PDM Kabupaten Kediri - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Kediri
.: Home > Artikel

Homepage

Kumpulan Fatwa M Tarjih Tahun 2003 (30 Fatwa)

.: Home > Artikel > PDM
17 April 2014 15:18 WIB
Dibaca: 8903
Penulis :

Saudara Abd Syakur, Metro, Lampung Tengah.

ANGKAT TANGAN KETIKA BERDO'A (1)

Pertanyaan :

 

Beberapa waktu lalu kami sempat berdialog dengan teman-teman di suatu masjid, mengenai mengangkat tangan ketika berdo’a. Sebagian teman berpendapat disunnahkan mengangkat tangan, sedang teman lainnya berpendapat tidak disunnahkan. Semuanya menyodorkan hadits, baik yang berpendapat sunnah mengangkat tangan, maupun yang berpendapat tidak sunnah mengangkat tangan.

Yang berpendapat tidak sunnah mengangkat tangan karena ada hadits yang mengatakan: illa fil istisqa’ (kecuali ketika istisqa’ saja). Karena ada istitsna’ (perkecualian) itulah sebagian teman kami berpendapat tidak disunnahkan mengangkat tangan ketika berdo’a. Maka dengan ini kami mohon kepada dewan fatwa untuk menjelaskan, apa yang dimaksudkan dengan istitsna’ (perkecualian) tersebut? Karena yang berpendapat tidak sunnah mengangkat tangan, mengatakan bahwa haditsnya hanya dua di al-Bukhari, menganggap lemah. Maka kami mohon dikutipkan beberapa hadits, kalau perlu sebanyak mungkin yang bapak temukan, agar lebih jelas, lengkap dengan sanadnya.

 

Jawaban :

Untuk memenuhi permintaan Saudara memang memerlukan waktu banyak sebab harus membaca beberapa kitab hadits, terutama syarahnya. Sebab untuk memahami hadits tidak cukup hanya dari segi sanadnya saja, atau hanya dari segi nahwunya, atau hanya dari segi matannya saja, melainkan harus melihat juga dari berbagai segi, termasuk segi balaghahnya.

Baiklah untuk menyingkat jawaban, kami kutip lebih dahulu hadits-hadits yang dapat kami temukan menurut kemampuan kami,  dan insya Allah kami jelaskan secara singkat:

 

I         Hadits-hadits yang mengungkapkan bahwa Nabi saw mengangkat tangan ketika berdo’a, antara lain ialah:

1- حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا طَلْحَةُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ كَانَ يَرْمِي الْجَمْرَةَ الدُّنْيَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ يُكَبِّرُ عَلَى أَثَرِ كُلِّ حَصَاةٍ ثُمَّ يَتَقَدَّمُ حَتَّى يُسْهِلَ فَيَقُومُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ فَيَقُومُ طَوِيْلاً وَيَدْعُو وَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ ثُمَّ يَرْمِي الْوُسْطَى ثُمَّ يَأْخُذُ ذَاتَ الشِّمَالِ فَيَسْتَهِلُ وَيَقُومُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ فَيَقُومُ طَوِيلاً وَيَدْعُو وَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ وَيَقُومُ طَوِيلاً ثُمَّ يَرْمِي جَمْرَةَ ذَاتِ الْعَقَبَةِ مِنْ بَطْنِ الْوَادِي وَلاَ يَقِفُ عِنْدَهَا ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُولُ هَكَذَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ (رواه البخاري، كتاب الحج، ج:1، ص:198)

1. “Diceritakan kepada kami oleh ‘Utsman bin Syaibah, diceritakan kepada kami oleh Thalhah bin Yahya, diceritakan kepada kami oleh Yunus, dari az-Zuhriy, dari Salim, dari Ibni ‘Umar ra, bahwa dia (Ibni ‘Umar) melempar jamrah yang dekat (pertama) dengan tujuh kerikil sambil bertakbir pada akhir setiap lemparan kerikil, lalu maju hingga pada tempat yang rata dan berdiri menghadap qiblat dengan berdiri lama dan berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya. Lalu melempar jamrah wustha (kedua), lalu mengambil arah sebelah kiri dan menginjak tanah yang datar dan berdiri menghadap qiblat dengan lama berdiri, dan berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya dan berdiri lama, lalu melempar jamrah ‘aqabah (ketiga) dari arah lembah dan tidak berhenti di situ, kemudian meninggalkan tempat itu dan berkata: ‘Demikianlah saya melihat Nabi saw mengerjakannya’.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy, Kitab al-Hajj, bab mengangkat kedua tangan, I:198).

 

2- حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللهِ قَالَ حَدَّثَنِي أَخِي عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ يُونُسَ بْنَ يَزِيدَ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا كَانَ يَرْمِي الْجَمْرَةَ الدُّنْيَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ ثُمَّ يُكَبِّرُ عَلَى أَثَرِ كُلِّ حَصَاةٍ ثُمَّ يَتَقَدَّمُ فَيُسْهِلُ فَيَقُومُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ قِيَامًا طَوِيلاً فَيَدْعُو وَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ ثُمَّ يَرْمِي الْجَمْرَةَ الْوُسْطَى كَذَلِكَ فَيَأْخُذُ ذَاتَ الشِّمَالِ فَيُسْهِلُ وَيَقُومُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ قِيَامًا طَوِيلاً فَيَدْعُو وَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ ثُمَّ يَرْمِي الْجَمْرَةَ ذَاتَ الْعَقَبَةِ مِنْ بَطْنِ الْوَادِي وَلاَ يَقِفُ عِنْدَهَا وَيَقُولُ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُ (رواه البخاري، كتاب الحج، ج:1، ص:198)

 

2. “Diceritakan kepada kami oleh Isma’il bin ‘Abdillah, ia berkata: diceritakan kepadaku oleh saudaraku, dari Sulaiman, dari Yunus bin Yazid, dari Ibnu Syibah, dari Salim bin ‘Abdillah; bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar ra, melempar jamrah yang dekat (pertama) dengan tujuh kerikil sambil bertakbir pada akhir setiap lemparan kerikil, lalu maju di tempat yang datar dan berdiri lama dengan menghadap ke qiblat, lalu berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya, lalu melempar jamrah wustha (tengah) sebagaimana (melempar jamrah pertama), lalu mengambil arah kiri di tempat yang datar dan berdiri lama dengan menghadap qiblat, lalu berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya, lalu melempar jamrah ‘aqabah (yang terakhir) dari arah lembah dan tidak berhenti, dan berkatalah ‘Abdullah Ibnu ‘Umar: ‘Demikianlah saya melihat Rasulullah mengerjakannya’.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy, Kitab al-Hajj, bab mengangkat kedua tangan, I:198).

3- حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنِ الزُّهْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَمَى الْجَمْرَةَ الَّتِي تَلِي مَسْجِدَ مِنَى يَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ يُكَبِّرُ كُلَّمَا رَمَى بِحَصَاةٍ ثُمَّ تَقَدَّمَ أَمَامَهَا فَوَقَفَ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ يَدْعُو وَكَانَ يُطِيلُ الْوُقُوفَ ثُمَّ يَأْتِي الْجَمْرَةَ الثَّانِيَةَ فَيَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ يُكَبِّرُ كُلَّمَا رَمَى بِحَصَاةٍ ثُمَّ يَنْحَدِرُ ذَاتَ الْيَسَارِ مِمَّا يَلِي الْوَادِيَ فَيَقِفُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ يَدْعُو ثُمَّ يَأْتِي الْجَمْرَةَ الَّتِي عِنْدَ الْعَقَبَةِ فَيَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ يُكَبِّرُ عِنْدَ كُلِّ حَصَاةٍ ثُمَّ يَنْصَرِفُ وَلاَ يَقِفُ عِنْدَهَا قَالَ الزُّهْرِيُّ سَمِعْتُ سَالِمَ بْنَ عَبْدِ اللهِ يُحَدِّثُ مِثْلَ هَذَا عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَفْعَلُهُ (رواه البخاري، كتاب الحج، ج:1، ص:198)

 

3. “Diceritakan kepada kami oleh ‘Utsman bin ‘Umar, diceritakan kepada kami oleh Yunus, dari az-Zuhriy, bahwa Rasulullah saw, apabila melempar jamrah yang berada di dekat Masjid Mina, beliau melemparnya dengan tujuh kerikil sambil bertakbir setiap melemparkan satu kerikil, lalu maju ke depan dan berdiri sambil menghadap qiblat dan berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya, dan beliau berhenti lama, lalu mendatangi jamrah kedua dan melemparnya dengan tujuh kerikil sambil bertakbir setiap melemparkan satu kerikil, lalu turun ke arah kiri, di sebelah lembah, dan berdiri menghadap qiblat serta berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya, lalu mendatangi jamrah ‘aqabah, lalu melemparnya dengan tujuh kerikil sambil bertakbir setiap melemparkan satu kerikil, lalu pergi dan tidak berhenti di situ. Az-Zuhriy berkata: ‘Saya mendengar Salim bin ‘Abdillah menceritakan hadits seperti ini dari ayahnya, dari Nabi saw, dan Ibnu ‘Umar melakukan (sebagaimana dilakukan Nabi saw)’.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhariy, Kitab al-Hajj, bab mengangkat kedua tangan, I:198).

 

4- حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ أَنَسٍ وَعَنْ يُونُسَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِذْ قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ هَلَكَ الْكُرَاعُ وَهَلَكَ الشَّاءُ فَادْعُ اللهَ أَنْ يَسْقِيَنَا فَمَدَّ يَدَيْهِ وَدَعَا (رواه البخاري، كتاب الجمعة، باب رفع اليدين، ج:1، ص:109)

 

4. “Diceritakan kepada kami oleh Musaddad, ia berkata: diceritakan kepada kami oleh Hammad bin Zaid, dari ‘Abdil-‘Aziz, dari Anas, dari Yunus, dari Tsabit, dari Anas, dia berkata: Ketika Nabi saw berkhutbah pada hari Jum’at, berdirilah seseorang dan berkata: ‘Hai Rasulullah, lembu-lembu dan kambing-kambing telah mati, dan telah mati pula biri-biri, maka berdo’alah kepada Allah agar Dia memberikan minum kepada kita!’ Kemudian beliau mengulurkan kedua tangannya dan berdo’a.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhariy, Kitab al-Jumu’ah, bab raf’u- yadain, I:109).

 

5- حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ، قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَمْرٍو قَالَ حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ أَصَابَتِ النَّاسَ سَنَةٌ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فِي يَوْمِ اْلجُمُعَةِ فَقَامَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ هَلَكَ الْمَالُ وَجَاعَ الْعِيَالُ فَادْعُ اللهَ لَنَا! فَرَفَعَ يَدَيْهِ وَمَا نَرَى فِي السَّمَاءِ قَزَعَةً فَوَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا وَضَعَهَا حَتَّى ثَارَ السَّحَابُ أَمْثَالَ الْجِبَالِ ثُمَّ لَمْ يَنْزِلْ عَنْ مِنْبَرِهِ حَتَّى رَأَيْتُ الْمَطَرَ يَتَحَادَرُ عَلَى لِحْيَتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَطَرَنَا يَوْمَنَا ذَلِكَ وَمِنَ الْغُدُوِّ وَبَعْدَ الْغُدُوِّ وَالَّذِي يَلِيهِ حَتَّى الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى وَقَامَ ذَلِكَ اْلأَعْرَابِيُّ أَوْ قَالَ غَيْرُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ تَهْدِمُ الْبِنَاءُ وَغَرَقَ الْمَالُ فَادْعُ اللهَ لَنَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا فَمَا يُشِيرُ بِيَدِهِ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنَ السَّحَابِ إِلاَّ انْفَرَجَتْ وَصَارَتِ الْمَدِينَةُ مِثْلَ الْجَوْبَةِ وَسَالَ الْوَادِي قَنَاةً شَهْرًا وَلَمْ يَجِئْ أَحَدٌ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلاَّ حَدَّثَ بِالْجُوْدِ(رواه البخاري، كتاب الجمعة، باب رفع اليدين، ج:1، ص:109)

 

5. “Diceritakan kepada kami oleh Ibrahim ibnul-Munzir, ia berkata: diceritakan kepada kami oleh Abul-Walid, ia berkata: diceritakan kepada kami oleh Abu ‘Umar, dan ia berkata: diceritakan kepadaku oleh Ishaq bin ‘Abdillah bin Abi Thalhah, dari Anas bin Malik, ia berkata: Telah menimpa kepada manusia suatu musibah (kemarau) selama satu tahun pada masa Nabi saw; Maka ketika beliau berkhutbah pada hari Jum’ah berdirilah seorang Arab Badwi lalu berkata: ‘Hai Rasulullah, harta telah habis, dan keluarga kehausan, maka berdo’alah kepada Allah bagi kita! Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya, dan kami tidak melihat sekelompok awan di langit, demi Allah yang jiwaku berada di tangannya, beliau tidak meletakkan kedua tangannya hingga awan menjadi tersebar di atas gunung-gunung, beliau pun tidak turun dari mimbarnya hingga kami melihat hujan menetes di jenggot beliau, maka hujan pun turun kepada kita sehari penuh, dari pagi hingga paginya lagi, dan seterusnya hingga pada hari Jum’at berikutnya.’ Dan berdirilah orang Badwi tadi, atau orang lainnya dan berkata: ‘Hai Rasulullah, bangunan banyak yang rusak, dan harta banyak yang tenggelam, maka berdo’alah kepada Allah bagi kita!’ Kemudian beliau mengangkat tangannya dan bersabda: ‘Ya Allah (turunkanlah rahmat) kepada sekitar kami dan (janganlah menurunkan musibah) di sekitar kami’. Dan tidaklah beliau memberikan isyarat dengan tangannya, melainkan hilanglah kesedihan, dan menjadilah Madinah bagaikan ada suatu lobang dan mengalirlah lembah itu bagaikan  kanal selama satu bulan, dan setiap datang seseorang dari suatu pelosok, ia bercerita tentang kemakmuran.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhariy, kitab Jumu’ah, bab mengangkat kedua tangan, I:109).

 

6- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ بَرِيْدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ بِهِ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعُبَيْدٍ أَبِي عَامِرٍ وَرَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَوْقَ كَثِيرٍ مِنْ خَلْقِكَ مِنَ النَّاسِ (أخرجه البخاري، كتاب الدعوات، باب رفع اليدين، ج:4، ص:72)

 

6. “Disampaikan kepada kami suatu hadits oleh Muhammad ibnul-A’la, disampaikan kepada kami suatu hadits oleh Abu Usamah, dari Barid bin ‘Abdillah, dari Abi Burdah, dari Abi Musa, ia berkata: ‘Nabi saw meminta air untuk wudlu, lalu mengangkat kedua tangannya, lalu berdo’a: Ya Allah, ampunilah ‘Ubaid Abi ‘Amir, dan saya melihat putihnya kedua ketiaknya, lalu berdo’a lagi: Ya Allah, jadikanlah ia pada hari qiyamah di atas kebanyakan manusia dari makhluk-Mu’.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhariy, kitab ad-Da’awat, bab Do’a sesudah wudlu, IV:72).

 

7- حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي بُكَيْرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ (رواه مسلم، كتاب صلاة الاستسقاء، نمرة: 5/895)

 

7. “Diceritakan kepada kami oleh Abu Bakr bin Abi Syaibah, diceritakan kepada kami oleh Yahya bin Abi Bukair, dari Syu’bah, dari Tsabit, dari Anas, ia berkata: ‘Saya melihat Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a, sehingga kelihatan putihnya kedua ketiaknya’.” (Diriwayatkan oleh Muslim, kitab Shalat al-Istisqa’, bab mengangkat tangan, No. 5/895).

 

8- أَخْبَرَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ هُشَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ قَالَ قَالَ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ كُنْتُ رَدِيفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَاتٍ فَرَفَعَ يَدَيْهِ يَدْعُو فَمَالَتْ بِهِ نَاقَتُهُ فَسَقَطَ خِطَامُهَا فَتَنَاوَلَ الْخِطَامَ بِإِحْدَى يَدَيْهِ وَهُوَ رَافِعٌ يَدَهُ اْلأُخْرَى(رواه النسائ، كتاب مناسك الحج، ج: 5: 254)

 

8. “Dikhabarkan kepada kami oleh Ya’qub bin Ibrahim, dari Husyaim, ia berkata: diceritakan kepada kami oleh ‘Abdul Malik, dari ‘Atha, ia berkata: Berkatalah Usamah bin Zaid: ‘Saya membonceng Nabi saw di Arafah, maka beliau mengangkat kedua tangannya sambil berdo’a, lalu untanya condong, dan jatuhlah tali kekangnya, lalu beliau mengambil tali kekang tersebut dengan salah satu tangannya, dan beliau tetap mengangkat tangan lainnya’.” (Diriwayatkan oleh an-Nasa’iy, kitab Manasik al-Hajji, bab Raf’ul-yadain, V:254).

 

9- عَنْ سَلْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِنَّ رَبَّكُمْ حَيٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِ مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا (أخرجه الأربعة إلا النسائ، و صححه الحاكم)

 

9. “Dari Salman ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: ‘Sesungguhnya Tuhanmu adalah Maha Hidup lagi Maha Dermawan, Dia malu kepada hamba-Nya apabila ia berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya, menolaknya dengan hampa’.” (Ditakhrijkan oleh al-Arba’ah, kecuali an-Nasa’iy, dan menurut al-Hakim hadits tersebut adalah shahih; as-Shan’aniy, 1961, IV:219).

 

10- وَ عَنْ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَدَّ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَرُدَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ (أخرجه الترمذى و له شواهد منها عند أبى داود من حديث ابن عباس و غيره و مجموعها يقضي بأنه حديث حسن)

 

10. “Dari ‘Umar ra, ia berkata: ‘Apabila Rasulullah saw menjulurkan kedua tangannya ketika berdo’a, beliau tidak menariknya, hingga mengusap wajahnya dengan kedua tangannya’.” (Ditakhrijkan oleh at-Tirmuziy, hadits tersebut mempunyai beberapa syahid (pendukung) antara lain ialah: Abu Dawud dari Ibni ‘Abbas dan lain-lainnya, dan menurutnya hadits tersebut adalah hasan, As-Shan’aniy, 1961).

 

11- قَالَ أَبُو مُوسَى اْلأَشْعَرِيُّ دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ وَرَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ رَفَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خَالِدٌ قَالَ أَبو عَبْدِ اللهِ وَقَالَ اْلأُوَيْسِيُّ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ وَ شُرَيْكٍ سَمِعَا أَنَسًا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ(رواه البخاري، كتاب الدعوات،  ج:4، ص:68)

 

11. “Berkatalah Abu Musa al-Asy’ariy: ‘Berdo’alah Nabi saw dengan mengangkat kedua tangannya, dan saya melihat putihnya kedua ketiaknya’. Dan Ibnu ‘Umar berkata: ‘Nabi saw mengangkat kedua tangannya (dan berdo’a): Ya Allah, sungguh saya mohon kepada-Mu terbebas dari apa yang dilakukan oleh Khalid. Berkatalah Abu ‘Abdillah; ‘berkatalah al-Uwaisiy: diceritakan kepadaku oleh Muhammad bin Ja’far, dari Yahya bin Sa’id dan Syuraik, keduanya mendengar Anas, dari Nabi saw (bahwa beliau) mengangkat kedua tangannya (ketika berdo’a) hingga aku melihat putihnya kedua ketiaknya.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhariy, kitab ad-Da’awat, IV:68).

 

II      Hadits yang menyatakan tidak mengangkat tangan.

 

1- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ وَعَبْدُ اْلأَعْلَى عَنْ سَعِيدٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلاَّ فِي اْلاِسْتِسْقَاءِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ (رواه مسلم، كتاب صلاة الاستسقاء، نمرة: 5/895)

1. “Diceritakan kepada kami oleh Muhammad bin al-Musanna, diceritakan kepada kami oleh Ibnu Abi ‘Adiy dan ‘Abdul A’la dari Sa’id, dari Qatadah, dari Anas, bahwa Nabi saw tidak mengangkat kedua tangannya sedikitpun ketia berdo’a, kecuali dalam istisqa’ (mohon air hujan) hingga terlihat putihnya kedua ketiaknya.” (Diriwayatkan oleh Muslim, kitab Shalat al-Istisqa’, bab Raf’ul-yadain, No. 5/895.

