambillah apa yang tidak meragukan kamu.” [Ditakhrijkan oleh al-Bukhariy, Kitab al-Buyu', II: 3].

 

Kesimpulan:

1.      Makanlah apa yang dihalalkan Allah, tetapi janganlah berlebih-lebihan.

2.      Tinggalkanlah apa yang diharamkan Allah SWT.

3.      Tinggalkanlah segala musytabihat (tidak jelas halal dan haramnya) untuk membersihkan agama dan kehormatan diri.

4.      Jika dalam keadaan darurat, diperbolehkan makan yang diharamkan Allah asal tidak karena menginginkannya dan tidak melampaui batas.

5.      Jika tidak mengetahui apakah ketika disembelih dibacakan basmalah atau tidak, maka wajib membaca basmalah sebelum memakannya. Jika tetap ragu-ragu tentang kehalalannya, lebih baik ditinggalkan.Wallahu a'lam bish-shawab. *sd)

 

PEMBAGIAN WARISAN BERSAMA ANAK ANGKAT (10)

 

Penanya:

Nama dan Alamat diketahui Tim Fatwa

(disidangkan pada hari Jum’at, 11 Muharram 1427 H / 10 Februari 2006 M)

 

 

Pertanyaan:

 

Seseorang meninggal dunia, dengan meninggalkan seorang isteri, 3 orang saudara laki-laki sekandung, 2 orang saudara perempuan sekandung dan 2 orang anak angkat. Harta peninggalannya berupa sebuah rumah yang diwarisi dari orang tuanya, bukan harta yang diperoleh dari usahanya selama perkawinan dengan isterinya. Bersama ini kami mohon fatwa tentang:

1.      Siapa saja yang berhak mendapat bagian harta warisan?

2.      Berapa bagian dari masing-masing ahli waris yang berhak rnenerima?

3.      Bagaimana zakatnya?

 

Jawaban:

Sebelum sampai kepada jawaban dari pertanyaan-pertanyaan saudara, perlu kiranya kami sampaikan:

1.      Berdasarkan keterangan dalam pertanyaan saudara, maka dapat disimpulkan bahwa harta tersebut termasuk harta bawaan dari suami, sehingga dalam pembagian harta warisan tersebut, tidak diberlakukan sebagai harta gono gini.

2.      Sebagaimana telah sering kami kemukakan dalam jawaban tentang pembagian warisan, bahwa harta peninggalan sebelum dibagi kepada para ahli waris yang berhak menerima, terlebih dahulu harus dikeluarkan untuk biaya perawatan jenazah, yang meliputi biaya memandikan, mengkafani dan menguburkannya, serta untuk membayar hutang jika ada, baik hutang kepada Allah seperti rnembayar zakat atau membayar nadzar yang belum dibayarkan dikala pewaris masih hidup maupun hutang kepada sesama manusia, dan menunaikan wasiat jika dikala hidupnya pernah berwasiat dan belum dilaksanakan. Setelah itu semua dilaksanakan, baru harta peninggalan menjadi harta warisan yang dibagikan kepada para ahli waris yang berhak menerima.

Berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan saudara, kami berikan jawaban sebagai berikut:

 

Pertama: Tentang kedudukan masing-masing dari orang-orang yang disebutkan dalam pertanyaan, yaitu:

 

1.      Kedudukan Anak Angkat

Dalam al-Qur’an dijelaskan:

... وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ ذَالِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللهُ يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى السَّبِيْلَ. اُدْعُوْهُمْ لِأَبَآئِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ فَإِنْ لَّمْ تَعْلَمُوْا ءَابَآءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِى الدِّيْنِ وَمَوَالِيْكُمْ. [الأحزاب (33): 4-5].

Artinya: “… dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu (hamba sahaya yang sudah dimerdekakan) …” [QS. al-Ahzab: (33): 4-5].

Dari ayat al-Qur’an di atas, diperoleh ketegasan bahwa anak angkat tidak boleh didaku dan disamakan sebagai anak kandung, sehingga dalam pembagian harta warisan, anak angkat yang tidak memiliki hubungan nasab atau hubungan darah dengan orang tua angkatnya tidak dapat saling mewarisi. Dengan kata lain anak angkat tidak mewarisi harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya, demikian pula sebaliknya orang tua angkat tidak mewarisi harta warisan anak angkatnya.

Namun, dalam Kompilasi Hukum Islam kedudukan anak angkat dalam pembagian harta warisan disebutkan sebagai penerima wasiat; sebagaimana disebutkan dalam Pasal 209 ayat (2): “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 harta orang tua angkatnya”.

Atas dasar ketentuan tersebut, maka jika dua orang anak angkat sebagaimana yang disebutkan dalam pertanyaan ini, tidak menerima wasiat dari orang tua angkatnya, maka ia berhak menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya.

 

2.      Isteri (jandanya)

Dalam al-Qur’an dijelaskan:

وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوْصُوْنَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ. [النساء (4): 12].

Artinya: Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.”[QS. an-Nisa’ (4): 12].

Sehubungan dengan pertanyaan saudara, maka isteri memperoleh seperempat harta warisan, karena suaminya yang meninggal dunia tidak mempunyai anak.

 

3.      Tiga orang saudara laki-laki sekandung dan dua orang saudara perempuan sekandung.

Dalam Hukum Waris Islam, mereka secara bersama-sama kedudukannya sebagai ‘ashabah bil ghair, yakni mereka secara bersama-sama mewarisi seluruh harta warisan setelah diambil untuk ahli menerima bagian warisan tertentu dan wasiat, yang dalam hal ini ialah setelah dikurangi dengan bagian isteri (jandanya) dan wasiat wajibah yang diberikan kepada dua orang anak angkatnya.

Dalam membagi harta warisan antara saudara laki-laki sekandung dan saudara perempuan sekandung berlaku ketentuan bagian seorang saudara laki-laki sekandung sama dengan bagian dua orang saudara perempuan sekandung, berdasarkan firman Allah:

وَإِنْ كَانُوْا إِخْوَةً رِجَالاً وَنِسَآءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ. [النساء (4): 176].

Artinya: “Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan.” [QS. an-Nisa’ (4): 176].

 

Kedua: Tentang bagian anak angkat dan masing-masing ahli waris:

Setelah diketahui kedudukan anak angkat dan masing-masing ahli waris, baru dilakukan perhitungan dalam pembagian harta warisannya. Misalnya harta warisan yang berupa sebuah rumah itu merupakan harta warisan yang sudah siap dibagi, dalam arti tidak lagi dibebani dengan biaya perawatan jenazah, hutang dan wasiat; dan dimisalkan dihargai dengan Rp. l00.000.000,- (seratus juta rupiah), maka pembagiannya adalah sebagai berikut:

 

Diperhitungkan bagian masing-masing.

1.      Wasiat wajibah untuk dua orang anak angkat                        = 1/3

2.      Isteri (jandanya)                                                          = 1/4

                                                            Asal Masalah               =  12

3.      Tiga orang saudara laki-laki sekandung dan

dua orang saudara perempuan sekandung                  = ‘ashabah bil ghair

 

Dengan demikian maka bagian masing-masing:

1.      Wasiat wajibah untuk dua orang anak angkat                        = 1/3 x 12 = 4

2.      Isteri (jandanya)                                                          = 1/4 x 12 = 3

3.      Tiga orang saudara laki-laki sekandung dan

dua orang saudara perempuan sekandung                  = 12 – (4 + 3) = 5

 

Harga per bagian         = Rp. 100.000.000,- : 12                     = Rp. 8.333.333,-

Bagian harta warisan masing-masing, adalah:

1.      Wasiat wajibah untuk dua orang anak angkat                        = 4 x Rp. 8.333.333,-­

                                                                                                = Rp. 33.333.332,-

2.      Isteri (jandanya)                                                          = 3 x Rp. 8.333.333,-

= Rp 24.999.999,-

3.      Tiga orang saudara laki-laki sekandung dan

dua orang saudara perempuan sekandung                  = 5 x Rp. 8.333.333,-

= Rp. 41.666.665,-­

 

Bagian untuk masing-masing saudara laki-laki sekandung dan saudara perempuan sekandung, dihitung sebagai berikut:

1.      Tiga orang saudara laki-laki sekandung                      = 3 x 2 = 6

2.      Dua orang saudara perempuan sekandung                 = 2 x 1 = 2

Jumlah            =             8

 

Harga per bagian Rp. 41.666.665,- : 8 = Rp. 5.208.333,-

­Bagian harta warisan untuk masing-masing:

1.      Tiga orang saudara laki-laki sekandung                     = 6 x Rp. 5.208.333,-

                                                                                          = Rp 31.249.998,-­

Jadi bagian seorang saudara laki-laki sekandung

            = Rp. 31.249.998,- : 3                                                 = Rp. 10.416.666,-

2.      Dua orang saudara perempuan sekandung                 = 2 x Rp. 5.208.333,-

= ­Rp. 10.416.666,-

Jadi bagian seorang saudara perempuan sekandung

= Rp. 10.416.666,- : 2                                                 = Rp.   5.208.333,-

 

Ketiga: Tentang zakat dari bagian dari harta warisan.

Menurut hemat kami zakat uang dipersamakan dengan zakat emas, baik nishab, haul dan kadarnya. Nishab untuk zakat emas, yakni 85 gram emas murni, sedang haulnya harta tersebut telah tersimpan selama 1 tahun dan kadarnya 2,5 %. OIeh karena itu jika bagian harta warisan tersebut memang sudah mencapai harga emas murni seberat 85 gram, sudah tersimpan sampai dengan 1 tahun maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %. Namun jika belum atau tidak memenuhi ketentuan-ketentuan pada zakat emas tersebut, belum atau tidak terkena kewajiban zakat. Sekalipun demikian diajarkan dalam al-Qur’an agar orang yang menerima bagian harta warisan untuk bershadaqah terutama kepada sanak kerabat yang tidak menerima bagian harta warisan, anak yatim dan orang miskin yang melihat atau menyaksikan secara langsung pembagian harta warisan tersebut. Allah berfirman:

­وَ إِذَا حَضَرَ اْلقِسْمَةَ أُوْلُوْا اْلقُرْبَى وَاْليَتَامَى وَاْلمَسَاكِيْنُ فَارْزُقُوْهُمْ مِنْهُ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوْفًا. [النساء (4): 8].

Artinya: Dan apabila sewaktu pembagian warisan itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”[QS. an-Nisa’ (4): 8].

