PDM Kabupaten Kediri - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Kediri
.: Home > Artikel

Homepage

Kumpulan Fatwa M Tarjih Tahun 2004 (50 Fatwa)

.: Home > Artikel > PDM
21 April 2014 07:33 WIB
Dibaca: 11013
Penulis :

Imam Tidak Fasih, Kotor Cicak (1)

Anas Fahmi Abdullah, Batang Jawa Tengah (lanjutan)

Pertanyaan 4 :

Saya ingin sekali shalat fardlu berjamaah secara rutin setiap waktu di masjid, karena Rasulullah mengajarkan seperti itu. Tetapi beberapa masjid/mushalla di lingkungan saya diimami orang yang bacaan al-Qur’annya tidak fasih/tartil yang dapat merubah makna atau arti ayat. Bagaimana sebaiknya sikap saya, apakah saya tetap ikut berjamaah (bermakmum) di masjid tersebut ataukah saya shalat berjamaah di rumah bersama istri dan keluarga ?

 

Jawaban :

Dalam hadits dari Ibnu Mas’ud diterangkan:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَائَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا، وَ فِي رِوَايَةٍ: سِنًّا، وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلاَ يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ (رواه مسلم)

Artinya : “Rasulullah SAW bersabda: ‘Yang mengimami suatu kaum (jamaah) itu hendaklah yang paling baik bacaan kitab Allah (al-Qur’an)nya. Jika di antara mereka itu sama, maka hendaklah yang paling tahu tentang as-Sunnah, dan apabila di antara mereka sama pengetahuannya tentang as-Sunnah, hendaklah yang paling dahulu berhijrah, dan apabila di antara mereka sama dalam berhijrah, hendaklah yang paling dahulu memeluk Islam’. Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Yang paling tua usianya. Janganlah seseorang mengimami orang lain dalam wilayah kekuasaannya dan jangan pula ia duduk di rumahnya, yakni di tempat terhormat baginya kecuali dengan izinnya.’” (HR. Muslim)

Memperhatikan pertanyaan yang Saudara ajukan, kami berpraduga baik, sesungguhnya di kalangan jamaah masjid di sekitar saudara, masih ada yang bacaan al-Qur’annya lebih baik dari imam yang saudara sebutkan, yakni setidak-tidaknya saudara sendiri, karena saudara dapat menilai bahwa bacaan imam yang ada di lingkungan saudara kurang fasih. Hanya orang yang tahu yang dapat menilai. Oleh karena itu lebih baik jika di masjid yang terdekat dengan tempat tinggal saudara; - dengan pendekatan sedemikian rupa, - justru saudara yang diminta menjadi imamnya. Dalam kesempatan ini saudara sekaligus dapat membimbing dan membina umat Islam di lingkungan itu untuk kelak dapat membaca al-Qur’an secara fasih.

Dengan demikian saudara tidak perlu mendirikan jamaah sendiri di rumah, kecuali ada alasan-alasan yang mendesak. Dengan cara seperti itu pula berarti sekaligus saudara telah memakmurkan masjid. Telah disebutkan dalam al-Qur’an:

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ (التوبة {9}:18)

Artinya : “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, serta tidak takut (kepada siapapun) kecuali kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-Taubah {9):18).

Dalam pada itu, kami juga mendoakan agar saudara termasuk orang yang pikiran dan hatinya tertambat dengan masjid, sehingga kelak akan mendapat perlindungan di hari tiada perlindungan kecuali dari Allah SWT sebagaimana yang disebutkan dalam hadits:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ اْلإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ وَ رَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ إِذَا خَرَجَ مِنْهُ حَتَّى يَعُودَ إِلَيْهِ وَ رَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَ افْتَرَقَا عَلَيْهِ وَ رَجُلٌ ذَكَرَ اللهُ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ وَ رَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَ جَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللهَ رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ وَ رَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ (رواه مسلم عن أبى هريرة)

Artinya : “Ada tujuh kelompok orang yang kelak mendapat perlindungan Allah di hari tidak ada perlindungan kecuali perlindungan-Nya, yakni pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh (hidup) untuk beribadah kepada Allah, seseorang yang hatinya selalu terkait dengan masjid; jika ia keluar dari masjid ingin selalu kembali ke masjid itu lagi, dua orang yang saling mencinta karena Allah; mereka berkumpul dan berpisah karena Allah, orang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sunyi sehingga meleleh air matanya, seseorang yang diajak berbuat serong oleh seorang perempuan yang punya kedudukan lagi cantik; ia menolak dengan mengatakan: ‘saya takut kepada Allah Tuhan semesta alam’, dan orang yang bershadaqah kemudian menyembunyikan perbuatannya itu sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diberikan oleh tangan kanannya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

 

 

Pertanyaan 5 :

 

Apakah sah shalat seseorang di atas karpet yang terdapat kotoran cicak kecil-kecil yang banyak kita jumpai di masjid-masjid ?

 

Jawaban :

 

Najisnya kotoran disebutkan dalam hadits dari Ibnu Mas’ud:

أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ وَالْتَمَسْتُ الثَّالِثَ فَلَمْ أَجِدْهُ فَأَخَذْتُ رَوْثَةً فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وَقَالَ هَذَا رِجْسٌ (رواه البخاري و ابن ماجة و ابن حزيمة)

Artinya : “Pada suatu ketika Nabi SAW akan buang air besar, kemudian beliau memerintahkan saya untuk mengambilkan tiga buah batu. Kemudian kudapati dua buah batu dan kucari yang ketiga, akan tetapi tidak kutemukan. Kemudian saya mengambil kotoran, lalu saya berikan kepada beliau. Beliau mengambil dua buah batu itu dan dibuang kotoran tersebut. Beliau bersabda: ‘Ini najis’.” (HR. Al-Bukhari, Ibnu Majah, dan Ibnu Huzaimah).

Tentang sucinya tempat difahami dari hadits Abu Hurairah:

قَامَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ فَقَالَ لَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهُ وَأَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ (رواه الجماعة الا مسلما)

Artinya : “Seorang laki-laki desa berdiri dan kencing di masjid. Maka orang-orang pun berdiri untuk menangkapnya. Kemudian Nabi SAW bersabda: ‘Biarkan ia, dan tuangkanlah pada air kencingnya itu satu timba atau satu waskom air. Maka sesungguhnya kalian diutus adalah untuk memberi kemudahan bukan untuk memberi kesukaran’.” (HR. Al-Jama’ah kecuali Muslim).

Hadits-hadits di atas mengajarkan agar tempat shalat suci dari kotoran karena kotoran itu najis. Tempat shalat yang terkena kotoran harus disucikan sejauh yang dapat dilakukan tanpa menimbulkan sesuatu yang menyukarkan atau menyulitkan. Oleh karena itu, tempat shalat harus dijaga kesuciannya dari kotoran, termasuk kotoran cicak. Tempat shalat yang terkena kotoran cicak harus dibersihkan sejauh yang dapat dilakukan, agar lebih dapat terjamin keabsahan shalat yang dilakukan. *(dw)

 

TALAK DIJATUHKAN SAAT EMOSI (2)

RM. Banjar Nahar, Ladang Tengah

 

Tanggapan atas jawaban pertanyaan tentang beberapa persoalan yang dimuat pada Rubrik Fatwa Agama Majalah Suara Muhammadiyah No. 14 / Th. 88 / 16 – 31 Juli 2003, yaitu seputar masalah talak dan rujuk.

 

Jawaban :

Sebelumnya kami mengucapkan terima kasih atas tanggapan saudara terhadap jawaban kami atas pertanyaan pembaca tentang beberapa persoalan seputar talak yang dimuat pada majalah Suara Muhammadiyah No. 14 / Th. 88 / 16 – 31 Juli 2003. Mengenai jawaban kami terhadap tanggapan saudara itu sebagai berikut:

 

I.       Soal no. 6 tentang hukum talak yang dijatuhkan  suami dalam keadaan emosi kepada istrinya.

Pada tulisan kami itu dijelaskan tentang pengertian emosi. Kami belum menemukan suatu istilah yang tepat dalam kitab-kitab fiqh yang sama artinya dengan emosi. Emosi adalah istilah yang biasa dipakai oleh para ahli ilmu jiwa. Pada umumnya mereka menyatakan bahwa emosi semacam perasaan batin yang timbul dari dalam hati sanubari seseorang dan bukan timbul dari akal (otak)nya. Seseorang yang dalam keadaan emosi adakalanya akalnya tidak tertutup sehingga ia masih dapat berpikir dengan jernih, wajar dan bertanggung jawab. Adakalanya seseorang yang emosi akalnya telah tertutup sehingga ia tidak dapat berpikir dengan jernih, wajar dan ia tidak dapat lagi mempertanggungjawabkan tindakannya. Emosi macam pertama tidak ada masalah, yang menjadi masalah ialah emosi macam kedua. Karena itu, kita cari dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih dan maqbul, kata-kata yang sama artinya dengan emosi macam kedua. Kata-kata yang sama artinya itu terdapat dalam firman Allah SWT:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَقْرَبُوا الصَّلاَةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ (النساء {4}:43)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan …” (QS. an-Nisaa` {4}:43).

Pada ayat di atas terdapat perkataan “sukaaraa” yang berarti mabuk yang akalnya telah tertutup dan tidak dapat lagi berpikir jernih, wajar, dan ia tidak lagi dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Jika dihubungkan dengan sebab turunnya ayat, maka sebab mabuk tersebut karena minum khamr. Karena mabuk itu ia dilarang mengerjakan shalat.

Selanjutnya, kata emosi macam kedua terdapat pula dalam as-Sunnah yang shahih dan maqbul, yaitu:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ الطَّلاَقِ جَائِزٌ إِلاَّ الطَّلاَقَ الْمَغْلُوبَ عَلَى عَقْلِهِ (رواه الترمذي و البخاري)

Artinya: “Dari Abu Hurairah dari Nabi Nabi SAW, beliau bersabda: Setiap talak (yang dijatuhkan suami) adalah shah, kecuali talak suami yang tertutup akalnya.” (HR. at-Turmudzi dan al-Bukhari).

Kedua dalil ayat dan hadis di atas termuat dalam majalah Suara Muhammadiyah. Pada hadis tersebut terdapat kalimat “al-maghluubu ‘alaa ‘aqlihi” (tertutup akalnya), tetapi tidak disebutkan sebab tertutup akalnya itu. Banyak penyebab akal seseorang dapat tertutup, seperti karena minum khamr, pingsan, mabuk laut, dalam keadaan tidur, karena gila, dan sebagainya. Pada saat tertutup akalnya itu, - karena sebab apapun, - jika ia seorang suami dan menjatuhkan talak kepada istrinya, maka talaknya itu tidak jatuh (tidak shah). Dengan kata lain bahwa suami yang menjatuhkan talak dan talaknya shah, di antara syaratnya ialah suami itu tidak tertutup akalnya. Termasuk di dalamnya suami dalam keadaan emosi tetapi akalnya tidak tertutup.

Hukum Allah adalah hukum yang paling adil, termasuk hukum talak. Jika terjadi suatu talak, maka akibat talak itu dirasakan sebagai keputusan yang adil, baik oleh pihak suami, oleh pihak istri, ataupun oleh pihak ketiga, seperti anak-anak, orang tua, dan sebagainya. Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ (النساء {4}:58)

Artinya: “Sesungguhnya Alla menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara kamu, supaya kamu menetapkan dengan adil …” (QS. an-Nisaa` {4}:58).

 

II.    Hukum adanya saksi dalam menjatuhkan talak dan melaksanakan rujuk.

 

Tentang saksi pada talak dan rujuk diterangkan dalam firman Allah SWT berikut:

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (الطلاق {65}:2)

Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi peringatan dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar.” (QS. ath-Thalaq {65}:2)

Apabila dipelajari dan dipahami ayat di atas dengan seksama, tentu akan diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1.      Apabila seorang suami mentalak istrinya dengan talak raj’i (talak I dan talak II), pada saat iddah istrinya hampir habis hendaklah ia mengambil salah satu dari dua kemungkinan  keputusan. Jika ia ingin rujuk kepada istrinya, hendaklah rujuk dengan ma’ruf, atau jika ingin melepas (mentalak) istrinya, hendaklah menjatuhkan dengan ma’ruf pula.

2.      Allah SWT memerintahkan kepada suami yang rujuk atau menjatuhkan talak kepada istrinya agar dalam melaksanakan kehendaknya itu disaksikan oleh dua orang saksi yang adil yang diangkat dari kalangan orang-orang Islam.

3.      Suami yang mengadakan persaksian pada waktu menjatuhkan talak dan waktu rujuk kepada istrinya itu adalah suami yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Dapat pula diartikan bahwa suami yang tidak mempersaksikan rujuk dan talaknya adalah suami yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir.

4.      Berdasarkan ayat di atas, maka Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat bahwa salah satu syarat shah talak dan rujuk hendaklah disaksikan oleh dua orang saksi yang adil dan beragama Islam.

Mengenai ayat 227 surat al-Baqarah dan 230 surat al-Baqarah, akan kami jelaskan sebagai berikut:

1.      Ayat 227 surat al-Baqarah berhubungan dengan ayat 226 surat al-Baqarah, bahkan berhubungan juga dengan ayat 225 surat al-Baqarah, karena ketiga ayat itu berhubungan masalah sumpah. Dalam keterangan berikut kami tulis ayat 226 dan 227 surat al-Baqarah tersebut:

لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ. وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (البقرة {2}:226-227)

Artinya: “Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap hati) untuk talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah {2}:226-227).

Kedua ayat di atas berkaitan dengan “ilaa’”. Ilaa’ ialah sumpah suami tidak akan mencampuri istrinya. Jika terjadi yang demikian, suami menunggu paling lama empat bulan. Sebelum berakhir waktu empat bulan itu, ia harus memilih salah satu dari dua kemungkinan keputusan. Kemungkinan keputusan pertama ialah ia kembali mencampuri istrinya. Suami harus menghapus sumpahnya dengan membayar kafarat (baca QS. al-Maidah {5}:89). Kemungkinan keputusan kedua ialah suami mentalak istrinya. Sesuai dengan firman Allah ayat 2 surat ath-Thalaq, maka talaknya itu disaksikan oleh dua orang saksi yang adil dan beragama Islam.

2.      Ayat 230 surat al-Baqarah, kami tulis sebagai berikut:

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (البقرة {2}:230)

Artinya: “Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang ketiga) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya, hingga kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dengan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Demikianlah hukum-hukum Allah diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (QS. al-Baqarah {2}:230).

Jika suami telah menjatuhkan talak yang ketiga kepada istrinya, maka bekas suami dan bekas istri tersebut tidak boleh kawin lagi. Kecuali jika istri telah kawin dengan laki-laki lain kemudian bercerai dan habis iddahnya. Dalam keadaan demikian kedua bekas suami dan bekas istri itu boleh kawin kembali. Jika dihubungkan ayat tersebut dengan ayat 2 surat ath-Thalaq, maka setiap akad nikah, talak, dan rujuk yang dilakukan, harus disaksikan oleh dua orang saksi yang adil dan beragama Islam.

 

III.Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan No. I dan II di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1.      Penjelasan (jawaban soal) yang termuat dalam majalah Suara Muhammadiyah No. 14 / Th. 88 / 16-31 Juli 2003 adalah benar, dengan arti bahwa menurut pendapat Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, setiap akad nikah, talak, dan rujuk, harus disaksikan oleh dua orang saksi yang adil dan beragama Islam. Persaksian itu merupakan salah satu syarat shah akad nikah, talak, dan rujuk.

2.      Talak yang dijatuhkan suami dalam keadaan tertutup akalnya, apakah tertutup akalnya itu karena mabuk atau emosi macam yang kedua dan sebagainya, maka talaknya itu tidak shah (tidak jatuh).

3.      Kesimpulan yang tertulis dalam jawaban tersebut adalah benar, kecuali kesimpulan no. 3. yang kurang kalimat “Menurut UU No. 1 Th. 1974, …”, sehingga kesimpulan itu seharusnya berbunyi “3. Menurut UU No. 1 Th. 1974, talak yang dilakukan di luar pengadilan, maka tidak shah talaknya.” *(km)

 

WARISAN GANA GINI (3)

 

H. Amin, BA., Krowe, Lembeyan, Magetan Jawa Timur

Kasus :

Seorang wanita, sebut saja namanya si A, meninggal dunia pada tanggal 14 Februari 1994 yang lalu. Tetapi sampai saat ini harta peninggalannya belum dibagikan kepada ahli warisnya. Harta peninggalannya berupa:

1.      Warisan dari orang tuanya berupa:

a.       Tanah persawahan seluas 1.350 m2, bernilai ± Rp. 50.000.000,00

b.      Tanah perumahan seluas 800 m2, bernilai ± Rp. 28.500.000,00

c.       Rumah belakang yang berukuran 12 x 8 m dan rumah dapur yang berukuran 8 x 7 m bernilai ± 15.000.000,00

2.      Usaha bersama A dan B (suaminya), yang berupa bangunan rumah depan yang berukuran 12 x 8,5 m, bernilai ± Rp. 12.500.000,00.

Suami A, yakni B, adalah seorang pensiunan Pegawai Negeri Sipil dengan gaji pensiunan sebesar 982.000 / bulan. Selama berumah tangga A selalu menganggur, dan B bekerja sebagai pegawai negeri sipil yang bergaji berubah-ubah sesuai dengan Peraturan Pemerintah; dan sambil menggarap sawah (sambil bertani) milik A seluas 1.350 m2 dan kadang-kadang menyewa tanah seluas 4950 m2 milik sebuah yayasan.

Pada saat meninggal dunia, A meninggalkan ahli waris sebagai berikut:

a.       Anak laki-laki sebanyak 4 orang

b.      Cucu laki-laki dari anak laki-laki sebanyak 1 orang

c.       Saudara laki-laki sekandung sebanyak 7 orang

d.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung sebanyak 14 orang

e.       Anak laki-laki paman sekandung sebanyak 9 orang

f.       Suami

g.      Anak perempuan sebanyak 2 orang

h.      Anak perempuan dari anak laki-laki sebanyak 2 orang

i.        Saudara perempuan sekandung sebanyak 1 orang

 

 

Pertanyaan :

 

1.      Mana saja yang termasuk gana (harta bawaan pada saat nikah), dan mana gini ?

2.      Bagaimana cara pembagian harta-harta tersebut, dan ahli waris mana saja yang berhak menerima warisan dari A, serta berapa besar bagian masing-masing ?

 

 

Jawaban :

 

1.      Ter Haar – seorang ahli hukum adat – menerangkan bahwa harta yang diperoleh suami atau istri dari warisan orang tua masing-masing, baik yang terjadi sebelum akad nikah maupun setelah akad nikah, adalah harta bawaan (gawan).

Dalam ajaran Islam, setiap orang yang hidup di muka bumi ini memiliki ahliyyatul wujub (kecakapan berhak). Di antara kecakapan berhak ini ialah kecakapan untuk memiliki harta kekayaan yang antara lain diperoleh dari warisan. Kecakapan berhak ini tidak akan pernah gugur kecuali dengan meninggalnya orang tersebut. Sekedar contoh, perkawinan tidak akan menggugurkan hak milik seseorang baik dia sebagai suami atau sebagai istri. Oleh karena itu harta yang diperoleh istri atau suami dari warisan, baik yang terjadi sebelum akad nikah maupun setelah akad nikah, tetap menjadi milik masing-masing dari istri atau suami itu.

Dengan demikian dapat disampaikan bahwa harta bawaan (gawan) istri, yaitu A, ialah harta yang disebut dalam butir 1. a, b, c, atau jelasnya adalah :

- tanah persawahan seluas 1.350 m2

- tanah perumahan seluas 800 m2

- rumah belakang yang berukuran 12x8 m dan rumah dapur yang berukuran 8x7 m.

Sedangkan rumah depan (baru) yang dibangun bersama oleh A dan B adalah harta bersama, yang status pemilikannya adalah milik mereka berdua, yakni suami dan istri. Perlu dijelaskan di sini bahwa sekalipun istri tidak bekerja yang secara produktif untuk menghasilkan uang, namun perlu diingat bahwa A sebagai istri yang harus melayani dan mendampingi B sebagai suaminya, yang juga harus bekerja sebagai ibu rumah tangga, mengatur dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, mengasuh dan mendidik anak, tentunya harus dihargai secara materiil. Apalagi dalam hal ini A selaku istri memiliki andil (saham) untuk mendapatkan harta bersama itu, yakni sebidang sawah seluas 1.350 m2 yang dikerjakan oleh B suaminya. Oleh karena itu, menurut pendapat kami rumah depan (baru) yang dibangun bersama antara A dan B yang berukuran 12 x 8,5 m itu adalah milik bersama A dan B.

Dalam pasal 96 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan: Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Dengan demikian separuh dari rumah depan  (baru) yang dibangun oleh A dan B tersebut menjadi milik B, dan separuh yang lain menjadi milik A.

 

2.      Untuk menjelaskan cara pembagian harta waris tersebut, di samping diketahui ahli warisnya, juga harus diketahui jumlah harta peninggalan atau harta warisnya. Harta peninggalan atau harta waris yang ditinggalkan oleh A ialah, semua harta bawaan sebagai yang telah disebutkan di atas, ditambah dengan separuh dari harta bersama tadi.

Untuk pembagiannya, adalah sebagai berikut:

Langkah pertama, hendaknya diteliti apakah A dikala hidup mempunyai hutang atau pernah berwasiat. Jika ternyata mempunyai hutang atau berwasiat, maka sebelum harta waris dibagikan, dibayarkan terlebih dahulu hutang atau wasiat itu, dengan ketentuan wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 harta peninggalan, kecuali atas izin semua ahli waris. Tetapi jika tidak memiliki hutang dan wasiat, maka dapat langsung ke langkah berikutnya.

Langkah kedua, dihitung biaya tajhiz (perawatan jenazah). Harta peninggalan sebelum dibagi dikurangi dengan biaya tajhiz, kecuali untuk biaya tajhiz ini telah ditanggung secara ikhlas dan sukarela oleh ahli waris atau pihak lain, sehingga biaya tajhiz tidak perlu diperhitungkan sebagai pengurangan harta waris. Setelah langkah kedua ini, baru pada tahap pembagian, sebagai langkah berikutnya.

Langkah ketiga, harta waris dibagi kepada ahli waris sebagai berikut:

a.       Suami, yaitu B memperoleh ¼ dari harta waris tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah:

فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ  (النساء:12)

Artinya : “Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat ¼ dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” (QS. An-Nisa`:12).

b.      Selebihnya, yakni yang ¾ bagian harta waris dibagikan kepada 4 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan, dengan ketentuan bagian seorang anak laki-laki memperoleh dua kali bagian seorang anak perempuan, berdasarkan firman Allah:

يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ (النساء:11)

Artinya : “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa`:11).

Sedangkan ahli waris yang lain, sebagaimana disebutkan di atas, yaitu:

1).    Cucu laki-laki dari anak laki-laki sebanyak 1 orang

2).    Saudara laki-laki sekandung sebanyak 7 orang

3).    Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung sebanyak 14 orang

4).    Anak laki-laki paman sekandung sebanyak 9 orang

5).    Anak perempuan dari anak laki-laki sebanyak 2 orang

6).    Saudara perempuan sekandung sebanyak 1 orang,

tidak mendapat bagian harta waris, karena mahjub (tertutup) dengan keberadaan anak laki-laki. Dalam ilmu faraidh, yang tidak mahjub (tertutup) oleh anak laki-laki yaitu:

1).    Ibu

2).    Ayah

3).    Suami

4).    Istri

5).    Anak perempuan

6).    Kakek Shahih

7).    Nenek Shahihah.

Cucu laki-laki yang disebutkan dalam jawaban ini, apabila cucu laki-laki tersebut orang tuanya (anak A) masih hidup. *dw)

 

WARISAN 3 SAUDARA LAKI-LAKI (4)

Fitri Gunda, Talang Jembatan

Pertanyaan :

Bibi saya bungsu dari 6 bersaudara, suaminya sudah meninggal dunia dan tidak dikaruniai anak. Keluarga bibi saya adalah:

1.      Yang pertama sudah meninggal dunia (laki-laki) dengan 4 anak laki-laki dan 2 anak perempuan.

2.      Yang kedua (laki-laki) dengan 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan.

3.      Yang ketiga (laki-laki) sudah meninggal dunia dengan 3 anak perempuan.

4.      Yang keempat (laki-laki) dengan 5 anak laki-laki dan 1 anak perempuan.

5.      Yang kelima (laki-laki) dengan 4 anak laki-laki dan 1 anak perempuan.

Siapakah ahli waris dari bibi saya dan berapa bagiannya? Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih.

 

Jawaban :

Dari pertanyaan yang saudara ajukan dapat kami pahamkan bahwa bibi yang telah meninggal dunia itu memiliki ahli waris:

1.      3 orang saudara laki-laki yang masih hidup, yakni:

a.       Saudara laki-laki yang kedua dengan 2 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan

b.      Saudara laki-laki yang keempat dengan 5 orang anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan

c.       Saudara laki-laki yang kelima dengan 4 orang anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan

2.      2 orang saudara laki-laki yang sudah meninggal dunia, yaitu:

a.       Saudara laki-laki yang pertama dengan 4 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan

b.      Saudara laki-laki yang ketiga dengan 3 orang anak perempuan

Dalam ilmu faraid, sebagaimana yang dikemukakan oleh kebanyakan ulama, bahwa ahli waris yang berhak menerima pembagian harta waris adalah ahli waris yang hidup saat meninggalnya orang yang mewariskan. Dengan demikian, maka 2 orang saudara laki-laki yang telah meninggal di saat meninggalnya bibi, tidak dapat mewarisi harta waris yang ditinggalkan bibi. Dalam pada itu, saudara laki-laki sekandung yang masih hidup ini menutup (menghijab) anak saudara laki-laki sekandung, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Oleh karena itu yang dapat mewarisi harta peninggalan bibi, hanyalah tiga orang saudara laki-laki yang masih hidup. Masing-masing dari tiga orang itu mendapat bagian yang sama, yakni masing-masing memperoleh sepertiga.

Namun jika diikuti ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam, yang dalam pasal 185 menyebutkan:

(1)   Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris, maka kedudukannya dapat diganti oleh anaknya; …

(2)   Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka yang berhak memperoleh bagian harta peninggalan bibi, yaitu:

a.       3 orang saudara laki-laki yang masih hidup

b.      Anak dari saudara laki-laki yang pertama yang telah meninggal dunia, yang terdiri dari 4 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan

c.       Anak dari saudara laki-laki yang ketiga yang telah meninggal dunia, yang terdiri dari 3 orang anak perempuan

Adapun cara pembagiannya:

Pertama, harta dibagi 5 bagian, karena mereka adalah ahli waris ‘ashabah (yang dapat menghabiskan semua harta waris). Masing-masing saudara laki-laki yang masih hidup memperoleh 1/5 bagian. Dengan demikian bagian untuk 3 orang saudara laki-laki terwebut adalah 3/5 bagian.

Kedua, 1/5 bagian diberikan kepada anak saudara laki-laki yang pertama yang telah meninggal dunia, yang terdiri dari 4 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan. Dalam hal ini, bagian seorang anak laki-laki adalah dua kali lipat bagian seorang anak perempuan.

Ketiga, 1/5 bagian lagi diberikan kepada anak saudara laki-laki yang ketiga yang telah meninggal dunia, yang terdiri dari 3 orang anak perempuan. 1/5 bagian harta waris yang diterima dari bibi tersebut dibagikan kepada mereka bertiga dengan pembagian yang sama besarnya. *dw)

 

ZAKAT PENGHASILAN (5)

Supardi, Kalimantan Operational_Training_Development_Kideco/PRO/KIDE/PAMA%PAMA@pamapersada.com

 

Pertanyaan :

Bagaimana tatacara berzakat penghasilan menurut HPT ?

Jawaban :

Putusan Tarjih tentang zakat dalam HPT, yakni tentang Zakat Fitri (Zakat Fitrah), Zakat Tanaman, Zakat Hewan, dan Zakat Emas dan Perak. Sedangkan tentang Zakat Penghasilan belum dimuat dalam HPT. Namun sudah ada dalam Fatwa Tarjih yang dimuat dalam Suara Muhammadiyah dan selanjutnya dikumpulkan dalam Buku Tanya Jawab Agama, yang sampai saat ini sudah diterbitkan 4 jilid. Fatwa Tarjih tentang Zakat Penghasilan ini adalah sebagai berikut:

Penghasilan setelah dikurangi dengan biaya kebutuhan hidup secara wajar, seperti untuk kebutuhan pangan, sandang, perumahan, biaya pendidikan, biaya kesehatan, transportasi dan lain sebagainya; apabila dalam jangka satu tahun mencapai jumlah uang seharga 85 gram emas murni (24 karat), maka dikeluarkan zakatnya 2 ½ %. Untuk lebih jelasnya, Saudara dapat memeriksa jawaban pertanyaan yang telah dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid I halaman 132, Jilid II halaman 132, dan Jilid III halaman 181 – 184. *dw)

 

PERKAWINAN SEPUPU (6)

"kemal pasa", k_pasa03@yahoo.com

Pertanyaan :

Bolehkah melaksanakan perkawinan seorang perempuan dengan seorang laki-laki yang bapak keduanya saudara sekandung, yaitu seayah dan seibu ?

Jawaban :

Tidak ditemukan nash-nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih lagi maqbul) yang dapat dijadikan alasan tidak membolehkannya.

Ada ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih lagi maqbul yang menerangkan perempuan-peremupuan yang tidak boleh kawin dengan seorang laki-laki (mahram), seperti yang diterangkan oleh ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu ayat-ayat 3, 22, 23, dan 24 surat An-Nisa`, ayat-ayat 228, 230, 234, dan 235 surat Al-Baqarah, ayat 3 surat An-Nur, hadits dari Abu Hurairah, hadits dari Hamzah, dan sebagainya.

Agar lebih jelas, pada uraian selanjutnya akan kami kutipkan nash-nash yang relevan dengan pertanyaan di atas. Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa`:

وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلاً (22) حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (23) وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ (24)

Artinya: “Dan janganlah kamu kawini perempuan-perempuan yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji, dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan yang ditempuh. Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusukanmu, saudara perempuan sepesusuanmu, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu) dan menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dan (diharamkan bagimu mengawini) perempuan-perempuan yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah menetapkan hukum ini) sebagai ketentuan-Nya, dan dihalalkan bagimu selain yang demikian ….” (QS. An-Nisa`:22,23,24)

Jika hubungan mahram yang disebutkan pada ayat-ayat di atas disusun secara sistematis, maka hubungan mahram itu dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mahram yang termasuk tahrim mu’abbad dan mahram yang termasuk tahrim muwaqqat. Tahrim mu’abbad ialah halangan perkawinan seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk selama-lamanya. Sedang tahrim muwaqqat ialah halangan perkawinan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam waktu-waktu tertentu saja. Bila keadaan yang menghalangi perkawinan antara keduanya hilang, pada saat itu mereka boleh melakukan perkawinan. Seperti seorang laki-laki dengan istri orang lain. Selama perempuan itu terikat dengan suaminya (tidak bercerai), maka selama itu pula perempuan itu  tidak boleh kawin dengan laki-laki lain. Jika mereka telah bercerai dan habis iddahnya, perempuan itu boleh kawin dengan laki-laki lain. Demikian seterusnya.

Yang termasuk mahram yang tahrimnyamu’abbad ialah:

1.      Karena hubungan keturunan (lin-nasab), sebagai tersebut pada ayat 23 surat An-Nisa` di atas, yaitu:

a.       Ibu, ibu dari ibu, ibu dari bapak, dan seterusnya ke atas.

b.      Anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya ke bawah.

c.       Saudara perempuan sekandung, seayah, dan seibu.

d.      Saudara ayah yang perempuan.

e.       Saudara ibu yang perempuan.

f.       Anak perempuan dari saudara laki-laki.

g.      Anak perempuan dari saudara perempuan.

2.      Karena susuan (lir-radha’ah), ialah:

a.       Ibu-ibu yang menyusukan.

b.      Saudara perempuan sepesusuan.

Sehubungan dengan hadits mengenai permintaan Hamzah (paman Nabi saw) agar Nabi saw mengawini putrinya, makaNabi saw menjawab:

إِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِي إِنَّهَا ابْنَةُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ وَيَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ (رواه البخاري و مسلم)

“Sesungguhnya perempuan itu (putri Hamzah) saudaraku sepesusuan, haram karena sepesusuan adalah apa yang haram karena nasab” (HR. Bukhari dan Muslim), maka para ulama berbeda pendapat.

Pendapat pertama menyatakan bahwa yang haram karena susuan itu hanyalah dua macam saja, yaitu ibu yang menyusukan dan dan saudara perempuan sepesusuan. Mereka beralasan dengan firman Allah SWT yang terdapat pada ayat 24 surat An-Nisa`, yang artinya: “… dan dihalalkan bagimu selain yang demikian …” (yang tersebut pada ayat 22, 23, 24 surat An-Nisa` di atas).

Pendapat kedua menyatakan bahwa hadits Hamzah adalah hadits shahih, karena itu dapat menjelaskan dan menambah keterangan yang telah diterangkan oleh Al-Qur’an. Kata “maa yahrumu minan nasab” (apa yang haram karena nasab) harus dihubungkan dengan tujuh macam yang haram karena nasab yang disebutkan di atas, sehingga yang termasuk yang haram karena susuan menjadi:

a.       Bekas istri istri dari suami ibu yang menyusukan.

b.      Anak-anak perempuandari suami ibu yang menyusukan.

c.       Saudara-saudara perempuan sepesusuan.

d.      Saudara-saudara perempuan dari suami dari ibu yang menyusukan.

e.       Saudara-saudara perempuan dari ibu yang menyusukan.

f.       Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki sepesusuan.

g.      Anak-anak perempuan dari saudara perempuan sepesusuan.

3.      Karena perkawinan (lil-mushaharah), yaitu:

a.       Bekas istri (janda) ayah (baca ayat 22 surat An-Nisa` di atas).

b.      Ibu-ibu dari istrimu (mertua) (baca ayat 23 surat An-Nisa` di atas).

c.       Bekas istri (janda) dari anak kandungmu (baca ayat 23 surat An-Nisa` di atas).

d.      Anak-anak perempau dari istrimu (anak tiri) dari istri yang telah dicampuri (baca ayat 23 surat An-Nisa` di atas).

 

Yang termasuk mahram yang tahrimnyamuwaqqat ialah:

1.      Istri orang lain (al-muhshanaat), sebagai tersebut pada ayat 24 surat An-Nisa`.

2.      Mengumpulkan sebagai istri (memadu):

a.       Dua orang atau lebih wanita yang bersaudara (wa an tajma’uu bainal ukhtain)

b.      Mengumpulkan sebagai istri seorang perempuan dengan saudara ayahnya yang perempuan dan seorang perempuan dengan saudara ibunya yang perempuan, berdasarkan hadits:

عَنِ أَبِي هُرَيْرَةَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَبَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا (رواه البخاري و مسلم)

“Dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi saw melarang (laki-laki) mengumpulkan (sebagai istri) seorang perempuan dengan saudara perempuan bapaknya dan seorang perempuan dengan saudara perempuan ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3.      Seorang laki-laki yang telah mempunyai istri empat orang, maka semua perempuan menjadi mahramnya. Allah SWT berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا (النساء:3)

“Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu sukai: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa`:3)

4.      Seorang laki-laki telah mentalak istrinya tiga kali, sejak itu bekas istrinya itu menjadi mahramnya, kecuali bila bekas istrinya itu telah kawin dengan laki-laki lain kemudian bercerai dan habis iddahnya. Allah SWT berfirman:

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (البقرة:230)

“Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya, hingga ia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami dan bekas isteri yang telah bercerai tiga kali) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada orang-orang yang mau mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:230)

5.      Perempuan-perempuan dalam masa iddah.

a.       Perempuan dalam iddah dan ia masih mengalami masa haidh. Ia dilarang kawin dengan laki-laki lain dalam iddahnya itu, kecuali ia dalam iddah talak raj’i dan yang rujuk itu adalah bekas suaminya. Allah SWT berfirman:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَ بُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاَحًا (البقرة:228)

“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru`. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suami mereka berhak merujuknya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah.” (QS. Al-Baqarah:228)

b.      Perempuan dalam masa iddah karena suaminya meninggal dunia. Allah SWT berfirman:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ (البقرة:234)

“Orang-orang yang meninggal di antara kamu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menahan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya, tidak ada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut …” (QS. Al-Baqarah:234)

6.      Perempuan-perempuan musyrik. Dilarang seorang laki-laki mukmin kawin dengan perempuan musyrik, demikian pula dilarang perempuan mukminat kawin dengan laki-laki musyrik, hingga mereka beriman. Allah SWT berfirman:

وَلاَ تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ (البقرة:221)

“Dan janganlah kamu nikahi perempuan-perempuan musyrik, sebelum mereka beriman, sesungguhnya perempuan budak yang mu'minat lebih baik dari perempuan musyrik walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan mu'minat), sebelum mereka beriman, sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari laki-laki musyrik walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.” (QS. Al-Baqarah:221)

Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menikahi perempuan pezina dan perempuan yang sedang ihram. Perbedaan pendapat menikahi perempuan pezina disebabkan perbedaan pendapat dalam menafsirkan ayat 3 surat An-Nur, sedang tentang perempuan yang sedang ihram, karena perbedaan pendapat dalam menilai hadits dari Ibnu Abbas dan hadits dari Maimunah.