 

2- حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنِ ابْنِ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ قَتَادَةَ أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ حَدَّثَهُمْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ (رواه مسلم، كتاب صلاة الاستسقاء، نمرة: 6/895)

 

2. “Diceritakan kepada kami oleh Ibnu al-Musanna, diceritakan kepada kami oleh Yahya bin Sa’id, dari Ibni Abi ‘Arubah, dari Qatadah, bahwa Anas bin Malik menyampaikan kepada mereka dari Nabi saw hadits yang sama.” (Diriwayatkan oleh Muslim, kitab Shalat al-Istisqa’, bab Raf’ul-yadain, No. 6/895).

 

Penjelasan :

 

Demikianlah hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a, yang sempat kami kutip. Sebenarnya masih banyak hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a, tetapi hadits-hadits yang kami kutip tersebut sudah cukup untuk dijadikan sebagai dalil untuk memutuskan masalah yang saudara tanyakan itu.

Perlu diketahui bahwa selama ini, dalam memutuskan hukum Muhammadiyah selalu berpegang pada pokok-pokok manhaj sebagai berikut:

1.      Dalam beristidlal, selalu menggunakan sumber pokok, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah as-Shahihah (maqbulah=diterima). Ijtihad dapat dilakukan apabila masalah yang dibahas tidak berkaitan dengan ta’abbudi.

2.      Setiap keputusan harus dilakukan dengan cara musyawarah (ijtihad jama’iy).

3.      Muhammadiyah tidak mengikuti salah satu mazhab dari mazhab-mazhab yang ada, tetapi pendapat para imam mazhab dapat dijadikan sebagai pertimbangan, selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.

4.      Jika dalil-dalil yang dipergunakan tampak adanya ta’arud (pertentangan), maka harus dilakukan al-jam’u wa at-taufiq atau dilakukan tarjih.

Demikanlah sebagian manhaj yang harus diketahui dan dipergunakan dalam mengambil keputusan.

Hadits-hadits yang kami kutip, sebagian besar menyatakan bahwa Nabi saw mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a, dan sebagian ulama, antara lain: al-Qasthalaniy dalam syarah hadits, dan as-Shan’aniy dalam Subulus-Salam, menilainya sebagai hadits shahih, kecuali hadits No. 11, mereka tidak menilainya, apakah shahih ataukah da’if, tetapi Ishaq al-Farayiniy, menilainya secara umum, bahwa semua hadits yang termaktub dalam shahih al-Bukhariy dan Muslim telah disepakati oleh sebagian besar ahli hadits tentang keshahihannya, baik sanad maupun matannya. (al-Qasimiy, 1961, Qawa’id at-Tahdis: 85). Maka hadits No. 11, yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy’ariy adalah shahih, sebab termuat dalam Shahih al-Bukhariy. Sekalipun demikian, masih terbuka untuk menelitinya kembali, sehingga menjadi jelas kedudukannya.

Jika dibandingkan dengan hadits berikutnya, yaitu hadits No. II.1. dan hadits No. II.2., maka tampak adanya ta’arud (pertentangan). Hadits No. 1 sampai dengan No. 11 menyatakan bahwa Nabi saw mengangkat tangannya ketika berdo’a, sedang hadits No. II.1. dan II.2. menyatakan bahwa Nabi saw tidak pernah mengangkat kedua tangannya, kecuali hanya pada waktu istisqa saja.

Karena pada dalil-dalil tersebut tampak adanya ta’arud, maka untuk mengambil keputusan perlu menggunakan metode al-jam’u wa at-taufiq (mengumpulkan dan mengkompromikan) antara kedua dalil yang tampak bertentangan.

Al-Qasthalaniy ketika mensyarah hadits al-Bukhariy tentang mengangkat kedua tangan ketika berdo’a, mengatakan bahwa mengangkat kedua tangan adalah sunnah, berdasarkan hadits-hadits tersebut. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Anas, yang menyatakan  bahwa Nabi saw tidak pernah mengangkat kedua tangannya sedikit pun ketika berdo’a, kecuali pada waktu istisqa’ (mohon hujan), dia menjelaskan bahwa yang ditiadakan ialah sifat khusus, yaitu al-mubalaghah fi ar-raf’i (melebihkan dalam mengangkat kedua tangan), bukan mengangkat tangan pada umumnya, artinya; bahwa Nabi saw ketika berdo’a juga mengangkat tangan, tetapi tidak setinggi ketika berdo’a dalam istisqa’. (al-Qasthalaniy, Syarh al-Bukhariy, IV:68).

As-Shan’aniy, dalam kitabnya Subulus-Salam menjelaskan; bahwa hadits-hadits tentang mengangkat tangan, menunjukkan bahwa mengangkat kedua tangan ketika berdo’a adalah mustahabb, dan hadits-hadits yang memerintahkan agar mengangkat kedua tangan ketika berdo’a jumlahnya cukup banyak. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Anas, yang menyatakan bahwa Nabi saw tidak pernah mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a, kecuali hanya ketika dalam istisqa’, dia menjelaskan bahwa yang dimaksudkannya ialah al-mubalaghah fi ar-raf’i (melebihkan dalam mengangkat kedua tangan), yaitu mengangkat kedua tangannya dengan amat tinggi, dan yang demikian itu tidaklah terjadi kecuali ketika berdo’a dalam istisqa’. Dan hadits-hadits tentang mengangkat kedua tangan telah dikumpulkan dalam satu juz oleh al-Munziriy. (As-Shan’aniy, 1961, IV:219).

Dengan demikian, maka jelaslah bahwa dua kelompok hadits tersebut tidaklah bertentangan (ta’arud), sebab kedua kelompok hadits tersebut masih dapat ditaufiqkan (dikompromikan).

 

Kesimpulan :

 

Mengangkat kedua tangan ketika berdo’a adalah sunnah atau mustahab, dan tidak perlu mengangkat tinggi-tinggi, kecuali pada waktu berdo’a istisqa’.

 

 

Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com.

 

 

PUASA ARAFAH YANG TIDAK BERTEPATAN DENGAN WUKUFNYA JAMA'AH HAJI (2)

 

H. Amin, BA., Kajan Krowe Lambeyan Magetan

Pertanyaan :

Bagaimana hukum puasa Arafah yang tidak bertepatan dengan wukufnya jama’ah haji ?

Jawaban :

Pertanyaan Saudara singkat, tetapi jawabannya agak sedikit panjang, karena ada aspek yang menyangkut ijtihad, di mana sama-sama kita ketahui bahwa “ijtihad itu tidak gugur oleh ijtihad”. Di samping itu, ijtihad sekalipun tidak tepat (benar), tapi mendapat satu pahala bagi orang yang berijtihad, begitu juga yang mengikutinya.

Kalau kita merujuk kepada Sunnah, Nabi SAW menyuruh kita yang tidak sedang melakukan ibadah haji, sunat berpuasa pada hari wuquf, seperti disebutkan dalam hadits berikut;

صَوْمُ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَ مُسْتَقْبَلَةً ( رواه الجماعة)

Artinya: “Puasa Arafah dapat menutup (menghapus dosa) setahun yang lalu dan setahun yang akan datang”. (HR. Al-Jama’ah)

Menurut bunyi hadits tersebut, kita harus berpuasa pada waktu para hujjaj sedang wuquf di Arafah, bukan pada hari sesudah wuquf. Hal ini tidak ada kesulitan jika kita mempergunakan “mathla’ Makkah” dalam penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawwal dan 1 Dzulhijjah. Tetapi, Lembaga Isbat Departemen Agama, begitu juga ormas-ormas Islam yang berpengaruh di Indonesia, memakai mathla’ wilayah Indonesia, bukan mathla’ Makkah. Selama ijtihad kita masih seperti itu, maka ada kemungkinan, kadang-kadang kita berpuasa Arafah tidak tepa pada hari wuquf. Padahal sekarang ini, untuk mengetahui kapan para hujjaj wuquf sangat mudah; dua atau tiga hari sebelum wuquf, Mufti Kerajaan Arab Saudi sudah mengumumkan dan disiarkan ole media cetak dan elektronik ke seluruh dunia. Di Indonesia, baru Al-Irsyad, Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), dan Hizbut Tahrir yang sudah menggunakan mathla’ Makkah khusus dalam menentukan Hari Raya Haji, bahkan juga untuk Hari Raya Idul Fitri.

Dengan uraian singkat di atas, maka dapat ditegaskan bahwa idealnya kita berpuasa pada hari para hujjaj sedang melakukan wuquf, bukan pada hari lainnya, apalagi mengingat selisih waktu antara Arab Saudi dan Indonesia hanya ± 4 jam. Namun demikian, bagi orang yang mengikuti penetapan Pemerintah (Departemen Agama) tidak dapat disalahkan, puasanya mudah-mudahan diterima oleh Allah dan dipandang sah secara hukum.

Insya Allah Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam akan meninjau ulang masalah mathla’ ini pada Munas Tarjih ke-26 yang akan diselenggarakan di Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober mendatang. Kalau mathla’ Makkah dapat diterima, maka kita dapat berpuasa tepat pada hari wuquf dan Hari Raya juga tidak berbeda. Kita harapkan juga, ormas-ormas yang lain mau mengkaji ulang soal ini. Masalah ini (mathla’) adalah termasuk objek ijtihad, karena tidak ada nash yang mengharuskan kita mesti memakai mathla’ negerinya masing-masing. Perlu kami informasikan, sebagai wacana soal tersebut pernah ditulis oleh Saudara Drs. H. Ismail Thaib (Ketua Divisi Fatwa, Hisab, dan Tafsir Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah) dalam Majalah Suara Muhammadiyah No. 06 Th. ke-88, 16-31 Maret 2003.

 

ALLAH SWT. TIDAK BERADA DI ATAS ? (3)

Sujarwo, Batang

Pertanyaan :

            Ada seorang muballigh dari luar Batang menjelaskan bahwa Allah tidak berada di atas, berdasarkan surat Qaf ayat 16. Kami masih ragu-ragu, sebab selama ini kami pahami bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy. Apa pemahaman kami ini yang keliru? Mohon penjelasannya!

 

Jawab :

 

            Sebelum kami jelaskan masalah yang anda tanyakan, kami kutipkan terlebih dahulu ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah bersemayam diatas ‘Arsy dan ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah adalah sangat dekat dengan kita:

إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Sesungguhnya Tuhan kami ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam diatas ‘Arsy…” (al-A’raf (7): 54).

            Ayat-ayat yang menyebutkan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy diulang sebanyak 8 kali, pada surat Yunus (10): 3, ar-Ra’d (13):2, Thaha (20):5, al-Furqan (25):59, al-Qasas (28):14, as-Sajdah (32): 4, Fushilat (41): 11, an-Najm (53): 6 dan al-Hadid (57): 4

            Ayat-ayat tersebut semuanya menjelaskan bahwa Allah bersemayam diatas ‘Arsy.

Adapun ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah adalah dekat disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 5 kali, antara lain ialah:

….وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ…………….

“ … dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya…” (Qaf (50): 16). Kemudian disebutkan pada: surat al-Baqarah (2): 186, Hud (11): 61, Saba’ (34): 50 dan al-Waqi’ah (56): 85.

Ayat-ayat tesebut memberikan pengertian bahwa Allah sangat dekat kepada kita. Jika dilihat secara sepintas, seakan-akan ayat-ayat tersebut bertentangan, anatara ayat yang menyatakan bahwa Allah adalah jauh, dan ayat yang menyatakan bahwa Allah adalah dekat. Sebenarnya ayat-ayat tersebut tidaklah bertentangan, sebab dapat dikompromikan antara satu ayat dengan ayat lainnya.

 

Pengertian ‘Arsy

            ‘Arsy, para ahli bahasa mengartikan ‘Arsy sebagai singgasana, bangunan, istana atau tahta. Kata tersebut berasal dari ‘arasya – ya’rusyu, yang berarti membangun.

            Para ulama berbeda pendapat mengenai makna ‘Arsy; Rasyid Ridha dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ‘arsy adalah pusat pengendalian segala  persoalan semua makhluk Allah SWT di alam semesta, sebagaiman dijelaskan firman Allah pada surat Yunus (10): 3…ثم استوى على العرش… “Kemudian Dia bersemayam dia tas ‘Arsy”

            Gambaran fisik ‘Arsy, merupakan hal gaib yang tiada seorangpun dapat mengetahuinya, kecuali Allah, di mana letaknya dan berapa besarnya. Masalah ‘Arsy telah lama menjadi topik pembicaraan yang kontroversial, apakah ‘Arsy itu bersifat material ataukah bersifat immaterial.

            Hal ini terjadi karena tidak ada penjelasan rinci baik dalam al-Qur’an maupun dalam al-Hadits. Al-Qur’an hanya menjelaskan bahwa al-‘Arsy adalah singgasana. Maka kami berpendapat bahwa kita wajib menyakini keberadaannya, yang hakikatnya hanya diketahui Allah SWT, kita tidak perlu mencari-cari seberapa besarnya dan seberapa jauhnya atau tingginya.

            Dalam ayat-ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah beristiwa’ atau bersemayam di atas ‘Arsy, dan kita wajib beriman kepada-Nya dengan tidak perlu bertanya-tanya bagaimana dan dimana.

            Adapun yang dimaksud dengan qarib, (dekat) ialah: Bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, Dia mendengar perkataan manusia, dan melihat segala macam perbuatannya, tidak ada hijab antara Allah dan manusia, tiada perantara atau wali yang menyampaikan doa’a mereka kepada Allah, tiada yang membantu-Nya dalam mengabulkan permohonan manusia kepada-Nya, Allah akan mengabulkan do’a manusia tanpa perantara seorangpun, apabila sesorang berdo’a kepada-Nya, sebab Allah-lah yang menciptakannya, Dia Maha Mengetahui segala apa yang ada dalam hati setiap orang. Demikianlah yang dimaksud dengan “aqrabu ilaihi min hablil warid”. (lebih dekat kepadanya daripada urat leher) yang disebutkan dalam surat Qaf (50): 16.

            Maka jelaslah, bahwa ayat-ayat tersebut tidak bertentangan antara ayat yang menyatakan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy, dengan ayat yang menyatakan bahwa Allah SWT sangat dekat dengan kita.

 

                                                                                                         BAYAR DAM WAKTU HAJI (4)

Pertanyaan dari Haji Abdul Gani, D.

Jl. Karangpaci Rt. 3 no. 27 Buntok Kal.Sel.

Pertanyaan:

  1. Kapankah waktu membayar dam, sebab diantara kita, ketika membayar dam berbeda-beda, dan siapa yang wajib bayar dam? Mohon dijelaskan lengkap dengan dalilnya!

Jawab:

i.        Jama’ah haji yang melakukan haji Tamattu’, atau haji Qiran, wajib membayar dam, berupa seekor kambing, dan disembelih pada hari nahar (10 Zulhijjah) sebelum tahallul, atau apda hari tasyriq, sebagaimana disebutkan dalam suatu hadis:

وَكُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ (أخرجه أحمد: 16151)

“Seluruh hari tasyriq merupakan hari penyembelihan”. (ditahrijkan oleh Ahmad)

 

Jika tidak mampu menyembelih kambing, maka harus diganti dengan puasa 10 hari. Tiga hari dikerjakan di Makkah, pada waktu haji, dan tujuh hari dekerjakan setelah kembali ketempat asal. Sebagimana disebutkan dalam firmanNya:

...فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ...

“…Apabila kamu telah merasa aman, maka bagi yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji, ia wajib menyembelih korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka ia wajib berpuasa tiga hari pada masa haji, danntujuh hari apabila telah pulang kembali, itulah sepuluh hari penuh”. (al-Baqarah (2): 196)

ii.      Jama’ah haji yangb masih dalam keadaan ihram, tetapi melakkan mencukur/memotong rambut, memotong kuku, memakai pakaian berjahit, memakai parfum (wangi-wangian), wajib membayar dam dengan memilih salah satu diantara menyembelih seekor kambing, berpuasa tigahari, atau memberi makan 6 orang miskin, masing-masing 3 sha’ (9,3 liter), sebagaimana diatur dalam firman Allah:

...فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ..

“Barangsiapa diantara kamu sakit, atau terdapat penyakit dikepalanya, wajiblah ia membayar fidyah, yaitu puasa, bersedekah atau menyembelih kambing”. (al-Baqarah (2): 196)

Dalam hadis Nabi disebutkan lebih rinci:

عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ رَضِي اللَّهم عَنْهم أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِهِ زَمَنَ الْحُدَيْبِيَةِ فَقَالَ لَهُ آذَاكَ هَوَامُّ رَأْسِكَ قَالَ نَعَمْ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْلِقْ رَأْسَكَ ثُمَّ اذْبَحْ شَاةً نُسُكًا أَوْ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ أَوْ أَطْعِمْ ثَلَاثَةَ آصُعٍ مِنْ تَمْرٍ عَلَى سِتَّةِ مَسَاكِينَ(أخرجه مسلم)

“Dari Ka’b bin ‘Ujrah, bahwa Nabi saw bersabda:” Cukurlah rambutmu, kemudian sembelihlah seekor domba sebagai ibadah, atau berpuasalah 3 hari atau memberi makan sebanyak tiga sha’ kurma kepada 6 orang miskin”. (ditahrijkan oleh Muslim, kitab al-Hajj)

iii.    Jama’ah haji yang terhalang jalannya sehingga tdak dapat meneruskan haji atau umrah, wajib membayar dam dengan cara menyembelih seekor kambing dan mencukur rambut, dan penyembelihannya ditempat terhalang, sebagimana disebutkan dalam firmanNya:

..فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ

“Apabila kamu terhambat (terhalang olehmusuh atau karena sakit) maka (sembelihlah kurban) yang mudah didapat, dan janganlah mencukur kealamu sebelum kurban sampai ditempat penyembelihannya”. (al-Baqarah (2): 196

iv.    Apbila membunuh binatang liar, wajib membayardam denga menyembelih binatang yang nilainya sebanding dengan binatang liar yang dibunuhnya, dan penyembelihannya dilakukan ditanah haram. Apabila tidak dapat menyembelih binatang, maka diganti dengan memberi makan fakir miskin seniali binatang yang dibunuh, atau berpuasa sebanyak hari nilai binatang yang dibunuh, dengan perhitungan, setiap seperempat sha’ (gantang) sama dengan satu hari, sebagimana disebutkan dalam:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ ...

“Hai orang-orang yang beriman, jangnlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantar kamu membunuhnyadengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbnag dengan burun yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu sebagai hadya, yag dibawa sampai Ka’bah, atau denda membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seibang dengan mekanan yang dikeluarkan itu, supay dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya …(al-Ma’idah (5): 95)

v.      Apabila mengumpuli isteri sebelum tahallul, maka selain hajinya batal, ia jiga wajib membayar dam, dengan cara menyembelih unta, jika tidak bisa, diganti dengan menyembelih sapi, jika tidak bisa, diganti dengan menyembelih tujuh ekor kambing. Jika tidak bisa juga, diganti dengan berpuasa sebanyak nilai unta, dengan perhitungan setiap seperempat sha’ (gantang) sama dengan satu hari. Cara ini berdasarkan ftawa Umar, Ali dan Abu Hurairah.

 

 

  1. Menurut seorang muballigh, ganjaran salat di masjid al-Haram adalah 100.000 lipat bila dibandingkan dengan ganjaran salat dimasjid lainnya, sedang menurut muballigh lainnya, ganjarannya sama. Mohon penjelasan dengan dalil-dalilnya!

Jawab:

            Jika dilihat dari latar belakang pembangunannya, maka masjid dapat dibagi menjadi dua macam:

  1. Masjid yang dibangun atas dasar taqwa; masjid inilah tempat ibadah yang diridahi Allah SWT, sebagaimana ditegaskan dalm firmannya:

...لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ...

“. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya”

 

  1. Masjid yang dibangun ats dasar kemadaratan; masjid inilah yang disebut masjid dirar, sebagimana disebutkan dalam firmanNya:

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ. لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ..

“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan mesjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu'min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu'min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).Janganlah kamu bersembayang dalam masjid itu selamanya…

            Dari kedua ayat tersebut, jelaslah bahwa masjid yang dibangun dimuka bumi ini berbeda-beda tingkatannya, sesuai dengan motivasi pembangunannya.