Wallahu a‘lam bish-shawab. *dw)

 

CARA DUDUK TAHIYAT AKHIR PADA SHALAT DUA RAKAAT

DAN PEMANFAATAN TANAH BEKAS KUBUR (11)

 

 

Penanya:

Sumijan,

Ledok, Sidorejo, Kendal, Jawa Tengah

 (disidangkan pada hari Jum’at, 8 Rabiul Awwal 1427 H / 7 April 2006 M)

 

 

Pertanyaan:

 

1.      Bagaimana cara duduk tahiyat akhir pada shalat yang hanya dua raka'at? Sebab ada yang mengajarkan duduknya seperti pada tahiyat awal, sementara kami sudah terbiasa dengan cara duduk tahiyat akhir pada shalat empat raka'at.

2.      Di samping kami ada tanah bekas kubur yang sudah sepuluh tahun tidak digunakan, bahkan batu pusaranya pun sudah tidak ada, dan sudah beberapa tahun ditanami polowijan. Bagaimana seandainya tanah tersebut digunakan untuk tempat sepeda, atau kegiatan lain, apakah jenazahnya harus diambil? Hal ini saya tanyakan karena ada dua pendapat, yang satu mengatakan tidak perlu diangkat jenazah (tulang-belulangnya), sedangkan yang lain berpendapat harus diangkat/dipindah.

 

 

Jawaban:

 

1.      Mengenai pertanyaan pertama, yaitu tentang cara duduk di tahiyat akhir pada shalat yang terdiri dari dua rakaat.

Dimaksudkan dengan tahiyat akhir ialah duduk tahiyat pada rakaat terakhir dalam shalat, baik shalat yang terdiri atas empat rakaat, atau tiga rakaat, atau dua rakaat, yang setelah selesai berdoa lalu ditutup dengan salam. Maka cara duduknya, semuanya adalah sama, yaitu dengan cara memajukan atau memindahkan kaki kirinya ke depan, dan mendirikan tapak kaki kanannya dengan menghadapkan jari-jarinya ke arah qiblat, dan duduk di tempat duduknya, sebagaimana dijelaskan dalam suatu hadits:

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِى بْنِ عَطَاءٍ أَنَّهُ كَانَ جَالِسًا مَعَ نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِ  النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ صَلاَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو حَمِيدٍ السَّاعِدِىِّ اَنَا كُنْتُ اَحْفَظَكُمْ لِصَلاَةِ رَسُولِ اللهِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَاَيْتُهُ اِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبِهِ وَاِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتِهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ فَاِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ فَاِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ القِبْلَةَ فَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَةِ اْلأَخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ اليُسْرَى وَنَصَبَ الاُخْرَى. وَقَعَدَ مَقْعَدَتَهُ. [أخرجه البخارى، كتاب الصلاة، 1: 99].

 

Artinya: “Diriwayatkan dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atha', bahwa ketika ia duduk bersama beberapa orang shahabat Nabi saw, ia menceritakan cara shalat Nabi saw, kemudian berkatalah Abu Hamid as-Sa‘idiy: Saya melihatnya ketika bertakbir beliau menjadikan (mengangkat) kedua tangannya setentang dengan bahunya, dan apabila ruku‘ beliau meletakkan kedua tangannya dengan kuat pada lututnya serta membungkukkan punggungnya, apabila mengangkat kepala beliau meluruskan (badannya) sehingga semua tulang-tulang kembali pada tempatnya. Kemudian apabila bersujud beliau meletakkan kedua tangannya dengan tidak membentangkannya dan tidak pula menyempitkan keduanya serta menghadapkan semua ujung jari-jari kedua kakinya ke arah qiblat. Kemudian apabila duduk pada rakaat kedua beliau duduk di atas kaki kirinya dan mendirikan tapak kaki kanannya, dan apabila duduk pada rakaat terakhir, beliau memajukan kaki kirinya ke depan dan mendirikan tapak kaki yang lain (kanan) dan duduk di tempat duduknya.”[Ditakhrijkan oleh al-Bukhariy, Kitab ash-Shalah; I: 99].

Dari penjelasan hadits tersebut, maka jelaslah bahwa duduk pada rakaat terakhir, sekalipun shalatnya hanya dua rakaat, adalah sama dengan duduk tahiyat akhir pada shalat-shalat yang terdiri atas tiga atau empat rakaat.

2.      Tentang memanfaatkan kuburan

Sebelum kami jawab pertanyaan tersebut, kami kutipkan lebih dahulu ayat al-Qur'an dan hadits-hadits tentang qubur:

1-   وَلاَ تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلاَ تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَاتُوأ وَهُمْ فَاسِقُوْنَ. [التوبة (9): 84].

Artinya: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” [QS. at-Taubah (9): 84].

2-   عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ. [أخرجه مسلم، كتاب الجنائز، جـ: 1، نمرة: 96/971: 437].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Sungguh jika salah satu di antara kamu duduk di atas bara api hingga membakar bajunyakemudian menembus kulitnya, adalah lebih baik daripada duduk di atas kubur.” [Ditakhrijkan oleh Muslim, Kitab al-Jana'iz; I; No. 96/971: 437].

3-   عَنْ أَبِى مَرثَدَ الْغَنَوِيِّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَجْلِسُوْا عَلَى الْقُبُوْرِ وَلاَ تُصَلُّوْا إِلَيْهَا. [أخرجه مسلم، كتاب الجنائز، جـ: 1، نمرة: 97/972: 437].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abi Marsad al-Ghanawiy, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Janganlah engkau sekalian duduk di atas kubur dan janganlah shalat dengan menghadapnya. ” [Ditakhrijkan oleh Muslim, Kitab al-Jana'iz; I; No. 97/972: 437].

Penjelasan:

Pada surat at-Taubah (9): 84, Allah melarang Nabi Muhammad saw untuk menshalati orang fasiq dan melarang berdiri di atas kuburnya, selama-lamanya. Sekalipun larangan itu ditujukan kepada Nabi Muhammad saw, tetapi larangan tersebut berlaku untuk umum. Maka kita pun termasuk di dalamnya.

Pada hadits yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah ditegaskan, bahwa Nabi saw melarang duduk di atas kubur. Bahkan beliau mengatakan, bahwa duduk di atas bara api sehingga baju dan badannya terbakar, adalah lebih baik daripada duduk di atas kubur. Ini menunjukkan bahwa duduk di atas kubur dosanya sangat besar.

Pada hadits yang diriwayatkan oleh Marsad al-Ghanawiy, ditegaskan lagi bahwa  duduk di atas kubur dan shalat menghadap kubur dilarang. Jumhur ulama berpendapat bahwa larangan tersebut menunjukkan kepada haram.

Adapun nilai kedua hadits tersebut menurut sebagian besar ulama hadits adalah shahih dan Imam Muslim yang meriwayatkan kedua hadits tersebut adalah sebagai jaminan keshahihannya. Maka mengenai sebidang tanah kubur (bekas kubur) yang saudara tanyakan, apakah boleh dimanfaatkan untuk kegiatan lain? Menurut kami, harus berhati-hati, sebab diharamkan duduk di atasnya. Mungkin juga nanti di waktu yang akan datang ada orang shalat di atasnya, padahal di tempat itu terdapat kubur sekalipun sudah tidak kelihatan, padahal shalat mengahdap kubur atau duduk di atasnya adalah haram.

Untuk itu, apabila tanah tersebut akan dimanfaatkan untuk kegiatan lain, wajib dipindahkan lebih dahulu tulang belulang jenazah yang ada dalam kubur, sehingga selamat baik dari segi aqidah maupun psikologis.

Wallahu a'lam bish-shawab. *sd)

PENGETAHUAN TENTANG WAKTU KEMATIAN

DAN JENIS KELAMIN BAYI DALAM RAHIM,

HUKUM MEMAKAN MAKANAN SEMBELIHAN ORANG KRISTEN,

DAN HUKUM KLONING (12)

 

 

Penanya:

Poniran Yahman,

Ds. Palembon, Kec. Kanor, Kab. Bojonegoro Jawa Timur

 (disidangkan pada hari Jum’at, 8 Rabiul Awwal 1427 H / 7 April 2006 M)

 

 

Pertanyaan:

1.      Dalam al-Qur'an disebutkan bahwa manusia tidak tahu kapan akan mati dan di bumi mana akan dikubur. Bagaimana dengan orang yang dihukum mati yang telah diberi tahu kapan akan dieksekusi? Hal ini berarti telah diketahui kapan ia akan mati.

2.      Dalam al-Qur'an disebutkan bahwa manusia tidak tahu jenis kelamin yang ada dalam rahim seorang ibu. Bagaimana dengan ultrasonography (USG) yang dapat mendeteksi dalam kandungan, sehingga dapat diketahui apakah anak itu laki-laki atau perempuan?

3.      Bolehkah seorang Muslim memakan sembelihan orang Kristen, karena mereka menyembelih dengan menyebut nama Yesus Kristus?

4.      Hukum Kloning.

 

Jawaban:

Pertanyaan 1 dan 2:

Pertanyaan No. 1 dan No. 2 dapat dijawab dalam satu jawaban. Agar lebih jelas kami salinkan ayat-ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan masalah di atas. Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللهَ عِنْدّهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِى اْلأَرْحاَمِ وَمَا تَدْرِى نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِى نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ. [لقمان (31): 34].

Artinya: Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” [QS. Luqman (31): 34].

Dan firman Allah SWT:

اللهُ يَعْلَمُ مَا تَحْمِلُ كُلُّ أُنْثَى وَمَا تَغِيْضُ اْلأَرْحَامُ وَمَا تَزْدَادُ وَكُلُّ شَيْئٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ. [الرعد (13): 8].

Artinya: Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.” [QS. ar-Ra‘d (13): 8].

Di antara isi yang terkandung pada ayat di atas ialah hanya Allah saja yang mengetahui dengan pasti kapan seseorang meninggal dunia , di bumi mana ia akan dikubur dan apa saja yang terdapat dalam rahim seorang ibu. Selain Allah tidak ada yang dapat mengetahuinya dengan pasti.

Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan semakin banyak alat-alat canggih yang ditemukan manusia untuk mengetahui, mendeteksi dan memperkirakan sesuatu, namun pengetahuan manusia hanyalah bersifat relatif (nisbi), tidak sampai kepada kebenaran mutlak. Pengetahuan manusia hanya mencapai tingkat ‘prakiraan’ yang masih perlu dibuktikan kebenarannya. Seandainya manusia mengadakan penelitian tentang apa yang diperkirakan itu dan merasa mendapatkan kebenaran, maka kebenaran itu hanyalah kebenaran relatif. Teori relativisme ini pernah dikemukakan oleh Einstein, seorang ilmuwan Jerman yang terkenal. Dalam Ilmu Tauhid dinyatakan bahwa selain dari Allah mumkin. Pernyataan ini ada persamaannya dengan teori relativisme di atas.