Demikian pula tentang wanita yang bercerai dengan suaminya dengan proses sumpah, seperti pada ila`, zhihar, li’an. Apakah suami boleh kawin dengan bekas istrinya kembali tanpa melanggar sumpahnya lebih dahulu atau akad nikah boleh dilakukan setelah suami melanggar sumpahnya lebih dahulu. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.

Dalam masalah ini, Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat:

1.      Wanita pezina adalah mahram bagi laki-laki muslim, kecuali bila ia telah taubat.

2.      Wanita yang sedang melakukan ihram haram dikawini.

3.      Semua perceraian yang dilaksanakan dengan proses sumpah, maka perkawinan kembali dapat dilakukan setelah bekas suami melanggar sumpahnya dengan membayar kifarat.

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa perkawinan seorang laki-laki dan seorang perempuan saudara sepupu dengan arti kedua ayahnya saudara sekandung tidak dilarang, dengan arti bahwa keduanya tidak mempunyai hubungan mahram. *(km)

 

JANJI BEASISWA (7)

“Yusril Yusuf”, yusril@rocketmail.com

Kyushu University, Fukuoka, Jepang

 

Pertanyaan :

Ada beberapa karya siswa Indonesia yang tidak kembali ke tanah air setelah menyelesaikan studi, walaupun mereka telah menandatangani perjanjian ikatan dinas. Alasan untuk tidak kembali ke tanah air bermacam-macam. Bagaimana hukumnya menurut Islam ?

 

Jawaban :

Sebagaimana telah dikemukakan dalam Suara Muhammadiyah beberapa waktu yang lalu (No. 2 Th. 89 16-31 Januari 2004), bahwa dalam Bahasa Arab perjanjian terjemahnya العَهْدُ (al-‘ahdu) atau العَقْدُ (al-‘aqdu). Dalam Bahasa Indonesia kata perjanjian sering pula disebut dengan perikatan, seperti dalam hukum perdata ada bagian yang disebut dengan hukum perjanjian yang sering pula disebut dengan hukum perikatan.

Dengan menandatangani perjanjian berarti seseorang telah menyetujui isi perjanjian itu, baik yang berupa menerima hak maupun melaksanakan kewajiban. Adalah sangat tidak adil jika seseorang hanya mau menerima hak tanpa mau melaksanakan kewajiban yang telah disetujui. Sementara di pihak lain yang telah melaksanakan kewajiban, tidak menerima hak semestinya diterima. Yang demikian ini jelas dapat dipandang sebagai tindakan yang memadlaratkan pihak lain. Islam secara tegas melarang perbuatan yang memadlaratkan. Dalam hadits ditegaskan:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ(رواه ابن ماجة)

Artinya: “Dari ‘Ubadah ibnu Shamit, bahwa Rasulullah SAW menetapkan tidak boleh berbuat kemadlaratan dan tidak boleh membalas kemadlaratan.” (HR. Ibnu Majah).

Dengan demikian, maka tindak ketidakadilan itu merupakan tindakan yang telah melanggar batas-batas atau hukum-hukum yang ditetapkan agama. Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa orang yang melanggar hukum-hukum yang ditetapkan Allah termasuk orang dzalim. Allah berfirman:

وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (البقرة:229)

Artinya: “Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-baqarah:229).

Lebih jauh dalam Al-Qur’an dinyatakan:

وَمَأْوَاهُمُ النَّارُ وَبِئْسَ مَثْوَى الظَّالِمِينَ (آل عمران:151)

Artinya: “Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang dzalim.” (QS. Ali Imran:151).

Secara tegas larangan berlaku dzalim ini disebutkan dalam hadits qudsi, sebagai berikut:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا يَرْوِيهِ عَنِ رَبِّهِ قَالَ يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا (رواه مسلم)

Artinya: “Dari Abu Dzar r.a., dari Nabi SAW, tentang sesuatu yang diriwayatkan dari Tuhannya, Tuhan berfirman: Wahai hambaKu, sungguh Aku haramkan kedzaliman pada diriKu; dan Aku jadikan kedzaliman itu sesuatu yang haram di antara kamu, maka janganlah kamu sekalian saling berbuat dzalim.” (HR. Muslim).

Untuk menjauhi dari perbuatan dzalim akibat menyalahi janji, maka wajib bagi orang yang berjanji untuk memenuhi janjinya. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ (المائدة:1)

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (QS. Al-Maidah:1).

Yang dimakud dengan aqad (perjanjian), mencakup janji prasetya hamba kepada Allah, dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Firman Allah SWT:

وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولاً (الإسراء:34)

Artinya: “Penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung-jawabannya.” (QS. Al-Isra`:34).

Dalam hadits disebutkan, bahwa orang yang tidak menepati janjinya, termasuk salah satu tanda kemunafikan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ (متفق عليه)

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a., berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu: apabila berkata ia dusta, apabila berjanji ia tidak menepati janjinya, dan apabila dipercaya ia berkhianat.” (Muttafaq ‘alaih).

Sehubungan dengan pertanyaan saudara, maka dapat kami kemukakan bahwa jika dengan perjanjian ikatan dinas itu, pihak yang memberi ikatan dinas telah menunaikan kewajibannya, yakni telah membayar biaya karya siswa dan kewajiban-kewajiban lain (jika ada), dan dalam perjanjian itu dicantumkan apabila telah selesai studi peserta siswa harus kembali ke tanah air untuk mendarmabaktikan ilmu yang diperoleh, maka peserta karya siswa harus memenuhi kewajibannya yaitu kembali ke tanah air untuk mendarma-baktikan ilmunya. Kalau tidak, berarti ia telah iagkar janji atau tidak menepati janjinya. Jika pihak yang memberi ikatan dinas adalah pemerintah, yang dimaksudkan adalah untuk kepentingan atau kemaslahatan rakyat, maka dengan ingkar janjinya itu, sesungguhnya yang dirugikan adalah rakyat.

Sekali lagi kami sampaikan, bahwa Islam tidak membenarkan tindakan yang memadlaratkan atau merugikan, apalagi yang dirugikan masyarakat banyak. Hal ini dikecualikan kalau dalam perjanjian yang telah disepakati itu, secara jelas disebutkan tentang kebolehan setelah selesai studi, karya siswa boleh tidak kembali ke tanah air. Namun Al-Qur’an mengajarkan agar orang yang menuntut dan mendalami ilmu agama sampai ke luar daerah atau negerinya, agar kembali ke daerah atau negeri asalnya untuk mendarmabaktikan ilmunya kepada masyarakat. Allah berfirman:

فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (التوبة:122)

Artinya: “Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya agar mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah:122).

Setiap muslim diwajibkan menuntut ilmu, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Ath-Thabrani dari Ibnu Mas’ud r.a., yaitu:

طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَي كُلِّ مُسْلِمٍ

Artinya: “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap orang Islam.”

Maka mengacu kepada ayat di atas, orang yang telah menuntut ilmu yang sangat dibutuhkan untuk kemajuan masyarakatnya, seharusnya merasa dituntut oleh ajaran agamanya untuk mengabdikan ilmunya untuk kemajuan masyarakatnya, apalagi jika ia merasa telah dibantu atau dibiayai oleh Pemerintah dengan uang rakyat. *dw)

INFAQ KOPERASI (8)

 

Harsono, NBM. 696569, SLTP Muhammadiyah 2 Nglipar Gunungkidul

 

Pertanyaan :

Pimpinan Cabang Muhammadiyah di tenpat kami telah mendirikan koperasi Muhammadiyah yang pada awalnya bergerak di bidang simpan pinjam, dengan menggunakan modal anggota. Sebagai ciri khas pertemuan bulanan dalam acara setelah pembukaan dilanjutkan dengan pengajian. Pada acara pengajian tersebut diadakan / digilirkan kotak infaq. Oleh pengurus hasil infaq tersebut ikut digulirkan (disimpan pinjamkan) kepada anggota.

Yang kami tanyakan:

1.      Bolehkah infaq tersebut ikut dipinjamkan kepada anggota koperasi, karena ada anggota koperasi yang menyatakan bahwa infaq itu tidak boleh kembali kepada yang berinfaq lagi. Mohon penjelasan.

2.      Bila ada Al-Qur’an atau Hadits yang melarang atau membolehkan, mohon dijelaskan.

 

Jawaban :

 

1.      Uang atau harta setelah diinfaqkan adalah menjadi milik yang menerima infaq. Dalam hal ini uang dari anggota koperasi setelah diinfaqkan menjadi milik koperasi yang menerima uang infaq tersebut. Dari pertanyaan yang saudara tulis, kami belum memperoleh kejelasan tentang tujuan dan kegunaan diadakan kotak infaq. Jika dalam pengadaan/penyelenggaraan pengumpulan dana melalui kotak infaq sudah ditentukan semenjak awal, misalnya untuk membantu pembangunan musholla sekolah, untuk membantu siswa yang tidak mampu, dan sebagainya, maka penggunaan uang infaq itu haruslah sesuai dengan tujuan semula. Dengan kata lain penyaluran dana infaq tersebut disesuaikan dengan niat para anggota dalam berinfaq, karena sesungguhnya yang demikian itu merupakan sebuah amanah yang harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Allah berfirman:

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا (النساء:58)

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An-Nisa`:58)

Perubahan penggunaan dana infaq untuk keperluan yang lain dari yang ditentukan semula, dapat dimungkinkan apabila ada persetujuan semua anggota koperasi atau karena ada kebutuhan yang sangat mendesak (darurat), misalkan dipinjamkan kepada anggota yang terkena musibah sakit dan harus dioperasi untuk menolong keselamatan jiwanya. Dalam kaidah fiqh disebutkan:

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاتِ

Artinya: “Keadaan darurat membolehkan yang dilarang.”

Namun apabila dalam pengumpulan dana infaq tersebut tidak disebutkan secara tegas tujuannya atau hanya disebutkan untuk menambah kekayaan koperasi, maka penggunaan dana infaq tersebut lebih luwes (lentur/fleksibel). Boleh digunakan untuk apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan agama, termasuk tidak boleh penggunaan yang mubazir. Di antaranya dana infaq tersebut boleh dipinjamkan kepada anggota koperasi yang membutuhkan.

Tentang, apakah dengan cara peminjaman itu tidak berarti uang infaq kembali kepada yang berinfaq, dapat kami jelaskan bahwa uang infaq tersebut pemiliknya adalah koperasi – selaku badan hukum (asy-syakhshiyyah al-hukumiyyah), bukan lagi milik pribadi yang berinfaq. Pribadi yang meminjam tetap menanggung kewajiban untuk mengembalikan dan melunasi hutang (uang yang dipinjam) kepada koperasi selaku pemilik. Bahkan jika ada anggota yang sangat perlu untuk dibantu dan semua anggota sepakat untuk dibantu, tidak menutup kemungkinan dana infaq itu dapat dibantukan atau dishadaqahkan kepada anggota yang sangat memerlukan bantuan tersebut, tanpa pengembalian. Justru Islam sangat menganjurkan untuk tolong-menolong.

2.      Dalil yang secara khusus menunjukkan kepada kebolehan penggunaan dana infaq untuk dipinjamkan seperti yang kami kemukakan di atas, sejauh ini belum kami temukan. Dalil-dalil yang menurut hemat kami dapat dijadikan sandaran adalah dalil-dalil yang bersifat umum, tentang anjuran tolong-menolong dan anjuran memberi bantuan atau pinjaman kepada orang yang memerlukan, antara lain:

a.       Firman Allah :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ (المائدة:2)

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah:2).

b.      Hadits dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَ اللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ (رواه مسلم و أبو داود و الترمذي)

Artinya: “Barangsiapa yang melapangkan nafas orang Islam dari satu macam kesusahan di antara berbagai kesusahan di dunia, niscayalah Allah akan melapangkannya dari berbagai kesusahan pada hari kiamat. Barangsiapa yang memudahkan orang yang sedang mengalami kesukaran, niscaya Allah akan memudahkan kehidupannya di dunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang menutup cela (aib) orang islam, niscaya Allah akan menutup cela(kesalahan)nya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa akan menolong hamba-Nya, selagi hamba-Nya suka menolong saudaranya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi). *dw)

TABUNGAN AMAL (9)

 

Sumairi Techan,

Pekajangan Gang 8/3, Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Tengah

 

 

Kasus :

 

Arisan yang di dalamnya ada unsur mengadu nasib atau judi adalah tidak benar dan dilarang agama (Fatwa Agama, SM No. 05 Th. ke86). Sehingga, ketika Koperasi Surya yang beranggotakan guru dan karyawan Muhammadiyah se-Kabupaten Pekalongan hendak mengadakan Arisan sebagaimana dimaksud, dengan adanya fatwa tersebut maka kemudian dibatalkan.

Namun kini muncul lagi arisan dengan nama Tabungan Amal dan dikelola oleh Lembaga Pengembangan Badan Usaha Milik Muhammadiyah (LP-BUMM). Usaha untuk membatalkan arisan Tabungan Amal tersebut sudah dilakukan, tetapi tidak berhasil. Ketua BUMM tersebut pernah mengatakan bahwa Tabungan Amal itu bukan arisan. Tabungan Amal tersbut dimaksud untuk menggalang dana guna mengatasi keuangan organisasi yang makin payah. Perlu diketahui pula, arisan serupa sudah dipraktekkan pula di Cabang lain di Kabupaten Pekalongan ini.

Adapun pelaksanaan Tabungan Amal Shadaqah Mingguan tersebut adalah sebagai berikut;

1.      Mulai 17 Agustus 2003

Lama tabungan 30 minggu

Besar tabungan Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah)

Tiap orang boleh mengikuti lebih dari satu peserta

Peserta khusus orang Muslim/warga Muhammadiyah.

2.      Minggu Pertama s.d. Minggu ke-29 memutar Amal Shadaqah

Pada minggu ke-1 s.d. minggu ke-29 bagi peserta yang nomor atau namanya keluar mendapat amal sebesar Rp. 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) dan minggu berikutnya sampai rampung tabungan tidak setor.

3.      Minggu terakhir ke-30

Semua peserta yang belum mendapat amal dari minggu pertama s.d. minggu ke-29, berhak mengikuti putaran akhir berupa sepeda motor merk HONDA atau lainnya dari toko atas nama pribadi peserta yang dapat atau barang lainnya apabila jumlah peserta memungkinkan.

 

Pertanyaan :

Apakah suatu masalah atau laku perbuatan yang telah dinyatakan dilarang oleh Agama dengan diganti sebutan masalah atau laku perbuatan itu akan menjadi berubah hukumnya dan kemudian menjadi diperbolehkan oleh Agama?.

 

Jawaban :

Setelah kami membaca dan mempelajari tatacara pelaksanaan Tabungan Amal Shadaqah Mingguan yang digagas oleh Lembaga Pengembangan Badan Usaha Milik Muhammadiyah (LP-BUMM) Kabupaten Pekalongan, dapat kami sampaikan sebagai berikut:

1.      Terjadi ketidakjelasan dan kesamaran dalam tabungan amal ini, yakni pada:

a.       Dalam pelaksanaan tabungan amal ini disebutkan: Pada minggu ke-1 sampai dengan minggu ke-29, bagi peserta yang nomor atau namanya keluar mendapat amal sebesar Rp. 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah), dan minggu seterusnya sampai rampung tabungan tidak setor. Dalam kalimat itu tidak jelas atau tidak dijelaskan cara nomor/nama peserta yang keluar. Sungguhpun demikian, dapat kami perkirakan bahwa cara untuk mengeluarkan nomor/nama peserta dilakukan dengan undian. Demikian pula, dalam kalimat tersebut terdapat kata amal. Apa arti amal dalam kalimat tersebut? Kata amal berasal dari Bahasa Arab, yang terjemahnya dalam Bahasa Indonesia adalah perbuatan atau pekerjaan. Apakah di sini diartikan dengan shadaqah? Kalau diartikan shadaqah, tentunya pemberiannya dilakukan secara langsung kepada orang yang dituju, tidak perlu dilakukan dengan undian. Dalam tabungan amal ini, andaikata disebut shadaqah, juga tidak jelas posisi masing-masing peserta, apakah sebagai yang bershadaqah atau penerima shadaqah, sebelum perbuatan itu terjadi, yakni sebelum dilakukan undian. Dalam shadaqah, semenjak awal harus sudah diketahui siapa yang bershadaqah dan siapa yang menerima shadaqah. Sedangkan dalam tabungan amal ini, posisi tersebut baru dapat diketahui setelah dilakukan undian. Jika demikian, betulkah orang ini bershadaqah, atau ia “bershadaqah” karena kalah dalam undian?

b.      Disebutkan pula dengan kalimat: Semua peserta yang belum mendapat amal dari minggu pertama s.d. minggu ke-29, berhak mengikuti putaran akhir berupa sepeda motor merk HONDA atau lainnya dari toko atas nama pribadi peserta yang dapat atau barang lainnya apabila jumlah peserta memungkinkan. Dalam kalimat ini tidak dijelaskan jumlah uang yang diterima kembali oleh peserta yang mengikuti putaran minggu ke-30 ini, yang pada hakekatnya mereka masing-masing telah setor uang sebesar Rp. 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). Kemudian, kalau mereka berhak mengikuti putaran akhir untuk mendapat sepeda motor atau barang lainnya, lalu bagaimana cara mendapatkannya? Kami cenderung untuk mengatakan, inipun dilakukan dengan undian, karena di situ terdapat kata-kata apabila jumlah peserta memungkinkan. Dengan kata-kata ini menunjukkan bahwa jumlah peserta yang memperoleh sepeda motor atau barang lain itu lebih kecil daripada jumlah peserta.

Informasi yang tidak jelas dari pihak penyelenggara tabungan amal, tidak menutup kemungkinan menimbulkan perbedaan pendapat dengan pihak-pihak peserta, yang pada gilirannya akan membuka pintu terjadinya sengketa atau konflik dan permusuhan, yang jelas dilarang agama. Allah SWT berfirman:

وَتَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (المائدة:62)

Artinya: “Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-Maidah:62)

Informasi yang tidak lengkap, dikhawatirkan – baik sengaja atau tidak, tidak menampakkan atau menyembunyikan bagian atau unsur yang dilarang agama, sehingga akan mengesankan seolah-olah tidak ada larangan agama. Hal ini tidak menutup kemungkinan menyebabkan seseorang tergelincir kepada perbuatan yang menghalalkan yang diharamkan oleh Allah SWT, atau mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah SWT.

Di samping itu dilihat dari sudut mu’amalat, islam mengajarkan agar aqad (perjanjian/perikatan/persetujuan) dilakukan secara transparan, diketahui secara pasti dan jelas oleh pihak-pihak yang melakukan aqad. Sebagai contoh dalam aqad salam (pesanan barang), Nabi SAW mengajarkan agar jelas ukuran, timbangan, dan batas waktunya.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ (رواه الجماعة)

Artinya: “Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Ketika Nabi SAW di Madinah, mereka (penduduk Madinah) biasa melakukan pemesanan kurma untuk jangka satu atau dua tahun. Kemudian beliau bersabda: Barangsiapa melakukan pemesanan, hendaklah dipesan dalam takaran yang diketahui, timbangan yang diketahui, dan batas waktu yang diketahui (oleh kedua belah pihak).”

Sejalan dengan itu, Nabi SAW melarang praktek jual beli yang mengandung kesamaran atau ketidakjelasan. Dalam hadits ditegaskan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ (رواه مسلم)

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW melarang jual beli dengan melempar batu (untung-untungan) dan jual beli sesuatu yang samar (tidak jelas).” (HR. Muslim).

 

2.      Dalam kegiatan menabung, orang yang menabung hanya dapat mengambil tabungannya maksimal sama dengan jumlah tabungannya, karena sesungguhnya jumlah tabungan itu yang dimiliki. Jadi ia tidak akan menerima lebih dari jumlah uang yang ditabung. Padahal dalam tabungan amal ini, seorang penabung yang nomor dan namanya keluar pada putaran ke-1 sampai dengan ke-29, - tentunya yang dilakukan dengan undian, - akan menerima uang sebesar Rp. 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah), padahal bagi yang nomor dan namanya keluar pada putaran ke-1, setorannya atau “tabungannya” hanya sebesar Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah) karena ia tidak perlu lagi pada putaran berikutnya sampai rampung untuk menyetor atau menambah jumlah tabungannya, yang masih kurang Rp. 145.000,00 (seratus empat puluh lima ribu rupiah). Demikian pula yang memperoleh putaran ke-2 sampai dengan ke-29, akan meneima lebih dari yang ditabung, hanya saja semakin besar nomor putaran, akan semakin kecil kelebihan tersebut, yakni bagi yang memperoleh putaran ke-2, hanya setor Rp. 10.000,00, putaran ke-3 hanya setor Rp. 15.000,00, dan seterusnya.

Dari paparan di atas, dapat ditarik tiga makna dalam tabungan amal tersebut, yakni;

Pertama, uang yang diterima penabung lebih besar dari uang yang ditabung, bahkan di awal-awal putaran dapat berlipat ganda. Apakah uang kelebihan yang diterima ini dapat dikatakan shadaqah? Kami cenderung untuk mengatakan bukan dan tidak termasuk shadaqah. Di samping keberatan-keberatan yang telah kami kemukakan pada butir 1a, juga sesungguhnya pada diri masing-masing peserta dengan undian itu ada harapan untuk memperoleh kelebihan tersebut, bukan untuk shadaqah. Jika ia berniat untuk shadaqah, tentunya tidak disertai harapan sebagai penerima kelebihan itu. Kami cenderung untuk menyatakan kelebihan itu adalah riba, yang dilarang oleh agama. Dalam Al-Qur’an disebutkan:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا (البقرة:275)

Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah:275).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً (آل عمران:130)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (QS. Ali Imran:130).

Kedua, dalam tabungan amal ini terdapat unsur spekulasi atau untung-untungan atau gambling. Jika “beruntung”, nomor/namanya akan keluar pada putaran awal, sehingga akan mendapatkan “amal” lebih besar daripada yang nomor/namanya keluar pada putaran belakangan. Spekulasi atau untung-untungan seperti ini menurut hemat kami termasuk salah satu bentuk perjudian yang dilarang oleh agama. Dalam Al-Qur’an disebutkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (المائدة:90)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah:90).

Ketiga, adanya penerimaan yang tidak sebanding dengan setoran, merupakan salah satu bentuk perilaku yang tidak adil. Demikian pula jumlah setoran yang tidak sama antara peserta yang nomor/namanya keluar pada putaran lebih awal dengan yang nomor/namanya keluar pada putaran berikutnya (lebih belakangan), juga menunjukkan perilaku yang tidak adil. Islam sangat mementingkan tegaknya keadilan, dan merupakan salah satu prinsip dalam hukum Islam. Dalam Al-Qur’an antara lain disebutkan:

اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى (المائدة:8)

Artinya: “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.” (QS. Al-Maidah:8)

 

3.      Sepeda motor atau barang lain yang akan “disediakan” pada putaran ke-30, tentunya adalah dibeli dengan uang peserta yang belum memperoleh “amal” pada putaran ke-1 sampai dengan ke-29. Dalam pandangan syari’at Islam, barang yang dibeli secara bersama, adalah menjadi milik bersama (syirkatul milk), kecuali sebagian di antara mereka menghibahkan atau memindahkan pemilikannya kepada yang lain dengan cara-cara yang dibenarkan oleh syari’at Islam. Namun dalam tabungan amal ini, barang tersebut menjadi milik sebagian di antara peserta dengan jalan diundi, sehingga di dalamnya terkandung unsur spekulasi atau untung-untungan. Oleh karena itu kami berpendapat cara yang dilakukan seperti ini, juga termasuk perjudian yang dilarang agama, sebagaimana yang telah diterangkan pada ayat 90 surat Al-Maidah yang telah dikemukakan.

 

4.      Dalam tabungan amal sebagaimana telah disebutkan di depan dalam pandangan kami, terdapat unsur riba dan unsur perjudian, seperti halnya dalam arisan yang dimuat dalam Fatwa Agama Suara Muhammadiyah No. 5 Th. ke-86. Sekalipun nama berbeda, yakni dengan nama Tabungan Amal Shadaqah Mingguan, tetapi jika terdapat unsur-unsur yang sama dengan yang terdapat dalam arisan yang telah dimuat dalam fatwa Agama Suara Muhammadiyah di atas, maka hukumnya pun sama. Perbedaan atau perubahan nama dan redaksi tidak menjadi dasar dalam penetapan hukum, namun yang menjadi dasar penetapan hukum adalah substansinya, yakni makna dan maksud yang terkandung di dalamnya. Dalam qa’idah fiqhiyah diterangkan:

العِبْرَةُ فِي اْلعُقُوْدِ لِلْمَقَاصِدِ وَاْلمَعَانِي لاَ لِلْأَلْفَاظِ واْلمَبَانِي

Artinya: “Yang dipakai untuk menentukan hukum dalam akad adalah maksud dan maknanya, bukan perkataan dan redaksinya.”

 

5.      Berdasarkan hasil kajian yang telah kami kemukakan di atas, kami, Bidang Fatwa Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, berpendapat bahwa Tabungan Amal Shadaqah Mingguan yang digagas oleh Pimpinan LP-BUMM Kabupaten Pekalongan atau yang lain termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama.

 

Pada akhirnya, perkenankanlah kami menghimbau agar dalam penggalangan dana dan untuk meningkatkan kesejahteraan umat, lebih ditingkatkan pelaksanaan zakat, infaq, shadaqah, dan waqaf, serta partisipasi umat Islam (warga  Muhammadiyah) terhadap muamalah yang dituntunkan atau yang sesuai dengan syari’ah Islam, seperti Bank Muamalah, Bank Perkreditan Syari’ah, Baitul Mal wat Tamwil, Takaful, Gadai Syari’ah, dan sebagainya.

Sebagai penutup kami tulis peringatan Allah dalam Al-Qur’an:

فَلاَ تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

Artinya: “Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa’:130). *dw)

SENI BUDAYA (10)

 

Ayi Abdul Rozak,

Tanjung Gading, Asahan, Sumatra Utara

 

 

Pertanyaan :

 

1.      Sejauh mana pandangan Islam tentang Seni Budaya (musik, tari, dan MTQ yang selalu diperlombakan itu) ?

2.      Apakah suara wanita termasuk aurat, halalkah atau haramkah mendengar nyanyian serta apakah hukumnya bagi kita yang menyaksikannya ?

 

Jawaban :

1.  Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa yang dikatakan kebudayaan itu adalah hasil cipta budi dan daya ummat manusia sendiri. Masyarakat tumbuh oleh kebudayaan, tak mungkin ada kebudayaan tanpa masyarakat dan tiap masyarakat melahirkan kebudayaannya sendiri. Sedangkan kesenian itu, baik musik, tari, lukis, dan sebagainya ialah penjelmaan rasa keindahan umumnya, rasa keharuan khususnya, untuk kesejahteraan hidup. Rasa itu disusun dan dinyatakan oleh pikiran, sehingga ia menjadi bentuk-bentuk yang dapat disalurkan dan dimiliki.

Keindahan dalam segala hal, dan bagi kehidupan ummat manusia dituntut oleh agama Islam untuk mencintai keindahan itu, dan itu telah menjadi fithrah manusia. Rasulullah SAW bersabda:

أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: اْلمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ وَ اْلمَسْكَنُ اْلوَاسِعُ وَ اْلجَارُ الصَّالِحُ وَ اْلمَرْكَبُ اْلهَنِيءُ (رواه ابن حبان في صحيحه)

Artinya: “Empat perkara termasuk dalam kategori kebahagiaan: wanita yang shalihah, rumah yang luas/lapang, tetangga yang baik, dan kendaraan yang menyenangkan.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya).

Di dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ (رواه مسلم)

Artinya: “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah, ia menyukai keindahan.” (HR. Muslim).

Di dalam hadits yang lain lagi yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Iman Abu Dawud, Nabi SAW bersabda:

زَيِّنُوا اْلقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ (رواه البخاري و أبو داود)

Artinya: “Hiasilah Al-Qur’an itu dengan suaramu. Bukanlah ia golongan kami, siapa-siapa yang tidak melagukan (bacaan) Al-Qur’an.” (HR. Al-Bukhari dan Abu Dawud).

Di dalam kitab Fathul Bari, Syarah Shahih Al-Bukhari, disebutkan:

 

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تُغَنِّيَانِ بِغِنَاءِ بُعَاثَ فَاضْطَجَعَ عَلَى الْفِرَاشِ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ وَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ فَانْتَهَرَنِي وَقَالَ مِزْمَارَةُ الشَّيْطَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ عَلَيْهِ السَّلاَم فَقَالَ دَعْهُمَا فَلَمَّا غَفَلَ غَمَزْتُهُمَا فَخَرَجَتَا (رواه البخاري)

Artinya: “Dari Aisyah r.a., beliau menjelaskan, telah masuk kepadaku Rasulullah SAW sementara bersama saya terdapat dua orang gadis sedang bernyanyi dengan Bu’ats, lalu Rasulullah SAW berbaring di atas tikar sambil memalingkan mukanya. Dan masuklah Abu Bakar, lalu ia membentak aku sambil berkata: “Serunai syaithan di sisi Nabi SAW?” Lalu Rasulullah menghadapkan mukanya kepada Abu Bakar, sambil berkata: “ Biarkanlah mereka bernyanyi (hai Abu Bakar)”. Dan manakala Rasulullah SAW tidak ada perhatiannya lagi, keduanya saya singgung (sentuh), lalu mereka keluar.” (HR. Bukhari).

Di dalam riwayat yang lain disebutkan dengan redaksi:

تُغَنِّيَانِ بِدُفَّيْنِ

Artinya: “Kedua gadis itu bernyanyi dengan memukul rebana.”

Dengan memperhatikan dalil-dalil tersebut di atas, maka seni budaya (yang baik), baik berupa musik atau tari-tarian yang sopan yang tidak mengundang atau membangkitkan nafsu syahwat, dibolehkan dalam Islam. Apalagi musabaqah tilawah Al-Qur’an, lebih-lebih lagi diperbolehkan, apalagi kalau hal itu dipakai sebagai sarana untuk mendakwahkan agama Islam.

 

2. Sebelum menjawab pertanyaan saudara yang kedua, di bawah ini kami sebutkan hadits berikut ini:

عَنِ عَائِشَةَ قَالَتْ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا عَلَى بَابِ حُجْرَتِي وَالْحَبَشَةُ يَلْعَبُونَ فِي الْمَسْجِدِ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِي بِرِدَائِهِ أَنْظُرُ إِلَى لَعِبِهِمْ (رواه البخاري) وَ فِي رِوَايَةٍ وَكَانَ يَوْمَ عِيدٍ يَلْعَبُ السُّودَانُ بِالدَّرَقِ وَالْحِرَابِ فَإِمَّا سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِمَّا قَالَ تَشْتَهِينَ تَنْظُرِينَ فَقُلْتُ نَعَمْ فَأَقَامَنِي وَرَاءَهُ خَدِّي عَلَى خَدِّهِ وَهُوَ يَقُولُ دُونَكُمْ يَا بَنِي أَرْفِدَةَ حَتَّى إِذَا مَلِلْتُ قَالَ حَسْبُكِ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ فَاذْهَبِي

Artinya: “Dari Aisyah, beliau berkata: Sebenarnya saya pernah melihat Rasulullah SAW pada suatu hari (berdiri) di pintu kamarku, sementara orang-orang Habsyi sedang melakukan pertunjukan di masjid. Rasulullah menutupi saya dengan selendangnya sambil memperhatikan (menonton) permainan mereka.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari. Dalam suatu riwayat lain: “Adalah hari itu Hari Raya, dimana orang-orang hitam (Habsyi) itu sedang bermain-main dengan perisai dan tombak. Adakala saya bertanya (sesuatu) kepada Rasulullah SAW dan adakala beliau bertanya: “Anda suka melihatnya”. “Ya,” jawab aku. Lalu beliau menegakkan saya dibelakangnya, pipi saya bersentuh dengan pipi beliau sambil beliau bersabda: “Teruskan hai anak Arfadah, sehingga bila saya telah bosan.” Rasulullah bersabda: “Cukup?” “Ya,” jawab aku. “Pergilah,” sabda beliau.”

Dalam hadits lain lagi disebutkan:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا زَفَّتِ امْرَأَةً إِلَى رَجُلٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ فَقَالَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَائِشَةُ مَا كَانَ مَعَكُمْ لَهْوٌ فَإِنَّ اْلأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ (رواه البخاري و أحمد)

Artinya: “Dari Aisyah bahwa beliau mempertandingkan seorang wanita dengan seorang laki-laki dari kaum Anshar, lalu berkata Nabi SAW: “Hai Aisyah, apakah ada padamu permainan, karena kaum Anshar amat suka kepada permainan.”

Dalam kaitan hadits tersebut di atas, diriwayatkan oleh As-Sarraj dari Hasyal bahwa Nabi SAW pernah bersabda

لِتَعْلَمَ اْليَهُوْدُ أَنَّ فِي دِيْنِنَا فُسْحَةً إِنِّي بُعِثْتُ بِحَنَفِيَّةٍ

Artinya: “Supaya orang-orang Yahudi mengetahui bahwa agama kita (Islam) adalah lapang, sungguh aku diutus untuk membawa agama yang lapang (mudah) bagi manusia.”

Dari kedua hadits tersebut di atas, maka jelas kepada kita bahwa suara perempuan itu bukan aurat, dan kita boleh mendengar nyanyian yang dinyanyikan oleh orang perempuan (biduwanita), asal penampilannya sopan, menutup aurat, tidak mempertontonkan bodinya dengan pakaian yang seronok, serta nyanyian yang dinyanyikannya tidak bersifat porno dan mengumbar hamwa nafsu birahi.

Dalam kaitan itu, maka tidak dapat disalahkan kalau ada ulama yang mengharamkan nyanyian, tarian, musik, dan semisalnya, karena disebabkan oleh fakta-fakta dari luar (‘aridly) yang bertentangan dengan jiwa agama, bukanlah haram zatnya, yaitu musik, lagu, dan tari itu sendiri. Bahkan akhir-akhir ini tayangan-tayangan lewat media elektronik banyak yang bersifat merusak, destruktif. Misalnya penayangan film-film kartun (walaupun itu boneka), karena ditayangkan tepat pada waktu maghrib, sehingga melalaikan anak-anak dari melakukan shalat.

Sebagai penutup uraian untuk saudara, barangkali ada baiknya kami sebutkan di sini apa yang ditulis Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin Juz 2 halaman 284 yang maksudnya kurang lebih sebagai berikut: “Bahwa permainan itu gunanya untuk menyenangkan hati, meringankan beban-beban berat yang terpendam dalam pikiran manusia. Hati (akal) itu apabila terus menerus dipaksakan untuk berpikir, ia akan menjadi buta. Membuat kesenangan kepada hati/pikiran serta jiwa sebenarnya satu pertolongan baginya untuk dapat bergiat kembali”.

Tidaklah berlebihan, hiburan-hiburan itu adalah obat hati terhadap penyakit letih, lesu, bosan, dan jemu, maka seharusnyalah hiburan berupa nyanyian, musik, tarian, itu menjadi mubah hukumnya. (*th)

MAKMUM DAHULUI IMAM (11)

 

Saudara Najib,

Palembang, Sumatera Selatan

 

 

Pertanyaan :

 

Saya adalah salah satu anggota Pengurus Takmir di salah satu masjid di Palembang, maka sering melihat dan mengamati para ma’mum. Saya telah menanyakan kepada seorang imam tentang ma’mum yang mendahului imam, baik ketika bangkit dari ruku’ maupun ketika bangkit dari sujud, tetapi jawabannya kurang jelas, karena tidak disertai dalil-dalilnya. Maka saya mohon kepada bapak pengasuh fatwa di Suara Muhammadiyah, menjelaskan hukumnya dengan disertai dalil-dalilnya. Terima kasih.