            Rasulullah saw pun membedakan antara satu masjid dengan masjid lainnya, sehingga ada masjid yang lebih utam untuk berziarah kepadanya, seperti Masjid al-Haram, Masjid al-Nabawiy dan Masjid al-Aqsa, sebagaimana disebutkan dalam suatu hadis:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهم عَنْهم عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى(أخرجه البخاري)

“Dari Abi Hurairah ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: Tidak disunnahkan bepergian (berziarah) kecuali kepada tiga masjid, yaitu: al-Masjid al-Haram, Masjid Rasul saw dan al-Masjid al-Qqsa”. (ditahrijkan oelh al-Bukhari, kitab al-Kusuf, bab fadlu ashshalah, I: 135)

            Dalam hadis lainnya disebutkan sebagai berikut:

عن أَبَا هُرَيْرَةَ يُخْبِرُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا يُسَافَرُ إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْكَعْبَةِ وَمَسْجِدِي وَمَسْجِدِ إِيلِيَاءَ (أخرجه مسلم)

“Dari Abi Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: Bepergian (ziarah yang disunnahkan) hanyalah kepada tiga masjid, yaitu: Masjid al-KA’bah, Masjidku dan Masjid Iliya’ (Aqsha)”. (ditahrijkan oleh Muslim, I, kitab al-Hajj, no. 511/1397: 636)

            Hadis tersebut menunjukkanadanya perbedaan antara satu masjid dengan lainnya. Ada masjid yang dibangun atas dasar taqwa kepada Allah SWT, ada masjid yang dibangun untuk memecah belah umat Islam atau atas dasar kufur. Ada pula masjid yang dibangun nilainya sangat tinggi, sehingga jika beribadah dimasjid tersebut pahalanya seratus ribu kali pahala dimasjid lainnya, sebagaimana diungkapkan dalam hadis Nabi saw:

الصلاة في المسجد الحرام بمائة ألف صلاة رواه الصلاة في مسجدي بألف صلاة والصلاة في بيت المقدس بخمستمائة صلاة

“Salat di al-Masjid al-Haram pahalanya seratus ribu salat, dan salat di masjidku pahalanya seribu salat dan salat di Bait al-Maqdis lima ratus salat (jika dibandingkan edngan masjid lainnya)”. (ditahrijkan oleh al-Bazzar, dari Abi Darda’; as-Shan’aniy, 1960, II: 177)

            Menurut at-Tahawiy, yang dimaksudkan dengan salat pada hadis tersebut ialah salat fardu, sebab salat sunnah yang paling utama adalah dirumah sendiri.

 

 

  1. Sebagian muballigh menyatakan bahwa berdo’a di Raudah di Masjid Nabawiy do’anya makbul. Tetapi sebagian muballigh mengatakan, bahwa tidak perlu menggunakan tempat tertentu untuk berdo’a, asalkan sudah masuk masjid sudah cukup, dan makbul. Manakah yang benar?

Jawab:

            Sebelum menjawab pertanyaan saudara, baiklah kami kutipkan bebrapa persyaratan berdo’a. menurut jumhur ulama, persyaratan berdo’a antar lain ialah:

i.        Beriman kepada Allah SWT dan memenuhi kewajiban-kewajiban kepadaNya dan meninggalkan larangan-laranganNya, sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

ii.      Berdo’a langsung kepada Allah SWT tanpa perantara, sebagaimana ditegaskan dalam firmaNya:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan

iii.    Memperbanyak istighfar (mohon ampunan) kepada Allah SWT, sebagaimana diperintahkan Allah SWT:

اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا . يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا . وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا

"Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, --sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun--, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat,dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula didalamnya) untukmu sungai-sungai.

iv.    Meyakini bahwa do’a yang diucapkan itu akan dikabulkan Allah SWT, sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya:

...ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُم ْ...

…"Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu….

v.      Berdo’a disertai dengan berusaha, sebagaimana ditegaskan dalam firmaNya:

...إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ...

…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri….

Demikianlah persyaratan bagi seseorang yang berdo’a kapada Allah SWT. Apabila persyaratan tersebut terpenuhi, niscaya Allah akan mengabulkan do’anya, kapan dan dimanapun ia berdo’a, dimasjid, drumah, di al-Masjid al-Nabawiy atau di al-Masjid al-Haram. Karena waktu dan tempat beribadah berbeda keadaanya, maka tentu saja ada waktu yang afdal, dan ada pula tempat yang afdal, seperti diisyaratkan dalam hadis Nabi saw:

            Waktu yang afdal untuk berdo’a:

  1. Pada hari Jum’at, sebagaimana diungkapkan dalam suatu hadis:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ فِيهِ سَاعَةٌ لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَأَشَارَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا*

“Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw membicarakan hari Jum’at, maka beliau bersabda: Pada hari Jum’at terdapat suatu saat yang tidak dijumpai oleh seorang muslim yang sedang melakkan salat danberdo’a (memohon) sesuatu kepada Allah, kecuali Dia mengabulkan do’anya, dan beliau mengisyaratkan dengan tangannya bahwa saat itu sangat singkat”. (ditahrijkan oleh al-Bukhariy, kitab Jum’at, 1:224)

  1. pada waktu antara azan dan iqamat, sebagaiman disebutkan dalam suatu hadis Nabi:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُرَدُّ الدُّعَاءُ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ( رواه أبو داود)

“Diriwaytkan dari Anas bin Malik, ia berkata: Rasululah saw bersabda: “Tidak ditolak do’a yang dipanjatkan antara azan dan iqamat”. (diriwaytkan oelh Abu Dawud, at-Tirmizi dan Ahmad; Sunan Abi Dawud, I,  kitah ash-Shalah, no.521)

  1. Pada waktu sujud, sebagiamana disebutkan dalam suatu hadis:

عَنْأَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ( أخرجه مسلم )

“Dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda:” Saat seorang hamba yang paling dekat dengan Tuhannya, ialah ketika ia bersujud, maka perbanyaklah do’a (ketika itu)”. (ditahrijkan oleh Muslim, no. 482, bab ar-Ruku’)

  1. Waktu sepertiga malam terakhir, sebagimana diungkapkan dalam suatu hadis:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهم عَنْهم أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ (أخرجه البخاري)

“ Dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tuhan kita yang Maha Pemberi berkah dan Maha Agung turun ke langit dunia setiap malam, ketika tersisa sepertiga malam akhir, seraya berfirman: Barangsiapa berdo’a kepada-Ku maka akan Aku kabulkan. Barangsiap meminta kepada-Ku maka akan Aku beri, dan barangsiapa mohon ampun kepada-Ku, maka akan Aku ampuni”. (ditahrijkan oleh al-Bukhariy, kitab al-Tahjjud, no. 1145)

  1. Ketika berpuasa, sebagimana diungkapkan dalam suatu hadis:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ يَرْفَعُهَا اللَّهُ دُونَ الْغَمَامِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَتُفْتَحُ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَيَقُولُ بِعِزَّتِي لَأَنْصُرَنَّكِ وَلَوْ بَعْدَ حِينٍ(رواه إبن ماجه)

“Dari Abi Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:” Tiga kelompok yang do’anya tidak ditolak (oleh Allah): Orang yang berpuasa hingga berbuka, Pemimpin yang adil, dan do’a orang yang teraniaya. Allah mengangkat do’a (mereka) diats awan dan membukakan baginya pintu-pintu langit, kemudian Tuhan berfirman:”Demi keagungan-KU Aku benar-benar akan menolongmu walaupun sesudah ini”. (Ibnu Majah, no. 1742)

Hadits-hadits tersebut memberi pengertian bahwa ada waktu-waktu tertentu yang lebih baik untuk berdo’a kepada Allah.

Adapun tempat tertentu yang lebih baik untuk berdo’a, dapat dilihat pada hadis yang menyatakan bahwa salat di Masjid Nabawiy pahalanya 1000 kali salat di masjid lainnya, salat di al-Masjid al-Haram pahalnya 100.000 kali dansalat dimasjid al-Aqsa pahalanya 500 kali, mengisyaratkan bahwa ada tempat-tempat tertentu yang afdal, walaupun tidak dijelaskan secara eksplisit. Do’a yang dilakkan Rasulullah ditempat tertentu, juga menunjukkan bahwa tempat tersebut adalah terbaik untuk berdo’a, misalnya Nabi mendirikan salat di Maqam Ibrahim ketika bertawaf, kemudian di Shafa, ketika bersa’i. Setelah sampai di Muzdalifah beliau berdo’a dibukit Quzah, Rasulullah juga berdo’a di dekat Jamrah. (Hadis ini ditahrijkan oleh al-Bukhariy dan Muslim, diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah, maaf tidak kami kutip karena hadis tersebut sangat panjang)

Hadits tentang Raudah juga mengiyaratkan adanya tempat tetentu yangsangat baik untuk berdo’a, sebagaimana diungkpakan dalamsuatu hadis:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ الْمَازِنيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ*( أخرجه مسلم)

“Dari Abdillah bin Yaid al-Maziniy, bahwa Rasulullah bersabda: “Antar rumahku dan mimbarku adalahsuatu raudah (kebun) dari sebagian kebun-kebun di surga”. (ditahrijkan oleh Muslim, I, Kitab al-Hajj, no. 500/1390: 633)

            Hadis tersebut memang tidak menetapkan bahwa Raudah adalah tempat yang sangat baik untuk berdo’a, tetapi terdapat isyarat kuat bahwa tempat tersebut mempunyai keistimewaan, sebab jika tidak mempunyaikeistimewaan, niscaya Rasululah saw tidak menjelaskan secara khusus. Dari sinilah jumhur ulama berpendapat bahwa Raudah yang berada di Masjid an-Nabawiy tersebut merupakan tempat yang sangat baik untuk berdo’a. tetapi tidaklah berarti bahwa berdo’a dilain tempat tidak makbul. Sebab berdo’a dmana saja asal memenuhi persyaratan berdo’a, niscaya dikabulkan Allah SWT.


                                                                      MELEPAS BAJU IHRAM TIDAK PADA WAKTUNYA    (5)                               

H. Abdul Gani, Jl. Karangpaci RT. 3 No. 27 Buntok Kalimantan Tengah

 

Pertanyaan :

 

Orang yang memakai pakaian ihram untuk berhaji menuju ke Arafah pada tanggal 8 Dzulhijjah, menurut ketentuan kloter, para jamaah akan diberangkatkan pada jam 10 waktu setempat. Karena lama menunggu tidak berangkat pada jam tersebut, maka pakaian ihram yang dipakai tadi dilepasnya, sedang dia telah berniat. Yang kami tanyakan, apakah orang tersebut dikenakan dam ?

 

Jawaban :

 

Karena Saudara tidak menjelaskan pakaian yang mana yang dilepas, apakah semuanya ataukah hanya pakaian bagian atas saja, maka kami perkirakan yang dilepas mungkin hanya bagian atas saja, sebab tidak mungkin melepas semuanya.

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut kami kutipkan lebih dahulu, larangan-larangan bagi orang yang berihram. Adapun larangan-larangan bagi orang yang berihram yang mengakibatkan wajib membayar dam ialah;

1. Memakai pakaian yang berjahit menyarung bagi laki-laki, sebagaimana diungkapkan dalam suatu hadits;

 

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ مَا يَلْبَسُ اْلمُحْرِمُ مِنَ الثِّيَابِ؟ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَلْبَسُ الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ  وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ اْلخِفَافَ إِلاَّ أَحَدٌ لاَ يَجِدُ نَعْلَيْنِ فَيَلْبَسُ خُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ الْكَعْبَيْنِ وَلاَ تَلْبَسُوا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ أَوْ وَرْسٌ ( رواه البخاري، كتاب الحج : 1542 )

            Artinya: “Dari Abdullah bin ‘Abbas r.a.: Bahwa ada seorang laki-laki bertanya; ‘Hai Rasulullah, pakaian apasaja yang boleh dipakai oleh orang yang berihram?’ Rasulullah SAW menjawab: ‘Tidak boleh memakai qamis (hem, baju kurung, kaus), serban (kerudung, kupiyah, dan tutup kepala lainnya), celana, topi, dan sepatu, kecuali apabila tidak menemukan sepasang sandal, maka boleh memakai sepasang sepatu dan hendaklah memotong bagian bawah mata kaki kedua sepatu tersebut, dan janganlah memakai baju yang terkena za’faran dan waras (parfum)’.” (HR. Al-Bukhariy, Kitab al-Hajji, No. 1542).

 

2. Menutup kepala bagi laki-laki, menutup wajah dan tapak tangan bagi perempuan.

Larangan menutup kepala telah tercakup dalam hadits di atas, yaitu tentang larangan memakai ‘imamah (serban). Adapun larangan menutup muka dan tapak tangan bagi perempuan, disebutkan dalam hadits Nabi sebagai berikut;

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَلاَ تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ

( رواه البخاري، كتاب الحج : 1542 )

Artinya: “Rasulullah SAW bersabda: ‘Janganlah menutup muka perempuan yang berihram, dan janganlah memakai kaus tangan’.” (HR. Al-Bukhariy)

 

3. Memakai parfum, baik bagi laki-laki maupun perempuan, sebagaimana disebutkan dalam hadits tesebut di atas.

 

4. Mencukur rambut dan memotong kuku, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya;

وَلاَ تَحْلِقُوْا رُءُوْسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ ( البقرة {2}:196)

Artinya: “Janganlah kamu mencukur rambut kepalamu sebelum hadyu (kurban) sampai ke tempat penyembelihan.” (Al-Baqarah {2}:196).

 

5. Membunuh binatang buruan, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya;

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا لاَ تَقْتُلُوْا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ ( المائدة {5}:95)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang berihram …” (Al-Maidah {5}:95)

 

6. Menikah / menikahkan, sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits;

عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَنْكِحُ الْمَرْأَةُ وَلاَ يُنْكِحُ وَلاَ يَخْطُبُ ( رواه مسلم )

Artinya: “Dari ‘Usman r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Orang yang sedang berihram tidak boleh menikah dan tidak boleh pula menikahkan, dan tidak boleh melamar’.” (Ditakhrijkan oleh Muslim, dari ‘Usman; as-San’aniy, II: 102).

 

7. Hubungan persebadanan dengan istri dan bercumbu rayu sebelumnya, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya;

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوْقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ

Artinya: “Musim hajji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan hajji, maka tidak boleh melakukan rafas (bersetubuh dan bercumbu rayu), berbuat fasiq, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan hajji.” (al-Baqarah {2}:197).

Para ulama sependapat bahwa hubungan persebadanan membatalkan haji, dan di samping wajib membayar dam, juga wajib mengulangi haji di tahun berikutnya, sedang bercumbu rayu hanya wajib membayar dam.

Demikianlah larangan-larangan bagi orang yang berihram, maka jika hanya melepas pakaian sebelah atas saja, selama tidak melanggar larangan-larangan tersebut, tidaklah wajib membayar dam.

Adapun waktu pembayaran dam adalah pada hari Nahar (tanggal 10 Dzulhijjah), sebelum tahullul, atau pada hari-hari tasyriq. Apabila tidak mampu menyembelih kambing, di ganti dengan puasa 10 hari; tiga hari di tanah suci pada waktu haji, dan 7 hari di tempat asal (Tuntunan Manasik Haji Tim Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, hal. 99).

 

TALAK DAN RUJU (6)

Sucipto Abdullah, Ambarawa

 

Pertanyaan :

 

  1.     Bagaimana hukum menjatuhkan talak oleh suami kepada istrinya pada suatu tempat, sementara ia sedang dalam keadaan emosi ?

  2.     Bagaimana pula proses rujuknya, jika suami ingin rujuk kepada istrinya ?

 

 

Jawaban :

 

Ada dua hal yang perlu dipahami dalam menetapkan hukum masalah di atas, yaitu pertama, tentang emosi, dan yang kedua, tentang syarat-syarat jatuhnya suatu talak.

Emosi merupakan perasaan batin yang terus menerus timbul dari hati seseorang, bukan timbul dari akal pikiran (otak). Karena itu suatu emosi yang timbul pada seseorang mungkin tidak menutup akal pikiran dan mungkin pula dapat menutup akal pikiran. Jika seorang suami yang sedang dalam keadaan emosi yang tidak menutup akal pikirannya menjatuhkan talak kepada istrinya, maka talaknya akan jatuh. Sebaliknya, suami yang dalam keadaan emosi yang menutup akal pikiranya, maka talaknya tidak jatuh.

Dalilnya adalah orang yang dalam keadaan emosi yang tertutup akal pikirannya disamakan dengan orang yang sedang mabuk. Orang yang sedang mabuk jika ia melakukan perbuatan penting seperti shalat, maka shalatnya tidak sah, karena akal pikirannya tertutup karena mabuknya itu. Dasarnya ialah firman Allah SWT.:

يَآيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَقْرَبُوا الصَّلاَةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan …” (QS. An-Nisaa {4} : 43).

Demikian juga halnya dengan talak yang dijatuhkan suami dalam keadaan emosi yang pikirannya sedang tertutup, maka talaknya tidak jatuh, berdasarkan hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلعم: كُلُّ الطَّلاَقِ جَائِزٌ إِلاَّ الطَلاَقُ اْلمَعْلُوْبُ عَلَى عَقْلِهِ

Artinya; “Dari Abu Hurairah dan Nabi SAW bersabda: ‘Setiap talak (yang dijatuhkan suami) adalah sah, kecuali talak (suami) yang tertutup akalnya’.” (HR. At-Tirmuzi dan Al-Bukhari, hadits ini mauquf).

Dalam pada itu talak yang dijatuhkan suami hendaklah resmi, dalam arti lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya. Di antara rukun talak itu ialah dihadiri oleh dua orang saksi laki-laki. Allah SWT berfirman:

وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ

Artinya; “… Saksikanlah dengan dua orang saksi di antara kamu, dan lakukanlah persaksian itu karena Allah ….” (QS. Ath-Thalaq {65}:2)

Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 30 dan 39, maka setiap perceraian dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama atas ketetapan dan keputusan hakim, j.o. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama bagian kedua, paragraf 1 pasal 65, dan Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Bab XVI bagian kesatu paal 115.

Dengan demikian, maka talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya itu tidak sah menurut hukum yang berlaku di Indonesia. Seandainya talak itu dilakukan sesuai hukum yang berlaku di Indonesia, maka rujuknya dicatat dan dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah dan disaksikan oleh dua orang saksi, sesuai dengan Bab XVIII bagian kesatu pasal 164, 165, dan 166.

 

Kesimpulan

 

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:

  1.     Jika talak itu dijatuhkan oleh suami yang dalam keadaan emosi yang akal pikirannya telah tertutup, maka talaknya tidak jatuh.

  2.     Jika talak itu dijatuhkan oleh suami dalam keadaan emosi yang tidak tertutup akal pikirannya, maka talak itu pun juga tidak jatuh, karena tidak disaksikan oleh dua orang saksi. Bila talak itu dilakukan secara resmi dengan arti lengkap rukun dan syaratnya, maka talak itu jatuh. Talak yang jatuh satu kali atau dua kali dapat dirujuk oleh suami.

  3.     Talak yang dilakukan di luar pengadilan, maka tidak sah talaknya.

  MENGIKUTI SEORANG ULAMA KARISMATIK, FANATIK TERHADAP MADZHAB DAN PARTAI YANG BERASASKAN ISLAM (7)

Muhammad Mukhtar, Darungan, Jember, Jawa Timur.

 

Pertanyaan :

  1.     Hukum mengagumi dan mengikuti seorang ulama atau kyai kharismatik, yang sekarang telah menjadi kyai sekuler.

  2.     Hukum fanatik terhadap madzhab atau ormas tertentu.

  3.     Partai apa saja yang berdasar Islam ?

 

Jawaban :

Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, akan didahulukan menjawab pertanyaan kedua, yaitu hukum fanatik terhadap suatu madzhab atau ormas tertentu. Ada dua kata yang perlu diterangkan artinya dalam menjawab pertanyaan ini, yaitu kata ‘fanatik’ dan kata ‘madzhab’. Pada kamus umum bahasa Indonesia susunan Poerwodarminto terbitan Balai Pustaka tahun 1976 halaman 280, diterangkan bahwa arti fanatik ialah teramat sangat kuat kepercayaan (keyakinan) seseorang terhadap suatu ajaran, politik, agama dan sebagainya. Keyakian atau kepercayaan yang sangat kuat itu biasanya menimbulkan kepicikan dalam berpikir, sehingga kurang atau bahkan kadang-kadang tidak lagi menggunakan akal dan budi dalam mengikuti suatu ajaran, politik, agama dan sebagainya. Biasanya kefanatikan itu menimbulkan pengkultusan terhadap sesuatu benda, tempat, kelompok, golongan, keturunan, atau terhadap seseorang tertentu, seakan-akan yang dikultuskan itu adalah keramat, sakti, dan melebihi manusia biasa.