Allah SWT menyatakan dalam firman-Nya bahwa kebenaran mutlak itu hanya ada pada Allah:

وَاللهُ يَقْضِى بِاْلحَقِّ وَالَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ لاَ يَقْضُوْنَ بِشَيْئٍ وَأَنَّ اللهَ هُوَ االسَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ. [المؤمن (40): 20].

Artinya: “Dan Allah menghukum dengan keadilan. Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tiada dapat menghukum dengan sesuatu apapun. Sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [QS. al-Mukmin (40): 20].

Dan firman Allah SWT:

اَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلاَ تَكُوْنَنَّ مِنَ اْلمُمْتَرِيْنَ. [البقرة (2): 147].

Artinya: “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” [QS. al-Baqarah (2): 147].

Surat al-Mukmin ayat 20 menegaskan bahwa manusia tidak dapat menetapkan hukum dengan adil. Hanyalah Allah yang dapat menetapkan hukum dengan adil yang sebenarnya. Sedang surat al-Baqarah ayat 147 menegaskan bahwa kebenaran mutlak itu hanya ada pada Allah semata, karena itu janganlah orang-orang yang beriman ragu-ragu tentang hal itu. Di antara keberanan mutlak itu ialah al-Qur'anul-Karim.

Kembali pada persoalan di atas bahwa memang manusia (pemerintah) dapat menetapkan jam, hari dan tanggal pelaksanaan eksekusi dari suatu hukuman mati, namun ketetapan itu masih bersifat relatif. Kepastian seseorang akan mati tetap Allah yang menentukannya. Allah berfirman:

وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا وَاللهُ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ. [المنافقون (63): 11].

Artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.” [QS. al-Munafiqun (63): 11].

Dan firman Allah SWT:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُوْنَ. [الأعراف (7): 34].

Artinya: “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu[537]; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.[QS. al-A‘raf (7): 34].

Betapa banyaknya suatu pelaksanaan hukuman mati tertunda atau tidak dapat dilaksanakan pada waktunya, karena ada saja halangan yang datang secara tiba-tiba, karena segala sesuatu hanyalah Allah yang memutuskan. Bahkan mungkin saja terjadi, seseorang terpidana mati yang telah ditetapkan waktu eksekusinya, mati terlebih dahulu sebelum tiba waktu eksekusi tersebut. Allah SWT berfirman:

Dan firman Allah SWT:

إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ. [يـس (36): 82].

Artinya: “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia.” [QS. Yaasinn (36): 82].

Demikian pula halnya dengan janin yang ada dalam kandungan, sekalipun telah menggunakan alat USG, namun hasilnya tetap merupakan kemungkinan atau prakiraan, bukan kebenaran mutlak. Dr. Suprono (alm), seorang dokter ahli kebidanan pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada suatu seminar pernah menyatakan: “dalam laut dapat diukur, dalam perut wanita siapa tahu”. Beliau sebagai seorang dosen yang telah berhasil mendidik puluhan dokter ahli kandungan, masih menyatakan bahwa pengetahuannya tentang sesuatu hanyalah sampai pada tingkat prakiraan.

 

Pertanyaan 3:

Tentang hukum memakan sembelihan orang Kristen (Ahli Kitab), ada dua pendapat. Pendapat pertama menghalalkan memakan sembelihan Ahli Kitab asal yang disembelih itu adalah binatang yang halal dimakan. Mereka beralasan dengan firman Allah:

اَلْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ. [المائدة (5): 5].

Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka ...” [QS. al-Maidah (5): 5].

Pendapat kedua menyatakan bahwa sembelihan Ahli Kitab itu haram dimakan. Alasan mereka ialah Ahli Kitab sejak zaman Nabi saw telah menganut kepercayaan syirik, tidak lagi percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah SWT:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْا إِنَّ اللهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلاَّ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوْا عَمَّا يَقُوْلُوْنَ لَيَمَسَّنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ. [المائدة (5): 73].

Artinya: “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” [QS. al-Maidah (5): 73].

Majelis Tarjih dan Tajdid cenderung kepada pendapat yang kedua dengan pertimbangan syadz adz-dzari'ah (mencegah kerusakan), berdasar pada sebuah kaidah ushul fiqh:

دَرْءُ اْلمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ اْلمَصَالِحِ.

Artinya: “Mencegah kerusakan didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.”

Selanjutnya, ketika telah pasti diketahui bahwa suatu sembelihan itu disembelih atas nama selain Allah, maka haram hukumnya memakan sembelihan itu. Firman Allah:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ اْلمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ اْلخِنْزِيْرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ. [البقرة (2): 173].

Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. al-Baqarah (2): 173].

 

Pertanyaan 4:

Tentang hukum kloning pernah dimuat pada rubrik Fatwa Agama Majalah Suara Muhammadiyah No. 09 Tahun Ke-90/2005 yang kesimpulannya ialah hukum kloning manusia adalah haram.

Wallahu a'lam bish-shawab. *km)

 

BOLEHKAH BERQURBAN 1 (SATU) EKOR KERBAU

UNTUK LEBIH DARI 7 (TUJUH) ORANG?

DAN HARAMKAH BANTUAN DANA UNTUK IBADAH HAJI

DARI BUPATI YANG NON MUSLIM?(13)

 

 

Penanya:

Ishaq KZ., S.Ag., Agen SM No. 2857 Barus

(disidangkan pada hari Jum'at, 22 Rabiul Awwal 1427 H / 21 April 2006 M dan 21 Rabiul Awwal 1427 H / 19 Mei 2006 M)

 

Pertanyaan:

1.      Di daerah kami ada seorang ustadz memberikan fatwa: ‘Berqurban 1 (satu) ekor kerbau tidak harus 7 (tujuh) orang, tetapi dapat juga untuk 9 (sembilan), 14 (empat belas) atau 21 (dua puluh satu) orang sesuai kesepakatan dan kesanggupan bersama, dengan tujuan agar banyak orang yang dapat ikut berqurban’. Beliau beralasan hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw. dari ‘Aisyah ra., bahwa beliau menyembelih dua ekor hewan qurban, yang satu untuk umatnya, yang mengucapkan dua kalimah syahadah, dan satunya lagi untuk Muhammad dan keluarganya.

2.      Pak Hasan menolak dana bantuan menunaikan ibadah haji ke Makkah dari seorang Bupati yang non muslim, dengan alasan masih banyak sektor riil lainnya yang membutuhkannya. Sehingga bantuan tersebut beralih kepada orang lain. Pertanyaannya: Haramkah menerima bantuan demikian? Dan benarkah prinsip Pak Hasan padahal ia sangat berkeinginan menunaikan ibadah haji? Mohon penjelasan.

 

 

Jawaban:

 

A.    Mengenai masalah qurban

 

Sebelum kami jelaskan, lebih dahulu kami kutipkan hadits-hadits mengenai ibadah qurban yang ada kaitannya dengan pertanyaan saudara:

1.   عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحُدَيْبِيَةَ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ. [أخرجه مسلم، كتاب الحج، نمرة: 350/1318: 602].

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir ibn Abdullah, ia berkata: Kami menyembelih hewan qurban bersama Rasulullah saw pada tahun Hudaibiyah seekor unta untuk tujuh orang, dan sapi untuk tujuh orang.” [Ditakhrijkan oleh Muslim, Kitab al-Hajj, No. 350/1318:602].

2.   عَنْ جَابِرِ قَالَ ذَبَحَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَائِشَةَ بَقَرَةً يَوْمَ النَّحرِ. [أخرجه مسلم، كتاب الحج، نمرة: 356/1319: 603].

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir ia berkata: Rasulullah saw menyembelih hewan qurban untuk Aisyah seekor lembu pada hari nahar.” [Ditakhrijkan oleh Muslim, Kitab al-Hajj, No. 356/1319:603].

3.   عَنْ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي السَّفَرِ فَحَضَرَ اْلأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِي الْبَقَرَةِ سَبْعَةً وَفِي الْبَعِيْرِ عَشَرَةً. [رواه والترمذى والنسآئ].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Kami bersama Rasulullah saw dalam suatu perjalanan, kemudian datanglah hari raya Adlha, lalu kami berpatungan menyembelih lembu untuk tujuh orang dan unta untuk sepuluh orang.” [Ditakhrijkan oleh at-Turmudzi dan an-Nasa'i].

4.   عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُنِى سَوَادٍ وَيَبْرَكُ فِي سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ فَأُتِيَ بِهِ لِيُضَحِّيَ بِهِ فَقَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ هَلُمِّى اْلمُدْيَةَ ثُمَّ قَالَ: اِشْحَذِيْهَا بِحَجَرٍ فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَهُ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ بِسْمِ اللهِ اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ. [أخرجه مسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah ra., Nabi saw memerintahkan mengambil domba yang branggah (tanduknya menjulang tinggi), kakinya hitam, perutmya hitam dan matanya hitam, kemudian didatangkan domba tersebut kepada beliau untuk diqurbankan, lalu beliau berkata kepada Aisyah: Hai Aisyah, ambilkan pisau, lalu berkata, Asahlah pisau itu dengan batu asah, lalu Aisyah mengerjakannya, kemudian beliau mengambilnya dan mengambil domba, lalu beliau menelentangkan domba tersebut lalu menyembelihnya, kemudian bersabda: Dengan atas nama Allah, Ya Allah terimalah qurban ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad.” [Ditakhrijkan oleh Muslim; as-Shan'aniy, IV: 90].

 

Penjelasan:

Hadits yang diriwayatkan oleh Jabir (1), menjelaskan bahwa Nabi saw bersama shahabat menyembelih hewan qurban; satu unta untuk tujuh orang, dan satu lembu untuk tujuh orang. Hadits yang diriwayatkan oleh Jabir juga (2), menjelaskan bahwa Nabi saw menyembelih hewan qurban untuk Aisyah satu ekor lembu. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas (3), menjelaskan bahwa Rasulullah saw bersama shahabat menyembelih hewan qurban; satu ekor lembu untuk tujuh orang, dan satu ekor unta untuk sepuluh orang.

Dari tiga hadits tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa satu lembu boleh diqurbankan untuk satu orang dan maksimal untuk tujuh orang, sedang seekor unta boleh untuk satu orang dan maksimal sepuluh orang, dengan melihat kondisi hewan tersebut.

Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah (4), menjelaskan bahwa seekor domba hanya untuk satu orang. Doa Rasulullah saw yang disebutkan dalam hadits tersebut bukanlah berarti bahwa satu ekor domba atau satu ekor lembu atau unta boleh untuk banyak orang. Nabi Muhammad saw adalah Nabi bagi seluruh umat, maka wajarlah beliau berdoa untuk umatnya.

 

 

 

B.     Mengenai masalah haji

 

Pada dasarnya haji hanya diwajibkan kepada orang yang mempunyai istitha'ah (kemampuan, baik biaya maupun kesehatan) jasmani dan rohaninya. Bagi orang yang tidak mampu tidak perlu minta bantuan ke mana saja, sebab ia tidak berkewajiban melakukannya. Tetapi apabila ada seseorang yang membantunya, boleh diterima atau ditolak, melihat harta yang dibantukan, bersih atau tidak. Jika diyakini bersih (thayyib), maka boleh diterima. Sebab hanya yang thayyib saja diterima Allah SWT. Dalam al-Qur'an Allah berfirman:

فِيْهِ ءَايَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ ءَامِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ اْلبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ اْلعَالَمِيْنَ. [آل عمران (3): 97].

Artinya: “Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” [QS. Ali ‘Imran (3): 97].

Dalam hadits Nabi saw disebutkan sebagai berikut:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا ... [أخرجه مسلم، 1، كتاب الزكاة، نمرة: 65/1015: 448].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Hai manusia, sesungguhnya Allah adalah Thayyib, dia tidak menerima kecuali yang thayyib(bersih dan halal) ...”[Ditakhrijkan oleh Muslim, I, Kitab az-Zakah, No. 65/1015: 448].

 

Penjelasan:

Pada surat Ali ’Imran (3) ayat 97, dijelaskan bahwa ibadah haji diwajibkan bagi orang-orang yang mempunyai istitha'ah, yaitu orang yang sanggup mendapatkan perbekalan dan alat-alat pengangkutan serta sehat jasmani, dan perjalanan pun aman, serta keluarga yang ditinggalkan terjamin kehidupannya. Maka apabila tidak mempunyai istitha'ah, tidaklah wajib menunaikan ibadah haji, tidak perlu minta bantuan dan sebagainya. Biaya untuk menunaikan ibadah haji pun harus thayyib (bersih dan halal), artinya bukan hasil usaha yang tidak halal, seperti hasil korupsi, hasil mencuri, hasil perzinaan dan sebagainya yang diharamkan Allah, sebagaimana ditegaskan dalam hadits Nabi saw, bahwa Allah adalah Thayyib, dan tidak menerima kecuali yang thayyib.

Berdasarkan keterangan singkat tersebut, maka biaya untuk menunaikan ibadah haji sebaiknya adalah hasil usaha sendiri. Apabila ada orang atau lembaga yang memberi bantuan, maka perlu diketahui bahwa biaya tersebut berasal dari usaha yang halal. Maka menurut kami, prinsip Pak Hasan sebagaimana tersebut dalam pertanyaan di atas adalah benar, bahkan perlu dicontoh, terlebih lagi dengan alasan mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi.

Wallahu a‘lam bish-shawab. *sd)

 

BERDOA DENGAN DOA BUATAN SENDIRI DALAM SHALAT,

ROH ANAK YANG DIKORBANKAN UNTUK PESUGIHAN,

HUKUM SHALAT DHUHA SECARA BERJAMAAH,

DAN LAFADZ TAKBIR HARI RAYA (14)

 

Penanya:

Wakidjo Az./ Agen SM No. 025, NBM. 494 220, Lampung

(disidangkan pada hari Jum'at, 7 Rabiul Akhir 1427 H / 5 Mei 2006 M)

 

Pertanyaan:

 

Pertanyaan saudara yang panjang dapat kami ringkas sebagai berikut:

1.      Bolehkah kita berdoa dengan doa buatan sendiri di dalam shalat?

2.      Kemanakah roh anak yang mati akibat dijadikan sebagai syarat mencari pesugihan?

3.      Bolehkah shalat dhuha dilaksanakan dengan berjamaah? Kalau boleh, bagaimanakah caranya? Dan apakah fadhilah shalat dhuha?

4.      Bagaimanakah lafaz takbir Hari Raya?

 

Jawaban:

 

Terima kasih atas pertanyaan-pertanyaan yang anda ajukan kepada kami, berikut ini jawabannya:

1.      Berdoa untuk mendapatkan kebaikan dunia-akhirat bisa dilakukan sebelum dan sesudah shalat sunat maupun fardhu. Adapun berdoa dengan doa-doa yang diajarkan Nabi saw. di dalam shalat itu adalah sunat. Bagaimana pula jika kita berdoa dengan doa redaksi sendiri di dalam shalat? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat seperti berikut:

a.        Madzhab Hanafi: Tidak boleh berdoa di dalam shalat kecuali dengan doa-doa yang ada di dalam al-Qur’an atau seperti yang ada dalam al­-Qur’an. (lihat al-Mabsut karangan as-Sarakhsi: 1/202-204).

Dalilnya:

قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيْهَا شَيْئٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيْحُ وَالتَّكْبِيْرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ. [أخرجه مسلم].

Sabda Nabi saw.: “Sesungguhnya shalat ini tidak boleh ada di dalamnya sesuatu dari perkataan manusia. Sesungguhnya ia adalah tasbih, takbir dan bacaan al-Qur’an.” [Ditakhrijkan oleh Muslim].

b.       Madzhab Maliki (lihat Syarh az-Zarqani 2/60), madzhab Syafi’i (lihat Fathul Bari: 2/230, 2/321) dan madzhab Hambali (lihat al-Mughni karangan Ibn Qudamah 1/320-322): Boleh berdoa dengan doa buatan sendiri yang disukainya.

Dalilnya:

1.قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيْثِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ فِي التَّشَهُّدِ: ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ مِنَ الدُّعَاءِ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ. [متفق عليه]، وَلِمُسْلِمٍ: ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ بَعْدُ مِنَ اْلمَسْأَلَةِ مَا شَاءَ أَوْ مَا أَحَبَّ. وَفِي حَدِيْثِ أَبِي هُرَيْرَةَ: إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَعَوَّذْ مِنْ أَرْبَعٍ ثُمَّ يَدْعُو لِنَفْسِهِ مَا بدَأَ لَهُ.

Sabda Nabi saw. dalam hadis Ibn Mas’ud dalam masalah tasyahhud: “Kemudian hendaklah ia memilih doa yang paling ia kagumi.” [Muttafaq Alaih]. Dan dalam hadits riwayat Muslim: “Kemudian hendaklah ia memilih --setelah tasyahhud-- permohonan yang dikehendakinya atau disukainya.” Dan dalam hadis Abu Hurairah: “Jika salah seorang di antara kamu telah tasyahhud maka hendaklah ia berlindung (kepada Allah) dari empat perkara kemudian berdoa untuk dirinya apa yang tampak (baik) baginya.”

2.وَرُوِيَ عَنِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ غَدَتْ عَلَي النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: عَلِّمْنِي كَلِمَاتٍ أَقُوْلُهُنَّ فِي صَلاَتِي فَقَالَ: كَبِّرِي اللهَ عَشْرًا وَسَبِّحِي اللهَ عَشْرًا وَاحْمَدِيْهِ عَشْرًا ثُمَّ سَلِي مَا شِئْتِ. [رواه الترمذي].

Diriwayatkan dari Anas, bahwa Ummu Sulaim datang kepada Nabi saw. lalu berkata: Ajarkan kepadaku perkataan (doa) yang aku panjatkan dalam shalatku. Maka beliau bersabda: “Bertakbirlah sepuluh kali, bertasbihlah sepuluh kali dan bertahmidlah sepuluh kali, kemudian mintalah apa yang engkau kehendaki.” [HR. Tirmidzi].

3.   قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا السُّجُوْدُ فَأَكْثِرُوْا فِيْهِ مِنَ الدُّعَاءِ. [رواه ابن خزيمة].

Sabda Nabi saw.: “Adapun sujud, maka perbanyaklah doa di dalamnya.” [HR. Ibn Khuzaimah].

Menurut para Ulama pendukung madzhab ini, hadis-hadis di atas dengan jelas membenarkan doa buatan sendiri di dalam shalat, karena Nabi saw. tidak menentukan doa tertentu. Oleh karena itu, tidak heranlah jika para shahabat seringkali berdoa dengan doa yang tidak mereka terima dari Nabi saw., dan beliaupun tidak mengingkarinya. Tambahan pula hadis-hadis di atas rnentakhsis (mengkhususkan) keumuman dalil madzhab Hanafi itu, apalagi pengharaman berbicara di dalam shalat itu terjadi ketika di Makkah, sedang hadis-hadis mcngenai doa di dalam shalat itu diucapkan di Madinah. (lihat Nailul Authar: 2/365).

Dengan demikian, kami cenderung kepada pendapat ini karena dalilnya lebih rajih (kuat). Namun berdoa di dalam shalat dengan redaksi buatan sendiri itu hendaknya dalam bahasa Arab, bukan dengan bahasa-bahasa lainnya untuk menjaga kesakralan shalat dan karena yang dicontohkam oleh para shahabat adalah dengan bahasa Arab. Wallahu a’lam bish-shawab.

 

2.      Sebelum menjawab pertanyaan saudara mengenai roh anak yang mati akibat dijadikan syarat mencari pesugihan, perlu kami tegaskan di sini bahwa mencari pesugihan/kekayaan dengan cara meminta tolong kepada dukun dan atau jin itu adalah syirik. Hal itu perlu dijauhi karena dosa besar.

Kemudian, menurut pendapat kami anak yang mati karena dikorbankan untuk mencari pesugihan itu memang sudah sampai ajal yang telah ditentukan oleh Allah dan tidak berpindah ke alam jin atau setan, dan tidak pula bisa hidup selama-lamanya sebagaimana kepercayaan sebagian orang. Ini karena jika seseorang itu telah meninggal, maka berarti ajalnya telah tiba. Dan Allah SWT menegaskan bahwa setiap jiwa itu akan merasakan kematian. Firman-Nya:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ اْلمَوْتِ. [آل عمران (3): 185].

Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” [QS. Ali Imran (3): 185].

Adapun ruh anak yang sudah mati itu, meskipun dibunuh untuk mencari pesugihan, tetap kembali kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ. [الأنفال (8): 27].

Artinya: “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali.” [QS. Al-Baqarah (2): 156]. Wallahu a’lam bish-shawab.