 

 

Jawaban :

 

Dimaksudkan dengan imam, ialah imam shalat berjamaah, baik berjamaah di masjid maupun berjamaah di selain masjid, misalnya di lapangan. Para ma’mum (orang-orang yang ikut shalat di belakangnya) harus mengikuti imam dalam segala geraknya, dan tidak boleh mendahuluinya. Dalam suatu hadits Nabi saw. disebutkan sebagai berikut:

عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ سَقَطَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ فَرَسٍ فَجُحِشَ شِقُّهُ اْلأَيْمَنُ فَدَخَلْنَا عَلَيْهِ نَعُودُهُ فَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَصَلَّى بِنَا قَاعِدًا فَصَلَّيْنَا وَرَائَهُ قُعُودًا فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ قَالَ إِنَّمَا جُعِلَ اْلإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلَّوْا قُعُودًا أَجْمَعُونَ (أخرجه مسلم: ج: 1: كتاب الصلاة :نمرة :77/311)

Artinya: “Dari az-Zuhriy, ia berkata: Saya mendengar Anas bin Malik berkata: Nabi saw. baru saja jatuh dari kuda, kemudian terseset bagian badannya sebelah kanan. Kemudian kami masuk ke rumah beliau untuk menengoknya, lalu datanglah waktu shalat, kemudian beliau shalat sambil duduk bersama kami, kemudian kami pun shalat di belakang beliau sambil duduk. Setelah selesai shalat, beliau bersabda: Sesungguhnya imam (shalat) itu diangkat untuk diikutinya; Maka apabila ia bertakbir maka bertakbirlah kamu, dan apabila ia bersujud maka bersujudlah kamu, dan apabila ia mengangkat kepala maka angkatlah kepalamu, dan apabila ia mengucapkan: ‘sami’allaahu liman hamidah’ (Allah mendengarkan orang yang memuji-Nya), maka ucapkanlah: ‘Rabbanaa wa lakal-hamd’ (Ya Tuhanku, hanya bagi-Mu segala pujian), dan apabila ia shalat sambil duduk, maka shalatlah kamu sekalian sambil duduk.” (Ditakhrijkan oleh Muslim, I, Kitab as-Shalah, No. 77/411)

 

Dalam hadits lainnya dijelaskan sebagai berikut:

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا، يَقُولُ لاَ تُبَادِرُوا اْلإِمَامَ إِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا قَالَ: وَلاَ الضَّالِّينَ فَقُولُوا: آمِينَ وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا: اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ (أخرجه مسلم: ج: 1: كتاب الصلاة:  نمرة: 87/415)

 

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. memberikan pelajaran kepada kita, beliau bersabda: Janganlah kamu mendahului imam; apabila imam bertakbir maka bertakbirlah kamu, dan apabila imam mengucapkan ‘wa ladl-dlaalliin’, maka ucapkanlah: ‘Aamiin’, dan apabila imam ruku’ maka ruku’lah kamu, dan apabila imam mengucapkan: ‘sami’allaahu liman hamidah’, maka ucapkanlah: ‘Allaahumma Rabbanaa lakal-hamd’.” (Ditakhrijkan oleh Muslim, I, Kitab ash-Shalah, No. 87/415)

 

Hadits pertama menjelaskan bahwa imam shalat wajib diikuti oleh ma’mum dalam segala geraknya, tidak boleh menyalahinya. Jika imam shalat sambil duduk, maka ma’mum harus shalat sambil duduk, dan seterusnya.

 

Hadits kedua menjelaskan bahwa ma’mum tidak boleh mendahului imam dalam segala geraknya; dalam ruku’nya, dalam takbirnya, dan seterusnya. Barangsiapa mendahuluinya maka ia berdosa, dan sebagian ulama berpendapat bahwa mendahului imam dalam gerakan apa saja, hukumnya adalah haram, sebab larangan tersebut menunjukkan kepada haram. sd*)

 

WARISAN , HIBAH, WAKAF (12)

S, di Garut, Jawa Barat

 

Pertanyaan :

1.      Seseorang memperoleh warisan/hibah berupa tanah, rumah, sawah, serta kebun. Apakah fihak penerima warisan/hibah itu wajib mengeluarkan zakat atas perolehan harta itu? Apabila demikian, berapa besarnya zakat itu? Bagaimana kalau fihak penerima warisan/hibah itu tidak mampu, apakah boleh menjual sebagian dari harta yang diterima itu untuk membayar zakat?

2.      Seseorang bertempat tinggal di kota A dan memiliki kekayaan berupa tanah dan bangunan yang ada di atasnya. Kemudian ia menjual tanah dan bangunan itu dengan maksud untuk dibelikan tanah dan rumah atau untuk merenovasi rumah di kota B untuk dijadikan tenpat tinggal. Apakah uang yang diperoleh dari penjualan tanah dan bangunan di kota A itu terkena kewajiban mengeluarkan zakatnya?

3.     

a.       Sebuah organisasi Islam memerlukan sejumlah dana untuk mewujudkan amal usahanya. Kemudian ada orang yang bersedia dengan penuh keikhlasan mewakafkan/menghibahkan sebidang tanah dan bangunan yang ada di atasnya kepada organisasi tersebut, tetapi kwantumnya melebihi dari sepertiga seluruh kekayaannya. Apakah pemberi wakaf/hibah itu bisa dibenarkan?

b.      Bagaimana kedudukan hukumnya atas sebuah surat atau wasiat wakaf yang ditujukan kepada sebuah organisasi Islam yang kwantumnya melebihi sepertiga dari seluruh kekayaan fihak pewakaf? Apabila ini terjadi bagaimana penyelesaiannya, sedangkan pemberi wakaf itu sudah meninggal dunia terlebih dahulu?

4.      Apakah sama nilainya di hadapan Allah SWT terhadap pemberi wakaf yang dilaksanakan ketika masih hidup dan yang memberikan wakaf itu dilaksanakan apabila yang bersangkutan telah meninggal dunia? Umpanya dengan menulis sebuah testamen di hadapan notaris atau dua orang saksi?

 

Jawaban :

1.      Harta yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan yang sangat diperlukan dalam kehidupan, seperti kebutuhan pangan, sandang, papan (perumahan) dan sebagainya, tidak dikenai zakat.

Rumah dari manapun diperoleh: apakah dari warisan, hibah, wasiat, jual beli dan sebagainya, jika digunakan untuk bertempat tinggal pemilik dan keluarganya tidak dikenakan zakat. Akan tetapi apabila rumah itu disewakan, atau dijadikan penginapan/hotel dan sebagainya, yang dapat mendatangkan penghasilan, maka dikenakan zakat apabila telah memenuhi nishab yakni mencapai seharga 85 gram emas murni (24 karat). Zakat yang dikeuarkan 2,5%.

Sedangkan untuk sawah dan kebun dari manapun diperolehnya dikenakan zakat, apabila ditanami tanaman pangan dan hasilnya mencapai 5 wasaq (7,5 kwintal) atau kalau bukan tanaman pangan hasilnya mencapai seharga 5 wasaq (7,5 kwintal) makanan pokok setempat. Saat mengeluarkan zakat adalah sewaktu panen; dengan ketentuan 10% jika dalam pengirannya tidak dibutuhkan biaya dan 5% jika untuk pengairannya dibutuhkan biaya.

Allah berfirman:

وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَ آتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (الأنعام:141)

Artinya: “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-An’am:141)

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudhri disebutkan:

لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ مِنْ تَمْرٍ وَلاَ حَبٍّ صَدَقَةٌ (متفق عليه)

Artinya: “Tidak ada zakat pada kurma dan biji-biji makanan yang kurang dari 5 wasaq.” (Muttafaq Alaih)

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., Nabi SAW bersabda:

فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُونُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا الْعُشْرُ وَمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشْرِ قَالَ (رواه البخاري)

Artinya: “Pada tanaman yang tersiram hujan dari langit dan dari mata air atau yang digenangi air selokan, dikenakan zakat sepersepuluhnya, sedang bagi tanaman yang disiram dengan sarana pengairan, seperduapuluhnya.” (HR. al-Bukhari)

 

2.      Hasil penjualan tanah dan bangunan rumah yang ada di atasnya yang akan digunakan untuk membeli tanah dan rumah serta merenovasinya di tempat lain untuk dijadikan tempat tinggal, tidak dikenai zakat.

 

3.     

a.       Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) disebutkan:

وَ إِذَا وَصَّيْتَ بِوَقْفِ مَالِكَ فَلاَ تَزِدْ عَلَي الثُّلُثِ

Artinya: “Jangan berwasiyat mewaqafkan barang lebih dari sepertiga daripada harta kekayaanmu.”

Hal ini didasrkan kepada hadits:

جَاءَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ اشْتَدَّ بِي فَقُلْتُ يَا رَسُولُ اللهِ إِنِّي قَدْ بَلَغَ بِي مِنَ الْوَجَعِ مَا تَرَى وَأَنَا ذُو مَالٍ وَلاَ يَرِثُنِي إِلاَّ ابْنَةٌ أَ فَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي قَالَ لاَ فَقُلْتُ فَالشَّطْرَ يَا رَسُولُ اللهِ قَالَ لاَ فَقُلْتُ فَالثُّلُثُ قَالَ الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ أَوْ كَبِيرٌ إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَ هُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ(متفق عليه)

Artinya: “Rasulullah SAW menjengukku di waktu haji wada’ di saat saya sedang sakit keras. Kemudian saya bertanya: Wahai Rasulullah, saya sedang menderita sakit keras, bagaimana pendapat anda. Saya ini orang berada, tetapi tidak ada yang mewarisi hartaku kecuali seorang anak perempuanku. Bolehkah saya mensedekahkan (mewasiatkan) dua pertiga hartaku? Rasulullah bersabda: Jangan. Lalu saya bertanya: Separuh, wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Jangan. Kemudian saya bertanya lagi:  Sepertiga? Beliau bersabda: Sepertiga, ya sepertiga itu sudah banyak atau besar. Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli waris yang kaya lebih baik daripada meninggalkan ahli waris dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak.” (Muttafaq Alaih).

 

b.      Sebelum menjawab pertanyaan saudara, perlu kami sampaikan terlebih dahulu bahwa dalam ilmu faraidl (hukum waris Islam) dikenal ada ahli waris ashhabul furudl, ahli waris ashabah dan ahli waris dzawul arham. Secara singkat dapat kami jelaskan sebagai berikut.

Ahli waris ashhabul furudl ialah ahli waris yang memperoleh bagian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’. Mereka itu adalah:

1.   Istri

2.   Anak perempuan

3.   Cucu perempuan pancar laki-laki

4.   Saudara perempuan sekandung

5.   Saudara perempuan seayah

6.   Saudara perempuan seibu

7.   Ibu

8.   Nenek Shahihah

9.   Suami

10. Ayah

11. Kakek Shahih

12. Saudara seibu

Ahli waris ashabah yaitu ahli waris yang dalam pembagian harta waris bagiannya tidak ditetapkan besar kecilnya oleh syara’. Ahli waris ashabah menghabiskan seluruh sisa harta waris, yakni harta waris itu setelah dikurangi oleh bagian-bagian ahli waris ashhabul furudl yang berhak. Mereka itu ialah:

1.   Anak laki-laki

2.   Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan keturunan laki-laki seterusnya tanpa diselingi oleh perempuan

3.   Saudara laki-laki sekandung atau seayah

4.   Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung atau seayah dan keturunan laki-laki seterusnya tanpa diselingi oleh ahli waris perempuan

5.   Saudara laki-laki ayah sekandung atau seayah

6.   Anak laki-laki saudara laki-laki ayah seayah dan keturunan laki-laki seterusnya tanpa diselingi oleh ahli waris perempuan

7.   Anak perempuan bersama anak laki-laki

8.   Cucu perempuan pancar laki-laki bersama dengan cucu laki-laki pancar laki-laki

9.   Saudara perempuan sekandung bersama dengan saudara laki-laki sekandung

10. Saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah

11. Dalam beberapa keadaan tertentu saudara perempuan sekandung atau seayah bersama dengan kakek

12. Saudara perempuan sekandung atau seayah jika dalam pembagian warisan ada anak perempuan atau cucu perempuan pancar anak laki-laki

Ahli waris dzawul arham yakni setiap orang yang mempunyai hubungan darah (kekerabatan) dengan orang yang meninggal dunia selain ashhabul furudl dan ashabah. Dalam pembagian harta waris, ahli waris dzawul arham menerima bagian harta waris apabila orang yang meninggal dunia tidka meninggalkan seorangpun ahli waris ashhabul furudl dan atau ashabah.

Bagi orang yang meniggal dunia sama sekali tidak meninggalkan ahli waris baik ashhabul furudl, ashabah, maupun dzawul arham, maka yang berhak menerima warisannya adalah Baitul Mal atau semacam Kas Perbendaharan Negara, berdasarkan hadits:

أَنَا وَارِثُ مَنْ لاَ وَارِثَ لَهُ أَعْقِلُ عَنْهُ وَأَرِثُهُ (رواه أبو داود)

Artinya: “Saya adalah ahli waris dari orang yang tidak mempunyai ahli waris. Saya dapat membayar dendanya dan saya mewarisinya.” (HR. Abu Dawud).

Berdasarkan keterangan di atas, maka apabila ada ortang berwasiat lebih dari 1/3 harta yang dimiliki, haruslah dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada ahli waris ashhabul furudl dan ashabahnya. Jika mereka menyetujui maka wasiat yang lebih dari 1/3 harta waris dapat dilaksanakan, tetapi jika mereka tidak menyetujui, maka wasiat yang dapat dilaksanakan adalah hanya maksimal 1/3 itu dan selebihnya kembali menjadi harta waris yang diberikan kepada ahli waris yang berhak. Jika tidak ditemukan ahli waris ashhabul furudl dan ashabah, maka dicari ahli waris dzawul arham. Jika kemudian mereka menyetujui, berlakulah wasiat tersebut; dan jika mereka tidak menyetujui,maka wasiat yang berlaku hanya 1/3 harta waris. Kemudian apabila ternyata tidak ada ahli waris dzawul arham, maka wasiat yang lebih dari 1/3 itu dimintakan persetujuan kepada Baitul Mal. Jika pihak Baitul Mal menyetujui maka berlakulah wasiat tersebut, dan jika pihak Baitul Mal tidak menyetujui maka wasiat yang berlaku adalah pada batas 1/3; selebihnya diserahkan ke Baitul Mal.

 

4.      Pada dasarnya wakaf berlaku semenjak diikrarkan oleh waqif di kala hidupnya. Namun jika wakaf tersebut berbentuk wasiat, maka berlakunya adalah semenjak waqif meninggal dunia. Dilihat dari waktu pengambilan manfaat atas benda wakaf, dapat dipastikan lebih dahulu atau lebih cepat wakaf yang berlaku semenjak waqif masih hidup dari pada waqaf yang berlaku sejak waqif meninggal dunia. Atau dapat pula dikatakan bahwa waqaf yang dilakukan saat waqif masih hidup, sesungguhnya kebajikan telah nyata terjadi lebih dahulu dari pada waqaf yang diwasiatkan yang berlakunya setelah waqif meninggal dunia.

Allah SWT akan memperhitungkan sekecil apapun yang dilakukan oleh hambaNya. Dalam surat Al-Zalzalah ayat 7 disebutkan:

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهُ (الزلزلة:7)

Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat(balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah:7). *dw)

 

TALAK, RJUK PAKAI SURAT (13)

 

Saudari Yati,

Desa Tanjung RT. 1 Kab. HST (Barabai), Kalimantan Selatan

 

Kasus :

Ada seorang suami menjatuhkan talak sama istrinya, tetapi melalui surat dan surat tersebut tidak diketahui istri, karena surat tersebut langsung diberikan sama penghulu (ini bahasa kami), kalau dalam bahasa lain yaitu orang yang bertugas mengawinkan orang, lalu surat tersebut dibaca sama penghulu, lalu penghulu tersebut bilang sah. Kemudian setelah suami mau pergi sambil di bilang mau dirujuk setelah kembali dari mencari kerja, lalu penghulu bilang sah ruju’.

 

Pertanyaan :

1.      Apakah betul penghulu mengesahkan talak dan rujuk tersebut?

2.      Tolong beri dalil kalau betul dan beri dalil pula kalau tidak.

 

Jawaban :

 

Menurut ajaran Islam yang berhak menjatuhkan perceraian ialah:

1.      Suami, yang disebut dengan talak (baca QS. al-Baqarah, 2: 228, 229, 230, dan lain-lain.

2.      Hakim (baca QS. an-Nur, 24:6 dan sababun nuzulnya).

3.      Perceraian yang terjadi (jatuh) dengan sendirinya, karena salah seorang suami atau istri meninggal dunia (QS. al-Baqarah, 2:234).

Belum ditemukan dalil yang menyebutkan bahwa perceraian dapat terjadi selain dari 3 (tiga) proses di atas, termasuk di dalamnya perceraian yang dijatuhkan penghulu.

Mengenai talak ada dua macam, yaitu talak raj’i dan talak ba’in. Talak ba’in ada dua macam, yaitu ba’in sughra dan ba’in kubra. Talak raj’i ialah talak yang dalam masa iddah suami boleh rujuk kepada istrinya, berdasarkan ayat 228 surat al-Baqarah:

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاَحًا (البقرة: 228)

Artinya: “…Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah …” (QS. al-Baqarah, 2:228)

Talak bisa dijatuhkan suami dengan alasan yang dibenarkan.

Ada tiga macam masa iddah bagi istri yang ditalak suaminya, sesuai dengan keadaan istrinya:

1.      Tiga kali quru’ (ada yang mengartikan quru’ dengan suci dan ada pula yang mengartikan dengan haidl (bagi istri yang masih mengalami masa haidl). Baca QS. al-Baqarah, 2:228).

2.      Empat bulan sepuluh hari bagi istri yang kematian suami (baca QS. al-Baqarah, 2:234).

3.      Tiga bulan bagi istri yang tidak mempunyai masa haidl lagi (seperti telah tua) atau istri yang ragu-ragu tentang kedatangan masa haidlnya (baca QS. ath-Thalaq, 65:4).

Dari keterangan di atas dapat difahami bahwa apabila seorang suami menjatuhkan talaknya yang pertama atau yang kedua, ia boleh rujuk kepada istrinya dalam masa iddah istrinya itu. Jika pihak suami tidak rujuk kepada istrinya, maka pada saat habis masa iddahnya itu, status talak raj’i menjadi talak ba’in sughra. Jika pihak suami ingin kawin kembali dengan bekas istrinya dalam status talak ba’in sughra itu, haruslah dengan aqad yang baru dan mahar yang baru pula. Tentu saja sebelumnya telah disetujui oleh pihak istri. Proses rujuk atau proses perkawinan kembali itu haruslah dihadiri oleh dua orang saksi laki-laki. Allah swt berfirman:

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ (الطلاق: 2)

Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (QS. ath-Thalaq, 65:2).

Aqad nikah adalah semacam aqad. Karena itu pada aqad nikah berlaku pula ketentuan-ketentuan yang berlaku pada aqad pada umumnya. Aqad nikah dilakukan oleh pihak calon istri, pihak calon suami, dan dihadiri oleh dua orang saksi laki-laki. Pihak calon istri mengucapkan ijab dan pihak calon suami mengucapkan qabul. Ijab ialah pernyataan pihak istri bahwa bersedia menjadi istri dari calon suami. Sedangkan qabul ialah kesediaan pihak calon suami menerima calon istrinya menjadi istrinya. Hal ini berarti bahwa setelah terjadi ijab dan qabul, pihak suami memegang buhul aqad nikah. Inilah yang dimaksud ayat 237 surat al-Baqarah (2) dengan kalimat “alladzi biyadihi ‘uqdatun nikah” (orang atau suami yang di tangannya tergenggam aqad nikah).

Hal ini juga berarti bahwa suami adalah pemilik aqad nikah, sebagaimana dinyatakan dalam hadits:

لاَ نَذْرَ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ وَلاَ عِتْقَ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ وَلاَ طَلاَقَ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ (أخرجه أبو داود و الترمذي و صححه)

Artinya: “Tidak ada nadzar bagi seseorang terhadap apa yang tidak dimilikinya, tidak ada (hak) memerdekakan budak terhadap budak yang tidak dimilikinya, dan tidak ada (hak) mentalak terhadap istri yang tidak dimiliki (suami).”(ditakhrijkan oleh Abu Dawud dan at-Turmudzi dan dinyatakan shahih)

Sebagaimana halnya dengan aqad nikah, maka talakpun adalah semacam aqad pula. Hanya saja bedanya ialah aqad nikah semacam perjanjian untuk menjadi suami istri, sedangkan talak ialah perjanjian melepas buhul aqad nikah atau mengurungkan perjanjian aqad nikah yang telah disepakati sebelumnya.

Untuk mentalak istri atau melepas kepemilikan terhadap istrinya, dapat dilakukan cara-cara berikut:

1.      Suami langsung menjatuhkan talak kepada istrinya, di hadapan dua orang saksi laki-laki dan dengan syarat-syarat dan proses tertentu yang ditentukan syara’.

2.      Dengan mewakilkan kepada orang lain, tentu saja dengan surat kuasa yang dapat dijadikan sebagai alat bukti jika terjadi perselisihan atau persoalan di kemudian hari. Kemudian dilakukan seperti prosedur no. 1 di atas.

3.      Dengan surat suami yang di antar oleh seorang yang diberi kuasa oleh pihak suami, tentu saja surat itu adalah surat yang dapat dijadikan alat bukti. Kemudian prosedurnya seperti no. 1 di atas.

Cara-cara menjatuhkan talak oleh suami terhadap istrinya seperti cara-cara di atas sesuai pula dengan pendapat asy-Syafii (wafat 204 H), dengan alasan: peristiwa talak pada hakekatnya adalah semacam peristiwa aqad pada umumnya, termasuk di dalamnya peristiwa aqad nikah. Jika pada peristiwa aqad nikah dilakukan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun tertentu dan dilakukan secara resmi (‘ilaan), tentulah peristiwa talak dilakukan demikian pula.

Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan:

1.      Talak yang dijatuhkan suami dengan surat, tidak dihadiri dua orang saksi, adalah talak yang tidak sah.

2.      Penghulu tidak berwenang mengawinkan seseorang wanita dan tidak pula berwenang menjatuhkan talak. Penghulu hanya wajib mencatat bahwa telah terjadi talak yang sah.

3.      Demikian pula halnya dengan rujuk, harus pula dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu di samping dihadiri dua orang saksi, juga harus rujuk dengan perbuatan suami, dalam masa iddah.

Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 38-40, dinyatakan:

Pasal 38: Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian, b. Perceraian, c. Atau keputusan pengadilan

Pasal 39:

(1).Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak dapat mendamaikan kedua belah pihak.

(2).Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri tidak akan dapat rukun sebagai suami istri.

(3).…

Pasal 40:

(1).Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan.

(2).…

Mengenai tata cara perceraian diatur pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 Bab V Pasal 14 s.d. 36 jo Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Bab II Paragraf 1, 2, 3, 4 jo Kep. Menteri Agama No. 154 Tahun 1991, tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Bab XVI pasal 113-157.

Dari Undang-undang dan Peraturan Pemerintah di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa semua bentuk perceraian yang dilakukan suami istri di Indonesia harus dilakukan di hadapan sidang pengadilan dan dengan keputusan hakim. Kewajiban penghulu hanya mencatat peristiwa telah terjadi aqad nikah yang sah. Penghulu tidak berwenang menikahkan orang, ia hanya mencatat pernikahan.

Bagi Warga Negara Indonesia yang melakukan perkawinan atau perceraian tidak sesuai dengan Undang-undang dan peraturan yang berlaku diancam hukuman yang termuat pada Bab IX PP No. 9 Tahun 1975.

Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa peristiwa talak dan rujuk yang dilaksanakan Penghulu seperti yang dikemukakan penanya menyalahi hukum Islam dan hukum yang  berlaku di Negara Republik Indonesia. Bahkan jika penghulu itu adalah penghulu yang diangkat oleh Pemerintah Republik Indonesia, maka ia dapat dikenakan sanksi hukum, sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. km*)

MEMINTA-MINTA (14)

Saudara Supeno,

Sumenep, Madura, Jawa Timur

 

 

Pertanyaan :

 

Di daerah kami hingga kini masih banyak orang yang penghidupannya meminta-minta, baik orang itu mampu maupun tidak mampu. Bahkan ada yang mensyaratkan minta-minta apabila akan melamar seorang gadis. Bagaimanakah itu hukumnya? Kepada Suara Muhammadiyah kami sangat menunggu jawabannya, terima kasih.

 

 

Jawaban :

Pada dasarnya, setiap orang telah diberi potensi oleh Allah SWT agar dapat hidup mandiri, ia telah diberi akal dan pikiran agar dapat berusaha dan berikhtiar mencari kebutuhan hidup, dengan cara tolong-menolong antara sesama manusia, karena manusia adalah makhluk sosial, dan tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan bermasyarakat. Menolong orang lain adalah suatu kewajiban, maka berusaha menjadi orang yang mempunyai kemampuan menolong orang lain adalah wajib. Maka peminta-minta atau pengemis adalah orang yang tidak mau berikhtiar/berusaha, dan meninggalkan kewajiban.

Para ulama sepakat bahwa perbuatan meminta-minta adalah haram, sebab orang yang meminta-minta sebenarnya meninggalkan kewajiban berikhtiar yang diperintahkan Allah, kecuali dalam keadaan terpaksa. Misalnya karena buta, lumpuh, sangat lemah, dan sebagainya, sehingga kalau tidak meminta-minta ia tidak dapat mempertahankan hidupnya.

Syamsuddin az-Zahabiy, 1416 H., menjelaskan: Sebagian orang sangat ringan untuk meminta kepada orang lain, tanpa adanya kebutuhan yang mendesak, dan sering mengatakan: diberi ya syukur, tidak diberi ya tidak mengapa. Padahal meminta-minta di samping berdosa, juga menurunkan martabat dan muru’ah. Dan dalam suatu hadits diungkapkan bahwa orang yang suka meminta-minta, di akhirat nanti daging di wajahnya akan rontok, sehingga tinggal kulit dan tulang:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ (رواه البخاري و مسلم)

Artinya: “Dari Abdullah bin Umar ra., ia berkata: Nabi saw. bersabda: Sebagian orang selalu meminta-minta hingga ketika sampai di hari kiamat, tidak ada sedikit pun daging di wajahnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain diungkapkan sebagai berikut:

عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَأَلَ وَلَهُ مَا يُغْنِيهِ جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ خُدُوشًا أَوْ كُدُوشًا فِي وَجْهِهِ (رواه أحمد: صحيح الجامع:6255)

Artinya: “Dari Ibnu Mas’ud ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa meminta-minta, sedang ia mempunyai kecukupan, maka ia datang di hari kiamat dengan wajah yang tercakar-cakar.” (HR. Ahmad; Shahih al-Jami’:6255)

Dalam hadits lainnya Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنْ جَمْرِ جَهَنَّمَ فَقَالُوا: وَمَا وَ مَا الْغِنَى الَّذِي لاَ تَنْبَغِي مَعَهُ الْمَسْأَلَةُ؟ قَالَ مَا يُغَدِّيهِ وَيُعَشِّيهِ (رواه أبو داود: صحيح الجامع:7280)

Artinya: “Barangsiapa meinta-minta, sedang ia mempunyai kecukupan, maka sungguh hanyalah memperbanyak bara api di jahannam. Para sahabat bertanya: Berapakah jumlah kecukupan yang menyebabkan ia tidak pantas meminta-minta? Rasulullah saw. menjawab: Sekedar untuk dapat makan pagi dan makan sore.” (HR. Abu Dawud; Shahih al-Jami’:7280).

Hadits-hadits tersebut menegaskan bahwa meminta-minta bukan karena terpaksa, adalah haram dan dosanya sangat besar. sd*)

TARJI' MUSIBAH (15)

Saudara Shubhan, Solo (Surakarta), Jawa Tengah

 

Pertanyaan :

Pada akhir-akhir ini banyak terjadi musibah, baik gempa bumi maupun banjir, yang melanda beberapa daerah di Indonesia. Beberapa waktu yang lalu di pengajian dari seorang da’i, dijelaskan karena dosa para pemimpin, sehingga harus dihukum, atau dosa rakyat itu sendiri, mungkin karena perjudian, perzinaan, dan sebagainya. Yang kami tanyakan apakah boleh kita ucapkan innaa lilllaahi wa innaa ilaihi raaji’uun?

Kami mohon kepada Suara Muhammadiyah menjelaskan, dan kami tunggu, semoga dapat dimuat di SM. Terima kasih.

 

Jawaban :

Pertanyaan saudara sangat baik dan sangat sesuai dengan keadaan di Indonesia akhir-akhir ini. Musibah-musibah tersebut memang merupakan suatu ujian dari Allah SWT. Sebenarnya ujian dari Allah tidaklah selalu berupa kesengsaraan, melainkan juga berupa kenikmatan. Seperti ujian kepada Nabi Sulaiman, beliau diuji dengan kenikmatan yang luar biasa, baik harta maupun ilmu pengetahuan, sebagaimana diungkapkan dalam firman Allah:

قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي ءَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ (الأنعام: 40)

Artinya: “… (Sulaiman) berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk menguji aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (karunia-Nya) …". (QS. al-An’am {27}:40)

Setiap orang tidak dapat lepas dari cobaan atau ujian, bahkan tanpa cobaan iman dan taqwa seseorang tidak dapat meningkat. Bagaikan pelajar atau mahasiswa, apabila ingin naik tingkatan yang lebih tinggi, ia harus melalui ujian. Allah SWT dalam firman-Nya menegaskan bahwa cobaan atau ujian ditimpakan kepada manusia untuk mengetahui siapa yang paling baik iman dan amalnya, sebagaimana disebutkan:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ (الملك:2)

Artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. al-Mulk {67}:2)

Secara garis besar, cobaan itu ada dua macam:

a.       Cobaan yang serba nikmat, seperti kekayaan, kesehatan, pangkat dan sebagainya. Apabila orang yang diberi cobaan yang serba nikmat, dan dapat menggunakannya sesuai dengan hukum Allah, yaitu bersyukur kepada Allah, misalnya orang yang diberi kekayaan, ia mau mengeluarkan zakatnya, orang yang diberi pangkat tidak menjadi sombong, orang yang diberi jabatan tidak menyalahgunakan jabatannya, orang yang diberi ilmu tidak menolak memberikan pelajaran, dan sebagainya, maka ia telah lulus dari cobaan Allah. Apabila sebaliknya, maka ia tidak lulus dari cobaan Allah. Telah menjadi tabiat manusia, apabila diberi cobaan kenikmatan ia amat senang dan tidak bersyukur, dan apabila diberi cobaan kesusahan ia menjadi sangat susah, sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya:

فَأَمَّا اْلإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلاَهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلاَهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ. كَلاَّ بَل لاَ تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ. وَلاَ تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ. وَتَأْكُلُونَ التُّرَاثَ أَكْلاً لَمًّا. وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا. (الفجر: 15-20)

Artinya: “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: "Tuhanku telah memuliakanku". Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezkinya maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku".Sekali-kali tidaklah demikian, sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang batil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. al-Fajr {89}:15-20)

b.      Cobaan yang serba menyedihkan; seperti kemiskinan, kematian orang tua atau saudara, kecelakaan, kebanjiran, gempa bumi, kelongsoran, dan sebagainya. Apabila orang yang terkena musibah yang menyedihkan itu dapat bersabar, maka ia telah lulus dari cobaan atau ujian. Kita wajib bertawakkal dan rela terhadap cobaan atau ujian Allah SWT, sebab sebenarnya cobaan itu salah satu tanda kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Dalam suatu hadits disebutkan sebagai berikut:

عَنِ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ عُظْمَ الْجَزَاءِ مَعَ عُظْمِ الْبَلاَءِ، وَإِنَّ اللهَ تَعَاليَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا اِبْتَلاَهُمْ. فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَى وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ (الجامع الصغير: 2110)

Artinya: “Dari Anas r.a., ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya besarnya pahala sesuai dengan besarnya cobaan; dan sesungguhnya Allah SWT apabila mencintai suatu kaum, maka dia memberikan cobaan kepada mereka. Barangsiapa rela terhadap cobaan itu, maka Allah meridlainya, barangsiapa marah (tidak rela) terhadap cobaan itu, maka Allah akan marah kepadanya.” (HR. at-Tirmudzi dan Ibnu Majah)

Hadits tersebut memberikan pengertian bahwa sebenarnya orang muslim yang mendapatkan musibah adalah orang yang dicintai Allah SWT, maka apabila ia mendapatkan musibah, hendaknya membaca istirja’, yaitu membaca:

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

“Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya”, dan juga membaca hamdalah, yaitu membaca:

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ اْلعَالَمِينَ

“Segala puji hanya bagi Allah seru sekalian alam”, karena musibah tersebut tidak lebih parah, dan harus meyakini bahwa musibah tersebut adalah untuk menghilangkan dosa-dosanya atau untuk meningkatkan derajatnya apabila bersabar, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ اْلأَمْوَالِ وَاْلأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ. الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ. أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ. (البقرة: 155-157)

Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. al-Baqarah {2}:155-157)

Perlu diketahui bahwa kemarahan tidaklah membawa faidah, melainkan akan menimbulkan kemarahan Allah. Adapun sabar terhadap musibah, akan memperoleh pahala, dan Allah akan mengganti yang lebih baik dari yang telah hilang, dan wajib meyakini bahwa di balik musibah ada hikmahnya. Pada ayat lain Allah berfirman:

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ. (البقرة: 216)

Artinya: “… Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah {2}: 216)

Dalam suatu hadits diungkapkan sebagai berikut:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهَا قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللهُ (إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ) اللَّهُمَّ أَجِرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَاخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَخْلَفَ اللهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا (أخرجه مسلم، النووي: 6/374)

Artinya: “Dari Umi Salamah, bahwa ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Setiap muslim yang terkena musibah, lalu ia mengucapkan apa yang diperintahkan Allah: Kami adalah milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya, Ya Allah, lepaskanlah aku dari musibahku, dan gantilah untukku yang lebih baik daripadanya, niscaya Allah menggantinya dengan yang lebih baik daripadanya (yang telah hilang).” (HR. Muslim, an-Nawawiy: 6/474)

Dari penjelasan tersebut dapatlah diambil kesimpulan bahwa mengupat  musibah yang ditimpakan Allah adalah haram, sebab dibalik musibah terkandung hikmah yang sangat besar. Demikian juga, setiap ada musibah diperbolehkan membaca: innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. *sd)

BACA USHALLI DAN QUNUT (16)

Saudara Muhammad, Krapyak, Semarang Barat

 

 

Pertanyaan :

 

Pada tanggal 25 Desember 2003, saya mendengar ceramah dari seorang da’i dari Majelis Tarjih Wilayah, dia mengeluarkan pendapatnya antara lain ialah:

1.      Membaca ushalli adalah boleh.

2.      Bahwa hadits yang dipakai sebagai dasar qunut semuanya adalah shahih, dan Muhammadiyah memaknai doa qunut sebagai qunut nazilah.

Mohon penjelasan.

 

 

Jawaban :

 

Perlu diketahui bahwa orang yang paling mengetahui cara ibadah adalah Rasulullah saw., karena beliaulah yang diutus oleh Allah SWT untuk menyebarkan ajaran Islam. Maka cara ibadah yang tidak ada tuntunannya dari Allah dan Rasul-Nya tidak perlu diikuti.

Mengenai keharusan membaca ushalli untuk melafalkan niat, Muhammadiyah (Majelis Tarjih Muhammadiyah) tidak pernah menganjurkan, sebab tidak ada tuntunannya dari Rasulullah saw. Sebab yang dimaksudkan dengan niyyah ialah maksud hati atau kehendak hati. Kalau dikatakan bahwa melafalkan niat itu boleh saja, maka harus dapat menunjukkan dalilnya.

Di bawah ini kami kutipkan Putusan Tarjih:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَقُلْ " اَللهُ أَكْبَرُ " مُخْلِصًا نِيَّتَكَ لِلَّهِ.

Artinya: “Bila kamu hendak menjalankan shalat, maka bacalah Allahu Akbar dengan ikhlas niatmu karena Allah.” Putusan ini berdasarkan dalil:

1.      Firman Allah

وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ (البينة: 5)

Artinya: “Dan tidaklah mereka diperintah melainkan supaya menyembah kepada Allah dengan ikhlas kepada-Nya dalam menjalankan agama.” (QS. al-Bayyinah: 5)

2.      Hadits Nabi saw.

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّـيَّاتِ (متفق عليه)

Artinya: “Sesungguhnya sahnya amal itu tergantung kepada niat.” (Muttafaq ‘Alaih)

Pada hadits tersebut hanya ditegaskan ‘tergantung kepada niat’, tidak ada ketentuan melafalkan niat. Karena niat itu adalah bagian ibadah, maka harus ada tuntunannya. Melafalkan niat jelas tidak ada tuntunannya.

 

Adapun mengenai qunut, di bawah ini kami kutipkan (ringkasan) dari Himpunan Putusan Tarjih (HPT) sebagai berikut:

1.      Bahwa qunut dengan arti berdiri lama untuk membaca dan berdoa di dalam shalat, itu masyru’ (ada tuntunannya).

2.      Tidak membenarkan adanya pengertian qiyam di atas dikhususkan untuk qunut shubuh yang sudah dikenal dan diperselisihkan hukumnya.