Fanatik yang demikian itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Al-Qur’an dan as-Sunnah memerintahkan kaum muslimin agar selalu menggunakan akal dalam memahami segala sesuatu yang ada, termasuk dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah beserta seluruh ciptaan Allah SWT. Allah SWT berfirman :

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ(191)

Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran {3} : 190-191)

Banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan kita agar menggunakan akal dan pikiran. Orang yang suka menggunakan akal dalam memikirkan sesuatu adalah orang yang suka tafakkur. Tafakkur menghasilkan ilmu dan kecerdasan, sedang fanatik menghasilkan kebodohan. Hal ini dipahami dari hadis :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا { متفق عليه }

Artinya : “Dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash, berkata : Aku telah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda : ‘Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dengan serta merta dari hamba-hamba-Nya, tetapi ilmu itu tercabut dengan matinya para ulama. Sehingga apabila tidak ada orang alim, orang-orang mengangkat pemimpin yang bodoh, maka apabila ditanya, mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan’”. (Muttafaqun ‘alaih)

Kyai yang sekuler sebenarnya sama dengan orang yang tidak berilmu lagi sehingga fatwanya tidak layak lagi diikuti, apalagi telah bertentangan atau tidk sesuai lagi dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Abu Bakar r.a. berkata : “Ikutilah aku selama aku mengikuti Allah. Apabila aku durhaka kepada Allah tidak ada lagi kewajibanmu mengikutiku”. Para Imam mujtahid seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lain-lain, semua berfatwa yang isinya menyatakan bahwa ikutilah pendapat mereka selama pendapat mereka itu sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Kedua ialah kata ‘madzhab’. Kata ‘madzhab’ berasal dari kata dzahaba, yadzhibu, dzahaban, dzuhuban dan madzhaban, yang berarti pergi berjalan, berlalu, bahkan kadang-kadang berarti mati, sesuai dengan konteks dan pemakaiannya dalam suatu kalimat. Kemudian para ahli fiqih menjadikan kata ‘madzhab’ sebagai kata istilah yang berarti pendapat seorang mujtahid, kemudian pendapat itu diikuti oleh orang banyak atau suatu kelompok orang, karena mereka percaya kepada kebenaran pendapat itu. Dalam perjalanan sejarah ada kelompok orang yang tetap berpegang kepada arti ‘madzhab’ yang sebenarnya, yaitu mengikuti pendapat mujtahid yang dipercayainya itu, selama belum ada dalil yang lebih kuat yang dapat merubah pendapat itu, jika ada dalil yang lebih kuat maka meninggalkan pendapat itu dan ada pula kelompok orang yang tidak lagi mengikuti pendapat tersebut keseluruhannya, tetapi mereka tetap menamakan kelompok mereka dan membangsakan diri kepada imam ‘madzhab’ tersebut.

Pada masa Rasulullah s.a.w., masa Khulafaurrasyidin, masa tabi’in, masa tabi’it tabi’in, masa atba’ut tabi’in, masa imam-imam mujtahid belum dikenal kata ‘madzhab’ yang diartikan seperti arti yang sekarang. Kata ‘madzhab’ dikenal dengan arti yang sekarang mulai pada abad keempat Hijriyah (Munawar Khalil, 1956). Pada waktu itu pemerintah Bani Abbas dalam keadaan lemah, banyak daerah yang melepaskan diri dari kekuasaannya, seperti pemerintahan bani Saman di Turkistan, pemerintahan Bani Fathimiy di Afrika Utara, pemerintahan Buwaihi yang menguasai daerah Irak dan sebagainya. Pemerintahan Bani Abbas yang lemah ini mendapat serangan dari bangsa Tartar yang dipimpin Hulagu Khan, maka jatuhlah Kota Baghdad ke tangan mereka (656 H), dan Khalifah al-Mu’tashm dibunuh.

Maka timbullah kemunduran di dunia Islam dalam segala bidang. Di kalangan para ulama timbul pendapat bahwa mulai dari generasi mereka sampai akhir zaman nanti tidak akan muncul lagi para mujtahid sebagaimana para mujtahid yang hidup pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, seperti Abu Hanifah (80-150 H), Malik bin Anas (93-179 H), Asy-Syafi’i (150-204 H), Ahmad bin Hanbal (164-241 H), dan lain-lain. Karena itu mereka berpendapat cukup mengikuti pendapat para imam mujtahid itu yang telah dibukukan oleh murid-murid mereka. Sejak itu para murid dan pengikut seorang imam mujtahid membanggakan dan mengagungkan imam-imam mereka masing-masing, seakan-akan imam mereka lebih dari imam yang lain. Pengikut-pengikut dan murid-murid imam mujtahid itulah yang mendirikan ‘madzhab’ sekalipun dalam pikiran imam mujtahid yang diagungkan mereka itu semasa hidupnya tidak pernah membayangkan bahwa mereka akan dijadikan imam suatu ‘madzhab’ (Muhammad Abu Zahrah, 1956).

Bila dilihat sejarah kehidupan para imam mujtahid itu dan murid-muridnya, mereka hanya beda pendapat dalam menetapkan hukum suatu masalah, namun mereka saling menghormati pendapat-pendapat itu. Begitu pula dalam kehidupan, mereka saling tolong-menolong. Abu Hanifah, Ja’far ash-Shadiq, Malik bin Anas berteman, bergaul bersama dan saling berdiskusi pada Madrasah Ahlul Bait di Madinah. Asy-Syafi’i, seorang pemuda yang cerdas di Mekah, tetapi miskin, oleh walikota Mekah dititipkan pada Malik bin Anas di Madinah. Maka Asy-Syafi’i tinggal dan belajar di rumah Malik bin Anas selama 9 tahun. Asy-Syafi’i pernah diselamatkan dari hukuman pancung oleh Abu Yusuf (murid Abu Hanifah dan ketua Mahkamah Agung Khalifah Bani Abbas waktu itu). Kemudian Asy-Syafi’i tinggal di rumah Abu Yusuf dan berguru kepadanya. Setelah Abu Yusuf meninggal dunia beliau berguru kepada Muhammad Hasan Asy-Syaibani, murid Abu Hanifah dan teman Abu Yusuf. Pada perguruan Muhammad bin Hasan inilah Asy-Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal, dan terjalinlah hubungan yang erat antara keduanya. Ahmad bin Hanbal memperkirakan bahwa tidak lama lagi Makmun akan diangkat memjadi khalifah. Sebagai seorang mu’tazilah, ia akan menangkap lawan-lawan politiknya termasuk golongan ahli sunnah. Karena itu Ahmad bin Hanbal menganjurkan kepada Asy-Syafi’i agar segera meninggalkan Kufah, dan sebaiknya pergi ke Mesir. Anjuran ini diterima oleh Asy-Syafi’i dan beliau pergi ke Mesir dan tinggal di rumah teman Ahmad bin Hanbal. Asy-Syafi’i memberi gelar Abu Hanifah dengan “‘Iyaalu ahlil fiqh” (cikal bakal ahli fiqh), sebagai tanda betapa tingginya penghargaan Asy-Syafi’i kepada Abu Hanifah. Dikatakan bahwa pendapat Asy-Syafi’i merupakan sintesa dari pendapat Abu Hanifah dan pendapat Malik.

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa fanatik kepada suatu madzhab itu tidak diajarkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Yang boleh kita lakukan ialah ittiba’ (mengikuti) pendapat para ulama selama kita yakin bahwa pendapat yang dikemukakan oleh ulama atau kyai itu tidakmenyalahi al-Qur’an dan as-Sunnah. Pada saat kita mengetahui bahwa pendapat ulama atau kyai itu tidak sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah kita wajib meninggalkannya.

 

Jawaban pertanyaan pertama : Hukum mengagumi dan mengikuti seorang ulama atau kyai kharismatik yang sekarang telah menjadi kyai  sekuler.

 

Jawaban :

Menurut ajaran Islam bahwa kita wajib taat dan patuh kepada Allah SWt dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad s.a.w.. Tunduk dan patuh kepada Allah, tuntunan dan petunjuknya terdapat dalam al-Qur’an. Sedang tunduk dan patuh kepada Rasulullah berarti kita melaksanakan perkataan, perbuatan, dan taqrirnya yang terdapat dalam as-Sunnah yang shahih dan maqbul. Yang dimaksud dengan taqrir Nabi s.a.w. ialah perkataan dan perbuatan Shahabat yang diketahui oleh Rasulullah tetapi Rasulullah tidak memberikan reaksi (tidak membenarkan dan tidak menyalahkan) terhadapnya.

Seabagaimana diketahu bahwa perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi s.a.w. itu mulai dibukukan pada permulaan abad kedua Hijriyah dan berakhir pada akhir abad ketiga Hijriyah. Hal ini berarti bahwa selama lebih dari satu abad Sunnah itu berada dalam hafalan Shahabat, kemudian diajarkan dan dihafal oleh Tabi’in. Kemudian Tabi’it Tabi’in mempelajari dan menghafal setelah menerima dari Tabi’in. Hal yang demikian dilakukan pula oleh Atba’ut Tabi’it Tabi’in sampai kepada perawi dan perawi membukukannya. Dengan demikian as-Sunnah sampai dibukukan terjadi alih hafal sekurang-kurangnya lima generasi, yaitu generasi Shahabat, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in, generasi Atba’ut Tabi’it Tabi’in dan generasi perawi. Sebagaimana diketahui bahwa manusia itu tidak sama kemampuannya dan tidak sama pula nilainya. Ada yang pintar, ada yang kurang, ada yang banyak ilmunya ada yang kurang, ada yang dapat dipercaya, dan ada pula yang tidak dapat dipercaya, ada yang kuat hafalannya, ada yang kurang kuat dan sebagainya. Perbedaan tingkatan kemampuan dan nilai para sanad hadis ini menimbulkan perbedaan penilaian terhadap hadis yang sampai kepada kita. Karena itulah sebelum suatu hadis diamalkan perlu diteliti lebih dahulu, apakah hadis itu shahih sanadnya dan dapat diterima dengan arti tidak berlawanan dengan nash yang lebih kuat daripadanya.

Untuk meneliti sanad dan matan suatu hadis dapat dilakukan kaum muslimin pada masa kini, karena telah tersedia buku-buku yang menerangkan riwayat hidup orang-orang yang menjadi sanad suatu hadis. Demikian pula tentang matan hadis dapat diuji dengan nash yang lebih kuat daripadanya, seperti al-Qur’an dan as-Sunnah yang telah diakui kesahihan dan kemaqbulannya.

Banyak nash yang dapat dijadikan dasar bahwa kita wajib mengikuti Allah dan Rasul-Nya, ialah Allah SWT berfirman :

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ . قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ .

Artinya: “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’. Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir’”. (QS. Ali Imran {3} : 311-32).

Baca juga al-Qur’an surat an-Nisa’ {4} : 59 ; al-Maidah {5} : 92 ; al-Anfal {8} : 20 ; an-Nuur {24} : 54 dan banyak ayat-ayat al-Qur’an yang lain yang senada dengan ayat di atas serta mengancam dengan siksa setiap orang yang tidak mengikuti perintah tersebut. Dan hadis Rasulullah s.a.w. :

عَن ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إَلاَّ اللَّهُ وَ أَنَّ محمَّدا رَسُوْل الله. وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصومِ رَمَضَانَ  { متفق عليه }

Artinya : “Dari Ibnu Umar r.a., ia berkata, bersabda Rasulullah s.a.w. : ‘Islam itu ditegakkan (di atas) lima perkara ; meyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji dan puasa bulan Ranadhan’”. (Muttafaqun alaih).

Meyakini Rasulullah s.a.w. sebagai salah satu fundamen Islam, maksudnya mengikuti dan taat melaksanakan yang termaktub pada sunnahnya.

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kita hanya wajib taat dan patuh hanya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Sedang dalam masalah duniawi kita boleh mengikuti ulil amri (pemerintah) selama pemerintah itu tidak menyimpang dari ajaran dan perintah Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” (QS. an-Nisa’ {4} : 59).

Hal ini juga berarti bahwa kita boleh saja mengikuti siapa saja termasuk kyai kharismatik selama ia berpegang kepada al-Qur’an dan as-Sunnah ash-shahihah dan al-maqbulah.

 

Pertanyaan ketiga : Tentang partai yang berasaskan Islam.

 

Jawaban :

Banyak partai di Indonesia yang sampai sekarang diperkirakan berjumlah lebih dari dua ratus partai. Mengenai asas dan dasarnya dapat dilihat pada anggaran dasar partai itu. Setahu kami, di antara yang banyak itu yang diketahui berdasarkan Islam ialah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Mungkin partai-partai lain masih ada yang berdasarkan Islam.

 

                                                                                        FULANAN (8)

J.S. Anam 888925, PCM Tegal Timur II, Kota Tegal

 

Pertanyaan :

 

            Siapakah yang dimaksud dengan fulanan dalam surat al-Furqan: 28? Dalam tafsir Depag, yakni catatan kaki:

a. no. 1066 (al-Qur’an dan Terjemahannya, edisi baru revisi terjemah. 1989:565. Toha Putra Semarang), atau

b. no. 1063 (al-Qur’an al-Karim dan Terjemahannya, edisi ukuran 13,5 x 19 cm, hal. 541, Toha Putra, Semarang)

            Fulanan adalah setan atau orang yang telah menyesatkannya di dunia, sehingga jika tafsiran ini secara langsung disubstitusikan, terjemahannya menjadi: “Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan setan atau orang yag telah menyesatkannya didunia ini teman akrabku”. Arti dari terjemahan ayat ini adalah umat Islam disuruh berakrab mesra dengan setan atau dengan orang yang gemar membuat kesesatan di dunia. Apakah penafsiran fulan sebagai si setan atau orang yang menyesatkan itu tidak keliru? Bukankah dalam ayat tersebut didahului lafal “lam”?

            Kalau tidak salah, sabab nuzul (turun) ayat tersebut bersamaan dengan ayat 27 dan 29. Jadi penafsiran ayat tersebut terkait langsung dengan ayat 27 dan 29. Yang saya tanyakan dalam masalah ini adalah apakah fungsi dan makna lafal “lam” pada ayat tersebut. Benarkah lafal “lam” disitu sebagai “lam nafi”? Lalu bagaimanakah terjemahan yang tepat?

 

Jawaban :

 

            Dimaksud dengan “fulan” pada ayat 28 surat al-Furqan (25) menurut al-Qasimiy ialah:

من أضله عن الذكر وصده عن سبيل الله

“Orang yang menyesatkannya dari mengingat Allah dan menghalang-halangi dari jalan Allah” (al-Qasimiy, XII:258).

            Lafal “lam” adalah harf nafi, dan didahului lafal “laita”, sebagai kelompok huruf “inna”, yang menasabkan isim dan merafa’kan khabar, yang mengandung arti tamanni (harapan yang tidak mungkin terwujud). Maka ayat tersebut:

يَاوَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا

“Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku” (al-Furqan (25):28).

            Pernyataan “kiranya aku…” adalah suatu harapan yang tidak mungkin terjadi, karena sudah lewat waktunya. Maka maksud ayat tersebut ialah: Seandainya aku dulu tidak mengambil si fulan sebagai teman akrabku, niscaya aku tidak celaka besar. tetapi untuk kembali lagi ke dunia sudah mustahil.

            Jelasnya mereka sangat menyesal mengapa mereka mengambil si fulan (setan atau orang yang menyesatkan) itu sebagai teman akrabnya. Dengan demikian terjemahan dari Depag itu tidak keliru, sudah benar.

 

Slamet Suripto, Staff Teknik Elektro UMY, Yogyakarta

 

PERMASALAHAN HADITS (9)

Pertanyaan :

1.      Dalam kitab Al-Mustadrak, Al-Hakim meriwayatkan hadis semakna dengan hadis Thariq bin Syihab dari Abu Musa Al-Asy’ari dari Nabi SAW, sahih menurut syarat Bukhari dan Muslim. Dengan demikian hadis tersebut sah untuk dijadikan dalil. Bagaimana tanggapan Anda?

2.      Anda menyatakan lemah orang yang namanya Ibnu Addul ‘Azhim, padahal menurut kami dari jalur lain itu adalah kuat, rawinya dapat dipercaya (tsiqah). Lalu mana yang harus diikuti? Penjelasan Anda tidak jelas.

 

Jawaban :

 

Perlu kami perbaiki dahulu anggapan Saudara bahwa ada dua orang yang namanya Thariq bin ibnu Syihab dan Thariq bin Syihab, adalah keliru. Thariq bin Syihab adalah satu saja Thariq bin Syihab. Saudara keliru memahaminya. Berikut ini kami jawab pertanyaan Saudara di atas, dikerangkakan menjadi satu jawaban saja;

Hadis riwayat Al-Hakim, lewat Abu Musa Al-Asy’ari, juga lemah. Imam Adz-Dzahabi berkomentar dalam Kitab ‘Mizanul I’tidal’ juz III hal 25, begitu juga Al-Hafidl Al-Atsqalani di dalam ‘Lisanul Mizan’ 5 : 232, bahwa Al-Hakim yang mempunyai beberapa karangan itu, seorang Imam yang jujur, tetapi beliau mensahihkan beberapa hadis yang lemah. (dha’if) dalam kitab ‘Mustadrak’-nya. Lanjut Al-Atsqalani : “Saya sendiri heran, tidak habis mengerti, apakah yang demikian itu tidak disadari oleh beliau, mestinya beliau tidak termasuk orang yang tidak mengerti tentang hal itu. Seumpama ia menyadari hal itu, maka hal tersebut merupakan khianat yang besar”. Lebih lanjut tulis Al-Atsqalani dalam Kitab ‘Lisanul Mizan’ 5 : 232, bahwa ketika Imam Al-Hakim menulis kitab ‘Al-Mustadrak’, usia beliau sudah sangat tua. Sebagian ulama mengatakan bahwa ketika itu Al-Hakim sudah pikun (linglung). Untuk membuktikan hal itu beliau menyebutkan banyak sekali golongan rawi (perawi) yang dha’if, dan Imam Al-Hakim memutuskan tidak akan menggunakan apa yang diriwayatkan para perawi tersebut, tetapi anehnya beliau mengeluarkan hadis yang diriwayatkan para perawi dha’if tadi dan mensahihkan hadis-hadis dha’if itu dalam kitab ‘Al-Mustadrak’nya. Demikian juga Adz-Dzahabi menyebutkan dalam kitabnya ‘Tadzkiratul Huffadl’ juz III hal 231, bahwa tidak ragu-ragu lagi di dalam kitab ‘Al-Mustadrak’ terdapat hadis-hadis yang tidak memenuhi syarat sahih, bahkan terdapat di dalamnya hadis-hadis maudlu’ (palsu), yang demikian sudah menjadi kebiasaan di dalam ‘Al-Mustadrak’.

Dikatakan oleh Al-Basimy dalam Kitab ‘Qawa’idut Tahdis’ hal 235, bahwa Imam Zaila-ie, menyatakan wajib hati-hati bagi ahli hadis terhadap perkataan Al-Hakim, sebab banyak kesalahannya, gugur hadis-hadisnya serta telah banyak orang lupa sesudahnya dan menjadi taqlid kepadanya. Begitu juga komentar Al-‘Aini dalam Kitab ‘Al-Hidayah’ bahwa Imam Al-Hakim itu telah dikenal menganggap mudah terhadap hadis-hadis dan mensahihkan hadis-hadis dha’if, bahkan yang maudlu’ (palsu).

Kemudian perlu diketahui sebagai informasi, guru Al-Hakim yang namanya Abu Bakar bin Ishaq Al-Faqih, riwayat hidupnya belum dikenal di dalam kitab-kitab yang membahas para perawi, apakah ia tercela ataukah rawi ‘adil. Demikian pula guru Al-Hakim yang namanya ‘Ubaid bin Muhammad, belum terang riwayat hidupnya dan beliau tanpa rawi lainnya tergolong syaadz (menyendiri) dengan tambahan Thariq bin Syihab dari Abu Musa Al-Asy’ari. Padahal tambahan rawi yang belum dikenal biografinya tak dapat diterima hadis-hadisnya.

Para imam ahli hadis selain Al-Hakim, misalnya: Al-Bazzar, Imam ‘Adi, Abu Daud, Daruqutni dan Baihaqy meriwayatkan hadis tersebut dari Huraim bin Sufyan dari Ibrahim dari Qais bin Muslim dari Thariq bin Syihab saja. Maka dari itu Imam Baihaqy di dalam Kitab Sunannya 3 : 172 meriwayatkan riwayat tersebut di atas tadi, bahwa ‘Ubaid bin Muhammad Al-Adyali dari Abbas bin Abdul ‘Adlim menghubungkan dengan menyebutkan Abu Musa Al-Asy’ari, itu termasuk hadis yang tidak terpelihara (mahfudl) dari selain Imam Baihaqy meriwayatkan dari Abbas bin Abdul ‘Adlim, tanpa menyebutkan Musa Al-Asy’ari.

Baik pula kami tambahkan informasi untuk anda bahwa Al-Hafidl Al Atsqalany di dalam Kitab ‘Al-Ishabah’ 2 : 220 menyatakan bahwa jikalau Imam Al-Hakim telah mengeluarkan hadis melalui jalan yang menyatakan dari Thariq dari Abu Musa Al-Asy’ari, para ulam amenyalahkan Al-Hakim pada jalan itu tadi.