 

3.      Shalat dhuha boleh dikerjakan dengan berjamaah. Ada hadis yang menyatakan bahwa Nabi saw. shalat pada waktu dhuha berjamaah, namun para ulama memperselisihkan apakah yang dikerjakan oleh Nabi saw. dan para shahabat itu shalat dhuha atau bukan. Hadisnya sebagai berikut:

عَنْ عِتْبَانِ بْنِ مَالِكٍ وَهُوَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّنْ شَهَدَ بَدْرًا مِنَ اْلأَنْصَارِ أَنَّهُ أَتَى رَسُوْلَ اللهِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّى قَدْ أَنْكَرْتُ بَصَرِي وَأَنَا أُصَلِّى لِقَوْمِي وَإِذَا كَانَتِ اْلأَمْطَارُ سَالَ اْلوَادِى بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ وَلَمْ أَسْتَطِعْ أَنْ أَتَى مَسْجِدَهُمْ فَأًُصَلِّي لَهُمْ وَوَدِدْتُ أَنَّكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ تَأْتِي فَتُصَلِّي فِي مُصَلَّى فَأَتَّخِذُهُ مُصَلًى قَالَ فَقَالَرَسُوْلُ اللهِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَأَفْعَلُ إِنْ شَآءَ اللهُ. قَالَ عِتْبَانُ: فَغَدَا رَسُوْلُ اللهِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيْقُ حِيْنَ ارْتَفَعَ النَّهَارُ فَاسْتَأْذَنَ رَسُوْلُ اللهِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَفَأَذِنْتُ لَهُ فَلَمْ يَجْلِسْ حَتَّى دَخَلَ الْبِيْتَ ثُمَّ قَالَ: أَيْنَ تُحِبُّ أَنْتُصَلِّي مِنْ بَيْتِكَ. قَالَ: فَأَشَرْتُ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنَ الْبَيْتِ فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَبَّرَ فَقُمْنَا وَرَاءَهُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ. [متفق عليه].

Artinya: “Diriwayatkan dari Itban bin Malik ---dia adalah salah seorang shahabat Nabi yang ikut perang Badar dari kalangan Ansar--- bahwa dia mendatangi Rasulullah saw. lalu berkata: Wahai Rasulullah, sungguh aku sekarang tidak percaya kepada mataku (maksudnya, matanya sudah kabur) dan saya menjadi imam kaumku. Jika musim hujan datang maka mengalirlah air di lembah (yang memisahkan) antara aku dengan mereka, sehingga aku tidak bisa mendatangi masjid untuk mengimami mereka, dan aku suka jika engkau wahai Rasulullah datang ke rumahku lalu shalat di suatu tempat shalat sehingga bisa kujadikannya sebagai tempat shalatku. Ia meneruskan: Maka Rasulullah saw. Bersabda: “Akan kulakukan insya Allah”. Itban berkata lagi: Lalu keesokan harinya Rasulullah saw. dan Abu Bakar ash-Shiddiq datang ketika matahari mulai naik, lalu beliau meminta izin masuk, maka aku izinkan beliau. Beliau tidak duduk sehingga masuk rumah, lalu beliau bersabda: “Mana tempat yang kamu sukai aku shalat dari rumahmu? Ia berkata: Maka aku tunjukkan suatu ruangan rumah”. Maka Rasulullah saw. berdiri lalubertakbir, lalu kami pun berdiri (shalat) di belakang beliau. Beliau shalat dua rakaat kemudian mcngucapkan salam”.[Muttafaq Alaih].

Bagi mereka yang berpendapat bahwa itu adalah shalat dhuha, karena dilakukan ketika matahari mulai naik, maka mereka mengatakan bahwa shalat dhuha boleh dilakukan secara berjamaah. Caranya adalah dengan bacaan sirr (perlahan-perlahan, tidak jahr/terang).

Adapun fadhilah shalat dhuha adalah banyak, antara lain sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Nabi saw. dengan sabdanya:

عَنْ ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَصْبَحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمِي مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَصْبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِاْلمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ اْلمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَالِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى. [رواه مسلم].

Diriwayatkan dari Abu Dzar ra., dari Nabi saw., beliau bersabda: “Setiap pagi hari, setiap ruas tulang dari seseorang di antara kamu itu ada (keharusan) sedekah. Setiap sekali tasbih adalah sedekah, setiap sekali tahmid adalah sedekah, setiap sekali tahlil adalah sedekah, setiap sekali takbir adalah sedekah, menyuruh kepada yang ma’ruf (baik) adalah sedekah dan melarang dari yang mungkar adalah sedekah. Dan yang sedemikian itu dapat dicukupi oleh dua rakaat yang dilakukan oleh seseorang dari shalat dhuha.”[HR. Muslim].

 

4.      Mengenai lafadz takbir hari raya, sebagaimana diputuskan dalam Muktamar Tarjih XX, yang berlangsung tanggal 18 s.d. 23 Rabi’ul Akhir 1396 H, bertepatan dengan tanggal 18 s.d. 23 April 1976 di Kota Garut Jawa Barat, yang selanjutnya telah ditanfidzkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan surat Nomor: C/1-0/75/77 tertanggal 5 Shafar 1397 H bertepatan dengan tanggal 26 Januari 1977, adalah:

اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ

Keputusan ini berdasarkan dalil:

عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: كَبِّرُوْا، اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَ جَاءَ عَنْ عُمَرَ وَابْنِ مَسْعُوْدٍ: اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ اْلحَمْدُ.

Artinya: “Dari Salman (diriwayatkan bahwa) ia berkata: bertakbirlah dengan Allaahu akbar, Allaahu akbar kabiiraa. Dan diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Mas’ud: Allaahu akbar, Allaahu akbar, laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar, Allaahu akbar wa lillaahil-hamd.” [HR. Abdul Razzaaq, dengan sanad shahih].

Wallahu a‘lam bish-shawab. *mi)

 

ISI BUKU

“NUR MUHAMMAD DAN BERITA DARI ALAM GHAIB” (15)

 

 

Penanya:

Yusuf Shalihin, Cirebon

 (disidangkan pada hari Jum’at, 21 Rabiul Akhir 1427 H / 19 Mei 2006 M)

 

 

Pertanyaan:

 

Assalamu 'alaikum Wr. Wb.

 

Dengan ini saya mohon penjelasan; apakah berdasar dalil yang kuat, tentang keterangan yang dimuat di dalam sebuah buku berjudul: NUR MUHAMMAD DAN BERITA DARI ALAM GHAIB yang ditulis oleh Aqil bil-Qisti, penerbit TIGA DUA, Surabaya.

Dalam Bab III berjudul Proses Penciptaan Makhluk, diterangkan bahwa Allah menciptakan sebuah pohon Yakin yang mempunyai empat cabang. Kemudian Allah menciptakan Nur Muhammad dari sebuah intan putih serupa burung merak, lalu burung merak itu membaca tasbih selama 70.000 tahun. Kemudian Allah menciptakan cermin kehidupan dan diletakkan di depan burung merak, lalu burung merak menatap cermin tersebut. Burung merak itu lalu merasa malu dan meneteskan keringat enam tetes; dari tetes pertama Allah menciptakan Abu Bakar, tetes kedua Umar bin Khathab, tetes ketiga Usman bin Affan, tetes keempat Ali bin Abi Thalib, tetes kelima bunga mawar dan tetes keenam padi.

Pada halaman selanjutnya diterangkan bahwa adanya semua makhluk berasal dari Nur Muhammad, sampai Nabi Adam pun di dahinya ada Nur Muhammad.

Untuk itu, kepada Majelis Tarjih mohon penjelasannya.

 

Wassalamu 'alaikum Wr. Wb.

 

Jawaban:

Buku yang saudara baca memang ada dan sudah beredar di kalangan umum, mungkin juga sudah banyak orang yang membacanya. Kami pun pernah membaca buku semacam itu beberapa tahun yang lalu, sekalipun tidak tamat membacanya. Kalau ditanya apakah ada sumber yang shahih, kami sangat sulit mencarinya.

Sekalipun demikian, kami tetap berpegang teguh pada sumber pokok syari'ah Islam, yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah al-Maqbulah. Jika cerita tersebut sesuai dengan al-Qur'an atau as-Sunnah al-Maqbulah, maka dapat diterima, tetapi jika bertentangan dengan al-Qur'an atau as-Sunnah al-Maqbulah, maka tidak dapat diterima.

Untuk itu, di bawah ini kami kutipkan beberapa ayat al-Qur'an yang ada kaitannya dengan penciptaan manusia:

1-cÎ)َّ Ÿ@sVtB4Ó|¤ŠÏãy‰ZÏã«!$#È@sVyJx.tPyŠ#uä(¼çms)n=yz`ÏB5>#tè?¢OèOtA$s%¼çms9`ä.ãbqä3u‹sù.[ال عمران، 3: 59].

1. “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, Kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), Maka jadilah Dia.” [QS. Ali Imran, 3: 59].

2- uqèd“Ï%©!$#Nä3s)n=yz`ÏiB&ûüÏÛ¢OèO#Ó|Ós%Wxy_r&(×@y_r&ur‘‡K|¡•B¼çny‰YÏã(¢OèOóOçFRr&tbrçŽtIôJs?. [الأنعام، 6: 2].

2. “Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang dia sendirilah mengetahuinya), Kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).” [QS. Al-An’am, 6: 2].

3- tA$s%¼çms9¼çmç7Ïm$|¹uqèdurÿ¼çnâ‘Ír$ptä†|Nöxÿx.r&“Ï%©!$$Î/y7s)n=yz`ÏB5>#tè?§NèO`ÏB7pxÿõܜR§NèOy71§qy™Wxã_u‘. [الكهف، 18: 37].

3. “Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya - sedang dia bercakap-cakap dengannya: "Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, Kemudian dari setetes air mani, lalu dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?” [QS. Al-Kahfi, 18: 37].

4-ô`ÏBurÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä÷br&Nä3s)n=s{`ÏiB5>#tè?¢OèO!#sŒÎ)OçFRr&֍t±o0šcrçŽÅ³tFZs?. [الروم، 30: 20].

4. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan kamu dari tanah, Kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.” [QS. Ar-Rum, 30: 20].

5- uqèd“Ï%©!$#Nà6s)n=s{`ÏiB5>#tè?§NèO`ÏB7pxÿõܜR§NèOô`ÏB7ps)n=tæ§NèOöNä3ã_̍øƒä†WxøÿÏÛ§NèO(#þqäóè=ö7tFÏ9öNà2£‰ä©r&¢OèO(#qçRqä3tFÏ9%Y{qãŠä©4Nä3ZÏBur`¨B4’¯ûuqtGãƒ`ÏBã@ö6s%((#þqäóè=ö7tFÏ9urWxy_r&‘wK|¡•BöNà6¯=yès9uršcqè=É)÷ès?. [المؤمن، 40: 67].