3.      Nabi saw. menjalankan qunut nazilah sampai Allah menurunkan ayat:

لَيْسَ لَكَ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ (آل عمران: 128)

Artinya: “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dzalim.” (QS. Ali Imran: 128) (HPT: 367)

 

Penjelasan :

Qunut Shubuh

Di samping makna asli dari perkataan qunut yang berarti ‘tunduk kepada Allah dengan penuh kebaktian’, Muktamar dalam keputusannya menggunakan makna qunut yang berarti ‘berdiri lama dalam shalat dengan membaca ayat al-Qur’an dan doa sekehendak hati’, sebagaimana dapat diambil pengertian tersebut dari hadits:

أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُوْلُ الْقُنُوْتِ (رواه أحمد)

Artinya: “Shalat yang paling afdhal ialah qunut yang lama.” (HR. Ahmad) (HPT: 367)

Pada perkembangan sejarah fiqh, di masa lampau orang telah cenderung untuk memberi arti khusus pada apa yang dinamakan qunut, yakni: ‘berdiri sementara’ pada shalat shubuh sesudah ruku’ pada rakaat kedua dengan membaca:

اَللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيْمَنْ هَدَيْتَ الخ

Muktamar Tarjih tidak sependapat dengan pemahaman tersebut, berdasarkan pemikiran bahwa:

1.      Setelah diteliti kumpulan macam-macam hadits tentang qunut, maka Muktamar berpendapat bahwa qunut sebagai bagian daripada shalat, tidak khusus hanya diutamakan pada shalat shubuh.

2.      Bacaan:

اَللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيْمَنْ هَدَيْتَ الخ

dalam shalat shubuh itu, haditsnya tidak sah.

3.      Pengetrapan hadits riwayat Hasan tentang doa:

اَللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيْمَنْ هَدَيْتَ الخ

untuk khusus dalam qunut shubuh tidak dibenarkan. (HPT: 368)

 

Qunut Nazilah

Jelasnya bahwa Rasulullah saw. pada beberapa kesempatan telah mengerjakan qunut nazilah dalam hubungan penganiayaan orang kafir terhadap kelompok orang Islam. Dalam doa tersebut Rasulullah mohon dikutuknya mereka yang telah melakukan kejahatan dan dimohonkan pembalasan Allah terhadap mereka. Kemudian turunlah ayat:

لَيْسَ لَكَ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ (آل عمران: 128)

Pemahaman yang timbul dari riwayat tersebut ialah:

1.      Bahwa qunut nazilah tidak lagi boleh diamalkan

2.      Boleh dikerjakan dengan tidak menggunakan kata kutukan dan permohonan pembalasan terhadap perorangan.

 

Qunut Witir

Hadits yang dijadikan alasan bagi qunut witir diperselisihkan oleh ahli-ahli hadits. Muktamar masih merasa memerlukan penelitian dan mempertimbangkan dasar perbedaan penilaian ahli-ahli hadits tersebut. Maka diambil keputusan tawaqquf untuk membahas pada lain kesempatan. *sd)

SHALAT IFTITAH (17)

Saudara Tamrin Mobongi, Limboto, Gorontalo

 

Pertanyaan :

Shalat Tarawih di tempat kami sebagai berikut; setelah selesai shalat Isya’ berdoa sebentar, lalu shalat Ba’da Isya’ dua rakaat, sesudah itu ceramah lima belas menit. Sesudah itu masing-masing jamaah shalat Iftitah dua rakaat, sedang Tarawih dilaksanakan delapan rakaat, 2 kali salam dan Witir 3 rakaat. Pertanyaan yang ingin saya ajukan:

1.  Apakah shalat Iftitah Tarawih ini ada petunjuk Rasul Allah saw?

2.  Kalau ada bagaimana dalilnya?

3.  Kalau tidak ada bagaimana sebenarnya kedudukan shalat Iftitah, mohon penjelasan.

 

Jawaban :

Shalat Iftitah Tarawih dua rakaat adalah masyru’ (disyari’atkan), dan ada petunjuk dari Rasulullah saw, serta telah menjadi keputusan Tarjih, dan telah dilaksanakan di berbagai daerah. Adapun dalilnya ialah:

1- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ اللَّيْلِ فَلْيَفْتَتِحْ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ (رواه مسلم، 1، كتاب صلاة المسافرين و قصرها: 198/768.)

2- عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ بِأَيِّ شَيْءٍ كَانَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْتَتِحُ صَلاَتَهُ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ قَالَتْ كَانَ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ افْتَتَحَ صَلاَتَهُ اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (رواه مسلم، 1، كتاب صلاة المسافرين و قصرها: 198/768.)

3- عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ اْليَمَانِ قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَتَوَضَّأَ وَ قَامَ يُصَلِّي، فَأَتَيْتُهُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَرِهِ فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَقَالَ سُبْحَانَ (اللهِ) ذِي اْلمُلْكِ وَالْمَلَكُوتِ وَاْلعِزَّةِ وَالْجَبَرُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ (أخرجه الطبرانى في الأوسط: رجاله موثقون، ومقررات مجلس الترجيح المحمدية صفحة: 350)

4- عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ (فِي قِصَّةِ مَبِيتِهِ عِنْدَ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا) فَصَلَّى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَدْ قَرَأَ فِيهِمَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى حَتَّى صَلَّى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً بِالْوِتْرِ (رواه أبو داود، ومقررات مجلس الترجيح المحمدية صفحة: 350)

Artinya:

1.      “Dari Abi Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila salah satu di antara kamu mengerjakan shalat Lail, maka bukalah shalatnya (shalat Iftitah) dengan dua rakaat ringan (pendek).” (HR. Muslim, I, Kitab Shalat al-Musafirin dan mengqasarnya, No. 198/768)

2.      “Dari Abdir Rahman bin Auf, ia berkata: Saya bertanya kepada Aisyah Ummul Mukminin: Dengan membaca apa Nabi saw apabila membuka shalatnya (shalat Iftitah) pada shalat malam (shalat Lail)? Aisyah berkata:

اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

(Ya Allah, Tuhan Malaikat Jibril, Mikail, dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang mengetahui perkara gaib dan syahadah (yang dapat dilihat), Engkau memutuskan antara hamba-hamba-Mu tentang apa yang mereka berselisih, tunjukilah aku kepada kebenaran ynag diperselisihkan dengan izin-Mu, Engkaulah yang menunjuki orang yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus).” (HR. Muslim, I, Kitab Shalat al-Musafirin dan mengqasarnya: 198/758)

3.      “Dari Khuzaifah bin al-Yaman, ia berkata: Saya mendatangi Nabi saw pada suatu malam, kemudian beliau berwudhu dan mendirikan shalat, lalu saya mendatanginya ikut shalat dan berdiri di sebelah kirinya, lalu beliau menempatkan saya di sebelah kanannya, lalu beliau mengucapkan:

سُبْحَانَ (اللهِ) ذِي اْلمُلْكِ وَالْمَلَكُوتِ وَاْلعِزَّةِ وَالْجَبَرُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ

(Mahasuci Allah yang memiliki kekuasaan, kerajaan, keperkasaan, kekuasaan yang besar, kebesaran dan keagungan).” (HR. ath-Thabarani, dalam al-Ausath, para perawinya dapat dipercaya; lihat juga HPT (Himpunan Putusan Tarjih), hlm. 350)

4.      “Dari Ibni Abbas, ia berkata (tentang kisah mabit (bermalam) Nabi di rumah Maimunah r.a.). Lalu Rasulullah saw shalat dua rakaat yang ringan (pendek), beliau membaca Ummul Qur’an (al-Fatihah) pada masing-masing rakaat, lalu (menutup shalat) dengan salam. Kemudian shalat sebelas rakaat, dengan witir …” (HR. Abu Dawud; lihat HPT, hlm. 350)

Hadits pertama memerintahkan agar shalat Iftitah dua rakaat yang ringan (pendek), sebelum shalat Lail. Hadits kedua menjelaskan bahwa doa iftitah yang dibaca sesudah takbir ihram (takbir iftitah), sebelum al-Fatihah ialah Allaahumma rabba jibriila … . Hadits ketiga menjelaskan bahwa doa iftitah yang dibaca sesudah takbir ihram ialah Subhaanallaah dzii … . Hadits keempat menjelaskan bahwa cukup membaca al-Fatihah, tidak perlu membaca surat lainnya. (Inilah yang dimaksudkan dengan khafifatain (ringan).

Maka urut-urutannya sebagai berikut: a. Niat, b. Takbir ihram, c. Membaca doa iftitah, d. Membaca al-Fatihah, e. Ruku, dan seterusnya. sd*)

TUNDA BAYAR HUTANG (18)

Saudara Slamet, Pasar Beringharjo, Yogyakarta

Pertanyaan:

Saya adalah seorang pedagang kecil, dan sering berhutang kepada tetangga kios, dn kadang-kadang saya tunda pembayaran hutang itu karena memang belum ada. Ingin saya tanyakan, apakah saya berdosa karena penundaan pembayaran hutang itu?

 

Jawaban:

Masalah hutang adalah masalah besar, bahkan lebih besar dari apa yang dibayangkan manusia., terutama bagi mereka yang menganggap ringan terhadap hutang piutang dan mempunyai niat untuk tidak melunasinya. Mereka kadang-kadang berkata: tidak perlu mengembalikan atau melunasi hutangnya, sebab orang yang memberikan hutang adalah orang kaya, dan tidak ada faidahnya baginya uang yang sedikit ini. Pikiran seperti ini tidaklah benar, sebab hutang itu wajib dikembalikan/dilunasi, baik berhutang kepada orang kaya maupun kepada orang miskin, baik sedikit maupun banyak. Lain halnya apabila orang yang memberikan hutang itu menyedekahkan dengan ikhlas kepada orang yang berhutang.

Dalam hadits Nabi saw ditegaskan sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ (رواه أحمد والترمذي)

Artinya: “Dari Abi Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Jiwa orang mukmin adalah tergantung pada hutangnya, sehingga dilunasinya.” (HR. Ahmad dan at-Turmudzi)

Hadits tersebut adalah salah satu dalil bahwa hutang itu wajib dilunasi sebelum meninggal dunia, dengan tidak pandang bulu apakah berhutang kepada orang kaya ataukah kepada orang miskin, sedikit ataukah banyak. Oleh karena itu, apabila seseorang berhutang dan belum sanggup membayar/melunasinya, dapat dimintakan izin kepada pemberi hutang itu, dengan catatan bukan dengan niat mengulur-ulurkan pelunasannya. Berdosa besar apabila sudah mampu tetapi tidak segera melunasinya. Rasulullah saw bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ (رواه البخاري ومسلم وغيره)

Artinya: “Penunda-nundaan orang yang sudah mampu (berhutang tetapi tidak mau melunasinya), adalah dzalim (berdosa).” (HR. al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain)

Nabi saw pernah memberikan tuntunan, apabila seseorang terjerat hutang dan belum mampu untuk melunasinya, maka ia dianjurkan untuk berdoa sebagaimana terdapat dalam hadits berikut:

 

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ دَخَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ الْمَسْجِدَ فَإِذَا هُوَ بِرَجُلٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ يُقَالُ لَهُ أَبُو أُمَامَةَ فَقَالَ يَا أَبَا أُمَامَةَ مَا لِي أَرَاكَ جَالِسًا فِي الْمَسْجِدِ فِي غَيْرِ وَقْتِ الصَّلاَةِ قَالَ هُمُومٌ لَزِمَتْنِي وَدُيُونٌ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ أَفَلاَ أُعَلِّمُكَ كَلاَمًا إِذَا أَنْتَ قُلْتَهُ أَذْهَبَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَمَّكَ وَقَضَى عَنْكَ دَيْنَكَ قَالَ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ قُلْ إِذَا أَصْبَحْتَ وَإِذَا أَمْسَيْتَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ قَالَ فَفَعَلْتُ ذَلِكَ فَأَذْهَبَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَمِّي وَقَضَى عَنِّي دَيْنِي (رواه أبو داود)

 

Artinya: “Dari Abi Said al-Khudri (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Pada suatu hari Rasulullah saw masuk ke dalam masjid. Ketika beliau bersama seorang lelaki dari kaum Anshar, ditanyakan kepadanya Abu Umamah. Beliau bertanya: Ada apa engkau berada di masjid pada selain waktu shalat? Abu Umamah menjawab: Aku ditimpa banyak kesedihan dan hutang, wahai Rasulullah. Nabi saw bersabda: Maukah engkau kuberitahu sebuah doa, jika engkau mengucapkannya, niscaya Allah akan menghilangkan kesusahanmu dan melepaskan hutang darimu. Ia berkata: Ya, Rasulullah. Rasulullah saw bersabda: Berdoalah setiap masuk waktu pagi dan sore; Allaahumma innii a’uudzu bika minal hammi wal hazani wa a’uudzu bika minal ‘ajzi wal kasali wa a’uudzu bika minal jubni wal bukhli wa ‘auudzu bika min ghalabatid daini wa qahrur rijaali (Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan dan kesedihan, dan aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat jubn dan kikir, dan aku berlindung kepada-Mu dari jeratan hutang dan penindasan orang lain). Abu Umamah berkata: Aku telah mengerjakannya, dan Allah menghilangkan kesusahanku dan melepaskan hutang dariku.” (HR. Abu Dawud) *sd)

AL MASIH, DOA SUJUD (19)

Saudara Udi el-Shin, Malang, Jawa Timur

Pertanyaan :

Dengan surat ini kami mohon perkenan bapak untuk membantu kami memberikan jawaban atas pertanyaan yang selama ini masih menjadi keraguan di hati, kami mengharap jawaban yang disertai dengan dasar hukumnya.

Pertanyaannya sebagai berikut:

1.      Apa arti al-masih dalam kalimat ‘Isa al-Masih? Apa arti masihid-dajjal?

2.      Bagaimana bunyi doa sujud sahwi, sujud syukur, dan sujud tilawah?

3.      Sampai kapan batas waktu seorang musafir mempunyai hak untuk melakukan shalat jama’ qashar?

4.      Bolehkah seseorang menjama’/mengqashar shalat apabila dia sedang mengikuti sidang/musyawarah/kegiatan yang sangat penting dan tidak bisa ditunda?

5.      Bacaan apa yang dibaca pada saat-saat di sela-sela takbir pada shalat ‘Id?

Jawaban :

I.       Arti al-Masih

Al-Masih berasal dari kata dasar مَسَحَ (masaha) – يَمْسَحُ (yamsahu) – مَسْحًا (mashan) yang berarti: mengusap; menghapus; menipu. Arti kata tersebut selalu berubah-ubah sesuai dengan konteksnya.

Menurut Rasyid Ridla dalam tafsirnya, kata اَلْمَسِيْحُ (al-Masih) adalah kata serapan dari bahasa ‘Ibrani, yaitu dari kata اَلْمَشِيْحَا (al-masyiha), memakai huruf ش (syin), yang artinya diusap. Kata tersebut merupakan nama gelar raja bagi mereka. Gelar tersebut dipergunakan oleh mereka, karena menurut tradisi mereka yang sudah berjalan berabad-abad, bahwa orang yang mempunyai kekuasaan (kerajaan), kepalanya diusap dengan minyak suci, dalam suatu upacara pelantikan. Maka mereka menyebut kerajaan dengan sebutan اَلْمَسْحُ (al-mash), dan menyebut raja dengan sebutan اَلْمَسِيْحُ (al-masih). Di kalangan mereka telah terkenal bahwa para Nabi mereka telah memberitakan bahwa akan datang seorang al-masih dari kalangan mereka, dan mereka berkeyakinan bahwa al-masih tersebut akan mengembalikan kekuasaan di bumi ini yang telah hilang. Maka setelah lahir Nabi Isa a.s. yang diberi gelar al-masih, mereka langsung beriman. Mereka berkeyakinan bahwa orang itulah yang pernah diberitakan oleh para Nabi. Nabi Isa memang seorang raja, tetapi yang dimaksudkan adalah raja ruhaniyah bukan raja jasadiyah. (Rasyid Ridla, III: 305)

Dalam surat Ali Imran, 3:45 disebutkan dengan perkataan al-Masih ‘Isa, bukan ‘Isa al-Masih.

إِذْ قَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ اللهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٍ مِنْهُ اسْمُهُ الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ وَجِيهًا فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَمِنَ الْمُقَرَّبِينَ (آل عمران:45)

Artinya: “(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: "Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih `Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).”

Jelaslah bahwa kata al-Masih pada Nabi ‘Isa adalah suatu nama gelar. Kalau di Yogyakarta dan sekitarnya, ada gelar Raden, Kanjeng, Kiai, dan sebagainya.

Adapun al-masih ad-dajjal, secara bahasa al-masih berarti penipu, sedang ad-dajjal berarti pembohong. Jumhur ulama mengartikannya dengan penjahat; orang yang berbuat kezaliman. Dalam hadits Nabi saw dilukiskan bahwa Dajjal adalah makhluk yang kejam dan menakutkan, bermata juling, bagaikan biji anggur yang mengapung. Tetapi dia tidak dapat masuk kota Madinah karena kota tersebut dijaga oleh para Malaikat. Karena kejahatannya, Nabi saw mohon perlindngan kepada Allah dari fitnah Dajjal pada setiap mengerjakan shalat. Adapun hadits-hadits yang mengungkapkan keadaan Dajjal antara lain ialah:

1- عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجِيءُ الدَّجَّالُ حَتَّى يَنْزِلَ فِي نَاحِيَةِ الْمَدِينَةِ ثُمَّ تَرْجُفُ الْمَدِينَةُ ثَلاَثَ رَجَفَاتٍ فَيَخْرُجُ إِلَيْهِ كُلُّ كَافِرٍ وَمُنَافِقٍ (أخرجه البخاري، 4: كتاب الفتن: 148)

Artinya: “Dari Anas bin Malik (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Nabi saw bersabda: Dajjal datang hingga turun di arah Madinah, kemudian Madinah menjadi goncang tiga kali, kemudian keluar kepadanya semua orang kafir dan orang munafiq.” (HR. al-Bukhariy, IV: Kitab al-Fitan: 148)

2- عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَعْوَرُ عَيْنِ الْيُمْنَى كَأَنَّهَا عِنَبَةٌ طَافِيَةٌ (أخرجه البخاري، 4: كتاب الفتن: 148)

Artinya: “Dari Ibnu Umar dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: Mata sebelah kanan juling, seperti buah anggur yang mengapung.” (HR. al-Bukhariy, IV: Kitab al-Fitan: 148)

3- عَنْ أَبِي بَكْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَدْخُلُ الْمَدِينَةَ رُعْبُ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ وَلَهَا يَوْمَئِذٍ سَبْعَةُ أَبْوَابٍ عَلَى كُلِّ بَابٍ مَلَكَانِ (أخرجه البخاري، 4: كتاب الفتن: 148)

Artinya: “Dari Abi Bakrah dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: Kejahatan al-Masih ad-Dajjal tidak dapat masuk kota Madinah, pada waktu itu ada tujuh pintu, masing-masing dijaga oleh dua Malaikat.” (HR. al-Bukhariy, IV: Kitab al-Fitan: 148)

4- عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهَا قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَعِيذُ فِي صَلاَتِهِ مِنْ فِتْنَةِ الدَّجَّالِ (أخرجه البخاري، 4: كتاب الفتن: 148)

Artinya: “Dari ‘Urwah (diriwayatkan bahwa) ‘Aisyah berkata: Saya mendengar Rasulullah saw mohon perlindungan kepada Allah dalam setiap shalatnya dari fitnah Dajjal.” (HR. al-Bukhariy, IV: Kitab al-Fitan: 148)

5- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَنْقَابِ الْمَدِينَةِ مَلاَئِكَةٌ لاَ يَدْخُلُهَا الطَّاعُونُ وَلاَ الدَّجَّالُ (أخرجه البخاري، 4: كتاب الفتن: 148)

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Pada semua penjuru Madinah ada malaikat yang menjaganya, tidakakan dimasuki bahaya tha’un dan dajjal.” (HR. al-Bukhariy, IV: Kitab al-Fitan: 148)

Berdasarkan hadits-hadits inilah para ulama berpendapat bahwa Dajjal memang ada, tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Dajjal itu merupakan makhluk yang berjisim (berbentuk) ataukah hanya merupakan sifat kejahatan.

 

II.    Doa sujud sahwi, sujud syukur, dan sujud tilawah

Setelah kami teliti di beberapa kitab hadits, hingga kini belum mendapatkan doa sujud sahwi dan doa sujud syukur secara khusus. Maka sementara kami berpendapat, ketika melakukan sujud sahwi dan sujud syukur sebaiknya membaca doa yang biasa dibaca pada waktu sujud dalam shalat. Sebab doa yang biasa digunakan pada kedua sujud tersebut, seperti subhaana man laa yanaamu wa laa yashu, adalah buatan ulama yang tidak ada sumbernya.

Adapun doa sujud tilawah ialah:

سَجَدَ وَجْهِيْ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ

Artinya: “Wajahku sujud kepada Allah yang menciptakannya dan membentuknya, dan membuka pendengarannya dan penglihatannya dengan daya upaya dan kekuatan-Nya.” (HR. Ahmad dan Ash-habus Sunan, al-Hakim dan al-Baihaqiy, dan dinilai shahih oleh Ibnu as-Sakan). Al-Hakim menambahnya dengan:

فَتَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

Artinya: “Maha berkahlah Allah dan sebaik-baik pencipta.”

Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas diungkapkan sebagai berikut:

أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي سُجُودِ التِّلاَوَةِ: اللَّهُمَّ اكْتُبْ لِي بِهَا عِنْدَكَ أَجْرًا وَضَعْ عَنِّي بِهَا وِزْرًا وَاجْعَلْهَا لِي عِنْدَكَ ذُخْرًا وَتَقَبَّلْهَا مِنِّي كَمَا تَقَبَّلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُدَ (رواه الترمذي)

Artinya: “Bahwa Nabi saw dalam sujud tilawah membaca: Ya Allah, tulislah untukku bacaan al-Qur’an itu sebagai pahala di sisi-Mu, dan hilangkanlah dosaku dengan bacaan itu, dan jadikanlah bacaan tersebut bagiku sebagai simpanan di sisi-Mu, dan terimalah bacaanku, sebagaimana Engkau menerima dari hamba-Mu, Dawud.” (HR. at-Turmudzi, ash-Shan’aniy, 1960, I:211)

 

III.Menjama’/mengqashar shalat bagi musafir, dan bacaan di sela-sela takbir shalat Id

Para ulama berbeda pendapat tentang batas waktu qashar bagi musafir. Sebelum kami jelaskan, kami kutipkan lebih dahulu dalil-dalil dari hadits agar dapat dijadikan pegangan sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ فَنَحْنُ إِذَا سَافَرْنَا تِسْعَةَ عَشَرَ قَصَرْنَا وَإِنْ زِدْنَا أَتْمَمْنَا (رواه البخاري، 1، كتاب الكسوف:129)

Artinya: “Dari Ibni Abbas r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Nabi saw tinggal di suatu daerah selama sembilan belas hari, selalu shalat qashar. Maka kami apabila bepergian selama sembilan belas hari selalu mengqashar shalat, dan apabila lebih, kami menyempurnakannya.” (HR. al-Bukhariy, I, Kitab al-Kusuf:129)

عَنِ يَحْيَى بْنِ إِسْحَاقَ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسًا يَقُولُ خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنَ الْمَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ فَكَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ قُلْتُ أَقَمْتُمْ بِمَكَّةَ شَيْئًا قَالَ أَقَمْنَا بِهَا عَشْرًا (رواه البخاري، 1، كتاب الكسوف:129)

Artinya: “Dari Yahya bin Ishaq (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya mendengar Anas berkata: Saya keluar bersama Nabi saw dari Madinah ke Makkah, kemudian beliau shalat dua rakaat, dua rakaat (dzuhur dan asar) hingga kami kembali ke Madinah. Saya bertanya: Apakah kamu tinggal di Makkah beberapa hari? Ia berkata: (kami tinggal di Makkah) selama sepuluh hari.” (HR. al-Bukhariy, I, Kitab al-Kusuf:129)

عَنْ يَحْيَى بْنِ إِسْحَاقَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْمَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعَ قُلْتُ كَمْ أَقَامَ بِمَكَّةَ قَالَ عَشْرًا (رواه مسلم، 1، كتاب صلاة المسافرين، 15/693 :309)

Artinya: “Dari Yahya bin Ishaq dari Anas bin Malik (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Kami keluar bersama Rasulullah saw dari Madinah ke Makkah, beliau shalat dua rakaat, dua rakaat, hingga kembali ke Madinah. Saya bertanya: berapa hari beliau tinggal di Makkah? Anas menjawab: sepuluh hari.” (HR. Muslim, I, Kitab Shalat al-Musafirin: No. 15/693:309)

Hadits pertama menjelaskan bahwa Nabi saw mengqashar dan menjama’ shalat di perjalanan selama 19 hari, kemudian para sahabat pun melakukannya. Tetapi apabila lebih dari 19 hari, mereka menyempurnakannya (tidak lagi mengqashar shalat). Hadits ini menunjukkan bahwa batas waktu paling lama adalah 19 hari.

Hadits kedua menunjukkan bahwa Nabi saw selalu mengqashar dan menjama’ shalat ketika tinggal di Makkah hingga 10 hari. Karena tidak lebih dari 19 hari, maka tidak dijelaskan penyempurnaannya. Adapun hadits ketiga memperkuat hadits sebelumnya.

Mengenai shalat jama’, para ulama tidak membatasi waktunya, sebab shalat jama’ dapat dilakukan sekalipun tidak dalam perjalanan, sebagaimana diungkapkan dalam hadits Nabi saw:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ (رواه مسلم، 1، كتاب صلاة المسافرين، 49/705)

Artinya: “Dari Ibni Abbas r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw shalat dzuhur dan asar secara jama’, dan juga maghrib dan isya’ secara jama’, tanpa karena takut dan bepergian.” (HR. Muslim, I, Kitab Shalat al-Musafirin: No. 49/705)

Berdasarkan hadits tersebut para ulama berpendapat bahwa menjama’ shalat karena sedang hajat adalah boleh, asalkan tidak dijadikan kebiasaan.

Adapun mengenai bacaan di sela-sela takbir pada shalat ‘Id, menurut penelitian kami, tidak ada tuntunannya. Wallahu a’lam bish-shawab. *sd)

PENGACARA BERSALAH (20)

Saudara Muslim AM, Tulungagung, Jawa Timur

Pertanyaan:

Sebagaimana kita ketahui bahwa di Indonesia banyak sekali koruptor kelas kakap yang bebas dari hukuman, bahkan seakan-akan tidak terjangkau oleh hukum. Kebebasan mereka dari hukum sangat erat kaitannya dengan kelihaian para pembelanya (advokat/pengacara). Yang saya tanyakan, apakah hukumnya membela orang yang bersalah atau berbuat dzalim? Mohon jawaban lengkap dengan dalil-dalilnya.

Jawaban:

Pada dasarnya advokat atau pengacara bukanlah sebagai pembela, melainkan sebagai penasehat hukum yang bertugas menegakkan dan menjelaskan hukum. Tetapi tugas utama itu, kadang-kadang dilupakan dan berubah menjadi pembela, sehingga hasilnya seperti saudara saksikan, yaitu usaha pembebasan para penjahat.

Menurut Syari’ah Islamiyah, membela orang yang berbuat kedzaliman adalah haram, apalagi jika berhasil membebaskannya dari hukuman yang seharusnya wajib dijalani. Akhir-akhir ini, praktik pembelaan terhadap pelaku kejahatan atau kedzaliman di dunia ini sudah menjadi budaya, bahkan telah menjadi lapangan mencari penghidupan bagi para praktisi hukum,sehingga banyak sekali penjahat korupsi dapat bebas dari hukuman. Padahal membela orang yang berkhianat adalah haram, dan tindak korupsi bisa disamakan dengan berkhianat terhadap amanat rakyat.

Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya:

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللهُ وَلاَ تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا (النساء:105)

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (QS. an-Nisa’, 4: 105)

Dalam beberapa hadits, larangan membela orang-orang yang berkhianat ditegaskan pula sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَعَانَ عَلَى خُصُومَةٍ بِظُلْمٍ أَوْ يُعِينُ عَلَى ظُلْمٍ لَمْ يَزَلْ فِي سَخَطِ اللهِ حَتَّى يَنْزِعَ (رواه ابن ماجة)

Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a. (dilaporkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa membela perlawanan (terhadap kebenaran) secara dzalim, atau membela kedzaliman, maka dia selalu berada dalam kemarahan Allah hingga dicabut nyawanya.” (HR. Ibnu Majah)

Dalam hadits lain juga disebutkan sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَعَانَ ظَالِمًا لِيَدْحَضَ بِبَاطِلِهِ حَقًّا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللهِ وَ ذِمَّةُ رَسُولِهِ (صحيح الجميع:6048)

Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a. (dilaporkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa menolong orang yang berbuat dzalim untuk mematahkan kebenaran dengan kebatilan, maka Allah dan Rasul-Nya tidak menanggung (keselamatannya).” (HR. al-Jami’ ash-Shaghir: 6048)

Dari penjelasan tersebut dapatlah ditarik kesimpulan bahwa membela orang yang bersalah adalah haram. Sebagai catatan, perlu diketahui bahwa salah dan tidaknya seseorang ditentukan oleh putusan hakim yang adil dan berdasarkan bukti-bukti yang kuat (valid), bukan oleh opini masyarakat. sd*)

BID'AH ISRA' MI'RAJ DAN YASINAN (21)

Eko Yuni Priswanto, ekopris@plasa.com.

 

Pertanyaan:

1.      Apakah memperingati Isra’ Mi’raj termasuk bid’ah walaupun dikemas dalam bentuk pengajian?

2.      Apakah mengadakan kegiatan Yasinan atau membaca Yasin bersama-sama tiap malam Jum’at dibolehkan?

 

Jawaban:

1.      Mengenai masalah bid’ah ini pernah dijelaskan dan dimuat dalam majalah Suara Muhammadiyah No. 11 Th. ke-87 Juni 2002, No. 11 Th. ke-88 Juni 2003, dan No. 22 Th. ke-88 November 2003, namun akan kami tambah penjelasannya sebagai berikut.

Bid’ah ialah sesuatu perbuatan atau perkataan yang dipandang sebagai ‘umurut- ta’abbudiy yang baru dan tidak pernah diperintahkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw semasa hidupnya. Dengan kata lain bahwa bid’ah adalah perbuatan yang ada konotasinya dengan ‘umurut-ta’abbudiy, tidak ada konotasinya dengan ‘umuru ghairut ta’abbudiy. Semua ‘umurut-ta’abbudiy di dasarkan kepada nash-nash yang shahih dan maqbul, dijelaskan macam-macamnya dan cara-cara mengerjakannya. Seperti ibadah shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya. Sebagai contoh adalah sabda Nabi Muhammad saw:

عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي (رواه البخاري)

Artinya: “Dari Malik bin Huwairits (diriwayatkan bahwa) Nabi Muhammad saw bersabda: Shalatlah kamu sebagaimana engkau melihatku shalat.” (HR. al-Bukhari)

Berdasarkan perintah itu, kita pelajari dan cari pada nash-nash yang shahih dan maqbul bagaimana tata-cara mengerjakan shalat, waktu-waktunya, apa yang dibaca pada setiap gerakannya, macam-macamnya baik yang wajib maupun yang sunat, dan sebagainya.

Demikian pula halnya dengan ibadah puasa, zakat, haji, dan sebagainya, kita wajib mengikuti tata-caranya, waktu-waktunya, dan aturan-aturan yang lainnya, sebagaimana yang telah dituntunkan oleh Nabi Muhammad saw.

Bagi orang yang menetapkan cara-cara melakukan, waktu-waktu mengerjakan, bacaan-bacaan yang dibaca dalam mengerjakan ‘umurut-ta’abbudiy, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, dan mengatakan bahwa itu adalah perintah Allah dan Rasul-Nya, padahal tidak ada dasarnya atau dasarnya diragukan kebenarannya, berarti ia telah berdusta terhadap Nabi Muhammad saw dan kaum muslimin. Orang-orang yang mengada-adakan sesuatu tentang Nabi saw padahal tidak ada dasarnya berarti ia telah menyediakan tempat duduknya di neraka nanti. Hal ini berdasarkan pada hadits:

عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَكْذِبُوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجِ النَّارَ (متفق عليه)

Artinya: “Dari Ali r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Nabi Muhammad saw bersabda: jangan kamu berdusta atas (nama)ku, barangsiapa yang berdusta atas nama(ku), tentulah ia masuk ke dalam neraka.” (Muttafaq Alaih)

Dan hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (متفق عليه)

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata, dari Nabi saw beliau bersabda: Barangsiapa yang mengada-adakan kedustaan atasku, maka berarti telah menyediakan tempat duduknya dalam neraka.” (Muttafaq Alaih)

Yang dimaksud dengan kalimat man kadzdzaba ‘alaiyya ialah seseorang yang mengatakan sesuatu adalah ‘umurut-ta’abbudiy dan berasal atau berdasarkan perkataan, perbuatan, atau taqrir Nabi saw, padahal yang sebenarnya Rasulullah saw tidak pernah mengatakan, melakukan, atau tidak ada taqrir beliau. Urusan seperti ini adalah semacam bid’ah dan diancam oleh Rasulullah saw dengan adzab neraka, karena mereka telah berdusta kepada Allah dan Rasul-Nya serta kaum muslimin. Akan lebih besar lagi dosanya, jika kedustaan mereka diamalkan oleh kaum muslimin yang tidak tahu sama sekali tentang hal tersebut.

Adapun mengenai ‘umuru ghairut-ta’abbudiy, boleh dilakukan sekalipun Nabi saw tidak pernah mengerjakannya, dengan syarat tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.

Sehubungan dengan hal kegiatan Isra’ dan Mi’raj, ialah termasuk kegiatan yang dilakukan umat Islam setelah Rasulullah saw meninggal dunia, dengan arti bahwa pada zaman Rasulullah saw belum ada kegiatan tersebut. Peringatan itu dilakukan oleh kaum muslimin, di samping untuk mensyiarkan agama Islam juga untuk memperingati turunnya kepada Rasulullah perintah melakukan shalat wajib lima waktu. Dengan peringatan itu diharapkan dapat memperkuat tekad umat Islam untuk tetap mengerjakan shalat lima waktu dengan sebaik-baiknya. Kegiatan ini termasuk ‘umuru ghairut-ta’abbudiy, bukan ibadah yang langsung ditujukan kepada Allah SWT, karena itu boleh dilakukan. Bahkan dipandang sebagai sebagai suatu ibadah kepada Allah SWT, jika kegiatan itu menambah syiar agama Islam dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama Islam.