Demikian sekedar tambahan penjelasan untuk Saudara perhatikan dan renungkan, dan kalau juga belum jelas boleh ditanyakan lagi.

Drs. H. Ilhamsyah Pasaribu, Sekretaris PCM Barus Pasar Tapanuli Tengah Sumatera Utara

 

HAJI PAKAI APBD (ANGGARAN PENDAPATAN DAERAH)  (10)

Pertanyaan :

 

1.      Bolehkan pimpinan organisasi / tokoh masyarakat / umum menerima / melaksanakan ibadah Haji dengan biaya dari APBD dan tidak disahkan oleh DPRD setempat, dan berangkat sebagai jama’ah biasa bukan sebagai petugas dan uang yang dipakai itu adalah uang rakyat, sementara rakyat saat ini sangat menderita, akibat kebanjiran, longsor tanah dan sebagainya? Dan yang berangkat itu sebenarnya mampu, sekalipun tanpa menggunakan biaya dari APBD. Mohon sertakan dalil dan dasar hukumnya.

2.      Bolehkah kita melaksanakan ibadah Haji dengan didanai oleh orang yang berbeda agama dengan kita? Mohon dalilnya.

3.      Apakah yang dimaksud dengan man istathaa’a ilaihi sabiilan ?

 

Jawaban :

 

Pertanyaan Saudara yang terdiri dari tiga pertanyaan, kami jawab dalam satu paket, sebab ketiga pertanyaan tersebut saling berkaitan.

Ibadah hajji adalah salah satu dari rukun Islam yang lima, yang wajib dikerjakan oleh setiap muslim yang mampu, sekali dalam seumur hidup, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya;

وَ لِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً ( أل عمران (3): 97)

“… Ibadah Hajji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah …” (Ali Imran {3} : 97)

Dimaksudkan dengan ististha’ah dalam firman-Nya “man istathaa’a ilaihi sabiilan” ialah mempunyai bekal dan mampu dalam perjalanan, sebagaimana disebutkan dalam suatu hadis;

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا السَّبِيْلُ ؟ قَالَ : الزَّادُ و الرَّاحِلَةُ . ( رواه الدار قطني و صححه الحاكم، الصنعاني 2: 179)

“Dari Anas r.a. ia berkata: Rasululullah SAW ditanya; ‘Hai Rasulullah, apakah yang dimaksudkan dengan as-sabil (jalan)?’ Beliau menjawab; ‘bekal dan perjalanan’.” (Ditakhrijkan oleh ad-Daruqutniy, dan dinilai sahih oleh al-Hakim; as-San’aniy, 1960, Subulus Salam, II : 179).

Dari hadis tersebut jumhur ‘ulama berpendapat, bahwa yang dimaksudkan dengan ‘istitha’ah’ ialah mampu dalam perjalanan dan perbelanjaan, atau bekal. Uang belanja cukup bagi dirinya dan bagi keluarga yang ditinggalkan, aman dalam perjalanan, dan dirinya dalam keadaan sehat. (as-San’aniy, 1960: II : 179).

Apakah mengerjakan hajji dengan biaya APBD atau dibiayai orang yang tidak seagama, sah hajjinya?

Ibadah hajji adalah suatu ibadah yang memerlukan biaya besar, tetapi kita harus berhati-hati dalam membiayai ibadah hajji, sebab Allah tidak akan menerima ibadah yang dibiayai dengan harta yang tidak bersih, sebagaimana ditegaskan dalam suatu hadis;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا ( أخرجه مسلم، 1: 651015)

“Dari Abi Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda; ‘Hai manusia, sesungguhnya Allah adalah Thayyib (bersih dan suci), Dia tidak menerima kecuali yang thayyib …’.” (Ditakhrijkan oleh Muslim, I, No. 65/1015).

Dari hadis tersebut jelaslah bahwa biaya hajji harus diambilkan dari harta yang bersih, yangtidak tercampur harta yang kotor, misalnya harta hasil curian, hasil korupsi atau hasil kejahatan lainnya. Maka jika Saudara berkeyakinan bahwa dana APBD tidak thayyib, sebaiknya tidak menggunakannya, atau ragu-ragu, hendaknya ditinggalkan dan carilah yang benar-benar meyakinkan kebersihannya.

Kami sangat setuju dengan pendapat Saudara bahwa sebaiknya dana APBD tidak digunakan untuk membiayai hajji bagi orang-orang atau pejabat yang sebenarnya mampu mebiayai hajji dengan harta sendiri. Maka jika mempunyai program menghajjikan karyawan hendaknya diseleksi dengan ketat, yang dihajjikan hendaknya karyawan yang berprestasi, dan yang tidak mampu.

Sumbangan dari non muslim untuk menunaikan hajji, kami berpendapat, sangat tergantung motivasinya. Akan tetapi, karena tidak mudah mengetahui motivasi seseorang, maka sebaiknya tidak menerimanya, apalagi untuk ibadah hajji.

 

HADITS TENTANG TAROWIH 11 RAKAAT (11)

1.

Syahrir Mawi, NBM 458.266, PCM Bogor Tengah, Jl. Merdeka 118 Bogor Jawa Barat.

Pertanyaan :

Kami membaca dari suplemen Harian Umum Republika, Prof. Ali Mustofa Yacub M.A. menulis bahwa hadis-hadis Shalat Tarawih delapan rakaat adalah hadis matruk (semi palsu). Bagaimana sesungguhnya soal Shalat Tarawih delapan rakaat itu?

 

Jawaban :

Apa yang ditulis oleh Prof. Ali Mustofa Yaqub, M.A. (konon dia seorang ahli hadis), telah pula kami baca dan banyak juga saudara-saudara kita yang menanyakan kebenaran tulisan itu kepada kami c.q. Suara Muhammadiyah. Secara singkat - mengingat kolom rubrik ini terbatas – dapat kami jelaskan bahwa Shalat Tarawih delapan rakaat rujukannya adalah hadis dari ‘Aisyah r.a. yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud, At-Tirmizi, An-Nasa’i, Malik, Ahmad dan Baihaqi. Hadis tersebut sangat-sangat kuat, tidak ada dalam sanadnya perawi yang lemah. Sedangkan hadis riwayat Jabir r.a. yang dikatakan lemah oleh Prof. Ali Mustofa Yaqub, M.A. tersebut, sekalipun bagi Muhammadiyah bukan pegangan pokok, namun hadis tersebut, menurut penelitian ahli hadis Muhammad Nasiruddin al-Bani adalah hadis hasan bukan hadis matruk (baca Shalat Tarawih oleh Muhammad Nasiruddin al-Bani, hal. 18). Yang mengherankan kami mengapa Prof. Ali Mustofa Yaqub, M.A. tersebut tidak menampilkan hadis riwayat ‘Aisyah r.a. yang sangat kuat itu dan dipegang oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah sebagaimana termuat dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) ? Boleh jadi beliau tidak menampilkan hadis ‘Aisyah r.a. itu, ada kemungkinan beliau punya asumsi bahwa hadis ‘Aisyah tersebut bukan dalil Shalat Tarawih delapan rakaat dan witirnya tiga rakaat, tetapi itu adalah dalil untuk shalat witir. Kalau dugaan kami benar, berarti Prof. Ali Mustofa Yaqub, M.A. itu melakukan suatu kekeliruan yang besar, karena hadis itu memang dalil untuk Shalat Tarawih dan didukung oleh fakta di lapangan, dimana Rasulullah s.a.w. melakukan hal itu di masjid bersama-sama dengan para shahabat, walaupun untuk beberapa malam saja, kemudian Nabi s.a.w. tidak keluar ke masjid, karena ada kekhawatiran oleh Nabi s.a.w., umat di belakang hari akan menganggap Shalat Tarawih itu sebagai ibadah wajib, bukan ibadah sunat.

Kami sangat menyayangkan tulisan Prof. Ali Mustofa Yaqub, M.A. itu yang tidak tuntas penjelasannya, sehingga menimbulkan keraguan bagi orang yang tidak mendalam pengetahuannya dalam bidang hadis.

Tegasnya, pendapat Prof. Ali Mustofa Yaqub, M.A. itu perlu diperhatikan benar, karena memang pendapatnya itu tidak benar. Insya Allah, dalam waktu tidak lama lagi, kami akan menyusun risalah khusus tentang Shalat Tarawih supaya menjadi pegangan bagi warga Muhammadiyah khususnya dan kepada umat Islam pada umumnya.

2.

Drs. H. Irfai Ilyas, Imam Supardi, S. Ag., Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PDM Kabupaten Temanggung Jawa Tengah.

 

Pertanyaan :

Apakah Imam harus merangkap khatib dalam shalat Jum’at atau bisa juga tidak merangkap, artinya Imam tidak harus merangkap khatib ?

 

Jawaban :

Setelah kami pelajari dan meneliti dalil-dalil yang dilampirkan dalam surat Saudara, maka dapat kami memberi jawaban sebagai berikut :

  1.     Memang ada hadis Nabi s.a.w. yang diriwayatkan Imam Muslim yang berbunyi:

إذا جاء أحدكم يوم الجمعة و الإمام يخطب فليركع ركعتين و اليتجوز فيهما

(Apabila pada hari Jum’at salah seorang dari kamu datang di waktu imam sedang berkhutbah, hendaklah ia shalat dua rakaat dengan agak cepat.)

Dari hadis tersebut terkesan secara mafhum mukhalafah bahwa yang melakukan khutbah (khatib) adalah imam juga.

  2.     Dilihat dari praktek Rasulullah s.a.w., beliau selalu disamping sebagai khatib juga imam dalam shalat Jum’at, bahkan bagi shalat fardlu di Masjid Madinah bila beliau tidak berhalangan, bepergian atau sakit. Begitu pula pada masa Khalifah Rasyidin.

Memang idealnya demikian, apalagi Rasulullah itu adalah uswah dan qudwah bagi umat dalam segala urusan, lebih-lebih dalam bidang ibadah khusus. Juga perlu dicamkan Nabi s.a.w. sangat fasih dalam membaca ayat-ayat al-Qur’an dan juga sangat bijak dalam berkhutbah. Tidak ada sahabat yang mau tampil sebagai Imam atau khatib, kalau di situ Rasulullah s.a.w. hadir.

  3.     Namun demikian, bila diteliti dengan cermat isi hadis tersebut dan hadis-hadis lainnya yang sejenis dengan itu, kita tidak dapat menarik kesimpulan bahwa Imam harusmerangkap khatib Jum’at, karena mafhum mukhalafah di situ tidak memenuhi syaratnya untuk berhujjah.

Menurut hemat kami, mafhum mukhalafah dalam hadis itu dimaksudkan untuk keagungan atau “lit-tafkhim” saja, atau dengan lain perkataan tidak bisa diamalkan mafhum mukhalafahnya. Bahkan Abu Hanifah dan Ibnu Hazm tidak berhujjah pada mafhum mukhalafah secara mutlak.. Kalau kita pakai istilah-istilah dalam kitab ushul fiqih disebutkan جمع مفاهيم المخالفة ليس بحجة (semua mafhum mukhalafah tidak bisa menjadi hujjah), menurut Abu Hanifah dan Ibnu Hazm.

  4.     Menurut pentahqiqan kami, idealnya kalau memenuhi syarat-syarat, seorang Imam seyogyanya merangkap sebagai khatib, bukan seharusnya. Jadi, kalau dipandang perlu pada suatu waktu bisa saja Imam itu tidak merangkap sebagai khatib Jum’at.

  5.     Bahwa Nabi s.a.w. selalu menjadi khatib dan Imam adalah sunnah fi’liyyah, yangvtidak menimbulkan keharusan untuk melakukan atau mengikutinya.

3.

Mulyadi S., Kendal, Jawa Tengah

 

Pertanyaan :

Bolehkah kita membaca tahlilan di rumah orang/keluarga yang kena musibah (kematian) atau itu suatu perbuatan bid’ah ?

Jawaban :

Pertanyaan yang Saudara tanyakan itu, sebetulnya kalau Saudara mau membaca Himpunan Tanya Jawab Agama sebanyak 4 buku yang telah dikeluarkan Majelis Tarjih, sudah ada di situ, atau Saudara berusaha berlangganan majalah Suara Muhammadiyah. Namun demikian di sini akan kami jawab seperlunya saja, mudah-mudahan menjadi jelas bagi Saudara.

 

  1.     Sebetulnya soal tahlilan yang sudah melekat pada sebagian besar masyarakat kita itu termasuk masalah khilafiyah, diperselisihkan oleh para ‘ulama. Bagi mereka yang melaksanakan tahlilan, mereka beranggapan ada tuntunan dari agama, disamakan dengan doa. Mereka itu berpendapat bahwa dalam soal ta’abbudi boleh dimasuki ijtihad. Bagi mereka yang membolehkan tahlilan untuk menguatkan alasannya, mereka telah menyusun sebuah buku yang diberi nama “Simpanan Berharga”, yang disusun oleh H.M. Syarwani Abdan.

  2.     Muhammadiyah sesuai dengan manhaj yang dipergunakan dalam menetapkan sesuatu hukum berpendapat bahwa dalam bidang ta’abbudi (ibadah khusus atau lazim disebut orang sekarang dengan istilah ritual) tidak boleh mempergunakan ijtihad, tetapi harus mengikuti nash al-Qur’an atau as-Sunnah Ash-Shahihah (al-Maqbulah). Menurut kami, doa adalah termasuk ibadah dalam arti khusus / sempit. Doa itu bukan budaya seperti yang dipahami sebagian orang. Di dalam al-Qur’an surat an-Najm ayat 37 – 38 diterangkan bahwa manusia itu memperoleh apa yang diusahakannya. Di dalam hadis riwayat Muslim dikatakan, apabila seseorang anak Adam meninggal dunia, maka putuslah semua amalannya terkecuali tiga perkara, yaitu doa anaknya yang saleh, sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat. Selanjutnya dalam surat al-Hasyr ayat 10 diterangkan yang maksudnya bahwa amalan orang lain bisa sampai kepada orang yang meninggal dunia yaitu doa dan istighfar. Hal itu dijelaskan pula dalam hadis riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan juga di dalam hadis riwayat Ahmad dan Ashabus Sunan.

  3.     Imam Malik dan Imam asy-Syafii sendiri dan banyak ualama lainnya mengambil suatu ketetapan bahwa pembacaan ayat al-Qur’an, dzikir dan sebagainya tidak bisa sampai pahalanya kepada orang yang telah mati. Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya menulis : “Oleh karena hal inilah, Rasulullah s.a.w. tidak menganjurkan umatnya untuk menghadiahkan pahala bacaan kepada orang mati, baik dengan perintah tegas maupun yang tidak tegas. Dan tidak pula oleh sahabatnya yang mengerjakan demikian itu. Kalau menghadiahkan pahala bacaan kepada orang mati adalah suatu kebajikan, tentulah sahabat-sahabat Nabi s.a.w. telah mengerjakannya”. Sekian kita kutip penjelasan al-Hafidz Ibnu Katsir, yang kitab tafsirnya dipelajari di dalam masyarakat kita. Diterangkan oleh pengarang kitab Bidayatul Mujtahid, yaitu Ibnu Rusyd : “Sesungguhnya letak perbedaan pendapat di antara ulama-ulama mutaqaddimin dan mutaakhkhirin dari golongan Malikiyah, yaitu selama bacaan itu tidak keluar dari koridor tempat doa, agar pembaca membaca sebelum bacaan (al-Qur’an) itu ; Ya Allah, jadikanlah pahala yang aku baca ini untuk si fulan …”. Dari kutipan nampak jelas tahlil dianalogikan dengan doa.

  4.     Di samping itu, harus dibedakan antara berdoa dengan menghadiahkan pahala lewat doa. Menghadiahkan pahala lewat doa tidak ada tuntunannya.

 

Demikian sekedar tambahan penjelasan masalah tahlilan, semoga Saudara mengerti duduk persoalan itu dengan sebenarnya.

4.

Yusuf Shalihin, Cirebon, Jawa Barat.

Pertanyaan :

Bagaimana sebenarnya bilangan takbir shalat ‘Id, 7 dan 5 atau satu kali saja seperti shalat Jum’at ?  Apakah membaca dzikir di sela-sela takbir ?  Apakah khutbahnya satu kali atau dua khutbah seperti khutbah shalat Jum’at ?

 

Jawaban :

Sebenarnya pertanyaan seperti yang Saudara tanyakan sudah pernah ditanyakan oleh Saudara RNB. Nahar, dan telah kami jawab, yang dimuat dalam Suara Muhammadiyah No: 12 Tahun ke-87 16-30 Juni 2002 M. Sungguhpun demikian, berikut ini akan kami jawab tiga pertanyaan Saudara itu seperlunya, dengan harapan soal tersebut menjadi jelas bagi Saudara.

  1.     Dalam Muktamar Tarjih ke-20 di Garut Jawa Barat tahun 1976 M (1396 H) telah ditanfidzkan oleh PP Muhammadiyah tahun 1977 Masehi yang isi keputusannya: Takbir shalat Idain adalah 7 kali pada rakaat pertama dan 5 kali pada rakaat kedua (baca pula Tanya Jawab Agama Jilid I hal. 113-115).

  2.     Perlu pula Saudara ketahui bahwa dalam manhaj tarjih yang terdiri atas 18 butir itu, salah satu butirnya menetapkan bahwa dalam beristidlal Majelis Tarjih mempergunakan nash al-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shahihah (al-Maqbulah). Jadi, tidak terpaku pada dalil yang kuat saja, tetapi juga dipakai hadis-hadis yang nilainya kurang kuat, dimana kekurangannya itu tidak terletak atau dikarenakan oleh kedustaan perawi serta dikuatkan oleh hadis lain, itu bisa dipakai dalam penetapan hukum. Itulah yang dimaksud dengan menyebutkan dalam tanda kutip dengan perkataan al-Maqbulah. Di dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) disebutkan :

الأحاديث الضعيفة يعضد بعضها بعضا لا يحتج بها إلا مع كثرة طرقها و فيها قرينة تدل علي ثبوت أصلها و لم تعارض القرآن و الحديث الصحيح.

Hadis-hadis tentang takbir hari raya masuk dalam kategori dlaif, hanya saja kedlaifannya bukan lantaran perawinya dituduh dusta dan memalsukan, tetapi saling kuat menguatkan dengan melalui beberapa / banyak jalannya. Tapi sayangnya di Jawa Barat, takbir 7 kali dan 5 kali itu belum tersosialisasikan dengan baik, bahkan masih terpaku pada perkataan al-Hadis ash-Shahihah saja. Kalau orang berorganisasi yang baik, tentunya PDM di Jawa Barat itu harus mensosialisasikan putusan yang telah ditanfidzkan itu.

  3.     Mengenai bacaan di sela-sela takbir, itu memang tidak kita dapati hadisnya. Dengan lain perkataan tidak ada dzikir (bacaan) tertentu di sela-sela takbir itu. Sedang khutbah shalat ‘Id, bukan dua khutbah, tetapi satu khutbah saja dan belum kami tenukan dalil tentang adanya bacaan الصلاة جامعة sebelum menegakkan shalat ‘Id.

5.

Pertanyaan :

Menjawab tanggapan shalat Jum’at terhadap Saudara Abdul Hadi PCM Glagah Banyuwangi JawaTimur dan penanya lainnya.

 

Jawaban :

Kami terlebih dahulu menyampaikan terima kasih atas tanggapan / kritik yang bersifat konstruktif dari Saudara, yang kesannya belum dapat menerima isi fatwa soal shalat Jum’at bagi wanita yang dimuat dalam rubrik fatwa Suara Muhammadiyah tanggal 22 Jumadil Ula 6 Umadil Akhir. Berikut ini kami tambah sedikit penjelasan terhadap point-point itu, sebagai berikut :

  1.     Tentang hadis Thariq Ibn Syihab, memang kami akui ada sebagian ulama yang memandang sahih hadis itu, di samping ada pula yang melemahkan hadis tersebut seperti yang telah kami sebutkan dalam uraian yang lalu. Akan tetapi Saudara harus ingat kepada qaidah yang dipegang oleh ahli hadis, kalau ada orang yang memuji dan yang melemahkan perawi itu, maka kita harus dahulukan orang yang melemahkannya. Ini sesuai dengan qaidah الجرح مقدم علي التعديل (celaan didahulukan dari pujian).

  2.     Tentang Jum’at sebagai asal, Saudara meragukan qaidah itu dengan alasan tidak didukung oleh nash yang sharih. Sebetulnya Jum’at menurut kami didukung oleh nash yang sharih yaitu hadis dari Ibnu Abbas r.a. yang diriwayatkan Imam Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ibnu Majah ;

إن الجمعة عزيمة و إني كرهت أن أخرجكم فتمشون في الطين و الدحض.