5. “Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, Kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, Kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), Kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya).” [QS. al-Mu'min, 40: 67].

6- óOs9r&/œ3)è=øƒwU`ÏiB&ä!$¨B&ûüÎg¨B. çm»oYù=yèyfsù’Îû9‘#ts%AûüÅ3¨B. 4’n<Î)9‘y‰s%5Qqè=÷è¨B. [المرسلات، 77: 20-22].

6. “Bukankah kami menciptakan kamu dari air yang hina (air mani)? Kemudian kami letakkan dia dalam tempat yang kokoh (rahim), sampai waktu yang ditentukan.” [QS. Al-Mursalat, 77: 20-22].

 

Penjelasan:

 

Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari tanah, kemudian dari nutfah, termasuk juga para khalifah yang empat; Abu Bakr bin Abi Qahafah ra, Umar bin Khathab ra, Usman bin Affan ra, dan Ali bin Abi Thalib ra. Penjelasan tersebut diungkapkan pula pada ayat-ayat lainnya, seperti: an-Nisa (4): 1, an-Nahl (16): 4, an-Nur (24): 45, al-Furqon (25): 54, ar-Rahman (55): 14 dan 15, al-Qiyamah (75): 38, al-Alaq (96): 2, al-Isra' (17): 61, al-A'raf (7): 12, Shad (38): 76, al-Hijr (15): 33, Fathir, (35): 11, al-Mu'minun (23): 12 dan 14, al-Insan (76): 2, Yasin (36): 77, ash-Shaffat (37): 11, as-Sajdah (32): 7, ath-Thariq (86): 6, dan al-Hijr (15): 28.

Karena al-Qur'an adalah sumber pokok yang wajib diyakini kebenarannya, maka kami berpendapat bahwa apa yang dijelaskan oleh al-Qur'an itulah yang benar, sedang apa yang diberitakan oleh buku yang saudara baca itu tidak benar. Wallahu a'lam bish-shawab. *sd)

 

ONH DENGAN BERHUTANG DI BANK (16)

 

 

Penanya:

Ny. Raning M, Suruh, Salatiga, Jawa Tengah

 (disidangkan pada hari Jum’at, 10 Rajab 1427 H / 4 Agustus 2006 M)

 

Pertanyaan:

1.      Bagaimana hukumnya ONH dengan cara hutang bank?

2.      Siksa apa yang kami alami di tanah suci nanti?

3.      Apakah lebih baik kami pergi haji menunggu warisan peninggalan orang tua laku dijual, karena kapan lakuknya kami belum tahu mengingat bentuknya tanah, sawah dan rumah?

4.      Kalau menurut bapak/ibu cara ini (hutang bank) tidak baik, kami siap mengundurkan diri secepatnya mencabut ONH itu.

Demikian pertanyaan-pertanyaan kami, semoga bapak/ibu berkenan menjawab secepatnya. Semoga jawaban bapak/ibu dicatat Allah sebagai amal ibadah. Amin. Terima kasih.

 

Jawaban:

 

Sebelumnya, kami ucapkan terima kasih atas pertanyaan yang ibu sampaikan kepada kami. Untuk menjawab beberapa pertanyaan dari ibu kami berusaha menjawabnya dengan menyatukannya dalam satu jawaban.

Pada dasarnya, naik haji itu tidak wajib hukumnya atas orang yang belum mempunyai isthitha’ah (kemampuan), sebagaimana firman Allah SWT:

¬!ur’n?tãĨ$¨Z9$#kÏmÏMøt7ø9$#Ç`tBtí$sÜtGó™$#Ïmø‹s9Î)Wx‹Î6y™4`tBurtxÿx.¨bÎ*sù©!$#;ÓÍ_xîÇ`tãtûüÏJn=»yèø9$#. [آل عمران، 3: 97].

Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” [QS. Ali Imran, 3: 97].

Salah satu arti isthita’ah di sini adalah kemampuan dari aspek keuangan atau biaya menjalankan ibadah haji, yang lebih populer dengan istilah Ongkos Naik Haji (ONH). Jadi jika seseorang, -termasuk ibu dan suami,- belum mempunyai biaya untuk ONH, maka tidak wajib hukumnya menunaikan ibadah haji. Oleh karena itu kami menganjurkan supaya tidak perlu berhutang hanya karena untuk mengerjakan sesuatu yang belum menjadi kewajiban ibu. Apalagi jika hutang tersebut kepada bank atau siapa saja yang ada syarat harus membayar bunga, karena bunga oleh banyak ulama disamakan dengan riba yang justru dapat memberatkan pembayarannya di kemudian hari. Dengan demikian, menurut pendapat kami sebaiknya ibu membatalkan pinjaman bank untuk ONH tersebut dan menunggu harta warisan orang tua terjual atau mengusahakan cara-cara yang yang jelas-jelas halal untuk menunaikan ibadah haji. Semoga niat suci ibu dan suami untuk naik haji diterima, dimudahkan jalannya dan dikabulkan oleh Allah SWT. Amin.Wallahu a'lam bish-shawab. *mi)

 

ANAK YATIM DAN CARA MENYANTUNINYA (17)

 

 

Penanya:

Suyana, Trimartani

 (disidangkan pada hari Jum’at, 10 Rajab 1427 H / 4 Agustus 2006 M)

 

 

Pertanyaan:

 

1.      Mohon dijelaskan arti yatim dalam al-Qur'an. Apakah dikhususkan anak yang kematian bapak saja, atau yang tidak beribu pun disebut yatim? Benarkah anak yang kematian ibu boleh didiskriminatifkan dalam penyantunan dan perhatian? Adakah dalilnya anak yang kematian ibu disebut piatu sehingga hak santunan (material dan kasih sayang) boleh berbeda dengan anak yang kematian bapak?

2.      Bagaimana cara menyantuni anak yatim yang dicontohkan Nabi Muhammad saw?

3.      Apakah ada tuntunannya memberi santunan dengan prosesi membelai-belai rambut anak yatim oleh jamaah secara bergiliran? Apakah dibenarkan yatim remaja putri dibelai-belai sedemikian rupa oleh jamaah laki-laki dari remaja hingga dewasa?

Atas jawabannya diucapkan terima kasih.

 

Jawaban:

1.      Arti yatim: yatim berasal dari bahasa Arab yang berarti orang yang kehilangan (kematian) ayahnya, bukan ibunya. Anak yatim wajib disantuni karena ia kehilangan ayah yang wajib menanggung nafkahnya. Namun demikian, orang yang kehilangan (kematian) ibunya tetap wajib disantuni sebagaimana halnya anak yatim. Apalagi kalau kehilangan (kematian) kedua orang tuanya sekaligus. Adapun piatu adalah istilah dalam bahasa Indonesia untuk sebutan bagi anak yang kehilangan (kematian) ibunya. Sehingga anak yang kehilangan (kematian) ayah dan ibunya sering disebut dengan yatim piatu. Masa keyatiman seorang anak itu ada batasnya, yaitu ketika ia telah baligh dan tampak rusyd (kemandirian) pada dirinya. Firman Allah SWT:

وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ ءَانَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ. [النسآء، 4: 6].

Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” [QS. an-Nisa', 4: 6].

 

Banyak hadits yang menganjurkan kita untuk memelihara dan menyantuni anak yatim, antara lain:

عَنْ سَهْلٍ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا. [رواه البخارى].

Artinya: “Diriwayatkan dari Sahl, Rasulullah saw bersabda: Aku dan pemelihara anak yatim, di surga seperti ini. Lalu beliau mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah dan merenggangkan di antara keduanya sedikit.” [HR. Al-Bukhari].

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ وَأَشَارَ مَالِكٌ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى. [رواه مسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: ‘Pemelihara anak yatim kepunyaannya (masih ada hubungan keluarga) atau kepunyaan orang lain (tidak ada hubungan keluarga), dia dan aku seperti dua jari ini di surga.’ Lalu Malik mengisyaratkannya dengan jari telunjuk dan jari tengah.” [HR. Muslim].

 

2.      Secara terperinci Nabi Muhammad saw tidak memberi contoh bagaimana cara menyantuni anak yatim. Yang jelas, cara menyantuni anak yatim itu adalah dengan memuliakan, memperhatikan, memberi kasih sayang, memenuhi kebutuhan hidupnya (makan, minum, pakaian, tempat tinggal), pendidikannya, kesehatannnya dan segala sesuatu yang diperlukannya agar menjadi anak yang shalih, mandiri dan berguna.

 

3.      Tentang membelai rambut anak yatim, memang ada sebuah hadits sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلاً شَكَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَقَالَ امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ وَأَطْعِمْ الْمِسْكِينَ. [رواه أحمد ورجاله رجال الصحيح].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki yang mengadukan kekerasan hatinya kepada Rasulullah saw, maka beliau bersabda: ‘Usaplah kepala anak yatim dan berilah makan orang miskin.’” [HR. Ahmad dengan perawi shahih].

 

Menurut hadits ini, mengusap kepala anak yatim dan memberi makan orang miskin mempunyai pengaruh yang sangat baik pada diri seseorang, yaitu dapat melembutkan hati yang keras. Dalam prakteknya, kedua hal tersebut dilakukan dengan penuh keinsyafan hati secara natural (tidak dibuat-buat) atau dipaksa-paksakan). Mengusap kepala anak yatim adalah simbol atau cara menunjukkan empati dan kasih sayang, bukan ritual yang harus dilakukan. Sudah barang tentu yang diusap adalah kepala anak yatim yang belum dewasa. Adapun orang laki-laki membelai rambut anak yatim putri yang sudah menginjak usia remaja adalah dilarang karena menimbulkan fitnah. Wallahu a'lam bish-shawab. *mi)

HUKUM SHALAT ARBA'IN

DAN HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA (18)

 

 

Penanya:

Yel Hidayat, Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Bengkulu

(disidangkan pada hari Jum’at, 29 Sya'ban 1427 H / 22 September 2006 M)

 

 

Pertanyaan:

 

1.      Di  dusun  kami  ada  kebiasaan  masyarakat  mengerjakan  sholat  40  waktu dengan berjama'ah dimulai dan tanggal 20 Sya'ban sarnpai dengan akhir bulan Ramadhan setiap tahun. Kalau tinggal satu waktu saja sholat lima waktu itu dikerjakan tidak berjama'ah. maka ia dinyatakan tidak boleh lagi mengikuti selanjutnya. Mereka mengatakan sama dengan sholat arba'in di tanah suci. Yang saya tanyakan, apakah ada dalil yang memerintahkan?