 

2.      Kami belum menemukan nash-nash yang shahih dan maqbul yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum tentang membaca Yasin bersama-sama yang diadakan pada malam Jum’at, demikian pula dasar bahwa hal itu pernah diperintahkan Allah atau pernah diperintahkan Rasulullah mengerjakannya atau beliau sendiri pernah mengerjakannya. Juga belum ditemukan dasar bahwa di antara sahabat sendiri pernah melakukannya dan Rasulullah mengetahui perbuatan sahabat itu. Yang ada ialah perintah Allah SWT agar kaum muslimin membaca al-Qur’an dan bagi yang mendengarkan bacaan itu diperintahkan Allah SWT agar mendengarkan bacaan itu dengan baik dan berdiam diri. Tidak ditentukan surat dan ayat yang lebih baik dibaca, kapan harus dibaca, dan tidak ditentukan pula hari dan jamnya. Allah SWT berfirman:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (الأعراف:204)

Artinya: “Dan apabila dibacakan al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. al-A’raf, 7: 204)

Pada ayat yang lain Allah SWT menerangkan cara membaca al-Qur’an dan kapan saat-saat yang terbaik membacanya. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ. قُمِ اللَّيْلَ إِلاَّ قَلِيلاً. نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلاً. أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلاً. إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلاً ثَقِيلاً. إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلاً. إِنَّ لَكَ فِي النَّهَارِ سَبْحًا طَوِيلاً (المزمل:1-7)

Artinya: “Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur'an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak).” (QS. al-Muzzammil, 73: 1-7)

Dari ayat di atas, dapat difahami beberapa hal sebagai berikut:

a.       Membaca al-Qur’an yang paling baik itu setelah lewat tengah malam, karena pada waktu itu keadaan telah sepi, orang sedang tidur nyenyak, sehingga dapat membacanya dengan khusyu’. Ayat-ayat di atas tidak menentukan ayat mana yang paling baik dibaca.

b.      Hendaklah membaca al-Qur’an dengan tartil, maksudnya ialah membaca dengan perlahan-lahan, diusahakan dengan bacaan lafadz yang benar dan fasih sesuai dengan kemampuan si pembaca, diresapkan arti ayat-ayat yang dibaca, dan berjanji akan melaksanakan yang diperintah dan menghentikan yang dilarang oleh ayat-ayat tersebut. Tentu saja hal ini dilakukan sesuai dengan kemampuan dan tingkat pengetahuan si pembaca. Dalam pada itu si pembaca pun harus berusaha meningkatkan kemampuan membaca dan memahami bacaannya. Dari kata tartil ini juga dapat difahami bahwa tidak baik membaca al-Qur’an dengan cepat asal cepat tamat (khatam) tanpa ada usaha untuk memahami isinya. Hal ini dapat juga difahami dari hadits berikut:

عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ مَسْعُودٍ فَقَالَ قَرَأْتُ الْمُفَصَّلَ اللَّيْلَةَ فِي رَكْعَةٍ فَقَالَ هَذَا كَهَذَا الشِّعْرِ لَقَدْ عَرَفْتُ النَّظَائِرَ الَّتِي كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرُنُ بَيْنَهُنَّ فَذَكَرَ عِشْرِينَ سُورَةً مِنَ الْمُفَصَّلِ سُورَتَيْنِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ (متفق عليه)

Artinya: “Dari Abu Wa’il (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Seseorang telah datang kepada ibnu Mas’ud lalu berkata:  Tadi malam aku telah membaca surat-surat pendek (al-mufashshal) dalam satu rakaat. Ibnu Mas’ud berkata: (Bacaan) ini (cepat) seolah-olah (membaca al-Qur’an) adalah membaca sya’ir? Sesungguhnya aku telah mengetahui padanan ayat yang biasa dibaca oleh Nabi saw, lalu menyebut dua puluh surat yang termasuk surat al-mufashshal, tiap rakaat (dibaca) dua surat.” (Muttafaq Alaih)

c.       Membaca al-Qur’an hendaklah dengan penuh perhatian dan memikirkan maksud ayat yang dibaca, tidak asal baca. Allah SWT berfirman:

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ (النساء:82)

Artinya : “Maka apakah mereka tidak mentadabburkan (memperhatikan) Al Qur'an?” (QS. an-Nisa’, 4: 82)

Tadabburberarti membaca dengan penuh perhatian, menggali isi ayat yang dibaca serta melaksanakan apa yang dibaca. Tadabbur dapat dilakukan sendirian atau bersama dalam suatu diskusi, seminar, dan sebagainya. Dari ayat di atas juga dapat difahami adanya ancaman dan peringatan keras kepada orang yang tidak mentadabburkan al-Qur’an. Pada hadits lain dinyatakan:

عَنْ أَبِي مُوسَى عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَعَاهَدُوا الْقُرْآنَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَصِّيًا مِنَ اْلإِبِلِ فِي عُقُلِهَا (متفق عليه)

Artinya: “Dari Abu Musa r.a., dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: Pelajari dan hafalkanlah al-Qur’an dengan tekun. Demi Allah yang jiwaku berada dalam kekuasaannya, al-Qur’an itu lebih cepat lepasnya (dari seseorang) dibanding dengan cepatnya lepas unta dari tali pengikatnya.” (Muttafaq Alaih)

Hadits di atas memperingatkan kepada kaum muslimin agar selalu mempelajari dan mengamalkan ajaran al-Qur’an, karena kalau tidak diamalkan seseorang akan mudah lupa terhadap ajaran tersebut.

Dari keterangan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa membaca surat Yasin bersama-sama pada malam Jum’at bukan sunnah Rasulullah saw dan tidak ditemukan nash-nash yang shahih dan maqbul yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukumnya. Yang ada dasar hukumnya ialah perintah membaca al-Qur’an dengan tartil, mentadabburkan al-Qur’an, baik sekali membaca al-Qur’an lewat tengah malam. Bila tidak demikian, maka al-Qur’an itu mudah hilang dalam ingatan orang yang kurang memperhatikan ajarannya. *km)

 

NIKAH DURHAKA (22)

Saudara Imawan Susanto

Jl. Syamsi, Villa Ilhami, Tangerang, Banten

Pertanyaan:

Apabila seorang wanita menikah dengan laki-laki pilihannya tetapi tidak disetujui oleh ibu wanita tersebut, apakah perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai perbuatan durhaka terhadap orang tua? Apa dasarnya?

 

 

Jawaban:

Seorang wanita yang kawin dengan seorang laki-laki tidak dapat dikatakan durhaka kepada ibunya yang tidak menyetujui perkawinannya itu, apabila perkawinan itu dilaksanakan lengkap dengan rukun dan syaratnya. Termasuk rukun dan syarat suatu perkawinan ialah kedua mempelai beragama Islam, telah mencapai usia baligh, tidak ada hubungan mahram, dengan ijab qabul yang jelas, dihadiri dua orang saksi, ada mahar, ada persetujuan wali, calon suami sanggup memberi nafkah isterinya dan sebagainya. Dengan lengkapnya rukun dan syarat tersebut sebenarnya keinginan seorang ibu telah terpenuhi yaitu terpelihara cinta dan kasih sayangnya terhadap anaknya serta ingin anaknya berbahagia hidup di dunia dan di akhirat nanti (asy-syafaqah wa ri’ayatul mashlahah).

Seandainya beliau (ibu) tetap tidak menyetujuinya padahal telah lengkap rukun dan syaratnya, perkawinan itu dapat dilaksanakan dan kepada kedua suami isteri hendaklah bersabar, tetap hormat kepada orang tua,selalu berusaha melunakkan hati beliau. Hal ini dapat dibandingkan dengan kasus lain. Allah SWT berfirman:

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (لقمان:15)

Artinya: “Dan jika keduanya (ibu dan bapak) memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman, 31: 15)

Ayat di atas menerangkan bahwa jika seorang anak dipaksa oleh bapak dan ibunya untuk mempersekutukan Allah, hendaklah anak itu tidak mengikuti yang dipaksakan orang tuanya itu. Namun demikian, si anak wajib tetap hormat dan cinta serta kasih sayang kepada orang tuanya itu. Perintah Allah SWT ini dapat diterapkan pula kepada wanita yang dilarang kawin dengan seorang laki-laki oleh ibunya, seperti dimaksud pertanyaan di atas. *km)

PEMBOROSAN ANGGARAN (23)

Saudara Al-Hamdan, Bekasi, Jawa Barat

 

Pertanyaan:

Telah menjadi kebiasaan di instansi kami bahwa anggaran belanja harus habis pada bulan tertentu, sehingga pemborosan pun terjadi. Mungkin di instansi lainnya juga demikian, padahal uang tersebut adalah uang rakyat. Bagaimanakah hukumnya menurut hukum Islam? Kepada bidang Fatwa di Suara Muhammadiyah, kami mohon penjelasannya, terima kasih.

 

Jawaban:

Boros ialah berlebih-lebihan dalam menggunakan uang, barang, dan sebagainya. Misalnya kebutuhan untuk makan satu hari satu kilogram beras, tetapi dimasaknya sebanyak dua kilogram beras, kebutuhan telor dalam satu hari sebanyak lima biji, tetapi dimasaknya sebanyak lima belas biji, sehingga sisanya harus di buang karena tidak termakan sebab sudah busuk.

Perbuatan boros dilarang dan haram hukumnya, karena akan menghabiskan harta dengan sia-sia. Perbuatan boros tidaklah hanya dilarang terhadap harta sendiri, melainkan dilarang juga boros terhadap harta negara. Bahkan pemborosan terhadap harta negara adalah lebih jahat, sebab menyengsarakan rakyat banyak.

Dalam al-Qur’an Allah SWT menegaskan sebagai berikut:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (الأعراف:31)

Artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-A’raf, 7: 31)

Pada ayat yang lain juga ditegaskan sebagai berikut:

وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (الأنعام:141)

Artinya: “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-An’am, 6: 141)

Pada kedua ayat tersebut ditegaskan bahwa Allah SWT melarang perbuatan boros, sebab perbuatan tersebut merusak dirinya sendiri jika harta yang digunakan adalah hartanya sendiri, dan merusak negara jika yang digunakan adalah harta negara, yang pada hakikatnya adalah harta rakyat.

Adapun menghabiskan uang negara untuk hal-hal yang tidak perlu sama dengan pemborosan dan hukumnya haram. Sisa uang anggaran tersebut harus dikembalikan kepada negara meskipun dapat mengundang cemoohan tidak mampu atau tidak becus merencanakan sesuatu proyek negara. sd*)

TAKUD SYIRIK INDRA KEENAM (24)

Saudara Zulpan Padli, zulpanpadli@yahoo.com

Jl. Bungur Besar 17 Jakarta Pusat

 

Pertanyaan:

Anak kedua kami, Zulia Widadhiya (Widya), lahir 09-05-98 (± 6 tahun), baru menyelesaikan Taman Kanak-kanak Aisyiyah Bustanul Athfal Jakarta bulan Juni 2003 dan sampai sekarang masih belum mau melanjutkan ke SD (mogok belajar). Sejak bulan Februari 2003 sampai dengan sekarang ananda Widya sering bersikap seperti orang dewasa layaknya. Setelah kami melakukan konsultasi kepada Praktisi Paranormal, dinyatakan bahwa ananda kami mempunyai kelebihan dari anak-anak seusianya, mempunyai Indera Keenam.

Sehubungan dengan itu, kami menanyakan beberapa hal sebagai berikut:

1.      Dapatkah kami mempercayai pernyataan praktisi paranormal itu?

2.      Bagaimana membimbing ananda kami agar tidak keluar dari ajaran Agama Islam?

3.      Apakah ada guru pembimbing untuk ananda kami itu?

4.      Bagaimana sikap kami dalam menghadapi sikap dan prilaku ananda kami itu?

 

 

Jawaban:

Allah SWT menciptakan manusia sebagai makhluk yang terbaik di antara makhluk-makhluk yang diciptakan-Nya. Allah SWT berfirman:

لَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (التين:4)

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. at-Tin, 95: 4)

Kenyataan menunjukkan bahwa sebagai makhluk yang terbaik, antara manusia yang satu dengan manusia yang lain tidak sama, masing-masing mempunyai kelebihan tersendiri di samping juga mempunyai kekurangan. Seseorang mempunyai bakat seni, yang lain mempunyai bakat eksak. Seseorang pendiam, sementara yang lain periang. Seseorang suka berdagang, sedang yang lain suka bertani. Seseorang berintelegensi tinggi, sementara yang lain berintelegensi biasa-biasa saja. Ada manusia yang pintar, ada pula yang bodoh, dan sebagainya. Setiap manusia diberi kebebasan oleh Allah untuk memilih salah satu dari dua jalan, yaitu jalan menuju kedurhakaan dan jalan menuju kepada ketaqwaan. Berbahagialah orang yang memilih jalan ketaqwaan dan sengsaralah orang yang memilih jalan kedurhakaan. Allah SWT berfirman:

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا. قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا. (الشمس:7-10)

Artinya: “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. at-Tin, 91: 7-10)

Karena itu, ada manusia yang pintar dan ada pula yang bodoh, bahkan ada yang dianugerahi kelebihan tertentu. Ada pula manusia yang sengsara dan ada yang durhaka. Semua itu tergantung kepada manusia sendiri, apakah ia mau mensyukuri dan memanfaatkan peluang-peluang yang diberikan Allah kepadanya atau tidak. Allah SWT berfirman:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ (الزمر:9)

Artinya: “Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. az-Zumar, 39: 9)

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sekalipun manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling sempurna, namun di antara mereka terdapat bermacam perbedaan, berupa kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan. Dalam menghadapi hal yang demikian, Allah memerintahkan agar manusia mau bertanya kepada manusia yang lain yang mungkin lebih tahu apa yang tidak diketahuinya. Allah SWT berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ (النحل:43)

Artinya: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl, 16: 43)

Yang dimaksud dengan kata أَهْلَ الذِّكْرِ  (ahladz-dzikr) pada ayat di atas ialah orang yang mempunyai pengetahuan lebih dalam satu bidang ilmu tertentu yang dianugerahkan Allah kepadanya. Di antara tanda bahwa seseorang disebut menguasai suatu bidang ilmu tertentu ialah bahwa ia mempunyai data dan fakta yangdapat diuji kebenarannya dan ia pun dapat menjelaskan kebenaran ilmu yang dimilikinya itu. Segala sesuatu yang tidak berdasarkan data dan fakta tidak dapat dikatakan sebagai suatu ilmu. Allah SWT melarang orang-orang yang beriman percaya kepada sesuatu yang tidak berdasarkan data dan fakta itu. Percaya kepada sesuatu yang tidak berdasarkan pada data dan fakta itu termasuk perbuatan syirik. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (المائدة:90)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. al-Maidah, 5: 90)

Pada ayat di atas terdapat perkataan اْلأَزْلاَمُ (al-azlam), mufradnya زُلَمٌ (zulam), yang berarti anak panah yang tidak pakai bulu. Salah satu adat kebiasaan bangsa Arab Jahiliyah ialah menetapkan keputusan berdasarkan undian, yaitu perbuatan yang bersifat terka-terkaan, dengan menggunakan tiga buah anak panah yang tidak pakai bulu yang disimpan dalam sebuah tabung dan diletakkan dalam Ka’bah. Salah satu anak panah itu bertuliskan اِفْعَلْ (if’al) yang artinya kerjakanlah!, yang kedua bertuliskan لاَ تَفْعَلْ (la taf’al) yang artinya jangan kerjakan!, dan yang ketiga tidak bertuliskan apa-apa. Apabila mereka hendak melakukan perbuatan penting atau melakukan perjalanan jauh, mereka pergi ke Ka’bah dan meminta penjaga Ka’bah mengambil salah satu anak panah mereka dengan cara mengundi. Jika yang terambil adalah anak panah yang bertuliskan اِفْعَلْ (if’al), maka mereka melaksanakan rencana mereka. Jika yang terambil adalah anak panah yang bertuliskan لاَ تَفْعَلْ (la taf’al), mereka tidak melaksanakan rencana itu. Jika yang terambil adalah anak panah yang tidak bertuliskan apa-apa, mereka mengurungkan rencana itu atau mereka mulai kermbali mengundi anak panah itu.

Jika kita cermati ayat di atas, maka kata اْلأَزْلاَمُ (al-azlam) disebut bergandengan dengan kata الْخَمْرُ (al-khamr), الْمَيْسِرُ (al-maisir), اْلأَنْصَابُ (al-anshab), dan dihubungkan dengan kata وَ (wa) yang berarti dan. Hal ini berarti bahwa hukum perbuatan dari istilah-istilah itu adalah sama. Pada ayat tersebut terdapat istilah اْلأَنْصَابُ (al-anshab) yang artinya berkorban untuk berhala atau patung, yang merupakan perbuatan syirik. Sedang perbuatan syirik adalah perbuatan yang paling besar dosanya. Dengan kata lain, bahwa minum khamr, berjudi, mengundi nasib dengan anak panah, sama hukumnya dengan berkorban untuk berhala, karena semua perbuatan tersebut termasuk perbuatan syetan, dosa besar dan haram hukum melakukannya (asy-Syaikh Mahmud Syalthut, 1951).

Berdasarkan keterangan di atas, maka dapatlah kami sampaikan beberapa hal sebagai berikut:

1.      Sejauh yang kami ketahui, pada umumnya  praktisi paranormal menetapkan sesuatu berdasarkan sesuatu yang mereka sebut dengan wangsit atau semacam ilham yang menurut mereka diterima dari Yang Maha Kuasa. Pernyataan mereka itu tidak berdasarkan kepada ilmu pengetahuan yang mempunyai data dan fakta. Cara yang demikian sama dengan cara perbuatan al-azlam (mengundi nasib dengan anak panah) yang hukumnya sama dengan perbuatan syirik.

2.      Mendidik anak agar beragama Islam ialah dengan teladan yang baik, terutama teladan dari ayah dan ibunya, serta membiasakannya melakukan ibadah dengan baik, berakhlak baik, di samping ajaran-ajaran yang diterima dari guru-guru yang mengajarkan agama Islam kepadanya.

3.      Pada masa sekarang banyak para pakar yang ahli dalam bidang pengetahuannya, seperti dokter, psikolog, psikiater, ahli ilmu jiwa anak, ahli pendidikan anak, dan sebagainya. Sebaiknya berkonsultasi dengan mereka, dan tanyakan kepada mereka bagaimana cara menghadapi anak saudara tersebut. Tentu mereka akan memberikan jawabannya.

4.      Anak yang mempunyai kelebihan dari anak-anak yang lain itu bukan saja merupakan rahmat Allah SWT kepada anak itu, tetapi juga merupakan rahmat bagi orang tuanya, bahkan merupakan rahmat bagi kita semua. Apabila anak tersebut dapat dididik dengan baik menjadi anak shalih dan pintar, maka keshalihan dan kepintarannya akan bermanfaat bagi kita semua.

Wallaahu a’lam. km*)

KHAMR DAN ALKOHOL (25)

Saudara Sardjito, NBM 687.578, sardjito@pertamina-up4.co.id

Sardjito, Komperta Gunung Simping 162, Cilacap.

 

Pertanyaan:

 

Pada dasarnya makanan dan minuman beralkohol itu dapat merusak tubuh manusia banyak atau sedikit, karena alkohol itu dapat menimbulkan intoksikasi pada tubuh kita (Dr. Kapti Rahayu Kuswanto, 2001), karena itu menghindarkan diri dari minuman atau makanan yang beralkohol walaupun kandungannya sedikit adalah lebih baik. Namun demikian beberapa peneliti muslim berpendapat bahwa walaupun bahaya alkohol itu tetap ada, dapat ditolerir sampai 5% sedang tape kadar alkoholnya 1-4% (Dr. Kapti Rahayu Kuswanto, 2001).
Fatwa Majlis Tarjih tentang hukum minum air tape di atas belum tegas. Pertama menganjurkan menghindari minum/makan air tape, tetapi di lain pihak juga mengetengahkan hasil penelitian yang mentolerir kadar alkohol sampai 5% (tape kadar alkoholnya 1-4%). Mengapa Majlis Tarjih tidak menentukan saja hukumnya makan tape (Halal atau Haram atau Mubah atau Makruh), sehingga lebih tegas? Kalau kadar alkohol yang hanya < 5% masih ditolerir, seberapa banyak (kg) tape yang boleh dikonsumsi manusia sekaligus (dalam arti masih aman dari mabuk)? Menurut pandangan saya, walau kadar alkohol dalam tape rendah, kalau yang dikonsumsi banyak maka jumlah alkohol yang masuk dalam tubuh akan banyak juga. Demikian pertanyaan dari saya, mohon jawaban.

 

Jawaban :

 

Kaum Muslimin telah sepakat bahwa minum khamr itu hukumnya haram, berdasarkan firman Allah SWT:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا (البقرة:219)

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya"…” (QS. al-Baqarah, 2: 219)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ (المائدة:90-91)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. al-Maidah, 5: 90-91)

Pada ayat di atas terdapat perkataan الخَمْر (al-khamr) dengan arti yang mutlak, dengan arti tidak ada batasan larangan minum khamr itu. Hal ini berarti bahwa khamr itu dilarang meminumnya sedikit atau banyak, apakah sampai memabukkan atau tidak. Pada ayat di atas juga dipahami bahwa hukum minum khamr itu sama dengan hukum berkorban untuk berhala (patung), yaitu semacam perbuatan syirik. Perbuatan syirik termasuk perbuatan dosa besar.

Di antara akibat minum khamr itu ialah si peminum dapat menjadi mabuk dan merusak akal. Mabuk dan merusak akal itu dilarang oleh ajaran Islam, berdasarkan hadits:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ (رواه مسلم)

Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Setiap yang memabukkan itu adalah khamr, dan setiap yang memabukkan itu adalah haram.” (HR. Muslim)

Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa di samping khamr, ada lagi makanan atau minuman yang jika dimakan atau diminum dalam jumlah tertentu dapat memabukkan si peminum, tetapi haramnya tidak mutlak seperti minum khamr; seperti ganja, alkohol, berbagai macam alat perangsang dan penambah tenaga. Dalam al-Qur’an disebutkan:

وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَاْلأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (النحل:67)

Artinya: “Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.” (QS. an-Nahl, 16: 67)

Makanan dan minuman yang dapat memabukkan bila dimakan atau diminum dalam jumlah tertentu selain khamr itulah mungkin yang dimaksudkan oleh golongan Hanafiyah dengan nama nabidz. Mereka membedakan antara khamr dan nabidz. Khamr keharamannya mutlak, sedangkan nabidz tidak. Pertanyaannya ialah, bagaimana dapat menetapkan ukuran atau kadar makanan dan minuman tersebut sehingga dapat memabukkan? Dalam al-Qur’an Allah SWT telah berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ (النحل:43)

Artinya: “… maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl, 16: 43)

Sehubungan dengan perintah Allah SWT di atas, maka Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah bertanya kepada para ahli dalam bidang mereka masing-masing, teutama para ahli farmasi dan para dokter. Dari hasil diskusi dengan mereka itu, diambil kesimpulan bahwa makanan dan minuman yang kadar alkoholnya 5% ke atas dapat memabukkan. Dari diskusi itu pula ditemukan bahwa kadar alkohol dalam tape adalah 1-4%.

Berdasarkan hal itu, maka dapat ditetapkan bahwa makanan dan minuman yang mengandung kadar alkohol 5% ke atas haram hukum memakan dan meminumnya. Jadi air tape halal meminumnya karena kadar alkoholnya kurang dari 5%. km*)

SHALAT GERAK-GERAK (26)

Saudara Syahid, Mataram, Lombok, NTB

Pertanyaan :

Saudara saya, adalah orang yang sangat rajin shalat, tetapi dia mempunyai kebiasaan yang tidak baik, yaitu ketika mengerjakan shalat, tangannya selalu bergerak; membetulkan baju, memasukkan jari dalam hidung, menggaruk-garuk kepala dan sebagainya. Dan pernah diperingatkan oleh temannya, tetapi tidak pernah diperhatikan. Yang saya tanyakan apakah gerakan seperti itu berdosa?

Jawaban :

Orang yang sedang mengerjakan shalat sebenarnya sedang menghadap Allah SWT, maka tidaklah pantas membuat gerakan yang tidak ada kaitannya dengan gerakan shalat, seperti; membetulkan baju, menggerakkan tangan, melihat ke langit, meletakkan jari di hidung dan sebagainya. Orang yang sedang shalat wajib menjaga ketenangan, khusyu’ dan menundukkan diri.

Ketenangan dan khusyu’ (menundukkan diri), sangat diperlukan dalam menghadap Allah agar dapat mencapai apa yang menjadi tujuan shalat, yaitu rahmat, maghfirah, dan hidayah dari Allah SWT. Maka Allah SWT sangat menganjurkannya dalam firman-Nya:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ. الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ (المؤمنون:1-3)

Artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (QS. al-Mu’minun, 23:1-3)

Maka apabila mengerjakan shalat, hendaklah dilakukan dengan konsentrasi seakan-akan Allah SWT berada di hadapannya, sebagaimana diungkapkan dalam hadits Nabi Muhammad saw.:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ: مَا اْلإِيْمَانُ؟ قَالَ: اْلإِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِاْلبَعْثِ. قَالَ: مَا اْلإِسْلاَمُ؟ قَالَ: اْلإِسْلاَمُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ وَلاَ تُشْرِكَ بِهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ اْلمَفْرُوْضَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ. قَالَ: مَا اْلإِحْسَانُ؟ قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَّمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ (أخرجه البخاري، جـ:1:كتاب الإيمان:11)

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Pada suatu hari Nabi keluar kepada orang-orang, kemudian datanglah kepadanya seorang laki-laki, lalu berkata: Apakah iman itu? Nabi bersabda: Iman ialah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, akan bertemu dengan-Nya, utusan-utusan-Nya, dan beriman kepada hari kebangkitan. Ia berkata: Apakah Islam itu? Nabi bersabda: Islam ialah menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat fardhu dan puasa pada bulan Ramadhan. Ia berkata: Apakah ihsan itu? Nabi bersabda: Menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, sekalipun kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu …” (HR. al-Bukhari, I, Kitab al-Iman, hlm. 11)

Hadits tersebut melukiskan bahwa orang yang shalat dengan khusyu’, menundukkan diri kepada Allah, yang penuh dengan takwa kepada-Nya, seakan-akan ia melihat-Nya, karena itulah ia tidak berani menggerakkan anggota badannya yang tidak ada kaitannya dengan shalat, kecuali jika ada alasan yang dibenarkan syari’at Islam. Maka menggerakkan anggota badan yang tidak ada kaitannya dengan shalat hendaklah dihindari karena akan mengurangi nilai atau kesempurnaan shalat. *sd)

 

SHALAT DITUNDA-TUNDA (27)

 

Saudara Saifuddin, Garut, Jawa Barat

Pertanyaan :

Kami para siswa SLTP, sering mendapat latihan, yang kadang-kadang sampai jam 14.00, sehingga sering menunda shalat. Apakah kami berdosa atas penundaan shalat tersebut? Mohon penjelasannya. Terima kasih.

Jawaban :

Shalat adalah salah satu rukun Islam yang lima, maka setiap muslim wajib mengerjakannya sesuai dengan ketentuan yang telah diatur oleh asy-Syaari’ (Allah SWT). Waktu shalat telah ditentukan, tidak boleh diajukan dan tidak boleh ditunda, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT:

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَاذْكُرُوا اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا (النساء:1-3)

Artinya: “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. an-Nisa’, 4:103)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa shalat itu diwajibkan dalam waktu yang telah ditentukan, maka tidak boleh mengerjakannya sebelum waktunya, dan tidak boleh pula mengerjakannya sesudah habis waktunya. Maka orang-orang yang suka meninggalkan shalat atau mengerjakan shalat di luar waktunya, diancam dengan siksaan di neraka jahannam, sedang orang yang bertaubat dan beramal shalih, mereka akan diberi kenikmatan di surga dengan tidak dirugikan sedikit pun. Dalam suatu ayat Allah SWT  berfirman:

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاَةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا. إِلاَّ مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلاَ يُظْلَمُونَ شَيْئًا (مريم:59-60)

Artinya: “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun.” (QS. Maryam, 19:59-60)

Menurut al-Haitamiy, dimaksudkan dengan أَضَاعُوا الصَّلاَةَ  (menyia-nyiakan shalat), bukanlah meninggalkan shalat sama sekali, melainkan yang dimaksudkan dengan pernyataan tersebut ialah menunda shalat atau mengakhirkan shalat di luar waktunya. Menurut Sa’id ibnil-Musayyab, yang dimaksudkan dengan pernyataan tersebut, ialah: tidak shalat dzuhur hingga datang waktu ‘asar, tidak shalat ‘asar hingga datang waktu maghrib, tidak shalat maghrib hingga datang waktu ‘isya, tidak shalat ‘isya hingga datang waktu fajar, dan tidak shalat fajar hingga terbit matahari.

Dari penjelasan tersebut daapatlah ditarik kesimpulan bahwa menunda shalat tanpa adanya alasan syar’iy, adalah berdosa besar, yang ancamannya sangat mengerikan. *sd)

 

SHALAT TERBURU-BURU (28)

Saudara Wasiman, siswa SLTP di Yogyakarta

Pertanyaan :

Saya adalah seorang siswa dari sebuah SLTP di Yogyakarta. Karena sangat sibuk, maka saya tidak dapat shalat dengan baik. Orang bilang shalat saya seperti ayam notol/makan makanan. Yang saya tanyakan, apakah shalat saya itu sesuai dengan ajaran Nabi saw? Mohon dijawab dengan jelas.

Jawaban :

Tuma’ninah(ketenangan) adalah suatu unsur yang sangat penting dan sangat diperlukan dalam shalat. Dengan tuma’ninah itulah kekhusyu’an dalam shalat dapat dicapai. Karena itulah Rasulullah saw memerintahkan agar dalam mengerjakan shalat disertai dengan tuma’ninah, baik ketika ruku’, sujud, dan amalan shalat lainnya. Shalat adalah suatu ibadah yang sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang beriman dan khusyu’. Maka kadang-kadang sebagian orang tidak sabar dalam mengerjakan shalat, ingin cepat selesai, karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, sehingga ketika ruku’, sujud, dan sebagainya tidak disertai dengan tuma’ninah. Sebagian ulama sering menggambarkan shalat yang tanpa tuma’ninah seperti ayam mematuk makanan, karena sujud, ruku’, dan sebagainya dilakukan dengan sangat cepat. Shalat seperti itu, tidak hanya dilakukan pada masa sekarang, melainkan pada masa Rasul pun pernah terjadi, sehingga ditegur oleh Rasulullah saw, sebagaimana diungkapkan dalam suatu hadits:

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ اْلأَشْعَارِي قال: صَلَّي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَصْحَابِهِ ثُمَّ جَلَسَ فِي طَائِفَةٍ مِنْهُمْ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَقَامَ يُصَلِّي فَجَعَلَ يَرْكَعُ وَيَنْقُرُ فِي سُجُوْدِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَرَوْنَ هَذَا مَنْ مَاتَ عَلَي هَذَا مَاتَ عَلَي غَيْرِ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ يَنْقُرُ صَلاَتَهُ كَمَا يَنْقُرُ اْلغُرَابُ الدَّمَ (رواه ابن خزيمة:1/332): شمس الدين،1426: 89)

Artinya: “Dari Abi ‘Abdillah al-Asy’ariy, ia berkata: Setelah Rasulullah saw mengerjakan shalat bersama para shahabat, duduklah beliau di tengah kelompok para shahabat. Kemudian datang seorang laki-laki, lalu mengerjakan shalat; kemudian ia ruku’ dan sujud dengan sangat cepat, lalu Nabi bersabda: Tahukah kalian (bagaimanakah orang) ini? Barangsiapa mati (dengan shalat seperti) ini, maka ia mati atas selain agama Muhammad, mematuk shalatnya, bagaikan burung gagak mematuk darah …” (HR. Ibnu Khuzaimah; al-Bani dalam syarh Shahih Ibnu Khuzaimah:(1/332) Syamsuddin, 1416 H.:89).

Dalam hadits lainnya diungkapkan sebagai berikut:

قال: صَلَّي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً اَلَّذِيْ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُ عَنْ صَلاَتِهِ؟ قَالَ: لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهَا وَلاَ سُجُوْدَهَا (رواه أحمد: الجامع الصغير: 997)

Artinya: “Rasulullah saw bersabda: Pencurian yang paling buruk yang dilakukan manusia ialah mencuri dari shalatnya. Kemudian orang-orang bertanya: Hai Rasulullah, bagaimana ia mencuri dari shalatnya? Beliau menjawab: Tidak menyempurnakan ruku’nya dan sujudnya.” (HR. Ahmad: al-Jami’ ash-Shaghir: 997)

Dari hadits-hadits inilah para ulama mengambil kesimpulan bahwa ruku’, sujud, berdiri, dan duduk wajib dilakukan dengan tuma’ninah; tenang dan tidak dengan tergesa-gesa, kemudian baru meneruskan gerakan selanjutnya. Oleh karena itu agar dapat shalat dengan tuma’ninah seseorang perlu membiasakan mengerjakan shalat dengan baik. *sd)

 

BERDUA-DUAAN (29)

Sumarni, Sekolah Menengah Umum di Purwareja

 

 

Pertanyaan :

Sebagaimana diketahui bahwa para siswa sekarang lebih suka hidup bebas, seperti pergi bersama pria, dan sering berjalan-jalan dan duduk-duduk berdua. Yang ingin saaya tanyakan: apakah berduaan dengan pria yang bukan saaudara dan bukan suami diperbolehkan?

Jawaban :

Bersendiri di suatu tempat (berkhalwah, berdua-duaan yang mengarah pada perbuatan zina) dengan seorang pria/wanita, tanpa ditemani oleh saudara mahramnya, hukumnya adalah haram.

Perbuatan tersebut dilarang dan diharamkan, sebab berduaan antara laki-laki dan wanita tanpa ditemani orang lain, akan ditemani oleh syaitan yang akan menjerumuskan kedua orang tersebut kepada kemaksiatan.

Perbuatan khalwah itulah yang sering merusak martabat seseorang, maka syari’ah Islamiyah mengharamkannya untuk menjaga martabat dan menjaga dari segala macam kemaksiatan dan fitnah, sebab seorang laki-laki dan seorang perempuan, apabila berduaan di tempat yang sunyi, atau di kamar, atau pergi tanpa tujuan yang jelas, akan menimbulkan fitnah. Dalam suatu hadits Nabi saw disebutkan sebagai berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَقُولُ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ وَلاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ (رواه مسلم:1: كتاب الحج:424/1341)

Artinya: “Dari Ibni ‘Abbas ra, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw ketika beliau berkhutbah, bersabda (sebagai berikut): Janganlah seorang laki-laki menyendiri dengan seorang perempuan, kecuali perempuan tersebut bersama mahramnya, dan janganlah seorang perempuan bepergian, kecuali bersama mahramnya …” (HR. Muslim; I; Kitab al-Hajj:424/1341). *sd)

BERGAUL DENGAN NON MUSLIM (30)

Drs. Margono SR, Perumnas Sei Piuh, Bangko, Jambi

 

 

Pertanyaan :

 

Suatu prinsip yang dipegang teguh di masyarakat dimana kami tinggal sekarang dalam bergaul dengan non-muslim adalah sebagai berikut:

1.        Haram makan di rumah orang non-muslim karena makanan mereka sudah bercampur dengan barang haram, dalam arti peralatan masak maupuin peralatan makan mereka sudah dipakai untuk memasak/makan barang haram (babi/anjing).

2.        Najis apabila menyentuh apalagi menggunakan peralatan masak maupun peralatan makan mereka sehingga bagian tubuh kita maupun peralatan kita yang menyentuh peralatan mereka tersebut harus dicuci seperti bila tersentuh babi/anjing.

3.        Najis apabila bagian tubuh kita maupun peralatan kita tersentuh makanan mereka sehingga harus dicuci seperti terkena najis babi/anjing.

4.        Boleh makan di rumah mereka apabila kita yakin makanan tersebut dibeli dari orang muslim dan dihidangkan pakai bungkus tanpa memakai peralatan mereka.

5.        Minuman harus masih dalam kemasan botol/kaleng seperti aqua, fanta, dll.

Benarkah hal yang demikian? Bagaimana halnya dengan yang berlaku umum di tempat tinggal saya dulu (Jawa Tengah) yang sangat toleran dalam bergaul dengan non-muslim. Sangat umum saling berkunjung/mendatangi pesta, saling mengantar makanan dengan non-muslim. Bahkan warung makan maupun penjual kue di pasar pun tidak sedikit yang non-muslim yang kadang-kadang kita tidak mengetahuinya.

 

Jawaban :

Dalam ajaran Islam, hal-hal yang berkaitan dengan halal dan haram itu merupakan masalah prinsip yang tidak dapat diabaikan sedikit pun, karena yang haram itu telah diterangkan dengan jelas, demikian pula yang halal telah diterangkan dengan jelas pula. Bahkan yang ragu-ragu pun seharusnya kaum muslimin hati-hati dan kalau dapat menghindarinya, sebagaimana dinyatakan oleh hadits:

عَنِ النُّعْمَانِ بْنَ بَشِيرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْحَلاَلُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبِّهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهَمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الُشُبُّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ فِي أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ (رواه البخاري ومسلم وغيرهما)

Artinya: “Dari Nu’man bin Basyir ra, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Yang halal itu jelas dan yang haram pun jelas, dan antara keduanya musytabihat, kebanyakan manusia tidak mengetahui keduanya. Barangsiapa yang menjaga dirinya dari perbuatan syubhat, berarti ia telah terlepas dari kewajiban agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang mengerjakan syubhat adalah seperti seorang penggembala yang menggembalakan (ternaknya) dekat tempat terlarang dikhawatirkan ia akan jatuh (masuk) ke tempat itu. Ketahuilah bagi tiap kekuasaan ada larangannya, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya larangan Allah pada bumi-Nya ialah yang diharamkannya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya pada tubuh itu ada gumpalan, apabila baik gumpalan itu baik pulalah tubuh seluruhnya, dan apabila rusak gumpalan itu maka rusak pulalah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa gumpalan itu adalah qalbu.” (HR. al-Bukhari, Muslim, dan ahli hadits yang lain).

Berdasarkan hadits di atas, maka sikap kaum muslimin di daerah saudara adalah sikap yang baik dalam mensikapi larangan-larangan Allah dan hal-hal yang berhubungan dengan syubhat, bahkan sikap orang di daerah asal saudaralah sikap orang yang berdiri di pinggir jurang, kemungkinan akan jatuh ke dalam jurang besar sekali, seakan-akan mereka telah berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama yang mereka anut. Suatu larangan Allah hanyalah boleh dilanggar jika dalam keadaan dharurat. Suatu keadaan disebut keadaan dharurat apabila ada lima hal dalam keadaan terancam, yaitu apabila agama terancam, jiwa terancam, akal terancam, keturunan terancam, atau harta terancam. Dalam hal ini kalau sangat diperlukan baru seseorang boleh mengerjakan pekerjaan haram sampai ancaman itu lenyap. Apabila ancaman itu telah hilang maka larangan itu berlaku kembali. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ. إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ. (البقرة:172-173)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. al-Baqarah, 2:172-173).

Negara Indonesia adalah negara yang berasaskan Pancasila, dimana setiap orang dilindungi oleh negara dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya, termasuk melindungi kaum muslimin untuk menghindar dari perbuatan yang dilarang agamanya. Penganut agama lain harus menghormati hal tersebut, sebagaimana kaum muslimin harus pula melindungi mereka beribadat menurut agamanya masing-masing. Jika ada orang yang tidak berbuat demikian berarti telah melanggar asas negara yang telah disepakati bersama itu.