(Bahwasanya shalat Jum’at itu azimah (hukum asal) dan aku tidak senang menyusahkan kamu berjalan di lumpur dan becek)

Mengenai dugaan Saudara bahwa Nabi s.a.w. tidak mendirikan shalat Jum’at di Arafah, itu menurut kami tidak benar. Nabi s.a.w. melakukan shalat dua rakaat sebelum mengqashar dua rakaat shalat Asar, sebenarnya yang dilakukan Nabi s.a.w. adalah shalat Jum’at, bukan mengqashar shalat Dzuhur, ingat Jum’at adalah azimah, sedang khutbah adalah sunat, bukan wajib seperti yang dipahami kebanyakan orang (perhatikan pendapat mufassir dalam menafsirkan إلي ذكر الله perkataan pada ayat Jum’at serta pendapat tabi’in besar al-Hasan al-Bashri)

  3.     Shalat Jum’at sendirian tidak boleh, itu memang pendapat jumhur, karena mereka berpegang pada hadis-hadis yang menurut pandangan kami tidak kuat dan kami sebutkan pendapat Sayyid Rasyid Ridla di situ sekedar contoh di lapangan di smaping yang dikerjakan Nabi s.a.w. di Arafah. Kita tidak menyandarkan hukum pendapat orang, itu hanya sekedar contoh.

Mengingat ruangan rubrik ini terbatas, tidak kami panjangkan uraian-uraian lainnya di sini, dan kami mempunyai rencana untuk menyusun risalah Jum’at dalam satu buku tersendiri, untuk kita bawa dalam Munas Tarjih dalam Muktamar Muhammadiyah yang akan datang, untuk kita diskusikan bersama, mudah-mudahan Saudara bisa ikut hadir dan mengambil bagian dalam diskusi itu, sebelum ditanfidzkan sebagai satu keputusan.

Sdr Ahmad Yani, Makkah al-Mukarramah, tlp. 025702222

 

KEWAJIBAN MUSLIMAH INDONESIA DALAM MENUTUP AURAT (12)

Pertanyaan:

 

            Saya merasa puas dan merasa ‘plong’ setelah membaca Fatwa Tarjih tentang angkat tangan ketika berdo’a. Sebelum membaca fatwa tersebut saya selalu ragu-ragu setiap kali mau angkat tangan dalam do’a saya, ragu antara sunnah dan bid’ah. Selanjutnya saya ingin bertanya:

            Bagi wanita muslimah di Indonesia, apakah wajib menutup auratnya seperti yang termaktub dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 30-32? Seandainya wajib, apakah kadar kewajibannya sama dengan kadar kewajiban melaksanakan shaolat lima waktu?

            Dan jika tidak wajib seperti dalam surat an-Nur tersebut diatas, aurat-aurat manakah yang harus ditutup bagi wanita Indonesia? mohon dijelaskan secara rinci ayat tersebut.

 

Jawaban:

            Para ulama hingga kini masih berbeda pendapat mengenai batas-batas aurat wanita muslimah, baik muslimah Indonesia maupun muslimah bukan Indonesia. Yang demikian itu, karena terdapat perbedaan penafsiran terhadap surat an-Nur (24): 30-31.

            Sebelum menjawab pertanyaan saudara, kami kutipkan lebih dahulu ayat-ayat yang membahas batas-batas aurat, baik yang terdapat pada surat an-Nur maupun yang terdapat pada surat lainnya yang ada munasabahnya. Ayat-ayat yang kami maksudkan ialah:

 

1. قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ(30)

 

2. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(31)

3. يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا(59)

            Artinya

            1. Katakanlah kepada kaum mu’minin:  Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. (an-Nur (24): 30)

            2. Katakanlah kepada para wanita yang beriman: Hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasanya, kecuali yang biasa nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (an-Nur (24); 31)

            3. Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang-orang mu’min: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ketubuhnya. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang. (al-Ahzab (33): 59)

            Untuk memahami ayat-ayat tersebut, perlu memahami lebih dahulu dua kata kunci yaitu: ‘aurah dan jilbab.

            ‘Aurah, menurut bahasa berarti: segala sesuatu yang harus ditutupi; segala sesuatu yang menjadikan malu apabila dilihat. (Luis Ma’luf, dibawah art. ‘awira). Menurut istilah, ‘aurah ialah anggota badan manusia yang wajib ditutupi, dan haram dilihat oleh orang lain, kecuali orang-orang yang disebutkan pada surat an-Nur (24): 31. Dalam bahasa Indonesia, ‘aurah disebut dengan istilah aurat, dan selanjutnya dalam paparan ini digunakan istilah tersebut.

            Jilbab, berasal dari kata jalbaba yang berarti memakai baju kurung. Para ulama berbeda pendapat mengenai arti jilbab. Sebagian ulama mengartikannya baju kurung; sedang ulama lainnya mengartikannya baju wanita yang longgar yang dapat menutupi kepala dan dada. Al-Asy’ary berpendapat bahwa jilbab ialah baju yang dapat menutupi seluruh badan. Ulama lainnya berpendapat, bahwa jilbab ialah kerudung wanita yang dapat menutupi kepala, dada, punggung. (Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, dibawah art. jalaba). Menurut Ibnu Abbas, jilbab ialah jubah yang dapat menutup badan dari atas hingga ke bawah. (al-Qasimy, XIII: 4908). Menurut al-Qurtuby, jilbab ialah baju yang dapat menutup seluruh badan. (al-Qurtuby, VI: 5325).

            Dari penjelasan tersebut dapatlah ditarik kesimpulan bahwa jilbab mempunyai dua pengertian:

1.      Jilbab ialah kerudung yang dapat menutup kepala, dada dan punggung yang biasa dipakai oleh kaum wanita.

2.      Jilbab ialah semacam baju kurung yang dapat menutup seluruh tubuh, yang biasa dipakai kaum wanita.

Jika kedua pengertian tersebut digabungkan, maka yang dimaksud dengan jilbab ialah: pakaian wanita yang terdiri dari kerudung dan baju kurung yang dapat menutup seluruh auratnya.

Ayat 30 – 31 an-Nur (24), tergolong ayat Madaniyah, menurut al-Muhaayimiy, seluruh ayat dari surat an-Nur adalah Madaniyah, sedang al-Qurtuby mengecualikan ayat: Ya ayyuhalladziina aamanuu liyasta’zinkum…(58) adalah Makkiyah. (al-Qasimy, 1978, XII:107).

Sebab nuzul kedua ayat tersebut menurut suatu riwayat adalah sebagi berikut:

a.       Menurut riwayat yang ditakhrijkan oleh Ibni Mardawaih, dari ‘Ali bin Abi Thalib ra, ia berkata: Pada masa Rasulullah saw, ada seorang berjalan di suatu jalan di Madinah, kemudian dia melihat seorang wanita, dan wanita itupun melihatnya, lalu syaitanpun mengganggu keduanya sehingga masing-masing melihatnya karena terpikat. Maka ketika laki-laki tersebut mendekati suatu tembok untuk melihat wanita tersebut, hidungnya tersentuh tembok hingga luka. Lalu ia bersumpah: Demi Allah saya tidak akan membasuh darah ini hingga bertemu Rasulullah saw dan memberi tahu kepadanya tentang masalahku. Kemudian ia datang kepada Rasulullah dan menceritakan peristiwanya. Kemudian bersabdalah beliau: “Itu adalah balasan dosamu” lalu turunlah ayat:  قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوامِنْ أَبْصَارِهِمْ  (as-Siyutiy, t.t., ad-Durrul Mansur, V: 40).

b.      Menurut riwayat yang ditakhrijkan oleh Ibnu Kasir, dari Muqatil ibni Hibban, dari Jabir ibni Abdillah al-Ansariy, ia berkata: “Saya mendengar berita bahwa Jabir ibni Abdillah al-Ansariy menceritakan, bahwa Asma’ binti Marsad, ketika berada di kebun kurma miliknya, datanglah kepadanya orang-orang wanita dengan tidak memakai izar (kain), sehingga tampaklah gelang kaki mereka dan dada mereka. Maka berkatalah Asma’: Ini tidak baik. Kemudian Allah menurunkan firmannya: ...وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ(as-Siyutiy, 1954: Lubab an-Nuqul:161).

Sekalipun ayat tersebut diturunkan karena sebab tertentu, namun ayat tersebut berlaku untuk umum, yaitu seluruh kaum mu’minin.

Allah memerintahkan kepada kaum mu’minin agar menahan pandangannya terhadap wanita-wanita yang bukan mahramnya, dan melarang memandang kecuali hanya bagian yang diperbolehkan memandangnya. Juga memerintahkan agar menjaga farjinya dari perzinahan dan menutup auratnya hingga tidak terlihat oleh siapapun, sehingga hatinya menjadi lebih bersih da terjaga dari kema’siatan. Sebab pandangan mata dapat menanamkan syahwat dalam hati, dan seringkali syahwat dapat mengakibatkan kesusahan yang sangat panjang. Apabila dengan tidak sengaja memandang sesuatu yang haram, maka hendaklah segera memalingkan pandangannya, dan jangan mengulanginya dengan pandangan yang penuh syahwat, sebab Allah Maha Mengetahui.

Allah tidaklah hanya memberi peringatan kepada kaum mu’minin, melainkan juga kepada kaum mu’minat. Bahkan tidak hanya melarang memandang hal-hal yang haram, melainkan juga melarang menampakkan perhiasannya, kecuali kepada mahramnya, agar tidak mudah terpeleset dalam kema’siatan, namun apabila perhiasan tersebut terlihat tanpa disengaja, maka Allah Maha Pengampun.

Pada masa jahiliyah orang-orang perempuan suka membuka bagian leher, dada dan lengannya, bahkan sebagaian tubuhnya hanya sekedar menyenangkan laki-laki hidung belang, dan orang-orang pria pun suka memandang aurat wanita, sebagaiman masa kini, bahkan pada masa kini mereka lebih berani, maka pantaslah jika masa kini disebut “jahiliyah modern”. Moral yang rendah itulah yang menjadi sumber kejahatan, baik masa lampau maupun masa kini.

Untuk itulah Allah memerintahkan kepada kaum wanita untuk menutup auratnya dengan sempurna, dan melarang kaum pria mengumbar pandangannya untuk menjaga kejahatan yang lebih parah yang menimbulkan kekacauan dalam masyarakat, maka pemberantasan pornografi dan pornoaksi, baik di majalah-majalah, pentas seni maupun di sinetron perlu diintensifkan.

Mengapa Allah melarang memandang aurat lain jenis? Sebab timbulnya kejahatan besar tidaklah mendadak, melainkan sedikit demi sedikit. Mula-mula dari pandangan, kemudian senyuman, perkenalan dan seterusnya. Syauqi dalam syairnya mengatakan:

نَظْرَةٌ فَابْتِشَامَةٌ فَسَلاَمٌ , فَكَلاَمٌ فَمَوْعِدٌ فَلِقَاءٌ

                        “Pada mulanya hanyalah pandangan, kemudian senyuman, kemudian salam, kemudian percakapan, kemudian perjanjian, lalu kencan.”

Seorang sastrawan berkata:

وَمَا اْلحُبُّ إِلاَّ نَظْرَةٌ بَعْدَ نَظْرَةٍ , تَزِيْدُ نُمُوًّا إِنْ تَزِدْهُ لَجَاجًا

                        “Cinta hanyalah pandangan demi pandangan, jika terus bersemi maka menjadilah perbuatan nyata”. (as-Sabuniy, 1971, Rawa’i’ul Bayan, II: 149)

Dalam tafsirnya, Safwatut Tafasir, as-Sabuniy mengutip sebuah syair:

كَمْ نَظْرَةً فَتَكَتْ فِي قَلْبِ صَاحِبِهَا , فَتْكَ السِّهَامُ بِلاَ قَوْسٍ وَلاَ وَتَرٍ

                        “Sering-sering pandangan mata menyerang hati pemandangnya, bagaikan serangan anak panah tanpa busur dan tali”. (as-Sabuniy, 1981, Safwatut Tafasir, X:16).

                        Al-Qasimiy mengutip sebuah syair

كُلُّ اْلحَوَادِثِ مَبْدَأُهَا مِنَ النَّظْرِ , وَمَعْظَمُ النَّارِ مِنْ مُسْتَصْغَرِ الشَّرَرِ

                        “Semua peristiwa permulaannya adalah dari pandangan, dan sebagian besar api bermula dari percikan api kecil” . (al-Qasimy, 1978, XII:190)

Pandangan mata sangat besar peranannya dalam kejahatan, maka pada ayat tersebut, perintah menahan pandangan disebutkan lebih dahulu dari perintah menjaga farji.

 

Hikmah menahan pandangan:

Al-Qasimiy mengutip pendapat al-Imam Ibnil Qayyim sebagai berikut: Hikmah menahan pandangan antara lain ialah:

1.      Mentaati perintah Allah yang menjadi pangkal kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akherat, sebab tiada yang lebih bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat kecuali mentaati perintah-Nya, maka orang yang paling celaka baik di dunia maupun di akhirat adalah orang yang membangkang terhadap perintah-Nya.

2.      Mencegah masuknya pengaruh pandangan beracun ke dalam hati, sehingga selamat dari pembusukan.

3.      Mendekatkan diri kepada Allah, sebab melepas pandangan akan mencerai beraikan hati dan menjauhkan diri dari Allah, tiada yang paling berbahaya selain jauh dari Allah, yang mengakibatkan tergelincir dalam kejahatan.

4.      Mengokohkan hati nurani dan membahagiakannya, sebagaimana apabila mengumbar pandangan, akan melemahkan dan menjadikannya susah.

5.      Menjadikan hati bercahaya, sebagimana menjadikan hati dalam kegelapan apabila mengumbar pandangan, maka ayat tersebut, Allah menjelaskan pada ayat berikutnya (ayat 35), bahwa Dia menyinari langit dan bumi dengan sinar yang sangat indah dan terang benderang. Allah menyinari hati orang-orang mu’min yang mentaati perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya, dan apabila hati telah bersinar, maka datanglah dari berbagai penjuru kebaikan-kebaikan, kebahagiaan dan sebagainya yang sangat bermanfaat.

6.      Diberi ketajaman firasat, sehingga dapat membedakan antara orang yang jujur dan orang yang tidak jujur. Ibnu Suja’ al-Kirmaniy mengatakan: Barangsiapa lahirnya selalu mengikuti sunnah Rasul dan batinnya selalu mendekatkan diri kepada Allah, serta menahan pandangannya dari hal-hal yang haram, mengekang hawa nafsunya dan membiasakan makan yang halal, maka firasatnya tidak akan salah. Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, ia akan diberi ganti yang lebih baik, barangsiapa selalu menahan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan Allah, ia akan diberi cahaya pandangan hati yang tajam, dan dibukakan baginya pintu ilmu pengetahuan, iman, ma’rifat serta firasat yang tepat dan benar, yang hanya diperoleh dengan pandangan hati.

7.      Menanamkan rasa kemantapan, keberanian dan keteguhan dalam hati. Allah memadukan antara kekuatan pandangan hati dan hujjah. Hanya orang yang dapat meninggalkan hawa nafsunyalah yang dapat memisahkan antara syaitan dan bayangannya. Allah telah menjanjikan ketinggian martabat bagi orang yang mentaati-Nya, sebagimana ditegaskan dalam firman-Nya:

 

      “Dan janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi martabatnya jika kamu orang-orang yang beriman” (Ali Imran (3): 139).

8.      Menutup pintu bagi syaitan, sehingga tidak dapat masuk dalam hati, sebab masuknya syaitan kedalam hati lewat pandangan mata. (al-Qasimiy, 1978, XII:192)

Ayat 59 surat al-Ahzab (33), termasuk ayat-ayat Madaniyah, sebab seluruh ayat dari surat al-Ahzab adalah Madaniyah. (al-Qasimiy, 1978, XIII:221)

Adapun sabab nuzul ayat tersebut, menurut riwayat Abi Salih ialah sebagai berikut: Ketika Rasulullah saw datang di Madinah, jika istri beliau dan para wanita muslimah keluar malam untuk suatu keperluan, sering diganggu oleh orang-orang laki-laki yang duduk dipinggir jalan. Setelah dilaporkan kepada Rasulullah, maka turunlah ayat ini (al-Ahzab, (33):59). (at-Tabariy, tt, Tafsir at-Tabariy, XXII:34).

Pada ayat sebelumnya, Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat sebenarnya telah melakukan dosa besar dan sangat tercela, maka pada ayat berikutnya, Allah memerintahkan pada Nabi saw agar para isteri beliau dan para wanita muslimat menutup aurat dengan sebaik-baiknya, supaya mudah dibedakan antara orang yang terhormat dan orang yang tidak terhormat, untuk menjaga diri dari gangguan laki-laki jahat yang sering mengganggu di pinggir jalan.

Pada permulaan masa Islam, di Madinah masih banyak orang jahat yang suka mengganggu wanita, sebab para wanita pada waktu itu masih selalu memakai pakaian harian sebagaimana pada masa jahiliyah, sehingga tidak dapat dibedakan antara orang terhormat dan orang yang tidak terhormat. Kadang-kadang mereka menggangu wanita muslimah dengan alasan tidak dapat mengenalnya, dan menyangkanya sebagai wanita yang tidak terhormat, karena itulah wanita muslimah diperintahkan memakai mode pakaian yang berbeda dengan mode pakaian yang dipakai oleh wanita yang tidak terhormat. (al-Qasimiy, 1978, XIII:4908).

Al-Qurtubiy dalam tafsirnya mengatakan, pakaian penutup aurat hendaklah terbuat dari bahan yang tidak tembus pandang, agar warna kulit tidak kelihatan, dan berbentuk longgar, agar bentuk badannya tidak tampak, kecuali apabila sedang bersama suaminya, sebab pakaian tembus pandang dan sempit, tidak memenuhi fungsinya sebagai penutup aurat, maka Rasulullah saw pernah bersabda:

رب كاسية في الدنيا عارية في الأخرة

                        “Kadang-kadang wanita berpakaian di dunia, tetapi telanjang di akhirat.” (al-Qurtubiy, tt, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, VI:5326).

Sekalipun ayat tersebut disampaikan dalam bentuk khabariyah (berita), tetapi didalamnya terkandung makna perintah yang menunjukkan kepada wujub (kewajiban). Menurut ilmu balaghah, bentuk khabariyah itu lebih baligh (tegas dan tepat) daripada bentuk insya’iyah amr (perintah), maka jelaslah bahwa menutup aurat merupakan kewajiban bagi kaum muslimin dan muslimat, bukan hanya keluarga Nabi saw, dan para wanita Madinah, sebab ayat tersebut berlaku umum, sekalipun diturunkan karena sebab khusus.

Allah memerintahkan Nabi-Nya agar umat Islam semuanya mentaati peraturan adab dan sopan santun Islam, petunjuknya yang mulia dan peraturan-peraturannya yang bijaksana, untuk kebaikan bersama, baik untuk kehidupan perseorangan maupun kehidupan bermasyarakat. Allah mewajibkan orang-orang muslimah untuk menutup auratnya agar kehormatannya terjaga dari pandangan yang menyakitkan, kata-kata yang menyengat, jiwa yang sakit dan niat jahat laki-laki yang tidak berakhlak, sebagaimana ditegaskan dalam surat an-Nur (24):31. Kewajiban menutup aurat bukanlah merupakan adat kebiasaan atau tradisi Arab sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang. Islam mewajibkan menutup aurat adalah bertujuan untuk memotong niat jahat para syaitan, sehingga mereka tidak dapat menggoda hati para laki-laki dan para wanita. Itulah yang dimaksudkan dengan firman-Nya: “Zalika azka lahum” (yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka). (an-Nur (24):30).

 

Batas-batas Aurat

Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan batas aurat, karena perbedaan penafsiran terhadap ayat tentang aurat. Para ulama telah sepakat bahwa antara suami dan isteri tidak ada aurat, berdasarkan firman-Nya:

إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ

            “…Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal itu tiada tercela”. ( al-Mu’minun (23): 6). (as-Ssabuniy, 1971, II: 154).

Maka yang dibahas disini adalah aurat lak-laki dan perempuan terhadap orang lain.

1. Aurat Laki-laki Terhadap Laki-laki: Menurut jumhur ulama, aurat laki-laki terhadap laki ialah antara pusat perut hingga lutut, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jurhud al-Aslamiy, ia berkata: Rasulullah saw duduk diantara kita dan paha saya terbuka, kemudian beliau bersabda:

أما علمت أن النخذ عورة

“ Ketahuilah bahwa paha adalah aurat”. (ditahrijkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmiziy, dari Jurhud al-Aslamiy)

2. Aurat Perempuan Terhadap Perempuan: Jumhur ulama berpendapat bahwa aurat perempuan terhadap perempuan adalah sama dengan aurat laki-laki terhadap laki-laki.