2.      Pada akhir-akhir ini banyak kita dengar perkawinan berlainan agama, yang saya tanyakan apakah sah perkawinan antar agama tersebut? Dan apakah hukumnya mereka berhubungan suami isteri? Apakah termasuk zina?

Demikian kiranya bapak dapat menjawabnya. Terima kasih.

 

Jawaban:

Saudari Yel Hidayat yang baik, berikut ini jawaban atas pertanyaan saudari:

1.      Dalil yang memerintahkan sholat arba'in di selain masjid Nabawi di Madinah itu tidak ada. Jadi dengan demikian kebiasaan masyarakat di dusun saudari tersebut bid'ah yang harus segera dihentikan, ini karena ibadah tanpa dalil itu dilarang oleh agama. Para ulama dalam hal ini telah membuat kaidah:

الأَصْلُ فِى اْلعِبَادَةِ التَّوْقِيْفُ.

Artinya: Asal semua ibadah itu adalah berhenti (menunggu apa yang diperintahkan oleh syariat).”

Maksudnya, kita tidak boleh menambah atau mengurangi apa yang diperintahkan oleh syariat, atau bahkan mengada-adakan sesuatu yang tidak diperintahkan olehnya atas dasar pikiran kita.

Memang sholat secara berjama'ah itu sangat dianjurkan oleh syariat. Namun pelaksanaannya tidak terbatas pada sholat 40 waktu saja seperti kebiasaan masyarakat di dusun saudari. Tambahan lagi, kebiasaan tersebut aneh, kalau tertinggal satu waktu saja, seseorang tidak boleh mengikuti selanjutnya. Ini berarti ia tidak perlu sholat berjama'ah lagi hingga akhir Ramadhan dan ini tidak benar. Kami kira sebab kebiasaan tersebut adalah kesalahan dalam memahami sholat arba'in di Madinah. Untuk lebih rinci berikut ini dikutipkan hadis tentang sholat arba'in di Madinah.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَلَّى فِى مَسْجِدِيْ أَرْبَعِيْنَ صَلاَةً لاَ تَفُوْتُهُ صَلاَةٌ كَتَبَ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنَ اْلعَذَابِ وَبَرِيْءٌ مِنَ النِّفَاقِ. [رواه أحمد والطبراني فى الأوسط ورجاله ثقات].

Artinya: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik, dari Nabi saw. Beliau bersabda: "Barangsiapa sholat di masjidku 40 sholat, tidak tertinggal satu sholatpun, niscaya ditulis baginya bebas dari neraka, bebas dari siksa, dan bebas dari kemunafikan".” [HR. Ahmad dan Thabrani di dalam Kitab al-Ausath, dan perawinya tsiqat].

Kesahihan hadis ini masih diperselisihkan oleh kalangan para ahli hadis. Menurut Syaikh al-Albani hadits ini dlaif. Hadis ini menerangkan keutamaan sholat berjama'ah di masjid Nabawi. Bagi mereka yang bisa menjaga sholat berjama'ah selama 40 waktu (delapan hari) berturut-turut di masjid tersebut diberi pahala luar biasa yaitu bebas dari neraka, siksa dan sifat munafik. Hal ini tidak bisa dianalogikan kepada sholat berjama'ah di masjid-masjid lain, karena keutamaan dan keistimewaan tersebut hanya khusus diberikan kepada masjid Nabawi sebagai penghormatan kepada Nabi Muhammad saw.

Perlu ditambahkan di sini bahwa jika seseorang itu tertinggal satu kali waktu ketika sholat arba'in di masjid Nabawi, maka ia boleh memulakannya semula. Juga perlu ditegaskan di sini bahwa keutamaan menjaga sholat arba'in secara berjama'ah di masjid Nabawi itu tidak berarti bahwa sholat berjama'ah itu cukup selama 40 waktu saja, karena sholat berjama'ah tetap dituntut atau dianjurkan di masjid Nabawi dan di masjid-masjid lain meskipun seseorang itu telah melakukan sholat arba'in.

 

2.      Sebenarnya pertanyaan saudara mengenai perkawinan beda agama sudah pernah dijawab pada buku Tanya Jawab Agama jilid 4 halaman 205-207. Berikut ini sekedar keterangan tambahan. Para ulama sepakat bahwa seorang wanita muslimah haram menikah dengan selain laki-laki muslim. Mereka juga sepakat bahwa seorang laki-laki muslim haram menikahi wanita musyrik (yang tidak beragama dan atau yang beragama bukan ahli kitab: seperti Hindu, Buda, Konghuchu dan lainnya). Dalam hal ini Allah berifrman:

Ÿwur(#qßsÅ3Zs?ÏM»x.Ύô³ßJø9$#4Ó®Lym£`ÏB÷sãƒ4×ptBV{urîpoYÏB÷s•B׎öyz`ÏiB7px.Ύô³•Böqs9uröNä3÷Gt6yfôãr&3Ÿwur(#qßsÅ3Zè?tûüÏ.Ύô³ßJø9$#4Ó®Lym(#qãZÏB÷sãƒ4Ӊö7yès9urí`ÏB÷s•B׎öyz`ÏiB78Ύô³•Böqs9uröNä3t6yfôãr&3y7Í´¯»s9'ré&tbqããô‰tƒ’n<Î)͑$¨Z9$#(ª!$#ur(#þqããô‰tƒ’n<Î)Ïp¨Yyfø9$#ÍotÏÿøóyJø9$#ur¾ÏmÏRøŒÎ*Î/(ßûÎiüt7ãƒur¾ÏmÏG»tƒ#uäĨ$¨Y=Ï9öNßg¯=yès9tbr㍩.x‹tGtƒÇËËÊÈ

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” [QS. al-Baqarah (2): 221]

Yang menjadi perselisihan di kalangan para ulama adalah, bolehkah seorang laki-laki muslim menikahi seorang wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani)? Sebagian ulama membolehkan dengan dalil firman Allah:

tPöqu‹ø9$#¨@Ïmé&ãNä3s9àM»t6Íh‹©Ü9$#(ãP$yèsÛurtûïÏ%©!$#(#qè?ré&|=»tGÅ3ø9$#@@Ïmö/ä3©9öNä3ãB$yèsÛur@@ÏmöNçl°;(àM»oY|ÁósçRùQ$#urz`ÏBÏM»oYÏB÷sßJø9$#àM»oY|ÁósçRùQ$#urz`ÏBtûïÏ%©!$#(#qè?ré&|=»tGÅ3ø9$#`ÏBöNä3Î=ö6s%!#sŒÎ)£`èdqßJçF÷s?#uä£`èdu‘qã_é&tûüÏYÅÁøtèCuŽöxîtûüÅsÏÿ»|¡ãBŸwurü“É‹Ï‚­GãB5b#y‰÷{r&3`tBuröàÿõ3tƒÇ`»uKƒM}$$Î/ô‰s)sùxÝÎ6ym¼ã&é#yJtãuqèdur’ÎûÍotÅzFy$#z`ÏBz`ƒÎŽÅ£»sƒø:$#ÇÎÈ

Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Dan makanan (sembelihan) ahli kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara ahli kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” [QS. al-Maidah (5): 5]

Sebagian lagi melarang (mengharamkan) menikah dengan ahli kitab dengan alasan bahwa ahli kitab yang ada sekarang tidak seperti ahli kitab pada zaman Nabi Muhammad saw. Ahli kitab sekarang telah musyrik (menyekutukan Allah) dengan mengatakan Isa as. dan ’Uzair itu anak Allah. Mereka juga telah menyelewengkan kitab Taurat dan Injil. Menurut kami, pendapat ini lebih kuat, karena beberapa alasan lain antara lain; menikah dengan yang seagama itu lebih baik untuk menjaga iman anak-anak yang akan dilahirkan, dan kita -kaum muslimin- alhamdulillah tidak kekurangan wanita muslimah. Bahkan realitasnya, jumlah kaum wanita kita lebih banyak dari kaum laki- lakinya,  jadi  mengapa  menikah  dengan  selain  mereka?  Bukankah  ini menimbulkan situasi dan kondisi yang tidak baik di dalam masyarakat Islam?

Jadi kesimpulannya, seorang muslimah itu diharamkan menikah dengan selain muslim, demikian pula sebaliknya, seorang muslim itu dilarang menikah dengan selain muslimah, demi memelihara maslahat umat Islam dan menghindarkan mereka dari mara bahaya.

Mengenai hubungan suami isteri, itu dianggap sah jika pernikahan mereka dibenarkan oleh syariat. Dan jika pernikahan mereka itu tidak dibenarkan (seperti jika seorang wanita muslimah menikah dengan seorang laki-laki non muslim), maka hubungan suami isteri mereka itu dianggap perzinaan yang harus segera dihentikan.

Wallahu a’lam bishshawab. *mi)

 

PANGGILAN “MAMA” UNTUK ISTRI DAN “PAPA” UNTUK SUAMI, HUKUM SELAMATAN UNTUK ORANG YANG MENINGGAL DUNIA,

DAN WAKTU UTAMA SHALAT TARAWIH (19)

 

 

Penanya:

Tamrin Mobonggi, NBM. 466.786 di Limbato, Gorontalo

(disidangkan pada hari Jum’at, 24 Zulqa'dah 1427 H / 15 Desember 2006 M)

 

 

Pertanyaan:

1.      Apakah boleh memanggil istri dengan sebutan “mama” oleh suami atau sebaliknya istri memanggil suami dengan sebutan “papa”?

2.      Apakah ada tuntunan dari Islam mengadakan selamatan tiga hari, lima hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari atau memperingati hari ulang tahun (haul) bagi orang yang sudah meninggal dunia?

3.      Mana yang utama antara melakukan shalat tarawih di awal malam (sesudah shalat isya') atau di tengah / di larut malam?

 

Jawaban:

1.      Memanggil istri dengan sebutan “mama” atau suami dengan sebutan “papa”, pada prinsipnya dibolehkan oleh syara' (agama Islam), karena ucapan tersebut sudah menjadi ‘urf (kebiasaan) dalam masyarakat kita di Indonesia dan tidak ada konotasi/hubungan dengan hukum zhihar yang disebutkan dalam al-Qur'an surat al-Ahzab ayat 4 sebagai berikut:

$¨BŸ@yèy_ª!$#9@ã_tÏ9`ÏiBÉú÷üt7ù=s%’Îû¾ÏmÏùöqy_4$tBurŸ@yèy_ãNä3y_ºurø—r&‘Ï«¯»©9$#tbrãÎg»sàè?£`åk÷]ÏBö/ä3ÏG»yg¨Bé&4$tBurŸ@yèy_öNä.uä!$uŠÏã÷Šr&öNä.uä!$oYö/r&4öNä3Ï9ºsŒNä3ä9öqs%öNä3Ïdºuqøùr'Î/(ª!$#urãAqà)tƒ¨,ysø9$#uqèdur“ωôgtƒŸ@‹Î6¡¡9$#ÇÍÈ

Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar* itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja, dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar).