Secara tidak tertulis ada kesepakatan yang dicanangkan oleh pemuka-pemuka umat beragama di Indonesia, yaitu prinsip: sama dalam berbeda. Sama maksudnya ialah seluruh bangsa Indonesia apapun agamanya berusaha dan bersama membangun negara dan bangsa yang mereka cintai dan berusaha mewujudkan kedamaian dan kerukunan di antara mereka. Dalam pada itu mereka berbeda dalam masalah aqidah, ibadat, dan bentuk-bentuk larangan yang terdapat dalam agama mereka masing-masing, mereka harus saling hormat menghormati. Inilah yang dimaksud dengan toleransi dalam hubungan antara umat beragama.

Dengan ketentuan dan kesepakatan demikian tinggal lagi kepada diri kita masing-masing, apakah kita mau melaksanakannya atau tidak. Apakah kita selektif dalam berbelanja di warung-warung, rumah-rumah makan, dalam membeli makanan kaleng, atau roti-roti yang dibuat yang didalamnya terdapat makanan atau minuman haram. Kita akui hal tersebut sangat banyak beredar di tengah masyarakat yang tangan-tangan pemerintah sendiri tidak dapat menjangkaunya. Sekarang orang lebih mengutamakan kepentingan materi daripada kepentingan beribadah kepada Allah dan menganggap diri tidak modern jika tidak memakan atau meminum, makanan atau minuman tersebut. Mengikuti arus yang salah dan terlarang bukan berarti toleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia yang kita cintai ini. Toleransi dalam kehidupan beragama adalah saling hormat menghormati terhadap perbedaan yang ada pada agama mereka, dan bersama-sama membangun bangsa dan negara, hidup rukun dan damai, aman dan sejahtera.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa jika kita meyakini pada makanan atau alat makan mereka telah terkena najis, maka harus ditinggalkan. Demikian pula halnya jika kita ragu-ragu. Akan tetapi, jika kita yakin tidak terkena najis, maka tidak ada salahnya kita makan bersama mereka dengan makanan atau alat makan mereka. *km)

 

DUDUK DI ATAS NISAN (31)

Saudara Khairurijal,

Garut Jawa Barat

Pertanyaan Masalah Kubur:

Dalam suatu ceramah di Ciamis beberapa waktu yang lalu, yang diberikan oleh seorang da'i dari daerah tersebut, menganjurkan agar tidak tergesa-gesa pulang sebelum selesai penguburan jenazah, padahal kadang-kadang kita lama menunggu, dan menimbulkan kelelahan, apakah boleh kita duduk di atas nisan? Mohon penjelasannya, terima kasih.

Jawaban:

Kubur berasal dari Bahasa Arab: اَلْقُبُوْرُ, yaitu tempat menguburkan jenazah. Menurut syari'ah Islam, karena di dalamnya terdapat jenazah; mayat manusia, maka kubur harus dihormati, tetapi tidak boleh berlebihan, misalnya dengan menyembahnya, atau minta pertolongan kepadanya, dan juga tidak boleh merendahkannya, dengan berjalan di atasnya atau duduk di atasnya, sebagaimana ditegaskan dalam suatu hadits Nabi saw:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتَحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتُخْلِصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ (أخرجه مسلم:2/667)

Artinya: "Dari Abi Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Seseorang di antaramu duduk di atas bara api hingga membakar bajunya, lalu merembet ke kulitnya, adalah lebih baik baginya, daripada duduk di atas kubur." (HR. Muslim, No. 2/667).

Pada kesempatan lain Rasulullah saw bersabda:

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَنْ أَمْشِيَ عَلَى جَمْرَةٍ أَوْ سَيْفٍ أَوْ أَخْصِفَ نَعْلِي بِرِجْلِي أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَمْشِيَ عَلَى قَبْرِ مُسْلِمٍ (رواه ابن ماجة, صحيح الجميع:5038)

Artinya: "Dari Uqbah ibn 'Amir, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Sungguh, saya berjalan di atas bara api, atau pedang, atau melepas sandal yang ada pada kakiku, adalah lebih saya sukai daripada saya berjalan di atas kubur seorang muslim." (HR. Ibnu Majah, shahih al-Jami': 5038)

Hadits-hadits tersebut melukiskan bahwa berjalan dan duduk di atas bara api adalah lebih baik daripada berjalan dan duduk di atas kubur. Ini menunjukkan bahwa berjalan dan duduk di atas kubur adalah berdosa, maka lebih baik menjaga diri dari perbuatan tersebut, dengan mencari celah-celah antara kubur-kubur, dan hendaklah membuka sandalnya ketika masuk ke tempat kubur, dan berdoa untuk orang-orang mukmin. *sd)

 

SENGGAMA DALAM KEADAAN ISTRI HAID (32)

 

Wignyo Sumartono,

Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah

Pertanyaan:

Pernah saya mendengarkan penyuluhan KB, antara lain bahwa bersenggama dalam keadaan haid dapat mencegah kehamilan. Kepada Suara Muhammadiyah bidang Fatwa kami mohon penjelasannya, tentang hukum bersenggama dalam keadaan haid. Terima kasih.

 

Jawaban:

Menurut Jumhur (sebagian besar) ulama, mendatangi (bersenggama dengan) istri adalah bahagian dari kewajiban yang wajib dilakukan suami. Maka mendatangi (bersenggama dengan) istri termasuk ibadah yang harus memenuhi persyaratan ibadah, antara lain ialah bersih, baik lahir maupun batin. Karena itulah mendatangi (bersenggama dengan) istri juga harus melihat apakah istri dalam keadaan suci atau tidak suci (haid).

Mendatangi (bersenggama dengan) istri dalam keadaan haid menurut syari'ah Islamiyah adalah haram. Para ahli kesehatan pun memandangnya tidak sehat. Dalam al-Qur'an Allah menegaskan sebagai berikut:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ.

Artinya: "Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri." (QS. Al-Baqarah, 2:222)

Rahasia larangan mencampuri istri pada waktu haid, menurut al-Maragiy antara lain ialah:

1.      Menyebabkan infeksi pada ovum (sel reproduksi pada wanita), dan kadang-kadang infeksi tersebut mengembang hingga ke rahim, dan sangat berbahaya.

2.      Sering juga menimbulkan infeksi pada kelamin laki-laki, dan menimbulkan rasa sakit dan deman yang berbahaya.

Singkatnya, berhubungan seksual pada waktu istri sedang dalam keadaan haid adalah sangat berbahaya, baik terhadap suami maupun terhadap istri. Karena itulah Allah SWT melarangnya, dan mengharamkannya. *sd)

 

MELEWATI ORANG SHALAT (33)

 

Saudara Jami'un,

Kampar, Riau, Sumatera

Pertanyaan:

Ketika saya mau keluar dari masjid karena sudah selesai shalat berjama'ah, ada seseorang yang menghadangi saya. Dia mengatakan haram melewati orang yang mengerjakan shalat. Dan baru sekali itu saya mengalaminya. Kami mohon dijelaskan dengan dalilnya.

Jawaban:

Shalat adalah suatu ibadah yang sangat memerlukan kekhusyu'an dan ketenangan, maka orang yang sedang shalat tidak boleh terganggu baik dari kanan, kiri, belakang, terutama dari depan, tempat sujud kepada Allah SWT, tempat sujud adalah tempat yang paling mulia. Karena itulah Rasulullah saw dengan tegas melarang kepada siapa pun melewati tempat sujud orang yang sedang shalat.

Al-Bukhariy dalam shahihnya meriwayatkan sebagai berikut:

... فَقَالَ أَبُو جُهَيْمٍ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيْ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ. قَالَ أَبُو النَّضْرِ لاَ أَدْرِي أَقَالَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا أَوْ شَهْرًا أَوْ سَنَةً (أخرجه البخاري: 1: كتاب الصلاة, صفحة:65)

Artinya: "Abu Juhaim berkata: Rasulullah saw bersabda: Seandainya orang yang lewat di depan orang yang sedang shalat mengetahui (siksaan) apa yang menimpanya nanti, niscaya ia berhenti selama empat puluh hari adalah lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yang sedang shalat. Abu Nadar berkata: Saya tidak tahu persis, apakah ia berkata empat puluh hari, atau empat puluh bulan, atau empat puluh tahun." (HR. Al-Bukhariy, I, Kitab ash-Shalah: 65)

Hadits tersebut melukiskan, apabila disuruh memilih antara berjalan di depan orang yang sedang shalat, yaitu di tempat persujudan, dan menunggu empat puluh hari, maka lebih baik menunggu empat puluh hari. Ini menunjukkan bahwa berjalan di tempat sujud orang yang sedang mengerjakan shalat adalah berdosa besar. Karena itulah diperingatkan dengan keras oleh Rasulullah saw.

Sebagai upaya untuk mengantisipasi agar tidak ada orang yang lewat didepan kita ketika sedang mengerjakan shalat, alangkah baiknya jika di tempat sujud kita diberi tanda (batas), supaya orang yang hendak lewat tidak melalui tanda tempat sujud kita tersebut. Tanda (batas) tersebut misalnya dengan tikar, sajadah, atau sapu tangan. *sd)

 

INGKAR SUNNAH (34)

Saudara H. Moh. Sopandi,

Jl. Kenari II No. 11 Rt. 01/04 Kota Sukabumi

Pertanyaan:

Mohon penjelasan pengertian INKAR SUNAH. Apakah sebenarnya pengertian tersebut? Apakah penganut Inkar Sunah itu termasuk orang murtad, kafir dan sebagainya atau masih dalam lingkungan Islam? Bagaimana seharusnya sikap kita terhadap penganut itu kalau sudah tidak menerima Sunah?

Hal tersebut di atas saya sampaikan karena di Sukabumi sudah mulai menyebar. Konon kabarnya Inkaru Sunah itu pusatnya di Jakarta. Dengan demikian kami mohon dengan hormat agar jawaban dibalas langsung ke alamat saya di samping dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah, demi murninya aqidah Qur’an Sunah.

 

 

Jawaban:

 

Sebelum kami menguraikan jawaban atas pertanyaan tersebut, perlu kami beri catatan bahwa dalam pertanyaan tersebut tidak dijelaskan bagaimana praktek-praktek dan ibadah-ibadah yang dikerjakan oleh penganut Inkar Sunah tersebut. Oleh sebab itu kami hanya memberikan keterangan yang bersifat umum saja.

Untuk menjawab persoalan Inkaru Sunnah (pengingkaran terhadap as-Sunnah), tidak terlepas dari penelusuran sejarah hukum Islam dari masa sahabat dan sesudahnya. Dalam sejarah tercatat bahwa ketika Daulah Abbasiyah berkuasa telah terjadi suatu kondisi yang berbeda dengan masa sebelumnya, yaitu adanya perbedaan pendapat seputar kehujjahan as-Sunnah, yang intinya mempertanyakan apakah as-Sunnah masih layak dijadikan sumber utama agama ataukah tidak.

Generasi sahabat dan tabi’in, mereka sepakat menjadikan as-Sunnah sebagai sumber utama agama dan merujuk kepadanya di kala tidak memperoleh dalil dari al-Qur’an. Akan tetapi setelah umat Islam terpecah ke dalam golongan-golongan, baik yang berorientasi sosial keagamaan maupun politik, dan banyaknya hadits palsu, yang ada kalanya untuk memperkuat keberadaan golongan (madzhabnya), dirasa sangat sulit untuk menemukan hadits yang benar-benar sahih. Inilah titik awal meluasnya pintu perbedaan pendapat tentang layak tidaknya as-Sunnah dijadikan sebagai salah satu sumber utama agama. Dalam hal ini terdapat tiga kelompok/golongan:

1.      Golongan yang menolak as-Sunnah secara mutlak. Mereka berpandangan bahwa al-Qur’an telah mengatur segala-galanya.

2.      Golongan yang hanya menerima hadis mutawatir.

Mencermati dua golongan di atas, jelas mereka dalam kekeliruan. Untuk golongan pertama, bagaimana mereka akan shalat atau menunaikan zakat, sementara di dalam al-Qur’an hanya menyebut secara umum, sedangkan perinciannya ada di dalam as-Sunnah. Untuk golongan kedua, mereka tidak bisa mengetahui di dalam al-Qur’an adanya ayat yang khas (khusus) atau ‘am (umum), ayat yang mutlaq atau muqayyad, padahal hal itu banyak dijelaskan oleh as-Sunnah yang bukan mutawatirah.

3.      Golongan yang mengakui as-Sunnah sebagai sumber utama agama di samping al-Qur’an.

Setelah menjelaskan sekilas tentang sejarah, dan kembali kepada pertanyaan saudara, bahwa Inkaru Sunnah itu artinya mengingkari as-Sunnah sebagai salah satu sumber utama agama. Apakah mereka masuk kategori muslim, murtad, atau kafir? Jika masih ada pengakuan syahadah di dalam diri mereka, maka masih dipandang sebagai Muslim. Namun Muslim yang kufur terhadap rukun Islam yang lain, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji yang cara pelaksanaannya dijelaskan oleh as-Sunnah, yang justru mereka ingkari.

Sikap kita adalah bagaimana bisa berdialog dan menyadarkan mereka, dengan argumentasi ayat al-Qur’an sebagai berikut:

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا (الحشر:7)

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. al-Hasyr, 59:7) *fz)

SENDE/GADAI (35)

Saudara Marsam,

Argomulyo, Sedayu, Sleman

 

 

Pertanyaan:

Bagaimana hukum masalah sende, termasuk riba atau bukan? Contoh sende, missal A pinjam uang 1 juta rupiah kepada B dengan boreg tanah sawah setengah bagian kira-kira 1000 m2. Selama uang 1 juta rupiah yang dipinjam oleh A belum bisa dikembalikan kepada B, maka sawah A tetap dikelola oleh B dan hasilnya pun dipetik oleh B. Baru setelah beberapa tahun A dapat mengembalikan uang 1 juta rupiah kepada B, maka sawah juga kembali pada A. Mohon penjelasan beserta alasan dalilnya.

 

Jawaban:

Setelah kami membaca dan mempelajari pertanyaan saudara tentang sende, kami berpendapat bahwa sende sebagaimana yang saudara contohkan dalam pertanyaan, dalam pandangan ajaran Islam dapat digolongkan sebagai الرَّهْنُ(gadai). Gadai dalam ajaran Islam tidak hanya yang agunannya berupa benda bergerak, juga yang agunannya berupa benda tetap (tidak bergerak) seperti sawah, ladang, dan sebagainya.

Dalam ajaran Islam, aqad gadai pada dasarnya adalah aqad hutang piutang, namun kemudian disertai agunan agar orang yang memberi hutang (kreditur) percaya untuk memberi hutang, karena adanya barang yang dapat dijadikan jaminan bagi pelunasan hutang.

Pada dasarnya, aqad hutang piutang adalah aqad tabarru’, yakni perjanjian itu diadakan dan dilakukan untuk suatu kebajikan, bukan untuk mencari keuntungan. Memberi pinjaman (hutang) kepada orang yang sangat memerlukan dipandang sebagai sebuah kebajikan atau ibadah. Dalam hadits disebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ. وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ. وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ. (أخرجه مسلم)

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata; Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang melapangkan nafas seorang mukmin dari suatu kesusahan di dunia, niscaya Allah akan melapangkan nafasnya dari suatu kesusahan pada hari kiamat; dan barangsiapa yang memudahkan orang yang sedang terkena kesulitan, niscaya Allah akan memudahkan orang itu di dunia dan di akhirat; dan barangsiapa menutup cela seorang muslim, maka Allah akan menutup cela (kesalahannya) di dunia dan di akhirat; dan Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu suka menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً. (رواه ابن ماجة)

Artinya: “Dari Ibnu Mas’ud: Sesungguhnya Nabi saw bersabda: Setiap muslim yang mau memberi hutang kepada sesama muslim sebanyak dua kali, maka tidak lain kecuali seperti ia bershadaqah satu kali.” (HR. Ibnu Majah)

Sebaliknya, mengambil keuntungan atau manfaat dalam perjanjian hutang piutang dilarang oleh agama, karena dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk riba.

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا أَقْرَضَ فَلاَ يَأْخُذْ هَدِيَةً. (رواه البخاري)

Artinya: “Dari Anas, dari Nabi saw, beliau bersabda: Apabila seseorang memberi hutang, maka janganlah ia mengambil hadiah.” (HR. al-Bukhari)

وَ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ شَفَعَ لِأَخِيهِ شَفَاعَةً فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً فَقَبِلَهَا فَقَدْ أَتَى بَابًا عَظِيمًا مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا. (رواه أحمد, وأبو داود)

Artinya: Dari Abu Umamah ra., dari Nabi saw., beliau bersabda: Barangsiapa yang memberi pertolongan kepada saudaranya, lalu saudaranya itu memberi hadiah kepadanya dan diterimanya, maka berarti ia telah sampai kepada sebuah pintu besar, dari pintu-pintu riba.(HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Dalam sende, dapat dikatakan bukan aqad tabarru' yang semata-mata memberikan pertolongan berupa pinjaman tanpa imbalan atau keuntungan kepada pemilik sawah yang sedang sangat membutuhkan uang, melainkan perjanjian hutang piutang yang dilakukan dengan mengambil keuntungan berupa mengerjakan dan mengambil hasil dari sawah yang dijadikan agunan.

Dengan memperhatikan hadits di atas, maka dalam sende yang dilakukan dengan pengelolaan sawah oleh pemberi hutang, menurut hemat kami tidak sesuai dengan tuntunan Islam. Hal ini dapat dipahami, karena tidak jarang, - jika tidak dapat dikatakan kebanyakan, - yang terjadi orang yang menggadaikan sawah adalah orang yang terdesak dengan kebutuhan. Jika sawah yang digadaikan itu dikelola dan diambil hasilnya oleh pemberi hutang, maka beban hidup orang yang menggadaikan akan lebih berat, karena akan berkurang penghasilannya. Sementara itu ia masih mempunyai beban untuk melunasi hutangnya. Ibarat pepatah ia adalah orang yang jatuh tertimpa tangga. Sungguh sangat mulia orang yang mau menolong sesamanya yang sedang mengalami kesulitan.

Dalam pada itu barang gadai – yang dijadikan agunan – hak pemilikannya masih tetap pada penggadai. Oleh karena itu dialah yang berhak menikmati hasilnya atau mengambil manfaatnya; dan ia pula yang harus menanggung segala resiko atau biaya untuk perawatan dan pemeliharaannya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يُغْلَقُ الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِ الَّذِي رَهَنَهُ لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ. (رواه الدار قطني والحاكم)

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Tidak tertutup barang gadai dari pemiliknya yang menggadaikannya; dialah yang memiliki keuntungannya dan dia pula yang menanggung kerugiannya.” (HR. ad-Daruquthni dan al-Hakim)

Namun karena sawah tersebut dalam tanggungan gadai, yang memungkinkan untuk berada di bawah kekuasaan pemberi hutang, maka akan menyulitkan cara pengelolaan oleh penggadai (yang berhutang). Dalam hal ini kami mencoba menawarkan jalan keluarnya, yakni dengan:

1.      Sawah yang digadaikan itu dibawah kekuasaan pemberi hutang dan sekaligus ia yang mengelola dengan bagi hasil kepada pemiliknya, yakni orang yang berhutang. Dengan cara seperti ini, sawah tetap berada di bawah kekuasaan pemberi hutang, namun dalam pada itu pihak yang berhutang (pemilik sawah) juga masih menikmati hasilnya.

2.      Atau, jika pemberi hutang cukup percaya kepada orang yang berhutang, cukup diserahkan sertifikat atau surat tanah yang lain, sementara sawah masih dikerjakan dan dipetik hasilnya oleh pemiliknya.

Wallahu a’lam bish-shawab. *dw)

ARISAN BERANTAI DI INTERNET (36)

Saudara "dprd" dprd@microsoft.com

 

 

Pertanyaan:

Bagaimana hukum arisan berantai seperti yang ada di situs http://serbagratis.cjb.net? Mohon kirim jawaban melalui email juga.

 

Jawaban:

Ada kaidah fiqh yang berbunyi:

اْلأَصْلُ فِي اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةُ حَتَّى يَقُوْمَ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلاَفِهِ.

“Segala sesuatu pada asalnya boleh, sampai ada dalil yang melarangnya.”

Dengan demikian, manusia sebagai khalifah di bumi, bebas mengupayakan kemakmuran bumi ini untuk digali manfaatnya guna keperluan manusia itu sendiri, agar dapat dipergunakan sebagai sarana beribadah kepada Allah. Allah berfirman:

الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اْلأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلاَ تَجْعَلُوا للهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ. (البقرة:22)

Artinya: “Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah, 2 : 22).

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي اْلأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ. وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ. (البقرة:29-30)

Artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".” (QS. al-Baqarah, 2 : 29–30).

Manusia juga bebas melakukan akad dan kegiatan bisnis apapun di muka bumi ini, sebagaimana firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا. (النساء:29)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.(QS. an-Nisa’, 4 : 29).

Akan tetapi, kehendak bebas manusia bukan berarti tanpa batas. Mereka harus tunduk dan patuh pada aturan hukum yang berlaku, terutama hukum dari Allah. Berkaitan dengan arisan berantai, harus dilihat dahulu rukun akad dan syaratnya, yang secara umum menurut Musthafa Ahmad az-Zarqa’ meliputi 4 hal:

a.       Subyek hukum, dengan syarat memiliki kemampuan bertindak hukum dan jelas orangnya.

b.      Obyek, dengan syarat mubah, bermanfaat, dapat diserahterimakan, dan diketahui keadaannya.

c.       Tujuan, dengan syarat jelas peruntukannya.

d.      Ijabdan qabul, dengan syarat mencerminkan kerelaan kedua belah pihak, ada persesuaian antara ijab dan qabulnya.

Perilaku hukum itu harus terlepas dari unsur-unsur :

a.       Gharar(penipuan, kecurangan, kebohongan, dan manipulasi).

b.      Maisir (judi).

c.       Dhulm (penindasan, pemerasan, merugikan orang lain).

d.      Riba.

e.       Dan tindakan lain yang merugikan.

Oleh karena itu, untuk menilai sah tidaknya arisan; saudara dituntut untuk menyelidiki rukun dan syarat dari arisan berantai, seperti subyek hukum, obyek, tujuan, dan ijab qabul. Setelah itu meneliti ada tidaknya unsur-unsur seperti; gharar, maisir, dhulm, riba,  dan tindakan lain yang merugikan. Dengan langkah ini akan bisa ditentukan aspek hukumnya, apakah sah atau tidak sah. Tim Fatwa hanya memberikan langkah-langkah analisis tanpa menyertakan hukum konkrit, karena belum mengetahui persis cara kerjaarisan berantai tersebut. *fz)

DEPORTASI (37)

Sudirman, Nganjuk Jawa Timur

Pertanyaan :

Kita semua masih ingat, bahwa ribuan kaum buruh yang bekerja di Malaysia, dideportasi ke negara asal, dan sebagian besar dari mereka tidak diberikan gajinya, bahkan ada kesan bahwa para pengusaha merasa senang atas pengusiran para buruh tersebut, dan mengambil kesempatan untuk tidak memenuhi upah yang sebenarnya. Saya termasuk di antara korban pengusiran yang tidak dipenuhi gajinya. Bagaimanakah pandangan Islam terhadap perbuatan tersebut?

Jawaban :

Pekerja atau buruh adalah orang miskin yang penghasilannya sangat rendah, kadang-kadang penghasilannya tidak cukup untuk lima belas hari. Maka mereka sangat memerlukan bantuan dari orang-orang yang mampu, dengan memberikan pekerjaan, sehingga memperoleh upah untuk memenuhi kebutuhan kesehariannya. Apabila mereka tidak diberi upah beberapa hari saja, mereka tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Karena itulah, apabila seseorang mempekerjakan buruh, kemudian tidak memenuhi upahnya, dosanya sangat besar, maka Allah SWT mengaharamkan perbuatan yang sangat menyengsarakan mereka.

Dalam suatu ayat al-Qur'an diungkapkan sebagai berikut:

... فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَآئِسَ الْفَقِيرَ. [الحج (22): 28]

Artinya: “… Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj, 22: 28).

Pada ayat lainnya Allah SWT berfirman:

... وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ ... [الحج (22): 36]

Artinya: “… maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta …” (QS. Al-Hajj, 22: 36).

Pada ayat lainnya Allah SWT berfirman:

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ. قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ. وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ. وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ. وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ. حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ. [المدثر (74): 42-47]

Artinya: “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab: Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian.” (QS. Al-Muddatstsir, 74: 42-47)

Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa orang-orang yang tidak mau memberikan santunan kepada orang-orang miskin diancam dengan Saqar yang sangat mengerikan.

Pada suatu hadits Nabi saw diungkapkan sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللهُ ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ. (أخرجه البخاري، جـ: 2، كتاب البيوع: 19)

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw, beliau bersabda: Allah berfirman: Saya adalah musuh dari tiga (macam) orang pada hari kiamat; (yaitu) seseorang yang bersumpah atas nama-Ku, kemudian ia berkhianat; seseorang yang menjual orang merdeka, kemudian makan hasil penjualannya; dan seseorang yang mempekerjakan seorang pekerja, kemudian ia minta kepada pekerja tersebut untuk memenuhi pekerjaannya, tetapi ia tidak memberikan upahnya.” (Ditakhrijkan oleh Al-Bukhariy, Juz II, Kitab al-Buyu‘, hlm. 19)

Hadits tersebut diperkuat oleh hadits yang ditakhrijkan oleh Muslim sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ. (أخرجه مسلم، جـ: 2، كتاب البر: 59/2581/524)

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw bersabda: Apakah kalian mengetahui, apakah muflis itu? Mereka menjawab: Muflis (orang yang bangkrut) menurut kami ialah orang yang tidak mempunyai dirham, dan tidak mempunyai harta yang menyenangkan. Kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya yang dimaksudkan dengan muflis (bangkrut) dari umatku ialah orang yang datang pada hari kiamat dengan pahala shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia membawa dosa, karena telah mencaci maki orang ini, menuduh orang ini, memakan harta orang ini, membunuh orang ini, dan memukul orang ini. Kemudian sebagian pahalanya diberikan kepada orang ini, dan sebagian pahalanya diberikan kepada orang ini. Jika habis semua pahala kebaikannya sebelum diputuskan hukuman baginya, maka diambilkanlah sebagian dosa-dosa kesalahan mereka (yang dianiayanya) lalu dilemparkan kepadanya, kemudian ia dilemparkan ke neraka.”(Ditakhrijkan oleh Muslim, Juz II, Kitab al-Birr, no. 59/2581, hlm. 524)

Hadits tersebut menegaskan, bahwa menyengsarakan dan menganiaya pekerja atau buruh, sangat besar dosanya, dan termasuk perbuatan yang diharamkan Allah SWT.

Pada hadits lain disebutkan:

عَنْ عَبْدِ اللهِِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطُوا اْلأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ. (رواه ابن ماجه).

Artinya: “Dari Abdullah Ibnu Umar ra., ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Bayarlah upah tenaga kerja itu sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah).

Dari penjelasan tersebut dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Perilaku sebagaimana disebutkan di bawah ini hukumnya adalah haram:

1.      Tidak memenuhi upah kepada pekerja

2.      Mengurangi upah yang telah disepakati dengan pekerja

3.      Menambah pekerjaan di luar pekerjaan yang telah disepakati tanpa tambahan upah

4.      Menunda upah bagi pekerja tanpa adanya alasan. *sd)

 

PENGUSAHA SUKSES (38)

Saudara Muslimin,

Banjarmasin, Kalimantan Selatan

Pertanyaan:

Beberapa waktu yang lalu saya menyaksikan perbincangan seorang pengusaha yang sukses. Kesuksesan mereka yang sangat menonjol, adalah karena bantuan dari sebuah bank, dan keuletan berusaha, dengan tidak menyebutkan bahwa sebenarnya kesuksesan itu suatu karunia dari Allah SWT, sehingga ada kesan mengingkari karunia dari Allah. Yang ingin saya tanyakan, betulkah kesan saya tersebut? Mohon penjelasannya, tentang orang yang mengingkari karunia Allah SWT.

 

Jawaban:

Allah SWT adalah Maha Pengasih lagi Maha Pemurah terhadap hamba-Nya. Dia memberikan karunia kepada hamba-Nya tanpa batas, sehingga apabila kita hitung, tidaklah mampu menghitungnya, sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya:

وَءَاتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ اْلإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ. [إبراهيم (14):34]

Artinya: “Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung ni`mat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (ni`mat Allah).” (QS. Ibrahim {14}:34)

Karunia Allah yang diberikan kepada hamba-Nya meliputi berbagai macam kebutuhan hidup, yang wajib disyukuri, maka amat besarlah dosanya jika mengingkari karunia Allah SWT, dan termasuk perbuatan tercela, yang amat dibenci Allah SWT.

Dalam suatu hadits diungkapkan, bahwa pernah terjadi suatu cobaan yang menimpa tiga orang dari Bani Israil, karena dua di antara tiga orang tersebut mengingkari karunia Allah, maka dua orang tersebut akhirnya menjadi sengsara. Adapun kisah lengkapnya adalah sebagai berikut:

“Dari ‘Abdir-Rahman bin Abi ‘Amrah, bahwa Abu Hurairah menyampaikan hadits kepadanya, bahwa dia mendengar Nabi saw bersabda: Bahwa ada tiga orang dari Bani Israil; seorang di antaranya berpenyakit kusta, yang seorang botak, dan yang seorang buta; Kemudian Allah berkehendak memberikan cobaan kepada mereka; Maka Allah mengutus Malaikat datang kepada mereka. Pertama-tama ia mendatangi orang yang berpenyakit kusta, lalu berkata: Apakah yang paling kamu inginkan? Ia menjawab: rupa yang bagus, kulit yang bagus, dan hilang dariku apa yang menyebabkanku manusia jijik kepadaku. Nabi bersabda: Lalu Malaikat tersebut mengusapnya, maka hilanglah dari orang tersebut semua kotorannya, dan diberi rupa yang bagus dan kulit yang bagus. Lalu Malaikat bertanya: Harta apa yang paling engkau cintai? Orang tersebut menjawab: Unta. Nabi bersabda: Lalu orang itu diberi unta betina yang sedang bunting. Lalu Malaikat berdoa: Semoga Allah memberikan berkah kepadamu pada unta tersebut. Nabi saw bersabda: Lalu Malaikat itu mendatangi orang yang terkena penyakit botak, seraya katanya: Apakah yang kamu inginkan? Orang itu menjawab: Rambut yang bagus dan hilang dariku penyakit ini yang menyebabkan orang jijik kepadaku. Nabi saw bersabda: Lalu Malaikat itu mengusapnya, maka hilanglah penyakitnya, dan ia diberi rambut yang indah. Lalu Malaikat itu bertanya: Harta apa yang paling kamu cintai? Ia menjawab: Lembu. Lalu ia diberi lembu yang sedang bunting. Kemudian Malaikat itu berdoa: Semoga Allah memberikan barakah kepadamu pada lembu itu. Kemudia Malaikat itu mendatangi orang yang buta, lalu bertanya: Apakah yang kamu inginkan? Orang buta itu menjawab: Aku ingin Allah mengembalikan penglihatan kepadaku, sehingga aku dapat melihat manusia. Nabi bersabda: Lalu Malaikat itu mengusapnya, maka Allah mengembalikan penglihatannya. Lalu Malaikat bertanya: Harta apa yang paling kamu cintai? Orang itu menjawab: Kambing. Kemudian ia diberi kambing yang sedang bunting. Kemudian binatang-binatang tersebut melahirkan, Nabi saw bersabda: Tak lama kemudian orang yang terkena kusta mempunyai lembah unta, orang yang botak mempunyai lembah lembu, dan orang yang buta mempunyai lembah kambing.

Nabi saw bersabda: Kemudian Malaikat mendatangi lagi orang yang terkena penyakit kusta dalam rupa dan keadaan yang sama, seraya katanya: Saya adalah orang miskin dan telah terputus hubungan dengan kerabat dalam bepergianku, maka tiada yang dapat mencukupi aku hari ini kecuali Allah SWT, kemudian engkau. Aku minta kepadamu demi Allah yang telah memberimu rupa yang bagus dan kulit yang bagus serta harta, seekor unta saja untuk mencukupi aku dalam bepergianku. Lalu orang itu menjawab: Maaf kebutuhanku amat banyak. Lalu berkatalah Malaikat kepadanya: Sepertinya aku telah kenal engkau, tidakkah dahulu berpenyakit kusta, yang menyebabkan orang jijik kepadamu? Lagi fakir, kemudian Allah memberikan karunia kepadamu? Lalu orang itu menjawab: Saya mewarisi harta ini dari nenek moyangku. Kemudian Malaikat berkata: Jika kamu berdusta, maka Allah akan menjadikan kamu seperti semula.

Nabi saw bersabda: Lalu Malaikat mendatangi orang yang botak dalam rupa dan keadaan yang sama, lalu berkata kepadanya seperti ia katakana kepada orang yang berpenyakit kusta, dan orang itupun menolak permintaannya sebagaimana orang yang berpenyakit kusta. Kemudian Malaikat berkata: Jika kamu berdusta, maka Allah akan menjadikan kamu seperti semula.

Nabi saw bersabda: Kemudian Malaikat mendatangi orang yang buta dalam rupa dan keadaan yang sama, lalu berkata: Saya adalah orang miskin yang sedang dalam perjalanan, telah putus hubungan dengan keluarga karena bepergianku, maka tidak ada yang mencukupi aku hari ini kecuali Allah SWT, kemudian engkau, aku minta bantuan kepadamu, demi Allah yang telah menjadikan kamu dapat melihat kembali, satu ekor kambing saja untuk mencukupi bekalku dalam bepergian. Lalu berkatalah orang itu: Dahulu saya memang buta, kemudian Allah menjadikan aku dapat melihat kembali, maka ambillah apa yang engkau kehendaki dan tinggalkan apa yang engkau kehendaki, demi Allah saya tidak merasa keberatan hari ini terhadap apa yang kamu ambil karena Allah. Lalu berkatalah Malaikat: Jagalah hartamu, sesungguhnya kamu sedang diuji. Allah telah meridlai kamu dan murka kepada kedua temanmu. (Ditakhrijkan oleh Muslim, Juz II, Kitab al-Fitan, No. 10/2964, hlm. 697).

Hadits tersebut menunjukkan bahwa orang yang mengingkari karunia Allah SWT, akan mendapatkan siksaan yang sangat pedih, sebab sebenarnya orang yang mengingkari karunia Allah adalah orang sombong, menganggap dirinya mempunyai kekuatan dan kemampuan, padahal semuanya itu dari Allah SWT. Maka dari itu, ajaran Islam tidak membenarkan jika ada orang yang mengungkapkan kesuksesannya tanpa disertai penegasan bahwa sebenarnya kesuksesan itu berasal dari Allah, dengan tujuan untuk membanggakan dan menyombongkan kesuksesan tersebut. Namun apabila hal tersebut diungkapkan tanpa berniat sombong atau membanggakan diri, misalnya untuk menunjukkan bahwa usaha yang ulet itu akan membuahkan hasil yang baik, maka hal itu tidak menjadi persoalan. Rasulullah saw pernah bersabda:

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. (رواه البخاري)

Artinya: “Dari Umar ibn al-Khathab ra. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung kepada niatnya. Dan sesungguhnya setiap perkara itu tergantung apa niatnya.” (HR. al-Bukhari). *sd)

 

WARISAN UNTUK CUCU (39)

Andi Murtaki, Andimurtaki@hotmail.com

 

Kasus :

 

Ada pertanyaan dari saya mengenai warisan; ada sepasang suami istri sebut saja A dan B, punya anak 3 yaitu C (laki-laki), D (laki-laki), dan E (perempuan). E paling kecil tapi kawin lebih dahulu hingga punya anak laki-laki sebut saja F. Ketika F berumur sekitar 6 bulan E meninggal. F kemudian diasuh oleh D dan istrinya yang tinggal bersama dengan A dan B. Ketika F berumur sekitar sepuluh tahun, A (kakek dari F) meninggal. F tetap diasuh oleh D dan istrinya sampai besar dan sekolah sampai sarjana.

F sekarang sudah berkeluarga dan punya anak 4. Sedangkan D punya anak laki-laki 5 orang dan anak perempuan 2 orang. C punya anak 1 perempuan dan 1 laki-laki. Semua anak C dan D sudah besar-besar. Dan B sudah meninggal juga. Si F sudah diberi hak tanah oleh A dan B ketika F masih kecil dan sekarang tanah tersebut sudah diberikan kepada F oleh D.

 

Pertanyaan :

Apakah F mendapat warisan dari A dan B atau tidak, soalnya ibunya F (E) meninggal lebih dulu daripada A dan B (orang tua E)? Kalau mendapat, berapa bagian? Mohon penjelasan berikut dasar hukumnya menurut Al-Qur'an dan Hadits. Sekian, terima kasih.