3. Aurat Laki-laki Terhadap Perempuan: Jumhur ulama berpendapat bahwa aurat laki-laki terhadap perempuan adalah dari pusat perut hingga lutut, baik terhadap mahraam maupun bukan mahram. (as-Sabuniy, 1971, II:153)

4. Aurat Perempuan Terhadap Laki-laki: Para ulama berbeda pendapat tentang aurat perempuan terhadap laki-laki, dan diantara pendapat-pendapat tersebut ada dua pendapat yang diikuti oleh banyak orang, yaitu:

a. Asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, dengan alasan:

1). Firman Allah: Wala Yubdina Zinatahunna (dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya). (an-Nur (24): 31). Ayat tersebut dengan tegasa melarang memaparkan perhiasannya. Mereka membagi zinah (perhiasan) menjadi dua macam: Pertama zinah khalqiyyah (perhiasan yang bereasal dari penciptaan Allah), seperti wajah, ia adalah asal keindahan dan menjadi sumber fitnah. Kedua zinah muktasabah (perhiasan yang dibuat manusia), seperti baju, gelang dan pupur.

Ayat tersebut mengharamkan kepada wanita menampakkan perhiasan secara mutlak, baik perhiasan khalqiyyah maupun perhiasan muktasabah, maka haram bagi wanita menampakkan sebagian anggota badannya atau perhiasaannya dihadapan orang laki-laki. Mereka mena’wilkan firman Allah: “Illa ma zahara minha” (kecuali apa yang biasa tampak daripadanya), bahwa yang dimaksudkan dengan ayat tersebut ialah: “menampakan tanpa sengaja”, seperti tersingkap karena angin, baik wajah atau anggota badan lainnya, sehingga ma’na ayat tersebut menjadi sebagai berikut: “Janganlah mereka menampakkan perhiasannya selam-lamanya”.

2). Hadits yang diriwaytakan oleh Ibnu Abbas ra, ia menceritakan, bahwa Nabi saw memboncengkan al-Fadl ibnul-Abbas pada hari Nahr dibelakangnya, dia adalah orang yang bagus rambutnya, dan berkulit putih. Ketika itu datanglah seorang wanita minta fatwa kepada beliau, kemudian al-Fadl melihatnya dan wanita itupun melihat al-Fadl. Kemudian Rasulullah saw memalingkan wajah al-Fadl kearah lain… (ditahrijkan oleh al-Bukhari, dari Ibni Abbas, bab Hajji Wada’)

3). Apabila keharaman meliha rambut dan kaki telah disepakati oleh para ulama, maka keharaman melihat wajah adalah lebih pantas disepakati, sebab wajah adalah asal keindahan dan juga sumber fitnah, maka bahya memandang wajah adalah lebih besar.

b. Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat, bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua tapak tangan, dengan alasan:

1). Bahwa firman Allah SWT: “Wa la yubdiha zinatahunna illa ma zahara minha” (dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak daripadanya) (an-Nur (24): 31), ayat tersebut mengecualiakan apa yang biasa tampak, yang dimaksudkannya ialah wajah dan dua tapak tangan. Pendapat tersebut dinukil dari sebagian sahabat dan tabi’in. sa’id bin Jbir juga berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan “apa yang baisa tampak” adalah wajah dan dua tapak tangan, demikian pula ‘Ata’. (at-Tabariy, Tafsir at-Tabariy, XVIII: 118).

2) mereka mengautkan pendapat tersebut dengan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah yang bunyi teksnya sebagai berikut:

أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ *

Bahwa Asma’ binti Abi Bakr masuk ketempat Rasulullah saw dengan memakai baju yang tipis, kemudian Rasulullah saw berpaling daripadanya dan bersabda: “Hai Asma’ seseungguhnya apabila wanita itu sudah sampai masa haid, tidaklah boleh dilihat sebagian tubuhnya kecuali ini dan ini, dan beliau menunjuk kepada muka dan kedua tapak tangannya.” (ditahrijkan oleh Abu Dawud, dari ‘Aisyah).

3). Mereka mengatakan, diantara dalil yang memperkuat pendapat bahwa wajah dan dua tapak tangan adalah bukan aurat, ialah bahwa dalam melakukan salat dan ihram, wanita harus membuka wajah dan dua tapak tangannya. Senadainya kedua anggota badan tersebut termasu aurat, niscayatidak diperbolehkan membuka kedaunya pada waktu mengerjakan salat dan ihram, sebab menutup aurat adalah wajib, tidaklah sah salat atau ihram seseorang jika terbuka auratnya. (as-Sabuniy, 1971, II: 155).

Demkianlah pendapat para imam tentang aurat wanita: asy-Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa seluruh anggota badan adalah aurat, termasuk wajah dan kedau tapak tangan. Adapun imama Malik dan imaam Abu Hanifah berpendapat bahwa wajah dan kedua tapak tangan tidak termasuk aurat.

Al-Qasimiy mengutip pendapat as-Siyutiy dalam al-Iklil: Ibnu Abbas, sebagimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, berpendapat bahwa wajah dan dua tapak tangan adalah bukan aurat. Pendapat inilah yang dijadikan alasan bagi orang yang memperbolehkan melihat wajah da tapak tangan wanita selama tidak menimbulkan fitnah. (al-Qasimiy, 1978, XII: 195).

Jika dihubungkan dengan sebab nuzul ayat 30-31 surat an-Nur dan ayat 50 surat al-Ahzab, perintah menutup seluruh tubuh bagi para wanita, karena kekhawatiran yang mendalam akan timbulnya fitnah, karena di Madinahpada waktu itu masih banyak orang fasik yang beradat kebiasaan jahiliyah, dan suka mengganggu para wanita. Kekhawatiran Rasulullahh saw pada waktu itu sangat masuk akal, karena beliau sangat paham terhadap adat istiadat jahiliyah.

Kekhawatiran akan adanya fitnah pada masa kinipun masih menghantui kita, apalagi pengaruh budaya dari berbagia bangsa didunia ini yang tidak mengenal norma-norma islamiyah adalah sangat besar.

Kami berpendapat bahwa alasan bagi pendapat bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan tapak tangan adalah lebih kuat, dan pendapat tersebut menurut kami lebih pas bagi muslimah Indonesia. sekalipun demikian kami berpendapat bahwa menutup wajah dan tapak tangan tidaklah terlarang, bahkan merupakan perbuatan kehati-hatian yang terpiji, dan menutup aurat dengan libasut-taqwa (pakaian taqwa) adalah paling baik.

 

PERMASALAHAN JUM'AT (13)

M. Daming, Makassar

 

Pertanyaan :

1.      Apakah orang yang tidak melaksanakan shalat Jum’at (kalau tidak ke masjid) juga tetap dua rakaat, tidak empat rakaat tidak sesat, Mengingat belum ada keputusan Majelis Tarjih, hanya baru sebatas fatwa saja ?

2.      Apakah mengerjakan dua rakaat itu yang lebih utama, bukan yang empat rakaat, seperti yang biasa dikerjakan selama ini ?

 

Jawaban :

Sebelum menjawab pertanyaan Saudara tersebut, perlu kami jelaskan bahwa kalau ada orang atau warga Muhammadiyah yang tidak atau belum setia dengan fatwa Tarjih yang dimuat dalam Suara Muhammadiyah, ada yang pro dan ada yang kontra, itu tandanya warga Muhammadiyah dinamis dalam menerima sesuatu fatwa, dan hal itu sangat kita perlukan tetap hidup di kalangan Muhammadiyah, asal ada dasar pegangannya, tidak karena selera pribadi. Berikut ini kami jawab pertanyaan Saudara.

1.      Kami akui bahwa Fatwa Majelis Tarjih yang dimuat dalam Suara Muhammadiyah No. 15 Th. ke-87 (seperti yang Saudara katakan) masih sebatas fatwa, benar sekali. Fatwa itu belum dibawa dalam Munas Tarjih untuk dibahas secara bersama dan belum ditanfidzkan. Tetapi hal itu tidak menjadi sesat bagi orang yang mengikutinya sesuai fatwa itu, karena fatwa tersebut didasarkan kepada sejumlah dalil-dalil syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dalam melakukan istinbatnya. Sedang bagi orang yang belum mau menerima, tidak ada paksaan dan tidak berdosa. Sifat fatwa tidak mengikat, kecuali kalau sudah ditanfidzkan, itu sudah mengikat warga Muhammadiyah, sebagaimana fatwa-fatwa / putusan-putusan Majelis Tarjih lainnya yang sudah ditanfidzkan. Perlu Saudara ketahui, Muhammadiyah dalam beberapa hal tidak selalu sejalan dengan pendapat yang dipegang banyak orang. Misalnya, banyak orang mengerjakan shalat tarawih 21 rakaat, tetapi Muhammadiyah hanya 11 rakaat bersama witirnya. Begitu juga kebanyakan orang memakai rukyah dengan mata telanjang dalam penetapan awal Ramadhan, 1 Syawwal dan 10 Dzulhijjah, tetapi Muhammadiyah memakai hisab dan rukyah bil ‘ilmi.

2.      Mengenai manakah yang lebih utama dua rakaat atau empat rakaat? Dalam hal ini bukan utama dan tidak utama, tetapi mana yang kuat dasarnya. Menurut kami, yang kuat adalah mengerjakan shalat dua rakaat bagi mereka yang karena ada halangan tidak bisa ke masjid. Itu yang pokok, bukan shalat Dhuhur yang empat rakaat. Dengan lain perkataan yang pokok pada hari Jum’at adalah shalat Jum’at, bukan shalat Dhuhur empat rakaat. Hal itu sesuai dengan isi hadits riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad dan lain-lainnya, yaitu;

إِنَّ اْلجُمْعَةَ عَزْمَةٌ وَ إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمَشُّوْنَ فِي الطِّيْنِ وَ الدَّحَضِ

Artinya: “Bahwasanya shalat Jum’at itu azimah (pokok = hukum asal) dan aku (Nabi Muhammad SAW) tidak senang menyusahkan kamu supaya berjalan di lumpur dan becek”.

 

TENTANG BULAN HIJRIYAH (14)

Supriyadi, S. Pd., Lombok Tengah

 

Pertanyaan :

 

  1.     Apakah ada bulan Hijriyah berumur 28 hari? Menurut saya tidak ada.

  2.     Apa yang melatar belakangi sehingga Pemerintah mengajukan libur 1 Muharram 1424 H menjadi hari Senin? Apakah ada muatan politis?

 

Jawaban :

 

Prinsip yang dipegangi oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam menentukan awal bulan Qamariyah, hingga kini masih tetap berpegang pada wujudul hilal. Artinya pada hari terjadinya ijtima’; hilal tenggelam setelah matahari tenggelam (moonset after sunset).

Pada saat menjelang bulan Muharram 1424 H, data yang dihimpun oleh Majelis adalah: Ijtima’ Bulan dan Matahari jatuh pada hari Senin, Pon, tanggal 3 Maret 2003 M, pukul 9j36m01d. Ketinggian hilal saat Matahari tenggelam 4°57'21". Dengan demikian, hilal sudah dinyatakan wujud. Maka 1 Muharram 1424 H jatuh pada senja hari, dan keesokannya yaitu Selasa tanggal 4 Maret 2003 M. Demikian pula keputusan Pemerintah (Departemen Agama), karena ada laporan ru’yah yang diterima.

Kalau Pemerintah kemudian menetapkan hari libur tanggal 3 Maret 2003 M disebabkan karena keinginan agar hari libur itu tergabung dengan hari Ahad. Maka hari libur menjadi berturut-turut Sabtu, Ahad, dan Senin. Hal itu juga seperti terjadi pada hari Maulid Nabi yang mestinya jatuh pada hari Rabu, tanggal 14 Mei 2003 M, diundur hari liburnya 1 hari, menjadi hari Kamis tanggal 15 Mei 2003 M, dengan tujuan agar hari libur menjadi tanggal 15, 16, 17 dan 18 Mei 2003 M, yaitu hari Kamis, Jum’at, Sabtu dan Ahad. Kebetulan hari Jum’at, tanggal 16 Mei 2003 M itu juga hari libur. Begitu pula hari Kenaikan Isa Al Masih yang menurut ketentuan jatuh pada hari Kamis, 29 Mei 2003 M, hari liburnya diundur 1 hari, menjadi hari Jum’at tanggal 30 Mei 2003 M, dengan tujuan agar tergabung dengan hari Sabtu dan Ahad. Latar belakangnya hanyalah supaya hari libur dapat tergabung, dan para pegawai dapat mempergunakannya lebih baik.

FIQIH WANITA YANG MENGALAMI KEPUTIHAN (15)

Ruswanda, SLTP N 1 Mekar Mukti, Bungbulang, Garut, Jawa Barat 44165

 

Pertanyaan :

  1.     Bagaimana hukum fiqh tentang wanita yang mengalami keputihan ?

  2.     Bila seorang wanita berhenti dari KB suntik, maka biasanya haid tidak teratur. Kadang satu dua hari haid kemudian berhenti, kemudian haid lagi. Bagaimana hukum tentang wanita tersebut ?

 

Jawaban :

Keputihan bukan haid, melainkan semacam penyakit yang sering dialami seorang wanita. Keputihan semacam istihadhah. Istihadhah yaitu, keluarnya darah atau yang lain dari rahim wanita terus menerus, sehingga ia merasa tidak mungkin dalam keadaan suci untuk melaksanakan shalat. Karena keluar salah satu dari dua jalan membatalkan wudlu dan keluarnya itu treus menerus.

Demikian juga wanita yang tidak teratur masa haidnya karena KB suntik. Terhadap kedua masalah di atas agar wanita yang bersangkutan meneliti. Jika yang keluar darah haid yang warnanya kehitam-hitaman, maka bagi wanita itu berlaku hukum wanita haid, yaitu tidak boleh mengerjakan shalat dan jika berakhir masa haidnya, ia hendaklah mandi sebelum mengerjakan shalat. Seandainya darah yang keluar bukan darah haid yang berwarna seperti darah segar atau yang keluar sesuatu yang lain, maka bagi wanita itu berlaku hukum wanita istihadhah. Ia tetap wajib mengerjakan shalat dan sebelum berwudlu ia membersihkan faraj-nya, kemudian menutup dengan kapas atau kain dan sebagainya, setelah itu ia berwudlu dan mengerjakan shalat. Dasar hukumnya ialah hadits:

أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتِ حُبَيْشٍ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ دَمُ الْحَيْضِ فَإِنَّهُ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَأَمْسِكِي عَنِ الصَّلاَةِ فَإِذَا كَانَ اْلآخَرُ فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي فَإِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ ( رواه أبو داود و النسآء و ابن حبان و الدار قطنى و قال: رواته كله ثقات)

Artinya : “Bahwasanya Fathimah binti Hubaisy mengalami istihadhah, maka berkata Nabi SAW kepadanya: ‘Jika darah haid warnanya hitam yang dikenal. Apabila demikian berhentilah shalat. Jika tidak demikian, berwudlulah dan shalatlah, karena itu hanya merupakan bocor pembuluh darah’.” (HR. Abu Dawud, an-Nasa`i, Ibnu Hibban dan ad-Daraquthni dan ia berkata seluruh perawinya tsiqah, menurut riwayat al-Hakim : menurut syarat muslim)

Pada hadits yang lain diterangkan bahwa wanita itu berwudlu setiap akan mengerjakan shalat.

 

SHALAT JANAZAH ORANG YANG IDIOT, MEMBANGUN MASJID DAN SHALAT DI ATAS TANAH BEKAS KUBURAN (16)

Saudara Marbadi, Langganan SM No. 10100

Pertanyaan :

  1.     Hukum menshalatkan jenazah seorang idiot (kurang / lemah akal)

  2.     Membangun masjid atau mushalla di atas tanah bekas kuburan

  3.     Hukum shalat di atas masjid yang didirikan di tanah bekas kuburan

 

Jawaban :

 

  1.     Hukum menshalatkan jenazah seorang idiot (kurang / lemah akal)

Seorang idiot adalah juga seorang manusia yang telah lahir dalam keadaan hidup, kemudian meninggal dunia. Semua yang lahir dalam keadaan hidup kemudian meninggal dunia, apakah ia idiot atau bukan, wajib dishalatkan, berdasarkan hadits :

عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَهَلَّ الصَّبِيُّ صُلِّيَ عَلَيْهِ وَوُرِثَ

Artinya : “Dari Jabir as., bahwasanya Nabi SAW bersabda; ‘Apabila berteriak bayi yang lahir sebelum waktunya (prematur, bila ia meninggal dunia) hendaklah dishalatkan dan memperoleh warisan’.” (HR. at-Tirmuzi, an-Nasa`i, Ibnu Majah dan al-Baihaqi)

 

  2.     Membangun masjid atau mushalla di atas tanah bekas kuburan dan shalat di atasnya.

Rasulullah SAW melarang kaum muslimin shalat dan mendirikan masjid di atas kuburan para nabi, orang shaleh atau ulama mereka, berdasarkan hadits :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ اللهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ (رواه الترمذى و النسآء و ابن ماجه و البيهاقى)

Artinya : “Dari ‘Aisyah ra., Nabi SAW bersabda; ‘Allah melaknat orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid’.” (HR. al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan an-Nasa`i).

Dan hadits :

عَنْ أَبِي مَرْثَدٍ الْغَنَوِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ وَلاَ تَجْلِسُوا عَلَيْهَا (رواه أحمد و مسلم)

Artinya : “Dari Abu Martsad al-Ghanawi, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda; ‘Jangan kamu shalat di atas kuburan dan jangan pula duduk di atasnya’.” (HR. Ahmad dan Muslim)

Sebagian besar ulama memandang bahwa larangan Nabi SAW shalatdan mendirikan masjid di atas kuburan bukan larangan haram, tetapi hukumnya makruh saja. Larangan itu berupa saddan liz-zari’ah, ialah larangan untuk menutup pintu dan menghindari diri dari perbuatan yang dilarang agama, yaitu menjadikan masjid dan kuburan itu sebagai tempat keramat dan menjadikan orang-orang yang berkubur didalamnya, yaitu para nabi, atau ulama, atau orang yang dianggap suci, sebagai sembahan dan pujaan (as-Sayid Sabiq, 1915)

Dari hadits-hadits di atas dapat pula dipahami bahwa jika tempat itu tidak lagi dijadikan kuburan, karena jenazah yang ada di dalamnya telah dipindahkan, maka di tempat itu boleh didirikan masjid dan tentu saja boleh mengerjakan shalat di dalamnya, karena Allah dan Rasul-Nya tidak melarangnya.

KHUTBAH JUM'AT LEBIH PANJANG DARI SHALATNYA APAKAH BID'AH ? (17)

Pertanyaan dari Abdullah, Pasar Panyambungan, kode pos 22912

Pertanyaan:

 

1.      Khutbah Jum’at yang lebih panjang dari salatnya apakah termasuk bid’ah? Dan apakah hukumnya?

2.      Apa hukumnya jika imam pada salat Jum’at tidak membaca surat al-‘A’la dan al-Ghasiyah?

 

Jawab:

Untuk menjawab pertanyaan saudara, perlu kami jelaskan lebih dahulu pengertian bid’ah: Dimaksudkan dengan bid’ah ialah menciptakan ibadah baru yang tidak berdasarkan dalil syar’i (al-Qur’an dan as-Sunnah). (al-Jurjani, 1321: 29)

Perlu diketahui bahwa yang peling berhak menciptakan cara ibadah hanyalah Allah dan Rasul-Nya

Pada salat Jum’at apabila khutbahnya panjang, sedang salatnya dilakukan singkat, atau tidak membaca surat al-‘A’la dan al-Ghasyiyah, maka perbuatan tersebut bukanlah tergolong bid’ah, sebab tidak menciptakan ibadah, melainkan meninggalkan sunnah Rasul. Karena menyingkat khutbah dan memanjangkan salat, dan membaca surat al-‘A’la pada rakaat pertama dan membaca al-Ghasyiyah pada raka’at kedua hukumnya sunnah, maka apabila melakukannya mendapat pahala, dan apabila meninggalkannya, tidak berdosa, salat dan khutbahnya sah/tidak batal.

 

Pertanyaan :

1.      Ketika turun dari mimbar, khatib melihat dalam jama’ah ada anggota jam’ah yang lebih fasih bacaannya dan lebih memenuhi syarat menjadi imam shalat, apakah boleh diserahkan menjadi imam kepada orang tersebut? Apakah shalat tersebut tidak batal?