 

* Zhihar ialah perkataan seorang suami kepada istrinya: punggungmu haram bagiku seperti punggung ibuku atau perkataan lain yang sama maksudnya. adalah menjadi adat kebiasaan bagi orang Arab Jahiliyah, bahwa bila dia berkata demikian kepada istrinya maka istrinya itu haram baginya untuk selama-lamanya. Tetapi setelah Islam datang, maka yang haram untuk selama-lamanya itu dihapuskan dan istri-istri itu kembali halal baginya dengan membayar kaffarat (denda).

 

Kalau zhihar memang mengakibatkan suami tidak boleh bersenggama dengan istri sebelum membayar tebusan atau kafaratnya seperti yang ditetapkan oleh agama.

Bahkan sebutan “mama” atau “papa” disamping sebagai ‘urf yang baik (shahih) bukan ‘urf yang rusak (fasid), juga mengandung nilai pendidikan kepada putra-putrinya, supaya mereka menyebut ibu atau ayahnya dengan sebutan yang baik itu, dan jangan memakai istilah atau sebutan yang tidak baik.

 

2.      Hukum mengadakan selamatan yang disertai dengan doa yang dipaketkan itu, tidak ada tuntunan dari Islam. Selamatan tiga hari, lima hari, tujuh hari, dan seterusnya itu adalah sisa-sisa pengaruh budaya animisme, dinamisme, serta peninggalan ajaran Hindu yang sudah begitu berakar dalam masyarakat kita. Karena hal itu ada hubungan dengan ibadah, maka kita kembali saja kepada tuntunan Islam.

Rasulullah saw pernah melarang ulama Yahudi yang masuk Islam, bernama Abdullah bin Salam, yang ingin merayakan hari Sabtu sebagai hari raya. Ia ditegur oleh Nabi saw. Jadi, kita harus masuk kepada ajaran Islam secara menyeluruh (kaffah), tidak boleh sebahagian-sebahagiannya.

Seharusnya, ketika ada orang yang meinggal dunia, kita harus bertakziyah/melayat dan mendatangi keluarga yang terkena musibah kematian sambil membawa bantuan/makanan seperlunya sebagai wujud bela sungkawa. Pada waktu Ja'far bin Abi Thalib syahid dalam medan perang, Nabi saw menyuruh kepada para shahabat untuk menyiapkan makanan bagi keluarga Ja'far, bukan datang ke rumah keluarga Ja'far untuk makan dan minum.

 

3.      Shalat tarawih yang lebih utama (afdhal), dilakukan pada waktu larut malam, dikerjakan di masjid dengan berjama’ah. Rasulullah saw keluar ke masjid beberapa malam dan waktu sudah larut malam, kemudian berjama’ah dengan para shahabat dan selesainya hampir menjelang waktu sahur. Namun demikian boleh juga shalat tarawih dikerjakan pada awal malam sesudah shalat isya’ dengan berjamaah di masjid untuk mengejar pahala jama’ahnya.

Shalat tarawih menurut tuntunan Nabi saw adalah sebelas rakaat dengan witirnya. Dikerjakan dengan cara empat rakaat lalu salam tanpa tahiyyat awal, kemudian empat rakaat lalu salam, dan ditutup dengan shalat witir tiga rakaat lalu salam. Seperti yang tersebut di dalam hadits berikut ini:

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثاً ... [رواه البخاري ومسلم] .

Artinya: Dari Abi Salamah Ibnu Abdir-Rahman (dilaporkan) bahwa ia bertanya kepada Aisyah tentang bagaimana shalat Rasulullah saw di bulan Ramadan. Aisyah menjawab: Nabi saw tidak pernah melakukan shalat sunnat (tathawwu‘) di bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat.Beliau shalat empat rakaat dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya, kemudian beliau shalat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau shalat lagi tiga rakaat ... [HR. al-Bukhari dan Muslim].

 

Wallahu a’lam bishshawab. *th)

 

HUKUM DZIKIR BERSAMA DAN SHALAT TARAWIH 23 RAKA'AT (20)

 

 

Penanya:

Luqman Amiruddin Syarif

(disidangkan pada hari Jum’at, 24 Zulqa'dah 1427 H / 15 Desember 2006 M)

 

 

Pertanyaan:

1.      Sekarang sedang ngetrend dzikir bersama yang dipandu seorang dai dan disiarkan TV. Bagaimana hukum majlis dzikir itu? Apakah termasuk bid’ah?

2.      Saya lihat pada bulan ramadlan di Masjidil Haram, shalat tarawih dikerjakan 23 rakaat. Bagaimana itu?

 

Jawaban:

1.      Mengenai dzikir bersama (berjama’ah) dengan mengeraskan suara, apalagi disiarkan oleh TV, hal itu menjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama.

Sebahagian ulama memakruhkan bahkan mengharamkan dzikir yang cara pelaksanaannya seperti itu, dengan alasan berlawanan dengan isi firman Allah SWT dalam surat al-A’raf ayat 205 dan Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Musa r.a., serta tidak pernah dilakukan Rasulullah saw, disamping juga mengganggu konsentrasi orang yang sedang shalat misalnya.

Dalam surat al-A'raf ayat 205, Allah SWT berfirman:

ä.øŒ$#urš­/§‘’ÎûšÅ¡øÿtR%Y敎|Øn@Zpxÿ‹Åzurtbrߊur̍ôgyfø9$#z`ÏBÉAöqs)ø9$#Íir߉äóø9$$Î/ÉA$|¹Fy$#urŸwur`ä3s?z`ÏiBtû,Î#Ïÿ»tóø9$#ÇËÉÎÈ

Artinya: Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. [QS. al-A’raf (7): 205]

Di dalam Hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Musa r.a., Rasulullah saw bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ إِرْبَعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُوْنَ أَصُمَّ وَلاَ غَائِبًا، إِنَّكُمْ تَدْعُوْنَ سَمِيْعًا قَرِيْبًا وَهُوَ مَعَكُمْ.

Artinya: Hai manusia, kecilkan suaramu, sebab kamu tidak menyeru kepada orang yang tuli da jauh, melainkan kamu menyeru kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat dan Dia bersamamu. [HR. Muslim]

Dalam sebuah hadits lain yang sudah begitu terkenal diterangkan, di antara orang yang mendapat naungan Allah dari terik panas matahari di hari kiamat ialah orang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sunyi sepi sehingga mengalir air matanya.

Imam asy-Syafi'i dalam kitab al-Um juz I halaman 150 menyatakan yang artinya: “Saya mengutamakan para imam dan makmum berdzikir sesudah shalat dengan suara pelan, kecuali apabila imam menghendaki supaya dzikirnya itu dipelajari makmum. Di kala yang demikian itu barulah dzikir dikeraskannya. Tetapi setelah dirasakan bahwa makmum telah mengetahui (hafal), maka kembali lagi dzikir itu dibaca pelan”.

Adapun alasan yang dipergunakan Imam asy-Syafi'i, yaitu surat al-Isra' ayat 110:

È@è%(#qãã÷Š$#©!$#Írr&(#qãã÷Š$#z`»uH÷q§9$#($wƒr&$¨B(#qããô‰s?ã&s#sùâä!$yJó™F{$#4Óo_ó¡çtø:$#4ŸwuröygøgrBy7Ï?Ÿx|ÁÎ/ŸwurôMÏù$sƒéB$pkÍ5Æ÷tFö/$#urtû÷üt/y7Ï9ºsŒWx‹Î6y™ÇÊÊÉÈ

Artinya: Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman, dengan nama yang mana saja kamu seru, dia mempunyai Al-asmaaul-husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu". [QS. al-Isra' (17): 110]

Sementara itu ada sebahagian ulama yang membolehkan dzikir berjamaah dengan suara keras, berargumentasi dengan beberapa hadits yang sebenarnya bersifat umum tidak menerangkan tentang kaifiatnya dibaca keras.

Menurut Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, cara terbaik bagi kita adalah kembali kepada praktik yang dilakukan Nabi saw dan ulama salaf, yaitu secara pelan-pelan dan dilakukan sendiri-sendiri. Hal ini karena doa itu adalah ibadah, maka jangan dimasukkan rekayasa pikiran dan model-model yang tidak ada tuntunan kaifiyatnya.

 

2.      Mengenai shalat tarawih 23 rakaat, sekalipun sudah begitu memasyarakat, kami belum menemukan tuntunan dari Rasulullah saw. Shalat tarawih menurut tuntunan Nabi saw adalah hanya dikerjakan 11 dengan witirnya, dikerjakan empat rakaat lalu salam tanpa tahiyyat awal, kemudian empat rakaat lalu salam, dan ditutup dengan shalat witir tiga rakaat lalu salam.

Sepanjang penelitian Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, hadits-hadits yang menerangkan tentang shalat tarawih 23 rakaat adalah lemah atau dla’if,. Shalat tarawih 23 rakaat, bahkan menurut Imam Malik 36 rakaat, adalah ijtihad ulama dan dipegang oleh sebahagian ulama atau hanya berpegang kepada hadits dla’if yang diperselisihkan oleh para ahli hadits.

Muhammadiyah sesuai manhaj yang dipegangnya, dalam masalah shalat tarawih berpegang kepada hadits Nabi saw riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a. dan lain-lainnya yang shahih, tidak merujuk kepada pendapat ulama. Di antara hadits-hadits itu antara lain adalah:

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثاً ... [رواه البخاري ومسلم] .

Artinya: Dari Abi Salamah Ibnu Abdir-Rahman (dilaporkan) bahwa ia bertanya kepada Aisyah tentang bagaimana shalat Rasulullah saw di bulan Ramadan. Aisyah menjawab: Nabi saw tidak pernah melakukan shalat sunnat (tathawwu‘) di bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat.Beliau shalat empat rakaat dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya, kemudian beliau shalat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau shalat lagi tiga rakaat ... [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Karena shalat tarawih itu ibadah mahdlah, kita harus ittiba’ kepada Rasulullah saw. Bahkan Imam asy-Syafi'i berkata: “Apabila hadits itu shahih, itulah pendapatku”.

 

Wallahu a’lam bishshawab. *th)

 

 

 

 

 


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website