Jawaban :

Dalam ketentuan Hukum Islam, pewarisan terjadi apabila telah meninggal dunia orang yang akan mewariskan hartanya,dan masih hidupnya orang yang akan mewarisi (menerima warisan).

Atas dasar ketentuan tersebut, maka dari kasus yang saudara tanyakan, sesunggunya dalam kaitan dengan pewarisan harta A dan B, telah terjadi dua kali peristiwa pewarisan, yakni:

1.      Di kala A meninggal dunia, maka ahli warisnya yang masih hidup, yaitu B (istrinya), C dan D (masing-masing adalah anak laki-lakinya). Sedangkan F (anak laki-laki dari anak perempuan yakni E) yang menurut jumhur (kebanyakan) ulama termasuk dzawul arham (kerabat jauh). Dalam pembagian harta waris dari A; yaitu B (istri A) memperoleh bagian 1/8 (seperdelapan), berdasarkan firman Allah;

... وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ... [النسآء {4}: 12]

Artinya: “… Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu …” (QS. An-Nisa, {4}: 12)

 

Sedangkan sisanya yang 7/8 (tujuh per delapan) dibagi sama antara C dan D, sehingga masing-masing memperoleh bagian 7/16 (tujuh per enam belas). Sedangkan F, tidak mendapat bagian dari harta waris tersebut, karena ia sebagai dzawul arham, tidak mendapat bagian warisan selagi dalam pembagian itu masih terdapat ahli waris dzawul furudl (ahli waris yang mendapat bagian tertentu yang dalam kasus ini, yaitu B (istri) dan ahli waris ‘ashabah (yang menghabiskan sisa harta waris) yang dalam kasus ini yaitu anak laki-laki yakni C dan D.

 

Namun jika kasus pembagian harta waris ini diselesaikan dengan menggunakan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dalam Pasal 185 disebutkan:

a.       Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.*

b.      Bagian dari ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

 

Pembagiannya menjadi sebagai berikut:

B (istri) memperoleh 1/8 (seperdelapan). C dan D masing-masing sebagai anak laki-laki dan F sebagai pengganti ibunya yaitu E sebagai anak perempuan yang telah meninggal dunia. Mereka bertiga memperoleh selebihnya harta waris setelah diberikan kepada B, yakni sebanyak 7/8 (tujuh per delapan) dari harta waris dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan, berdasarkan firman Allah:

يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ. [النسآء {4}: 11]

Artinya: “Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa, {4}: 11)

 

Dengan demikian, C mendapat dua bagian, D mendapat dua bagian, dan F (sebagai pengganti ibunya) mendapat satu bagian. Jika dijumlahkan bagian mereka adalah 5 bagian, sehingga perolehan masing-masing yaitu:

C memperoleh 2/5 x 7/8 = 14/40 dari harta waris.

D memperoleh 2/5 x 7/8 = 14/40 dari harta waris.

F memperoleh 1/5 x 7/8 = 7/40 dari harta waris.

 

2.      Di kala B meninggal dunia, maka ahli warisnya yang masih hidup yaitu C dan D masing-masing sebagai anak laki-laki. Sedangkan F (anak laki-laki dari anak perempuan yaitu E) yang menurut Jumhur (sebagian besar) ulama sebagai dzawul arham. Pembagian harta waris dari B, yaitu semua harta waris diberikan kepada C dan D, dengan dibagi sama besar atau masing-masing memperoleh separoh harta waris tersebut. Sedangkan F sebagai dzawul arham tidak mendapat bagian, dengan alasan seperti yang telah disebutkan di atas.

 

Namun jika dalam pembagian harta waris tersebut, menggunakan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, maka harta waris tersebut dapat diwarisi oleh C dan D masing-masing sebagai anak laki-laki dan oleh F sebagai pengganti ibunya yaitu E sebagai anak perempuan dengan ketentuan seorang anak laki-laki memperoleh dua kali bagian seorang anak perempuan, berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nisa' (4): 11 sebagai yang telah disebutkan di muka.

 

Pembagiannnya adalah sebagai berikut:

C memperoleh dua bagian, D memperoleh dua bagian, dan F memperoleh satu bagian. Jika dijumlahkan menjadi 5 bagian. Sehingga perolehan masing-masing adalah:

C memperoleh 2/5.

D memperoleh 2/5.

F memperoleh 1/5.

 

Akan tetapi jika dicermati kasus yang saudara tanyakan, maka sesungguhnya pemberian tanah oleh A dan B kepada F adalah pemberian yang dilakukan di saat A dan B masih hidup. Dalam Hukum Waris Islam pemberian di saat orang yang akan mewariskan (calon pewaris) masih hidup tidak dapat dikatakan sebagai pembagian harta waris, melainkan dapat dipandang sebagai hibah. *dw)



*Pasal 173 menyatakan: Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:

a.     Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh dan menganiaya berat pada pewaris.

b.     Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau yang lebih berat.

 

ZAKAT GAJI (ZAKAT PROFESI) (40)

Ruswanda, S. Pd., Mekarmukti, Bungbulang, Garut

 

 

Pertanyaan :

 

Mohon untuk segera diberi jawaban untuk pertanyaan ini, karena saya sangat membutuhkan jawabannya, yaitu: Seseorang memiliki gaji Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per bulan. Potongan hutang ke bank Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per bulan. Gaji yang diterima Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per bulan. Harga emas murni Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) per gram. Apakah wajib zakat? Jika wajib, bagaimana cara perhitungannya?

 

Jawaban :

Zakat penghasilan yang diwajibkan untuk dizakati adalah apabila penghasilan selama 1 tahun (12 bulan) setelah dikurangi biaya hidup untuk diri dan keluarga yang masih menjadi tanggungannya dan hutang (jika ia berhutang), mencapai harga 85 gram emas murni (24 karat). Jadi dalam keadaan yang seperti saudara kemukakan, maka dapat diperoleh perhitungan, bahwa penghasilan orang itu 12 x Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sama dengan Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah). Jika dikurangi dengan biaya hidup, tentu akan lebih sedikit, yakni kurang dari Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah). Padahal harga 85 gram emas murni adalah 85 x Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp. 8.500.000,00 (delapan juta lima ratus ribu rupiah). Jelaslah bahwa gaji sebelum dikurangi biaya hidup saja lebih kecil dari harga 85 gram emas murni, apalagi jika gaji tersebut dikurangi lebih dahulu dengan biaya hidup, tentu akan semakin lebih kecil daripada harga 85 gram emas murni. Oleh karena itu kami dari Bidang Fatwa Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, berpendapat bahwa penghasilan seseorang seperti yang saudara sampaikan, belum terkena kewajiban zakat. *dw)

 

ISTIKHARAH (41)

Saudara Busyro Hakam Z,

"Busy Pati" <tarjih1@yahoo.com>

Ketua Korps Muballigh Muhammadiyah Kota Bengkulu

Pertanyaan:

1.      Saya ingin menanyakan bunyi teks do’a shalat Istikharah dalam HPT halaman 340, ada kata “wa dunyaya” sebelum kata “wa ma’asyi” yang setelah saya coba cari dalam CD Kutubuttis’ah serta tanyakan/ diskusikan dengan beberapa teman belum menemukan adanya kata tersebut dalam berbagai sumber kitab hadits yang ada. Untuk itu mohon dijelaskan sumbernya.

2.      Dalam Manhaj Tarjih hasil Munas XXIV 2000 di Malang Hadits yang digolongkan As-Sunnah al-Maqbulah itu hanya hadits Sahih dan Hasan saja, kenapa tidak disebutkan adanya Hadits Muatawatir, harap dijelaskan.

 

Jawaban:

1.      Teks doa Shalat Istikharah sebagaimana yang saudara tanyakan, bisa saudara baca di dalam Kitab Tafsir al-Qurtubi Juz 13 halaman 307. Di dalam kitab tafsir tersebut, menyatakan bahwa hadis yang berisi Doa Istikharah diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Jabir bin Abdillah, teks itu berbunyi sebagai berikut:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِي قَالَ وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ.

Di dalam teks tersebut hanya ditemukan 1 (satu) kata wa dunyaya sesudah kata dini dan sebelum kata wa ma‘asyi. Sementara di dalam HPT terdapat 2 (dua) kata wa dunyaya. Tetapi di dalam Kitab Shahih Al-Bukhari juz IV halaman 110 pada bab Doa Istikharah ternyata tidak ditemukan kata wa dunyaya sama sekali.

 

2.      Untuk menilai suatu hadis dapat diklasifikasikan ke dalam dua hal

a.        Dari segi sedikit atau banyaknya rawi (kuantitas)

b.       Dari segi kualitas rawi maupun matan hadis

Dari segi kuantitas, hadis itu terbagi kepada dua macam ; yakni hadis mutawatir dan hadis ahad.

Di sebut mutawatir apabila jumlah para sahabat yang menjadi rawi pertama suatu hadis itu banyak sekali, kemudian rawi generasi tabi’in yang menerima hadis dari generasi sahabat juga banyak jumlahnya dan tabi’it tabi’in yang menerima dari tabi’in pun seimbang jumlahnya, bahkan mungkin lebih banyak, demikian seterusnya sampai pada rawi yang membukukan hadis.

Disebut hadis ahad, apabila jumlah rawi dalam lapisan sahabat – tabi’in – tabi’it tabi’in dan seterusnya mungkin terdiri dari tiga orang atau lebih, dua orang atau seorang. Maka para ahli hadis memberikan nama-nama tertentu bagi hadis ahad mengingat banyak sedikitnya rawi yang berada pada tiap-tiap lapisan dengan hadis masyhur, hadis aziz, dan hadis gharib.

Dari segi kualitas rawi. Penyelidikan identitas rawi ini ditujukan kepada hadis ahad, bukan hadis mutawatir. Dengan alasan hadis ahad memberikan faedah zhanni, oleh karena itu bisa jadi suatu hadis itu diterima atau ditolak. Berbeda dengan hadis mutawatir yang sumbernya meyakinkan akan kebenarannya, maka tidak perlu diperiksa dan diselidiki secara mendalam identitas para rawi, sehingga hadis mutawatir memberikan faedah yaqin bil qath’i bahwa Nabi Muhammad saw benar-benar bersabda, berbuat, atau menyatakan iqrar (persetujuan)nya di hadapan para sahabat.

Berdasarkan keterangan di atas, hadis ahad terbagi menjadi tiga klasifikasi, yaitu shahih, hasan, dan dla’if.

Disebut hadis shahih, apabila hadis itu diriwayatkan oleh rawi yang ‘adil (moralnya bagus), sempurna ingatannya (intelektualnya baik), sanadnya bersambung sejak dari lapisan pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya, tidak ber’illah (tidak cacat baik dari cara periwayatan maupun bentuk matan (teks) hadisnya), serta tidak janggal (tidak ada perlawanan antara suatu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang dapat diterima periwayatannya dengan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat daripadanya). Disebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebihan dalam kapasitas intelektualnya atau adanya segi-segi kekuatan yang lain.

Sementara hadis hasan sama dengan persyaratan pada hadis shahih. Perbedaan hanya pada kekokohan ingatan rawi (aspek intelektualnya di bawah rawi hadis shahih). Kebanyakan ulama bersepakat menggunakan hadis shahih dan hadis hasan sebagai hujjah.

Adapun hadis dla’if, adalah hadis yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadis shahih atau hadis hasan.

Kesimpulan dari uraian ini, adalah bahwa Manhaj Tarjih menggolongkan sunnah maqbulah (sunnah dalam kategori ahad yang telah melalui proses penyelidikan kualitas secara seksama dan dinyatakan diterima) adalah sunnah yang mempunyai nilai shahih dan hasan. Sementara hadis mutawatir tidak dimasukkan ke dalam penyebutan sunnah maqbulah karena beberapa alasan:

a.      Hadis mutawatir itu merupakan penggolongan dilihat dari segi kuantitas rawi yang sekaligus mencerminkan kualitas rawi yang meyakinkan.

b.     Hadis mutawatir tidak perlu diselidiki kualitas rawinya karena sudah memberikan keyakinan atau kebenaran periwayatannya sehingga memberi faedah yaqin bil qath’i.

c.      Karena tidak perlu diselidiki identitas rawi sehingga tidak memerlukan penilaian diterima atau ditolak sebagaimana hadis ahad. Tetapi dengan sendirinya hadis mutawatir itu menjadi dalil yang sangat kuat.

Wallahu a’lam bish-shawab. *fz)

 

DASAR YASIN DAN DO'A 40 ORANG (42)

Supardi, otd.kide@pamapersada.com

Operational Training Development Kideco

Pertanyaan :

1.      Apa ada dasarnya pembacaan Surat Yasin bagi orang yang mau meninggal dunia ataupun yang sudah meninggal dunia?

2.      Apakah ada hadits yang shahih bahwa doa orang banyak seperti jumlah 40 orang itu lebih afdlal dan diijabahi ketimbang berdoa sendiri-sendiri?

 

Jawaban :

 

1.      Apa yang saudara tanyakan itu telah sering ditanyakan kepada pengasuh rubrik ini dan telah dijawab serta sudah dibukukan terdiri atas 4 buah buku, buku Tanya Jawab Agama 1 s.d. 4, bahkan akan segera diterbitkan buku yang ke-5. Namun demikian kami jawab juga seperlunya pertanyaan saudara, yaitu sebagai berikut:

Diriwayatkan oleh Ibnu Qudamah dari Ma‘qal bin Yasar, beliau berkata bahwa Nabi saw pernah bersabda: اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ, artinya: Bacalah Yasin atas mautaakum.

Hadits tersebut dipandang shahih oleh Ibnu Hibban, tetapi menurut Al-Qathan hadits itu ada catatnya, dan menurut Imam ad-Daruquthni sanad hadits itu lemah. Menurut Ibnu Hibban yang menshahihkan hadits tersebut, lafadz مَوْتَاكُمْbermakna majaz, artinya Yasin itu dibaca di hadapan orang yang sedang sekarat akan meninggal dunia, bukan kepada orang yang sudah mati. Namun ada pula ulama yang memahami surat Yasin dibaca terhadap orang yang sudah meninggal dunia, jadi menurut ulama ini perkataan مَوْتَاكُمْdiartikan secara hakiki. Imam ath-Thabrani, seorang yang beraliran ma'tsur menguatkan makna majaz seperti Ibnu Hibban itu.

Kalau kita konsekuen dengan aturan yang dipergunakan dalam ilmu ulumul hadits, maka hadits itu lemah dan dengan sendirinya tidak bias menjadi hujjah (alasan) dalam menetapkan hukum. Namun demikian harus saudara ketahui bahwa menurut Ibnu Katsir, salah satu keistimewaan surat Yasin adalah kemudahan terlimpah bagi pembacanya saat menghadapi kesulitan atau kesukaran.

Surat Yasin digelari juga sebagai jantung Al-Qur'an (قَلْبُ الْقُرْآنِ). Penamaan seperti itu menurut al-Ghazali disebabkan surat Yasin menekankan uraiannya tentang hari kebangkitan, sedang keimanan baru dinilai benar kalau seseorang mempercayai hari kebangkitan. Memang kepercayaan tentang hari kebangkitan mendorong manusia untuk beramal shalih dengan tulus. Hal ini dapat dihayati oleh orang yang memahamiarti ayat-ayat dalam surat Yasin itu.

Salah seorang ahli hadits, almarhum Prof. Dr. TM Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Pedoman Zikir dan Doa, menganjurkan supaya surat Yasin, al-Waqi‘ah, dan al-Mulk (tabaaraka) dibiasakan dibaca setiap malam oleh kita yang hidup untuk diri kita sendiri.

Namun demikian Muhammadiyah di dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) halaman 239 menegaskan:

أَمَا قِرَاءَةُ يس عَلَى اْلمُحْتَضِرِ فَلَيْسَ لَهَا أَصْلٌ ثَابِتٌ.

Artinya: Bacaan Yasin pada orang yang hampir mati itu tiada ada alasannya yang shahih.

 

2.      Sepanjang yang telah kami teliti/ketahui tidak terdapat hadits yang mengatakan bahwa doa yang dibacakan oleh 40 orang atau lebih itu lebih afdlal (utama) dari doa yang dibaca sendiri-sendiri. Yang kami temukan haditsnya yaitu sabda Nabi saw mengenai mayyit yang dishalatkan oleh banyak orang (40 orang), Allah akan memberi pertolongan terhadap mayyit itu.

مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلاً لاَ يُشْرِكُونَ بِاللهِ شَيْئًا إِلاَّ شَفَّعَهُمْ اللهُ فِيهِ. [رواه أحمد ومسلم وأبو داود].

Artinya: “Tidak ada seorang muslim yang meninggal dunia, lalu jenazahnya dishalatkan oleh 40 orang, mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, melainkan Allah menerima permintaan/permohonan mereka.” [HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud].

Berdasarkan hadits tersebut dianjurkan memperbanyak jumlah orang shalat jenazah dengan berjamaah 40 orang atau lebih, seperti disebutkan pula dalam hadits riwayat Ahmad, Muslim, dan at-Turmudzi dari Aisyah ra., dimana Nabi saw pernah bersabda pula:

مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلاَّ شُفِّعُوا.

Artinya: “Tidaklah seorang mayyit itu dishalatkan oleh kaum muslimin, mereka sampai berjumlah 100 orang, dimana mereka memohonkan ampun untuk mayyit itu, niscaya diterima permohonan mereka.”

Boleh jadi dari hadits tersebut yang bersifat khusus untuk mayyit lalu mereka qiyaskan kepada doa yang bersifat umum. Tetapi karena ini menyangkut soal ibadah maka Muhammadiyah berpendapat tidak ada qiyas dalam bidang ibadah. Qiyas itu dilakukan dalam bidang muammalah duniawiyah. *th)

 

DAGING KELINCI (43)

Marsam, Argomulyo, Sedayu, Bantul, Yogyakarta

 

 

Pertanyaan :

 

Bagaimana hukumnya masalah daging kelinci, halal atau haram? Sebab ada yang mengatakan halal dan ada yang mengharamkan, dengan alasan bahwa kelinci hidupnya seperti manusia (sering datang bulan).

 

Jawaban :

Qaidah Ushul Fiqh mengatakan;

اْلأَصْلُ فِي اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَي التَّحْرِيْمِ

Artinya: “Asal segala sesuatu adalah boleh, sampai ada dalil yang menunjukkan atas keharamannya.”

Qaidah ini difahami dari ayat 29 surat Al-Baqarah, Allah SWT berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي اْلأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ. [البقرة، 2: 29].

Artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS. Al-Baqarah (2): 29].

Dari ayat di atas dapat difahami bahwa agar manusia dapat melaksanakan tugasnya sebagai khalifatullah di bumi, maka Allah SWT menciptakan alam ini untuk manusia. Manusia boleh menggunakan, memanfaatkan, mengelola, termasuk di dalamnya memakan dan meminum apa saja yang ada di alam ini sesuai dengan guna dan faedah alam itu diciptakan Allah. Semua halal bagi mereka. Semua yang diciptakan Allah ada guna dan faedahnya, tidak satu pun yang diciptakan-Nya sia-sia, semua ada guna dan faedahnya. Allah SWT berfirman:

... رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً ... [آل عمران، 3: 191].

Artinya: “… Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.” [QS. Ali Imran (3): 191].

Dalam pada itu Allah SWT menganugerahkan kepada manusia panca indera pendengaran, penglihatan, akal dan pikiran. Dengan anugerah itu manusia dapat melakukan, menggunakan, dan mengelola segala sesuatu sesuai dengan kodrat, fungsi dan tujuan sesuatu diciptakan Allah. Demikian pula manusia dengan anugerah itu dapat membedakan mana yang baik, mana yang buruk, mana yang bermanfaat bagi jasmani, rohani, dan akal pikirannya. Allah SWT berfirman:

قُلْ لاَ يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللهَ يَاأُولِي اْلأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. [المائدة، 5: 100].

Artinya: “Katakanlah: Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.” [QS. Al-Maidah, 5: 100].

Allah SWT memerintahkan agar manusia hanya memilih makanan dan minuman yang bermanfaat bagi jasmani, rohani, dan akal pikiran saja, tidak memilih yang dapat menimbulkan kerusakan atau mafsadat. Allah SWT berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي اْلأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ. [البقرة، 2: 168].

Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” [QS. Al-Baqarah, 2: 168].

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa manusia sanggup membedakan segala sesuatu dengan akal pikirannya, mana yang baik mana yang buruk, mana yang maslahat mana yang mafsadat, apa fungsi, guna, dan faedah setiap benda yang diciptakan Allah SWT. Untuk mengetahuinya hendaklah bertanya kepada ahlinya. Allah SWT berfirman:

... فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ. [النحل، 16: 43].

Artinya: “… Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. An-Nahl (16): 43].

Karena itu hendaklah para ahli dalam bidangnya, dalam hal ini seperti ahli farmasi, ahli gizi, para dokter dan para ulama berkumpul untuk meneliti dan menetapkan makanan dan minuman apa saja yang dapat menimbulkan maslahat dan yang dapat menimbulkan mafsadat bagi manusia, sehingga kaum muslimin tidak sampai memakan atau meminum yang dapat merusak dirinya.

Dalam pada itu ada makanan dan minuman yang dilarang Allah dan Rasul-Nya dengan tegas. Larangan khusus ini perlu ditegaskan, karena keterbatasan akal dan pikiran manusia, sehingga mereka tidak mengetahui akibat memakan dan meminumnya dengan pasti. Maka Allah mengharamkan makanan dan minuman tertentu:

1.      Allah SWT mengharamkan kepada manusia memakan bangkai, darah, babi, dan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Allah SWT berfirman:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ ... [البقرة، 2: 173].

Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah ...” [QS. Al-Baqarah (2): 173].

Lihat juga QS. Al-Maidah (5): 3; QS. Al-An‘am (6): 121, 145.

2.      Allah SWT mengharamkan kepada manusia meminum khamr dan segala minuman yang memabukkan. Allah SWT berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. [المائدة، 5: 90].

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” [QS. Al-Maidah (5): 90].

3.      Rasulullah saw melarang kaum muslimin memakan binatang yang buas yang bertaring, seperti harimau, singa, kucing, anjing, burung garuda, dan sebagainya berdasarkan hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ [رواه مسلم وأخرجه من حديث ابن عباس بلفظ: نَهَى وزاد وَعَنْ كُلُّ ذِي مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ].

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: Semua binatang buas yang bertaring maka (hukum) memakannya haram.” [HR. Muslim dan ditakhrijkan dari Ibnu Abbas dengan lafaz ‘naha’ serta menambah dengan: … dan dari semua burung buas yang bercakar].

Dari keterangan di atas, dapatlah diambil kesimpulan sebagai berikut:

1.      Kelinci tidak termasuk binatang yang diharamkan Allah memakannya, karena bukan binatang buas yang bertaring. Kelinci mempunyai gigi sari dan termasuk binatang pengerat.

2.      Mengqiyaskan kelinci kepada manusia dengan ‘illat sama-sama mempunyai masa haidl tidaklah tepat dan tidak memenuhi syarat-syarat ‘illatsuatu qiyas. Menurut ilmu hewan diketahui bahwa pada umumnya binatang yang melahirkan anak mempunyai masa haidl, seperti sapi, kerbau, kambing, ikan-ikan tertentu seperti ikan paus dan sebagainya. Jika ‘illat tersebut diterapkan kepada binatang-binatang itu, tentu binatang-binatang itu menjadi haram dimakan. Padahal Allah SWT menyatakan:

وَمِنَ اْلأَنْعَامِ حَمُولَةً وَفَرْشًا كُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ. [الأنعام، 6: 142].

Artinya: “Dan di antara binatang ternak itu ada yang dijadikan untuk pengangkutan dan ada yang untuk disembelih. Makanlah dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” [QS. Al-An‘am (6): 142].

Dan Firman Allah SWT:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ. وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللهُ حَلاَلاً طَيِّبًا وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ. [المائدة، 5: 87-88].

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” [QS. Al-Maidah (5): 87-88]. *km)

 

TANAH WAKAF (44)

FATWA TENTANG PEMANFAATAN BENDA WAKAF

(Tanggapan Atas Permasalahan

Majelis Wakaf dan Kehartabendaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah)

Permasalahan :

Tanah-tanah wakaf yang telah diwakafkan kepada Persyarikatan Muhammadiyah, tidak semua dapat terpenuhi apa yang diamanatkan oleh pewakif di atas tanah tersebut, sehingga tanah wakaf tersebut tidak dimanfaatkan/terlantar. Sehubungan dengan hal tersebut, dimohon Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam membuat fatwa tentang hukum tanah yang sudah diwakafkan, tapi ditelantarkan/belum dimanfaatkan, apakah berdosa atau melanggar aturan agama.

Tanggapan :

Esensi dalam perwakafan adalah :

حَبْسُ مَالٍ يُمْكِنُ اِنْتِفَاعُهُ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ

Artinya : Menahan suatu benda sehingga memungkinkan untuk diambil manfaatnya dengan masih tetap zat (materi) bendanya.”(Wahbah az-Zuhailī, al-Washāyā wal Waqfu fīl Fiqhil Islāmī, Dārul Fikr, Damaskus, tt., hal. 154).

Dengan rumusan di atas, maka terhadap benda wakaf harus :

1.      Dijaga keberadaan, keselamatan, dan kelestariannya.

Harta wakaf adalah harta yang pemilikannya menjadi hak Allah. Terhadap harta milik Allah ini, Umar ibnul Khaththab pernah berfatwa:

إِنِّي أَنْزَلْتُ نَفْسِي مِنْ مَالِ اللهِ مِنْزِلَةَ وَالِيِ الْيَتِيْمِ

Artinya: “Sungguh saya menempatkan diri saya terhadap harta Allah sebagai kedudukan wali seorang anak yatim.” (‘Abdurrahmān as-Suyūthī, al-Asybāh wan-Nazhā’ir fil Fūrū‘, Dārul Fikri, tt, hal. 83)

Terhadap harta anak yatim Islam mengajarkan untuk dijaga secara baik dan tidak melakukan tindakan terhadap harta tersebut, kecuali menguntungkan bagi anak yatim tersebut. Dalam al-Qur’ān disebutkan:

 

وَلاَ تَقْرَبُوْا مَالَ اْليَتِيْمِ إِلاَّ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ (المائدة: 152)

Artinya: “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa.” (QS. Al-Māidah, 5:152)

Dari ayat di atas dapat dipahamkan bahwa adanya ketentuan tidak boleh melakukan tindakan terhadap harta anak yatim yang dapat berakibat merugikan, bahkan sebaliknya harus yang dapat mendatangkan keuntungan. Demikian halnya terhadap harta wakaf – sebagai harta milik Allah – tidak boleh melakukan tindakan baik secara aktif maupun pasif, misalnya dengan tidak melakukan pengurusan, sehingga berakibat hilang atau berkurangnya benda wakaf.

Bahkan terhadap benda wakaf, pada dasarnya tidak boleh dipindahkan pemilikannya kepada seseorang atau sekelompok orang tertentu. Dalam hadits riwayat dari Ibnu ‘Umar r.a. ditegaskan:

... أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُوْرَثُ وَلاَ يُوْهَبُ (متفق عليه)

Artinya: “(Benda yang diwakafkan) tidak boleh dijual, diwariskan, dan dihibahkan.” (Muttafaq ‘Alaih)

Sebagai langkah kongkrit untuk menjaga benda wakaf yang berujud tanah, maka terhadap tanah wakaf yang belum bersertifikat wakaf, hendaknya segera diurus penerbitan sertifikatnya.

2.      Dimanfaatkan seoptimal mungkin

Dalam pemanfaatan benda wakaf, adakalanya telah ditentukan oleh wakif, misalnya untuk masjid, rumah sakit, sekolah, dan sebagainya. Jika wakif dalam ikrar wakaf telah menetapkan tujuan dalam pemanfaatan benda yang diwakafkan, maka pada dasarnya bagi nadzir tidak ada pilihan lain kecuali harus mewujudkan yang ditentukan oleh wakif. Dalam qā‘idah fiqhiyyah disebutkan:

شَرْطُ اْلوَاقِفِ كَنَصِّ الشَّارِعِ

Artinya: “Syarat yang ditetapkan oleh wakif kedudukannya sama dengan ketetapan syara‘.”

Dari kaidah di atas dapat dipahami bahwa kewajiban mentaati persyaratan yang telah ditetapkan oleh wakif sama dengan kewajiban mentaati ketetapan Allah. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan tujuan wakaf yang diikrarkan oleh wakif, kurang bahkan dipandang tidak menyentuh kepentingan umat di saat dan di tempat tanah wakaf itu berada. Keadaan seperti ini dapat berakibat tanah wakaf tidak dapat dimanfaatkan bahkan mungkin menjadi terlantar. Sebagai sontoh, dalam suatu lingkungan masyarakat muslim telah dibangun masjid yang cukup representatif bagi kegiatan ibadah dan social keagamaan; kemudian diwakafkan sebidang tanah untuk pembangunan masjid. Maka jika dibangun masjid diduga keras tidak akan makmur atau kurang bermanfaat bagi masyarakat setempat. Dengan demikian pembangunan masjid di atas tanah wakaf ini dapat dinilai sebagai tindakan yang mubadzir.

Dalam pada itu, jika tanah wakaf tersebut tidak dibangun masjid, dan tanpa digunakan untuk apapun, akan berarti menelantarkan atau menyia-nyiakan harta. Padahal dalam masyarakat tersebut membutuhkan tanah untuk keperluan lain yang mendesak, seperti untuk pendirian balai pengobatan / rumah sakit, gedung sekolah, dan lain-lain yang sejenis.

Dalam hal ini, Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam berpendapat: Perubahan tujuan wakaf dari yang ditetapkan oleh wakif kepada tujuan lain yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dapat dibenarkan, mengingat:

a.       Firman Allah:

... وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا. إِنَّ اْلمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْا إِخْوَانَ الشَّيَاطِيْنِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُوْرًا (الإسراء: 26-27)

Artinya: “… Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. al-Isrā’, 17:26-27)

b.      Hadits

إِنَّ اللهَ كَرِهَ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ اْلمَالِ

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai kamu (karena) berita konon kabarnya, banyak ‘ngeyel’ dan menyia-nyiakan harta.” (HR.)

c.       Qā‘idah Fiqhiyyah

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاتِ

Artinya: “Keadaan darurat dapat membolehkan yang dilarang.”

d.      Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) disebutkan:

حِفْظًا لِلْمَصْلَحَةِ

Artinya: “Menjaga kemaslahatan.”

Adakalanya pula dalam ikrar wakaf pihak wakif tidak menentukan tujuan pemanfaatan harta yang diwakafkan. Dalam hal ini, nadzir lebih luwes (fleksibel) dalam memanfaatkan harta wakaf tersebut. Sungguhpun demikian, dalam pemanfaatan harta wakaf tersebut harus diupayakan yang paling maslahah bagi umat. Dalam qā‘idah fiqhiyyah disebutkan:

تَصَرُّفُ اْلإِمَامُ عَلَي الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ الرَّاجِحَةِ

Artinya: “Tindakan pemimpin terhadap rakyatnya harus relevan dengan kemaslahatan yang terkuat.”

Untuk mewujudkan tujuan dalam pemanfaatan benda wakaf, baik yang telah ditentukan oleh wakif maupun yang dipandang paling ideal bagi kemaslahatan umat, tidak tertutup kemungkinan terdapat kendala sehingga sulit atau pada suatu waktu belum memungkinkan untuk diwujudkan. Kendala ini bisa jadi sangat kompleks, seperti keterbatasan dana, keterbatasan kemampuan, atau faktor-faktor eksternal yang tidak mudah diatasi dan barangkali juga membutuhkan waktu untuk diproses.

Jika terjadi demikian, yang harus dilakukan adalah sejauh yang mungkin dapat diusahakan. Dalam al-Qur’ān disebutkan:

فَاتَّقُوْا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ (التغابن: 16)

Artinya: “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. at-Taghābun, 64:16)

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ (البقرة:286)

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakan dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS. al-Baqarah, 2:286)

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hendaknya dilakukan upaya semaksimal mungkin untuk memanfaatkan benda wakaf sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari‘ah; dan jika telah dilakukan sedemikian itu, insya Allah akan diberikan pahala atas amal usaha yang dilakukan. Dengan kata lain, jika telah dilakukan upaya semaksimal mungkin untuk menjaga dan memanfaatkan harta wakaf, insya Allah tidak berdosa.

TAKBIR HARI RAYA (45)

FATWA TARJIH TENTANG TAKBIR (untuk SM No. 22)

 

 

Pertanyaan :

 

Dalam Tanfidz Keputusan Musyawarah Nasional Tarjih XXIV No. Kep. 17/SK-PP/II-A/1.a/2001 tanggal 15 Februari 2001 lampiran III Tuntunan Ramadhan, antara lain menyatakan bahwa takbiran pada malam ‘Id haditsnya lemah. Yang ada adalah hadits Ibnu Umar yang menyatakan bahwa beliau dan sahabat yang lain bertakbir dari rumah ke mushalla dan sampai dengan datangnya imam. Yang kami tanyakan:

 

1.      Bagaimana dengan takbiran yang diucapkan setelah shalat maghrib, isya’, dan shubuh yang biasa dilaksanakan di masjid-masjid dan surau-surau?

2.      Bagaimana pula dengan takbiran serupa di hari ‘Idul Adlha pada malam hari ke-10 Dzulhijjah dan hari-hari tasyriq (11-13 Dzulhijjah)?

3.      Bagaimana tuntunan lafadz takbir yang sebenarnya?

4.      Bolehkah mengumandangkan takbir secara beramai-ramai dengan didahului oleh seseorang (seperti imam takbir)?

5.      Bolehkah takbiran disertai/diiringi dengan pemukulan bedug atau bedug-bedug dengan irama tersendiri oleh para penabuhnya, dengan alasan untuk syi’ar agama? Saya khawatir jangan-jangan nanti dikatakan sunat oleh sementara orang.

 

Pertanyaan ini merupakan rangkuman pertanyaan yang diajukan oleh Ruswanda, S. Pd. di Garut, Achmad Supiani M, di Pagatan, dan Jeffriady di Pulau Nias.

 

 

Jawaban :

 

1.        Keputuskan Muktamar Tarjih XX yang berlangsung tanggal 18 s.d. 23 Rabi’ul Akhir 1396 H, bertepatan dengan tanggal 18 s.d. 23 April 1976 di Kota Garut Jawa Barat, yang selanjutnya telah ditanfidzkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan surat Nomor: C/1-0/75/77 tertanggal 5 Shafar 1397 H bertepatan dengan tanggal 26 Januari 1977, yang berkaitan dengan waktu takbir menjelang shalat ‘Id disebutkan: Hendaklah engkau perbanyak membaca takbir pada malam Hari Raya Fithrah sejak mulai matahari terbenam sampai esok harinya ketika shalat akan dimulai.

Demikian pula dalam Tuntunan Ramadhan yang merupakan sebagian dari Keputusan Musyawarah Nasional Tarjih XXIV di Malang Jawa Timur yang telah ditanfidzkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, - sebagaimana yang telah disebutkan dalam pertanyaan, - disebutkan: di antara Adab dalam menyambut Hari ‘Idul Fithri, yang pertama adalah: Memperbanyak takbir, dengan uraian: Dalam rangka menyambut Hari ‘Idul Fithri dituntunkan agar orang (Islam) memperbanyak takbir pada malam ‘Idul Fithri sejak dari terbenamnya matahari hingga pagi hari ketika shalat ‘Id segera dimulai.

Dalil yang dijadikan dasar keputusan tersebut, - baik dalam Muktamar Tarjih XX maupun dalam Musyawarah Nasional Tarjih XXIV, - adalah:

a.       Firman Allah SWT

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (البقرة: 185)

Artinya: “…dan supaya kamu menyempurnakan bilangannya dan supaya kamu agungkan kebesaran Allah atas petunjuk yang telah Dia berikan padamu dan supaya kamu bersyukur.” (QS. al-Baqarah: 185)

b.         Hadits riwayat Ibnu Umar ra.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ إِذاَ غَداَ إِلىَ الْمُصَلَّى يَوْمَ اْلعِيْدِ كَبَّرَ فَرَفَعَ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيْرِ، وَفِيْ رِوَايَةٍ كاَنَ يَغْدُوْ إِلى الْمُصَلَّى يَوْمِ اْلفِطْرِ إِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى يَوْمَ اْلعَيْدِ ثُمَّ يُكَبِّرُ بِالْمُصَلَّى حَتَّى إِذَا جَلَسَ اْلإِمَامُ تَرَكَ التَّكْبِيْرَ [رواه الشافعي في مسنده جـ 1 : 153، حديث رقم 444 و 445].

Artinya:Diriwayatkandari Ibnu Umar bahwa ia apabila pergi ke tanah lapang di pagi hari Id, beliau bertakbir dengan mengeraskan suara takbirnya. Dalam riwayat lain (dikatakan): Beliau apabila pergi ke tempat shalat pada pagi hari Idul Fitri ketika matahari terbit, beliau bertakbir hingga sampai ke tempat shalat pada hari Id, kemudian di tempat shalat itu beliau bertakbir pula, sehingga apabila imam telah duduk, beliau berhenti bertakbir. [HR. asy-Syafi‘i dalam al-Musnad, I:153, hadis no. 444 dan 445].

Dari dua dalil yang telah disebutkan di atas, dapat kami kemukakan bahwa keputusan yang berisi anjuran untuk memperbanyak takbir dalam rangka menyambut Hari ‘Idul Fithri yang dimulai semenjak terbenamnya matahari pada malam ‘Idul Fithri adalah dengan memperhatikan perintah Allah dalam Surah al-Baqarah ayat 185, yaitu untuk bertakbir setelah sempurna bilangan puasa Ramadhan. Memang dalam ayat tersebut tidak secara tegas dinyatakan bahwa takbir dimulai setelah matahari terbenam, sebagai tanda telah sempurnanya puasa Ramadhan. Namun menurut kesepakatan para ulama sebagaimana disebutkan oleh ‘Ali Hasballah dalam Kitab Ushuulut-Tasyrii‘il Islamiy halaman 187 atau menurut pendapat yang rajih (yang lebih kuat) sebagaimana yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhailiy dalam Ushuulul-Fiqhil-Islamiy Juz I halaman 231-232, bahwa apabila ada perintah yang tidak disertai dengan ketegasan waktunya, maka dibolehkan untuk menyegarakan sebagaimana boleh pula untuk mengakhirkan pelaksanaan perintah tersebut, namun menyegerakan adalah lebih utama dan lebih berhati-hati. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah SWT:

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ.

Artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” [QS. Ali ‘Imran (3): 133].

... فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ... .

Artinya: “… maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan… .” [QS. Al-Maidah (5): 48].

Dengan hujjah (argumentasi) di atas, kiranya dapat difahami Keputusan Muktamar Tarjih XX dan Musyawarah Nasional Tarjih XXIV yang antara lain menganjurkan agar memperbanyak takbir semenjak terbenamnya matahari pada malam ‘Idul Fithri.

Terhadap hadits Ibnu ‘Umar, dapat dipegangi sebagai berakhirnya waktu takbir dalam menyambut ‘Idul Fithri, yakni ketika shalat ‘Id segera akan dimulai.

 

2.        Dalam Muktamar Tarjih XX sebagaimana yang telah disebutkan di atas, juga diputuskan bahwa takbir pada Hari Raya Adlha mulai sesudah shalat Shubuh pada hari ‘Arafah sampai akhir hari Tasyriq. Keputusan ini didasarkan dalil-dalil:

وَلِمَا ذَكَرَهُ اْلبُخَارِي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَ ابْنِ عُمَرَ تَعْلِيْقًا أَنَّهَا كَانَا يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوْقِ أَيَّامَ اْلعَشْرِ يُكَبِّرَانِ وَ يُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيْرِهِمَا.

Artinya: Beralasan pada yang diriwayatkan imam al-Bukhari dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar (tanpa sanad) bahwa keduanya pergi ke pasar pada hari kesepuluh sambil membaca takbir dan orang-orang mengikuti takbir mereka.

وَ ذَكَرَ اْلبَغَوِى وَ اْلبَيْهَقِى ذَلِكَ، وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ مَعَ شِدَّةِ تَحَرِيَّةِ لِلسُّنَّةِ يُكَبِّرُ مِنْ بَيْتِهِ إِلَى اْلمُصَلَّى.

Artinya:Hal yang demikian disebutkan juga oleh al-Baghawi dan al-Baihaqi: Adalah Ibnu Umar itu sebagai orang yang selalu memperhatikan tuntunan (Nabi saw.), dia membaca takbir dari rumahnya sampai ke tempat shalat.

وَ حَدِيْثِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ وَلاَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ (رواه أحمد وكذا ابن أبي الدنيا و البيهقى في الشعب و الطبرانى في الكبير عن ابن عباس)

وَ أَصَحُّهُ عَنِ الصَّحَابَةِ قَوْلُ عَلِيٍّ وَ ابْنِ مَسْعُوْدٍ إِنَّهُ مِنْ صُبْحِ يَوْمِ عَرَفَةَ إِلَى آخِرِ أَيَّامِ مِنَى (أخرجه ابن منذر و غيره)

Artinya: Beralasan hadits Ibnu Umar menyatakan: Rasulullah saw. bersabda: Tiada hari yang lebih besar bagi Allah dan tiada malam pada hari-hari itu yang lebih disukai oleh Allah dari pada hari-hari sepuluh itu. Oleh karenanya selama itu hendaklah kamu perbanyak membaca tahlil (لا إله إلاّ الله), takbir (الله أكبر), dan tahmid (الحمد لله).” (Riwayat Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi di dalam asy-Sya’ab, dan ath-Thabrani di dalam al-Kabir dari Ibnu Abbas)

Adapun yang terkuat di antara yang diberitakan tentang hal itu dari para sahabat ialah perkataan Ali dan Ibnu Mas’ud (yang mengatakan) bahwa itu adalah mulai dari shubuh Arafah sampai hari-hari Mina yang terakhir. (Riwayat Ibnul Mundzir dan lain-lainnya)

وَ لِمَا رَوَاهُ اْلبَيْهَقِى وَالدَّارُقُطْنِى أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ بَعْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ يَوْمَ عَرَفَةَ إِلَى اْلعَصْرِ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ، وَاْلحَاكِمُ أَيْضًا مِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَنْ قَطْرَ ابْنِ خَلِيْفَةَ عَنْ أَبِي اْلفَضْلِ عَنْ عَلِيٍّ وَعَمَّار قَالَ: وَهُوَ صَحِيْحٌ. وَصَحَّ مِنْ فِعْلِ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَ ابْنِ مَسْعُوْدٍ.

Artinya: Dan beralasan pada riwayat al-Baihaqi dan ad-Daruquthni (yang mengatakan): bahwa Nabi saw. membaca takbir sesudah dhalat shubuh pada hari Arafah sampai Ashar hari Tasyriq terakhir.

Diriwayatkan juga oleh al-Hakim dari jalan lain dari Qathur ibnu Khalifah dari Abi Fadlah, dari Ali dan Ammar, al-Hakim berkata: riwayat tersebut shahih lagi dibenarkan oleh perbuatan Umar, Ali, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas’ud.

 

3.        Lafadz Takbir sebagaimana diputuskan dalam Muktamar Tarjih XX, adalah:

اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ

Berdasarkan dalil:

عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: كَبِّرُوْا، اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَ جَاءَ عَنْ عُمَرَ وَابْنِ مَسْعُوْدٍ: اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ اْلحَمْدُ.

Artinya: Dari Salman (diriwayatkan bahwa) ia berkata: bertakbirlah dengan Allaahu akbar, Allaahu akbar kabiiraa. Dan diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Mas’ud: Allaahu akbar, Allaahu akbar, laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar, Allaahu akbar wa lillaahil-hamd. [HR. Abdul Razzaaq, dengan sanad shahih].

 

4.        Tentang mengumandangkan takbir dengan komando oleh seseorang atau dengan imam takbir, pernah kami berikan jawabannya dan telah dimuat dalam Buku Tanya Jawab Agama Jilid II halaman 111-112 yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah. Dalam buku tersebut antara lain kami sebutkan bahwa dalam perintah bertakbir tidak diterangkan apakah dengan komando atau imam takbir, ataukah sendiri-sendiri, atau bersama-sama tanpa komando imam takbir. Kami berpendapat bahwa takbir yang dilakukan dengan dituntun akan membuat lebih kompak.

Dalam hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Asy-Syafi‘i sebagaimana telah kami kemukakan di atas, disebutkan bahwa beliau mengeraskan (menyaringkan) suaranya dalam bertakbir. Dapat diperkirakan bahwa dengan suara yang keras atau yang nyaring itu, akan lebih menjadikan syi‘ar ajaran Islam, - khususnya dengan pelaksanaan shalat ‘Id. Namun dalam pada itu, hendaklah difahami bahwa sesungguhnya yang tidak kalah penting dalam bertakbir itu adalah sebagai perwujudan atau ekspresi kesadaran terhadap keagungan asma Allah dan kenisbian manusia  di hadapan-Nya serta sebagai tanda syukur atas petunjuk dan nikmat yang diberikan oleh-Nya. Oleh karena itu dalam bertakbir, harus dilakukan dengan sekuat mungkin berusaha untuk menghayati makna yang terkandung dalam lafadz-lafadz takbir itu, sehingga dapat berpengaruh ke dalam jiwa untuk semakin meningkat ketaqwaannya.

 

5.        Berkait dengan bertakbir yang diiringi irama bunyi pukulan bedug atau suara alat-alat musik yang lain dengan alasan syi‘ar, kiranya dapat kami kemukakan sebagai berikut:

Irama bunyi bedug atau alat musik yang lain, sesungguhnya adalah bertujuan untuk memperindah pendengaran, dengan harapan dapat menarik orang untuk mendengarkan atau mengikuti suara yang diiringi oleh bunyi alat musik tersebut, karena merasa senang dan terhibur dengan irama alat musik tersebut. Jika demikian, maka tidak menutup kemungkinan bahwa takbir yang diiringi dengan irama / bunyi bedug atau alat musik yang lain, akan mampu mengajak orang untuk ikut mendengarkan atau bahkan ikut pula bertakbir.

Tetapi dalam pada itu, tidak menutup kemungkinan pula keikutsertaan orang dalam bertakbir telah diwarnai untuk mencari hiburan, bahkan mungkin lebih dominant daripada tujuan untuk menghayati dan meresapi makna yang terkandung dalam lafadz-lafadz takbir sebagai sebuah ibadah. Setidak-tidaknya kepada pemain musiknya akan lebih terkonsentrasi kepada menjaga keselarasan irama musik dengan suara takbir yang dikumandangkan.

Jika yang diperkirakan ini menjadi sebuah kenyataan, dan jika dalam masyarakat sosialisasi takbir sebagai ibadah semakin menipis, maka terjadinya pergeseran nilai dalam bertakbir bukan merupakan suatu hal yang mustahil, - takbir berubah dari nilai ritual (ibadah) menjadi sebuah hiburan yang profan (duniawi). Oleh karena itu, atas dasar dalil سَدُّ الذَّرِيْعَةِ (menutup jalan terjadinya kerusakan), kami cenderung bertakbir dilakukan secara khusyu‘ tanpa diiringi irama musik apapun.

Wallahu a‘lam bish-shawab. *dw)

 

NAMA MUHAMMADIYAH (46)

Nur Rohman, Gemuh Kendal

 

 

Saya mempunyai permasalahan mengenai nama organisasi “Muhammadiyah”. Muhammadiyah berasal dari kata Muhammad dan diberi akhiran ya’ nisbat, yang artinya adalah orang-orang yang mengikuti Muhammad. Permasalahannya adalah pemanggilan nama Nabi Muhammad, yang menurut perkataan salah seorang kiai, ketika menyebut nama Nabi Muhammad saw tidak boleh menyebut namanya saja dan harus diberi embel-embel Rasul atau Nabi. Hal tersebut didasarkan atas firman Allah di dalam al-Qur’an surat An-Nur ayat 63 yang artinya adalah: “Jangan kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain) …” [QS. An-Nur]. Bagaimana tanggapan bapak mengenai hal ini?

 

Jawaban :

 

Kata “Muhammad” yang berarti “terpuji”, karena baik artinya telah dijadikan nama bagi anak cucunya oleh orang yang ingin anak cucunya menjadi orang terpuji di kemudian hari. Kata “Muhammad” telah menjadi nama pula bagi diri (person) junjungan kita Nabi Muhammad saw. Dan banyaklah, terutama kaum muslimin yang menamakan anaknya dengan “Muhammad”, dengan harapan agar anaknya menjadi orang terpuji dan berakhlak mulia seperti akhlak Nabi Muhammad saw. Khusus bagi Nabi Muhammad, maka kata itu dilengkapi dengan kalimat “shallallaahu ’alaihi wa sallam” (saw), artinya semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan kesejahteraan atasnya, sedang bagi orang lain yang bukan person Nabi Muhammad tidak dilengkapi dengan kalimat tersebut.

Nama Muhammadiyah bukan nama person Nabi Muhammad, tetapi nama suatu persyarikatan, yaitu “Persyarikatan Muhammadiyah”. Dari nama itu tersirat suatu makna bahwa yang menjadi anggota persyarikatan itu adalah para pengikut Nabi Muhammad saw. Karena Persyarikatan Muhammadiyah bukan nama person Nabi Muhammad, maka tidak perlu dilengkapi dengan kalimat “shallallaahu ’alaihi wa sallam” (saw).

Kata Persyarikatan Muhammadiyah ini pada satu segi ada persamaannya dengan kata “Ali Muhammad” (keluarga Muhammad). Karena bukan nama person Nabi Muhammad, tidak perlu dilengkapi dengan “shallallaahu ’alaihi wa sallam” (saw), seperti: Ali Muhammad shallallaahu ’alaihi wa sallam (saw). Demikian pula kata “hizbullah” dan kata “sabilillah”, tidak perlu dilengkapi dengan “subhaanahuu wa ta’aalaa” (SWT), artinya Maha Suci dan Maha Agung Dia. Kata “hizbullah” (tentara atau lasykar Allah) dan kata “sabilillah” (berjuang di jalan Allah) sangat popular di Indonesia pada masa-masa perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan penjajah Belanda. Mereka adalah lasykar yang terkenal gagah berani pada waktu itu. Banyak nama-nama lain yang sma ungkapannya dengan kata-kata di atas, seperti kata Abdullah, Abdurrahman, Nur Rohman, dan sebagainya. Seandainya kita mengikuti jalan pikiran saudara tentulah nama saudara ditulis Nur Rohman SWT, karena ada nama Allah dalam nama saudara (atau nama saudara diganti dengan nama yang lain).

Mengenai ayat 63 surat An-Nur (24) kami tuliskan, Allah SWT berfirman:

لاَ تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا ... . [النور (24):63].

Artinya: “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain), ….” [QS. An-Nur (24):63].

Para mufassir dalam menafsirkan ayat ini, seperti Al-Qasimi pada kitab tafsirnya Mahasinut Ta'wil, Al-Maraghi pada tafsir Al-Maraghi, dan para mufassir yang lain menafsirkan ayat di atas sebagai berikut: Ayat ini merupakan peringatan bagi kaum muslimin agar memanggil Nabi Muhammad sesuai dengan panggilan yang diberikan Allah kepadanya, yaitu “Rasulullah” atau “Nabiyullah”, tidak seperti yang biasa berlaku di kalangan orang-orang Arab pada waktu itu. Mereka memanggil temannya dengan nama seenaknya saja. Hal ini mereka lakukan pula kepada Nabi Muhammad. Mereka memanggil Nabi Muhammad dengan “hai Muhammad”, hai Abul Qasim, hai Ibni Abdillah, dan sebagainya.

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tidaklah hormat jika kita memanggil Nabi Muhammad dengan Muhammad saja, kita harus memanggilnya dengan nama “Rasulullah”, “Nabiyullah”, jika kita ucapkan dalam bahasa Indonesia berbunyi: Rasul Allah, Nabi Muhammad, atau Nabi saw. Dengan kata saw dapat dibedakan antara Nabi Muhammad dengan nabi-nabi yang lain. Adapun untuk nabi-nabi yang lain dilengkapi namanya dengan “’alaihish-shalaatu was-salaam” (as), artinya semoga kepadanya dilimpahkan rahmat dan kesejahteraan. Itulah panggilan yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad saw yang diajarkan kepada kita semuanya, dan kita akan mematuhinya. *km)

 

AIR MUSTA'MAL (47)

Langganan No. 2339, Jl. UP Baru VI/3, Makassar

 

 

Pertanyaan :

 

Pada waktu dulu setiap masjid atau langgar mempunyai kolam tempat air. Di kolam itulah kaum muslimin berwudlu, mandi, berkumur-kumur, dan sebagainya, dan semua air yang telah dipakai itu kembali masuk kolam, kemudian dipakai orang lagi. Seberapa jauh air yang telah dipakai untuk bersuci itu dapat dipakai lagi untuk bersuci (air musta’mal)?

 

 

Jawaban :

 

Mengenai air yang boleh dipakai untuk bersuci, seperti untuk berwudlu, mandi wajib, mandi sunat, dan sebagainya, Rasulullah saw tidak menerangkan bagaimana seharusnya tempat air itu dan bagaimana air itu dialirkan, seperti dengan menggunakan kolam, menyalurkan dengan pipa, dan sebagainya. Hal itu semua diserahkan kepada kaum muslimin. Beliau hanya menerangkan sifat-sifat air yang boleh digunakan untuk bersuci, seperti air hujan, air laut, air danau, air kali, dan sebagainya. Bahkan Rasulullah saw membolehkan kaum muslimin bersuci dengan air yang telah digunakan untuk bersuci, berdasarkan hadits:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ النِّسَآءُ وَالرُّجُلُ يَتَوَضَّئُوْنَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ يَشْرِكُوْنَ بِهِ جَمِيْعًا. [رواه البخاري وأبو داود والنسائى ومالك وأحمد].

Artinya: “Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: Adalah perempuan-perempuan dan laki-laki pada masa Rasulullah saw berwudlu pada bejana yang satu, maka semuanya menggunakan air itu.” [HR. Al-Bukhari, Abu Dawud, An-Nasa'i, Malik dan Ahmad].

عَنْ مَيْمُنَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنَ الْجَنَابَةِ. [أخرجه الترمذى وقال حسن صحيح].

Artinya: “Dari Maimunah ra., ia berkata: Aku dan Rasulullah saw pernah mandi janabah dari satu bejana.” [Ditakhrijkan oleh At-Tirmidzi, dan ia berkata: hasan shahih].

عَنْ رُبَالَةَ بِنْتِ مُعَوِّذَ قَالَتْ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَسَحَ رَأْسَهُ مِنْ فَضْلِ مَاءٍ كَانَتْ بِيَدِهِ. [رواه الترمذى وأبو داود ولفظ له].

Artinya: “Dari Rubalah binti Mu’awwidz, ia berkata: Bahwasanya Rasulullah saw menyapu kepalanya (dalam berwudlu) dari kelebihan air yang ada ditangannya.” [HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud dengan lafadz Abu Dawud].

Dari keterangan di atas jelaslah bahwa yang telah dipakai untuk bersuci itu boleh dipakai untuk bersuci lagi, asal tidak bercampur aduk dengan najis atau benda-benda haram, dan masih mempunyai sifat-sifat air. Jika telah berubah sifat-sifatnya, seperti telah berubah baud an warnanya, maka air itu tidak dapat digunakan untuk bersuci lagi.

Di Indonesia dapat ditemui lebih banyak air dibanding negara-negara lain, sehingga orang-orang Islam yang tinggal di Indonesia rata-rata tidak mempunyai masalah air. Kita masih dapat memilih air yang paling bersih untuk bersuci atau berusaha pada setiap bersuci dengan air yang bersih, seperti dengan menggunakan pipa dan kran air, air sumur, dan sebagainya, tentu inilah yang paling baik. Di daerah lain terutama di daerah tandus, seperti di daerah padang pasir, air sangat berharga, karena itu orang harus berhemat dengan air. Karena itu tuntunan Rasulullah saw tentang air untuk bersuci itu adalah sangat tepat dan tidak memberatkan terutama bagi orang yang tinggal di daerah yang kurang airnya.

Mengenai permohonan saudara agar Khutbah Idul Adhla dimuat pada SM no. 2 tahun ke-89, akan kami teruskan kepada Pimpinan Majalah Suara Muhammadiyah. *km)

 

KESEHATAN RASULULLAH saw. (48)

Chris Diana, di Negeri Belanda

Pertanyaan :

Bagaimana Rasulullah saw menjaga kesehatannya? Apa yang beliau lakukan untuk menjaga staminanya? Dan apakah beliau juga berolah raga seperti kita?

Jawaban :

Sebagaimana disebutkan dalam sejarah hidup beliau, bahwa Nabi Muhammad saw disamping Rasulullah (utusan Allah), beliau juga sebagai kepala negara dan panglima perang. Hampir setiap peperangan beliau langsung memimpinnya. Sebagai seorang panglima perang, tentu beliau menguasai hal-hal yang berhubungan dengan peperangan, seperti menunggang kuda, memanah, ketangkasan jasmani yang diperlukan dalam peperangan, dan sebagainya. Hanya saja hal-hal tersebut tidak sampai kepada kita beritanya dengan lengkap, karena tujuan beliau diutus untuk menyampaikan agama Allah, sedang perang terjadi hanyalah untuk mempertahankan diri dari serangan musuh.

Sebagai contoh dapat kami gambarkan peristiwa terjadinya perang Uhud. Setelah beliau mengetahui bahwa musuh akan datang, beliau mendahuluinya dengan pergi ke bukit uhud. Beliau sendiri mengatur strategi dengan menempatkan pasukan pemanah pada tempat tertentu, demikian pula pasukan berkuda dan pasukan berjalan kaki. Beliau berpesan agar pasukan-pasukan tersebut jangan sekali-kali meninggalkan tempat yang telah ditentukan. Maka terjadilah peperangan. Semula Rasulullah saw dan kaum muslimin memperoleh kemenangan dalam peperangan itu. Tetapi karena terperdaya oleh harta rampasan perang, maka kaum muslimin meninggalkan tempat yang telah ditentukan untuk mengambil harta rampasan itu. Dalam keadaan demikian, Khalid bin Walid (waktu itu belum masuk Islam), panglima tentara Quraisy menyerbu kaum muslimin dan menduduki tempat-tempat strategis, sehingga kaum muslimin kalah dalam peperangan itu. Hal ini digambarkan dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

وَإِذْ غَدَوْتَ مِنْ أَهْلِكَ تُبَوِّئُ الْمُؤْمِنِينَ مَقَاعِدَ لِلْقِتَالِ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. إِذْ هَمَّتْ طَائِفَتَانِ مِنْكُمْ أَنْ تَفْشَلاَ وَاللهُ وَلِيُّهُمَا وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ. [آل عمران (3): 121-122].

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah) keluargamu akan menempatkan para mu'min pada beberapa tempat untuk berperang. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ketika dua golongan daripadamu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendaklah karena Allah saja orang-orang mu'min bertawakkal.” [QS. Ali Imran (3): 121-122].

Dari ayat di atas dapat difahami bahwa Nabi Muhammad saw sebagai panglima perang tentu mengetahui dan terampil dalam hal-hal yang berhubungan dengan peperangan, termasuk di dalamnya menjaga jasmani agar tetap sehat.

Menurut riwayat Rasulullah saw penggemar olahraga gulat. Di antara partner beliau dalam olahraga gulat adalah seorang sahabat bernama Rukanah.

Di samping itu beliau terkenal sebagai seorang yang sangat disiplin, sangat menjaga waktu, terutama dalam mengerjakan shalat-shalat wajib. Beliau seorang yang sangat menjaga kebersihan jasmani dan rohani. Beliau rajin bersiwak (sikat gigi) dan berpuasa sunat. Beliau jarang sakit. Beliau hanya sakit beberapa hari sebelum meninggal. Beliau makan dan minum secukupnya tidak berlebih-lebihan. Beliau membagi waktu sedemikian rupa sehingga ada waktu tidur, ada waktu beribadah, ada waktu istirahat, dan sebagainya. Beliau pernah menegur sahabat yang ingin menandingi ibadat beliau dengan setiap hari berpuasa, setiap malam bangun untuk beribadat, tidak akan kawin, karena kawin itu mengganggu ibadat kepada Allah.

Dari keterangan di atas dapar difahami bahwa Nabi Muhammad saw memperhatikan kesehatan jasmani dan rohaninya, serta berusaha selalu dalam keadaan segar bugar. *km)

 

 

DISKUSI PERNIKAHAN (49)

H. Bahri Nani,

Pulau Beringin, OKU, Sumatera Selatan.

Pertanyaan :

1.      Dalam diskusi membicarakan masalah perkawinan selalu merujuk kepada Surat Al-Baqarah dan surat An-Nisaa’, ditambah beberapa hadits.

2.      Apakah ayat 50 Surat Al-Ahzab khusus berlaku bagi Nabi Muhammad saw?

Jawaban :

1.      Sebenarnya banyak surat-surat dalam Al-Qur’an yang berhubungan dengan perkawinan di samping surat (2) Al-Baqarah dan surat (4) An-Nisaa’, seperti surat (5) Al-Maidah, surat (7) Al-A’raf, surat (24) An-Nuur, surat (30) Ar-Ruum, surat (32) As-Sajdah, surat (33) Al-Ahzab, surat (37) Ash-Shaffaat, surat (58) Al-Mujadalah, surat (64) At-Taghaabuun, surat (65) Ath-Thalaq, dan sebagainya. Demikian pula banyak hadits Nabi Muhammad saw yang menerangkan tentang perkawinan. Hadits-hadits ini dapat dibaca pada kumpulan hadits yang terdapa di dalam kitab-kitab hadits, yaitu pada kitabun-nikah dalam Shahih Al-Bukhariy, Shahih Muslim, kitab-kitab Sunan, dan sebagainya. Nash-nash tersebut dapat saudara jadikan sebagai dalil pada diskusi-diskusi yang saudara adakan.

2.      Mengenai ayat 50 surat Al-Ahzab, yaitu:

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي ءَاتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالاَتِكَ اللَّاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلاَ يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا. [الأحزاب (33): 50].

Artinya: “Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mu'min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu'min. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. Al-Ahzab (33): 50].

Sebenarnyalah ayat tersebut ditujukan (khitab) kepada kepada Nabi Muhammad saw, tidak kepada yang lain termasuk umatnya. Alasannya ialah, pada ayat tersebut terdapat kalimat يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ, yang artinya wahai Nabi (Muhammad) …, dan kalimat خَالِصَةً لَكَ, yang artinya sebagai pengkhususan bagimu (Muhammad). Bila dicermati maka setiap ayat itu ada sasaran yang ditujunya (khitab), seperti kalimat يَاأَيُّهَا النَّاسُ, yang artinya wahai sekalian manusia. Artinya ialah sasaran yang dituju ayat ini adalah seluruh manusia. Demikian pula kalimat يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا, yang artinya wahai orang-orang yang beriman, يَاأَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ, yang artinya wahai orang-orang kafir, dan sebagainya. Dengan mengetahui sasaran yang dituju suatu ayat dapat membantu kita menafsirkan ayat tersebut. *km)

 

PERINTAH QURBAN (50)

 

Sri Tutut (Eno), titikchiroena@yahoo.com

di Nederland / Belanda

Pertanyaan :

1.      Dimana letak perintah ber-qurban dalam al-Qur'an?

2.      Siapa yang benar yang dikurbankan oleh Nabi Ibrahim, Nabi Ismail atau Nabi Ishaq?

Jawaban :

1.      Perintah berkurban di dalam al-Qur'an terdapat di berbagai surat/ayat, antara lain dalam surat al-Kautsar ayat 2; surat al-Hajj ayat 34-35 dan ayat 36; serta surat ash-Shaffat ayat 102-107, ditambah lagi dengan penjelasan dari Nabi saw dalam berbagai sabdanya yang bisa dibaca dalam kitab shahih al-Bukhari, Muslim, dan dalam kitab-kitab sunan dan kitab musnad.

Di dalam surat al-Kautsar ayat 2 Allah berfirman:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ.

Artinya: “Maka shalatlah engkau karena Tuhanmu dan berkurbanlah.”

Di dalam surat al-Hajj ayat 34-35, Allah berfirman:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ اْلأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ. الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَالصَّابِرِينَ عَلَى مَا أَصَابَهُمْ وَالْمُقِيمِي الصَّلاَةِ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ.

Artinya: “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah). (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka.”

Di dalam surat ash-Shaffat ayat 103-107

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِينَ. فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ. وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَاإِبْرَاهِيمُ. قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ. إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاَءُ الْمُبِينُ. وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ.

Artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu! Ia menjawab: Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”

Selanjutnya di dalam surat al-Hajj ayat 36 Allah berfirman:

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ ...

Artinya: “Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi`ar Allah, …”

Di dalam hadits riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah disebutkan:

مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا.

Artinya: “Barangsiapa mempunyai keluasan rezki (mampu berkurban) tetapi ia tidak mau berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat kami bersembahyang.”

Di dalam hadits lain yang juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari shahabat Zaid bin Arqam disebutkan:

قُلْتُ أَوْ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ مَا هَذِهِ اْلأَضَاحِيُّ قَالَ سُنَّةُ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ قَالُوا مَا لَنَا مِنْهَا قَالَ بِكُلِّ شَعْرَةٍ حَسَنَةٌ.

Artinya: “Aku atau mereka bertanya: Hai Rasulullah, apakah kurban itu? Nabi saw menjawab: Itulah suatu sunnah ayahmu Ibrahim. Mereka bertanya (lagi): Apakah yang kita peroleh dari kurban itu? Rasulullah saw menjawab: Di tiap-tiap bulu kita mendapat suatu kebajikan.”

Di dalam sabda Nabi saw yang lain, diriwayatkan oleh Imam Ahmad juga dari Jubair ibn Muth‘im, Rasulullah saw bersabda:

كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ.

Artinya: “Tiap-tiap (semua) hari Tasyriq itu adalah hari menyembelih.”

 

2.      Mengenai siapa yang dikurbankan oleh Nabi Ibrahim, apakah Nabi Ismail atau Nabi Ishaq, dapat kami jelaskan sebagai berikut:

Kalau dilihat semata-mata pada bunyi ayat dalam surat ash-Shaffat itu dengan mempergunakan perkataan يَابُنَيَّ(hai anakku), terkesan masih samara (mubham). Ini memerlukan penjelasan dari Rasulullah saw, dan beliau telah menjelaskannya. Di antara hadits/penjelasan beliau mengatakan bahwa yang dikurbankan itu adalah Nabi Ismail. Kata Nabi Muhammad saw: أَنَا ابْنُ الذَّبِيْحَيْنِ(aku anak dari dua orang yang disembelih). Maksud sabda Nabi itu ialah Nabi Muhammad saw adalah keturunan Nabi Ismail dan Abdullah (ayahnya), yang kedua-duanya pernah hendak disembelih oleh ayahnya yaitu Nabi Ibrahim dan Abdul Muthalib.

Hadits tersebut di atas riwayatkan oleh banyak perawi, antara lain oleh Imam al-Hakim, Imam Ibnu Murdawaih yang bersumber kepada shahabat Muawiyah ra. Riwayat tersebut diperkuat pula dengan riwayat para ahli sejarah dan ahli tafsir.

Memang ada sementara mufassir yang terpengaruh dengan riwayat israiliyat, mereka mengatakan bahwa yang dikurbankan Nabi Ibrahim adalah Nabi Ishaq bukan Nabi Ismail, seperti tersebut dalam kitab yang telah mereka palsukan itu, yaitu ada ucapan إِذْبَحْ بِكْرَكَ وَوَحِيْدَكَ إِسْحَاقَ(sembelihlah anak bungsumu satu-satunya Ishaq itu).

Perkataan Ishaq adalah tambahan dari orang-orang atau pendeta mereka dari ahli kitab, seperti kata pengarang tafsir al-Munir, Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili:

فَكَلِمَةُ "إِسْحَاقَ" مِنْ زِيَادَتِهِمْ وَتَحْرِيْفِهِمْ لِكِتَابِاللهِ، وَإِلاَّ فَإِنَّ إِسْحَاقَ لَمْ يَكُنْ بِكْرَ إِبْرَاهِيمَ وَلَمْ يَكُنْ وَحِيْدَهُ, بَلْ اَلَّذِي كَانَ كَذَالِكَ هُوَ إِسْمَاعِيْلَ, ثُمَّ لَمَا بَذَلَ إِبْرَاهِيمُ ابْنَهُ لِلذَِبْحِ وَأَطَاعَ, أَعْطَاهُ اللهُ وَلَدًا آخَرَ هُوَ إِسْحَاقَ.

Artinya: Maka perkataan “Ishaq” itu termasuk tambahan dan penyimpangan dari mereka terhadap kitab Allah (at-Taurat), dan jika bukan begitu, maka sesungguhnya Ishaq bukan anak bungsu dan anak satu-satunya Ibrahim, melainkan yang disebutkan begitu adalah Isma‘il (sebagai anak satu-satunya sebab Ishaq belum lahir). Kemudian setelah Ibrahim bersungguh-sungguh untuk menyembelih Isma‘il, maka Isma‘il patuh kepada perintah Allah, lalu Allah memberikan kepada Ibrahim satu anak lagi yaitu Ishaq.

Jadi, kita ulang kembali apa yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam manakibnya adalah kuat, yaitu:

مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلاَّ شُفِّعُوا.

Artinya: “Aku adalah anak laki-laki dari dua orang yang mau disembelih, maksudnya dari keturunan Nabi Isma‘il dan ayahnya sendiri Abdullah, dimana Abdul Muthalib ayahnya Abdullah pernah bernazar untuk menyembelih anak (laki-lakinya) bila dia dikaruniai sepuluh anak laki-laki, atau Allah memudahkannya penggalian sumur zam-zam. Maka ketika kedua perkara itu terpenuhi, Abdul Muthalib mengundi, dan anak panah undian itu jatuh kepada diri Abdullah, tetapi saudara-saudaranya menghalang-halangi Abdul Muthalib (menyembelih Abdullah) dan mereka berkata: Tebuslah putramu Abdullah dengan 100 ekor unta, lalu Abdul Muthalib menebusnya dengan 100 ekor unta.”

Di dalam beberapa atsar yang shahih disebutkan bahwa yang disembelih itu memang Nabi Isma‘il bukan Ishaq. Demikianlah riwayat dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Abu Thufail, Amir bin Wathsilah dari kalangan shahabat, dan Saad bin Musayyab, Said bin Jubair, al-Hasan al-Bashri, Mujahid, asy-Sya‘bi, Yusuf bin Mihran, Rabi‘ bin Anas, Muhammad bin Ka‘ab al-Qurdli, al-Kalbi, Alqamah, Abu Ja‘far Muhammad bin Ali, dan Abu Shaleh dari kalangan tabi‘in. Semua mereka itu berkata: Anak yang disembelih itu adalah Nabi Isma‘il, dan pernyataan tersebut dikuatkan oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya: الجامع لأحكام القرآن , sebagai berikut:

وَهَذَا الْقَوْلُ أَقْوَى فِي النَّقْلِ عَنِ النَّبِيِّ صّلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنِ الصَّحَابَةِ والتَّابِعِيْنَ.

Artinya: Pendapat ini sangat kuat dari segi riwayatnya dari Nabi saw, dari shahabat, dan dari tabi‘in.

Hanya sayangnya orang-orang Yahudi sangat dengki kepada orang Arab atas anugerah Allah yang diberikan kepada bapak mereka Nabi Isma‘il as., lalu mereka membuat kedustaan dengan menambah-nambah riwayat dalam Taurat dan mereka susupi riwayat-riwayat apa yang disebut israiliyat dalam sebahagian hadits dan atsar.

Memang dalam Perjanjian Lama Kitab Kejadian 22:1 disebutkan: Ambillah anakmu yang tunggal itu yang engkau kasihi yakni Ishak, pergilah ke tanah muria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan kukatakan kepadamu. Apakah anak tunggal itu dan siapakah dia? Anak tunggal pada saat diperintahkan untuk dikorbankan ialah anak yang tidak mempunyai kakak atau adiknya waktu itu. Tapi di dalam Kejadian 17:24-27 disebutkan:

Bahwa Ibrahim dan orang-orang dirumahnya diperintahkan Tuhan untuk disunat (khitan). Waktu itu umur Ibrahim 99 tahun.

Waktu Ishaq lahir umur Ibrahim 100 tahun dan istrinya Sarah 90 tahun. Ishaq disunat pada umur 8 (delapan) hari (Kejadian 21:4) dari hari kelahirannya.

Isma‘il lahir waktu Ibrahim berumur 86 tahun (Kejadian 6:16). Waktu Ibrahim berumur 99 tahun ia dikhitankan bersma Isma‘il. Jadi umur Isma‘il waktu dikhitan adalah 13 tahun, yaitu umur Ibrahim 99 tahun dikurangi waktu Ismail lahir ia berumur 86 tahun.

Ishaq dikhitankan 8 hari sesudah ia lahir, dan Ibrahim waktu itu berumur 100 tahun. Isma‘il dikhitankan pada waktu berumur 13 tahun sedang Ibrahim sudah berumur 99 tahun. Dengan demikian, Isma‘il lebih tua 14 tahun daripada Ishaq, yaitu umur Ibrahim 100 tahun dikurangi 86 tahun waktu Isma‘il lahir. Dengan demikian jelaslah Isma‘il lebih tua daripada Ishaq sebanyak 14 tahun. Dan putra tunggal waktu itu tidak ada lain kecuali Ismail as.

Demikian agak sedikit panjang jawaban kami kepada dua buah pertanyaan saudara, dengan harapan agar masalah itu jelas dan bias disampaikan pula oleh saudara kepada saudara kita yang membutuhkannya di tempat saudara. *th)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website