2.      Dalam khutbah kedua, apakah rukun khutbahnya sama dengan khutbah pertama? Dan apakah boleh membaca surat al-‘Asri dan surat al-Ahzab: 56?

 

Jawab:

 

1. Orang yang berhak menjadi imam dalam shalat, yang afdhal adalah orang yang paling baik dan paling banyak menghafal al-Qur’an dan paling menguasai ilmu keislaman, tetapi bukan berarti bahwa jika imamnya kurang baik adalah tidak sah shalatnya.

Maka apabila ada di antara anggota jama’ah, ada orang yang lebih fasih, boleh saja diserahkan kepadanya untuk menjadi imam shalat. Dalam suatu hadis disebutkan sebagai berikut:

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ اْلأَنْصَارِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا... ( أخرجه مسلم)

“Dari Abi Mas’ud al-Anshariy, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Orang yang paling berhak menjadi imam bagi suatu kaum adalah orang yang paling baik bacaannya (penguasaannya), jika mereka sama tingkatannya dalam bacaan, maka orang yang paling menguasai al-Sunnah, jika mereka sama dalam penguasaan al-Sunnah, maka orang yang paling dahulu berhijrah, jika mereka sama dalam berhjrah, maka yang paling dahulu masuk Islam…”  (Ditahrijkan oleh Muslim, I, kitab al-masajid, no. 290/673: 298)

Berdasarkan hadis tersebut, maka menyerahkan kepada orang yang lebih fasih bacaannya adalah lebih afdhal. Maka dalam mencari khatib Jum’at hendaknya dipilih orang yang khutbahnya baik dan fasih bacaannya.

 

2. Dalam beberapa hadis, baik hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim  maupun al-Nasa’i, tidak membedakan antara khutbah pertama dan khutbah kedua. Maka para ulama berpendapat bahwa rukun khutbah pertama dan kedua adalah sama.

Dibawah ini kami kutipkan hadis mengenai khutbah Jum’at:

a.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْه قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَقْعُدُ ثُمَّ يَقُومُ كَمَا تَفْعَلُونَ الْآنَ ( أخرجه البخاري)

 

“Dari Ibni Umar ra, ia berkata bahwa Nabi saw berkhutbah dengan berdiri, kemudian duduk, kemudian berdiri lagi, sebagaimana kamu sekalian melakukannya sekarang” (ditahrijkan oleh al-Bukhari, I, kitab al-Jum’ah: 108)

b.

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ كَانَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُطْبَتَانِ يَجْلِسُ بَيْنَهُمَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيُذَكِّرُ النَّاسَ( أخرجه مسلم)

 

“Dari Jabir bin Samurah, ia berkata: Bagi Nabi saw (pada salat Jum’at) ada dua khutbah, yang antara keduanya beliau duduk. (Pada khutbah tersebut) beliau membaca al-Qur’an dan mengingatkan manusia (agar ingat kepada Allah)”. (Muslim, I, kitab Jum’ah, no. 34/862: 378)

c.

عَنْ عَبْدِ اللهِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ الْخُطْبَتَيْنِ وَهُوَ قَائِمٌ وَكَانَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا بِجُلُوسٍ ( أخرجه النسائ)

 

“Dari Abdullah, bahwa Rasulullah saw berkhutbah dengan dua khutbah, sambil berdiri, memisahkan antara dua khutbah tersebut dengan duduk”. (ditahrijkan oleh an-Nasa’i, III, kitabal-Jumu’ah, hlm. 109)

 

Adapun ayat-ayat yang sering dibaca dalam khutbah ialah: surat Ali Imran (3): 102, an-Nisa’ (4): 1 dan al-Ahzab (33): 70. tetapi bukan berarti bahwa membaca ayat lainnya tidak boleh, sebab bacaan ayat-ayat tersebut hukumnya adalah sunnah, bukan wajib.

 

TENTANG MALAM QADAR ATAU LAILATUL QADAR (18)

Damsi Jamalan, Jl. Nusa Indah III A No. 29 Bandar Lampung 35214

 

Pertanyaan :

Saya adalah seorang pembaca tetap SM di Bandar Lampung. Dalam kesempatan ini ingin menanyakan tentang malam qadar atau lailatul qadar. Berdasarkan catatan sejarah, ayat pertama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu surat Al-Alaq ayat 1 – 5, diturunkan pada malam 17 Ramadan, dan karena itu pemerintah kita menetapkan tanggal 17 Ramadan sebagai malam Nuzulul-Qur’an. Tetapi di pihak lain saya seringkali mendengar ceramah para muballigh yang mengatakan bahwa lailatul qadar itu jatuh pada tanggal ganjil pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Bahkan ada yang dengan tegas mengatakan bahwa lailatul qadar itu jatuh pada tanggal 27 Ramadan. Saya tidak tahu apakah ada hadis yang menjadi dasar hukumnya atau tidak. Karena itu saya mohon penjelasan tanggal berapa sebenarnya lailatul qadar itu terjadi, dan adakah ayat al-Qur’an atau hadis yang menjelaskan hal itu. Demikian harapan saya semoga mendapat perhatian. Atas penjelasannya saya ucapkan banyak terima kasih.

 

Jawaban :

 

Lailatul Qadar yang Saudara tanyakan memang disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Hadits, tetapi tidak disebutkan dengan jelas tanggalnya.

Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang menyebutkannya ialah:

1. إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ( القدر (97) :1)

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada lailatul qadr (malam kemuliaan).” (al-Qadr (97): 1).

2. إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ( الدخان (44) : 3)

“Sesungguhnya Kami menurunkannya (al-Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan” (ad-Dukhan (44): 3)

3. شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ ( البقرة (2): 185)

“Adalah bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil)”. (al-Baqarah (2): 185)

4. إِنْ كُنْتُمْ ءَامَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (الأنفال (8): 41)

“Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) dihari furqan, yaitu hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (al-Anfal (8): 41)

Dalam surat al-Qadar dijelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan pada malam al-Qadr (malam kemualiaan). Dalam surat ad-Dukhan dijelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan pada lailah mubarakah (malam yang diberkahi), yaitu nama lain dari lailatul qadr. Dalam surat al-Baqarah dijelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan. Dan dalam surat al-Anfal dijelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan pada malam yang bertepatan dengan bertemunya dua pasukan, yaitu pasukan muslimin dan pasukan musyrikin pada perang Badar, yaitu yang terkenal dengan hari pembeda antara haq dan batil, yang terkenal juga dengan hari kemenangan.

Semuanya tidak menyebutkan tanggalnya, dan dalam surat al-Baqarah hanya disebutkan bahwa turunnya al-Qur’an adalah pada bulan Ramadhan. Menurut Sayyid Qutb, pada bulan Ramadhan itulah diturunkan permulaan al-Qur’an kedalam hati nabi Muhammad saw untuk disampaikan kepada umatnya. Malam Qadar kadang-kadang disebut juga dengan malam taqdir, karena pada malam itulah Allah menetapkan segala sesuatu, kadang-kadang disebut juga malam maqam (kedudukan yang tinggi) atau qayyimah ( yang lurus). (Sayyid Qutb, XXX: 210)

Lailatul Qadr adalam malam yang sangat dirahasiakan oleh Allah, karena itulah pada surat al-Qadr ayat dua berbentuk pertanyaan: 

وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ

“Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?”

Maka hingga kini kapan tepatnya waktu lailatul qadr itu tidak dapat diketahui. Yang jelas, bahwa lailatul qadr adalah malam yang sangat istimewa, karena kemuliaannya yang tidak tertandingi oleh malam-malam lainnya, dan digambarkan pada ayat tiga surat al-Qadr berikut:

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan”.

            Karena itu Rasulullah saw menganjurkan agar berusaha memperbanyak ibadah pada malma tersebut, sebagimana diungkapkan dalam hadits sebagai berikut:

1- عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: Carilah lailatul qadr pada tanggal-tanggal ganjil  dari sepuluh akhir bulan Ramadhan”. (ditahrijkan oleh Bukhari, I, kitab al-Tarawih, hal.225)

2- عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رِجَالاً مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرُوا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْمَنَامِ فِي السَّبْعِ اْلأَوَاخِرِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ اْلأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيَهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ اْلأَوَاخِرِ

“Dari Ibnu Umar ra, bahwa beberapa orang laki-laki diberitahu lailatul qadr dalam mimpi pada tujuh terakhir (Ramadhan), lalu Rasulullah saw bersabda: Saya melihat mimpimu sekalian bertepatan dengn malam tujuh terakhir, barangsiapa mencarinya, maka carilah ia pada malam tujuh terakhir”. (ditahrijkan oleh Muslim, no.205/1165)

3- عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحَيَّنُوْا لَيْلَةَالْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ أَوْ قَالَ فِي التِّسْعِ اْلأَوَاخِرِ

“Dari Ibnu Umar ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Tunggulah lailatul qadr pada sepuluh akhir (bulan Ramadhan) atau sembilah akhir”. (ditahrijkan oleh Muslim, no. 211/1165)

Hadits-hadits tersebut hanya menjelaskan bahwa Rasulullah saw menganjurkan agar mencari lailatul qadr pada sepuluh akhir atau sembilan akhir atau tujuh akhir bulan Ramadhan, tidak menetapkan tanggal tertentu. Adapun tanggal 17 Ramadhan, yang biasa diperingati di Indonesia, bukanlah ketetapan dari al-Qur’an atau hadits, melainkan merupakan hasil ijtihad ulama.

Mereka berpendapat bahwa tanggal 17 Ramadhan, diisyaratkan dalam surat al-Anfal (8) : 41, yang mengatakan bahwa permulaan diturunkannya al-Qur’an bertepatan dengan terjadinya perang Badar, yang menurut ahli sejarah terjadi pada hari Jum’at tanggal 17 Ramadhan  tahun 2 Hijriyah. Sekalipun tahunnya berbeda, tetapi tanggalnya sama.

Dari penjelasan tersebut, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa permulaan turunnya al-Qur’an, adalah pada bulan Ramadhan, tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai tanggalnya, demikian pula tentang tanggal lailatul qadr.

            Karena itulah para ulama menganjurkan untuk berusaha mencari lailatul qadr mulai permulaan bulan Ramadhan hingga akhir bulan.

 

SAH TIDAKNYA MANDI WAJIB DENGAN AIR HANGAT YANG DIPANASKAN DI PANCI DAN SEBAGAINYA (19)

Sdr. Hasan Ritonga, KTAM No. 368304

Ketua PRM Siringiringo, Rantau Prapat, Labuhan Batu

 

Pertanyaan :

 

  1.     Sahkah mandi wajib dengan menggunakan air hangat yang dipanaskan di panci, periuk, dan sebagainya ?

  2.     Kalau harus dengan tayamum, bagaimana cara bertayamum ?

  3.     Dalam suatu hadits yang diriwayatkan Bukhari dinyatakan bahwa sarung yang dipakai hingga bawah matakaki di dalam neraka. Apakah sama hukumnya dengan celana panjang yang dalamnya melampaui matakaki ?

 

Jawaban :

 

Pertanyaan 1

Tidak ada ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih lagi maqbul yang menyatakan bahwa tidak sah mandi wajib dengan menggunakan air hangat yang telah dipanaskan dengan panci, periuk, dan sebagainya, selama tidak kemasukan benda-benda najis seperti; darah, bangkai, kotoran manusia atau binatang dan sebagainya. Semua air mutlak, yaitu air yang suci dan mensucikan dapat digunakan untuk berwudlu dan mandi janabah. Allah SWT berfirman:

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِّنَ السَّمَاءِ مَاءً لِّيُطَهِّرَكُمْ بِهِ

Artinya: “… dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengannya …” (QS. Al-Anfal {8} : 11)

Bahkan air yang telah dipakai untuk bersuci dapat digunakan lagi untuk bersuci, berdasarkan hadits:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ ر.ض. قال: كَانَ النِّسَاءُ وَالرِّجَالُ يَتَوَضَّئُونَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فيِ إِنَاءٍ وَاحِدٍ يَشْرَعُونَ بِهِ جَمِيعًا (رواه البخاري و أبو داود و النسائي و مالك و أحمد)

Artinya: “Dari Abdullah bin Umar r.a., ia berkata; Laki-laki dan perempuan pada masa Rasulullah s.a.w. berwudlu pada tempat air yang satu, mereka semua mengambil air dari tempat itu.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Nasa`i, Malik dan Ahmad)

Demikian pula air sisa minum binatang yang halal dimakan dan binatang yang dipandang sebagai binatang yang suci, boleh digunakan untuk bersuci, berdasarkan hadits:

عَنْ قَتَادَةَ قَالَ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّمَا هِيَ مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ أَوِ الطَّوَّافَاتِ (رواه الجماعة)

Artinya: “Dari Qotadah r.a., ia berkata; Bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: ‘Kucing itu tidak najis, ia termasuk binatang yang selalu ada di sekitar kamu (dalam lingkunganmu)’.” (HR. Jamaah)

Begitu pula air yang bercampur dengan benda-benda suci, boleh digunakan untuk bersuci.

Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa mandi janabah dengan menggunakan air hangat yang dipanaskan dengan panci, periuk, dan sebagainya dibolehkan.

 

Pertanyaan 2

Cara tayamum yang diajarkan Rasulullah s.a.w. kepada sahabat ialah menepukkan kedua telapak tangan ke tempat debu suci yang telah tersedia, lalu menghembus kedua telapak tangan itu dan menyapukannya ke muka, kemudian menyapukannya pada kedua tangan sampai pergelangan tangan. Cara ini berdasarkan hadits:

عَنْ عَمَّارٍ قَالَ: أَجْنَبْتُ فَلَمْ أُصِبِ الْمَاءَ فَتَمَعَّكْتُ فيِ الصَّعِيْدِ وَ صَلَّيْتُ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ هَكَذَا فَضَرَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَفَّيْهِ اْلأَرْضَ وَنَفَخَ فِيهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ (متفق عليه)

Artinya: “Dari Ammar r.a., ia berkata; Aku pernah berjanabah dan tidak mendapat air, lalu aku berguling-guling dalam debu dan shalat. Maka aku sebutkan yang demikian itu kepada Rasulullah s.a.w.. Beliau berkata: ‘Sesungguhnya cukup kamu melakukan begini’. Lalu beliau meletakkan kedua tangannya di tanah dan meniupnya, kemudian mengusap muka dan tangannya sampai pergelangan tangannya dengan kedua telapak tangannya itu.” (Muttafaq Alaih)

 

Pertanyaan 3

Memakai kain sarung atau celana yang dalamnya melampaui kedua matakaki pada dasarnya bukanlah sesuatu yang dilarang oleh agama Islam. Larangan itu berlaku bagi orang yang tujuan memakai sarung atau celana yang menutupi atau di bawah matakaki itu untuk kemegahan, menyombongkan diri, dan rasa angkuh yang timbul dalam dirinya. Apalagi sarung atau celana itu sampai menyapu tanah seperti yang biasa dilakukan oleh raja-raja atau para bangsawan masa dahulu. Memakai sarung atau celana yang dalamnya sampai menyapu tanah tidak saja memperlihatkan kesombongan dan keangkuhan seseorang, tetapi juga dapat mengotori pakaian yang dipakainya.

Sehubungan dengan ini Rasulullah s.a.w. bersabda:

لاَ يَنْظُرُ اللهُ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ (متفق عليه)

Artinya: “Allah tidak memandang orang yang menjela-jelakan pakaiannya dalam keadaan menyombongkan diri.” (Muttafaq Alaih)

Yang dimaksud dengan ‘jarra tsaubah’, dijelaskan oleh hadits menurut lafal Bukhari, yaitu:

مَا أَسْفَلَ مِنَ اْلكَعْبَيْنِ مِنَ اْلإِزَارِ فيِ النَّارِ

Artinya: “Pakaian yang dalamnya di bawah kedua matakaki berada dalam neraka.”

Menurut hadits yang ditakhrijkan oleh Bukhari, Abu Dawud, an-Nasa`i, tatkala Abu Bakar r.a. mendengar pernyataan Rasulullah s.a.w. yang tersebut pada hadits di atas, beliau menghadap Rasulullah s.a.w. dan berkata:

أَنَّ إِزَارِيْ يَسْتَرَخَي إِلاَّ أَنْ تُعَاهِدُهُ

Artinya : “Sesungguhnya sarungku menutupi matakakiku”

Rasulullah s.a.w. menjawab:

إِنَّكَ لَسْتَ مِمَّنْ يَفْعَلُهُ خُيَلاَءً

Artinya: “Sesungguhnya engkau bukan termasuk orang yang melakukan kesombongan.”

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa boleh memakai sarung atau celana yang dalamnya di bawah atau menutupi matakaki, asal tidak terdapat di dalamnya unsur-unsur kesombongan. Dalam pada itu, sarung atau celana yang menyapu tanah dapat mengotori sarung atau celana tersebut.

HUKUM PACARAN DAN LAINNYA (20)

Lukman Amirudin Syarif, (luasy-01@plasa.com)

 

Pertanyaan:

1.      Bagaimana hukum Islam tentang pacaran?

2.      Bagaimana Islam memandang wanita? (contoh kasus di Afganistan saat Thaliban berkuasa wanita dilarang keluar rumah atau ikut berpolitik atau ikut berolahraga)

3.      Apakah ada dasar dari al-Qur’an atau Hadits yang menyatakan bahwa umat Islam yag memiliki dosa besar maupun kecil akan mampir dulu ke neraka baru masuk surga?

 

Jawaban:

 

Pertanyaan no. 1:

Pacaran” dalam kamus bahasa Indonesia mempunyai beberapa arti (Purwodarminto, 1976) :

1.      Pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan, bersuka-sukaan mencapai apa yang disenangi mereka.

2.      Pacaran berarti “bergendak” yang sama artinya dengan berkencan atau berpasangan untuk berzina.

3.      Pacaran berarti berteman dan saling menjajaki kemungkinan untuk mencari jodoh berupa suami atau istri.

Pacaran menurut arti pertama dan kedua jelas dilarang oleh agama Islam, berdasarkan nash:

a. Allah berfirman:

وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً ( الإسراء: 32)

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”

b. Hadits:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ ( رواه البخاري: 2784, مسلم: 2391)

“Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw berkhutbah, ia berkata: Jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali beserta ada mahramnya, dan janganlah seorang perempuan melakukan musafir kecuali beserta  ada mahramnya” (muttafaq alaihi)

Perkawinan merupakan sunnah Rasulullah dengan arti bahwa suatu perbuatan yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah agar kaum muslimin melakukannya. Orang yang anti perkawinan dicela oleh Rasulullah, berdasarkan hadits:

عن أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي * (رواه البخاري: 4675, مسلم:2487)

“Dari Anas ra. Bahwasanya Nabi saw berkata: …tetapi aku, sesungguhnya aku salat, tidur, berbuka dan mengawini perempuan, maka barangsiapa yang benci sunnahku maka ia bukanlah dari golonganku”

Pada umumnya suatu perkawinan terjadi setelah melalui beberapa proses, yaitu proses sebelum terjadi akad nikah, proses akad nikah dan proses setelah terjadi akad nikah. Proses sebelum terjadi akad nikah melalui beberapa tahap, yaitu tahap penjajakan, tahap peminangan dan tahap pertunangan. Tahap penjajakan mungkin dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan atau sebaliknya, atau pihak keluarga masing-masing. Rasulullah memerintahkan agar pihak-pihak yang melakukan perkawinan melihat atau mengetahui calon jodoh yang akan dinikahinya, berdasarkan hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلاَ نَظَرْتَ إِلَيْهَا فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ اْلأَنْصَارِ شَيْئًا( رواه النسائ: 3194, إبن ماجه و الترمذي)

“Dari Abu Hurairah ra ia berkata: berkata seorang laki-laki sesungguhnya ia telah meminang seorang permpuan Anshar, maka berkata Rasulullah kepadanya: “Apakah engkau telah melihatnya? Laki-laki itu menjawab: “Belum”. Berkata Rasulullah: “Pergilah dan perhatikan ia, maka sesungguhnya pada mata perempuan Anshor ada sesuatu” (HR. an-Nasa’i, Ibnu Majah, at-Tirmizi, dan dinyatakannya sebagai hadits hasan)

Rasulullah saw memerintahkan agar kaum muslimin laki-laki dan perempuan sebelum memutuskan untuk meminang calon jodohnya agar berusaha memilih jodoh yang mungkin berketurunan, sebagaimana dinyatakan pada hadits:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا وَيَقُولُ تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ اْلأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ*( رواه أحمد : 12152, وصححه إبن حبان)

“Dari Anas ra. Rasulullah saw memerintahkan (kaum muslimin) agar melakukan perkawinan dan sangat melarang hidup sendirian (membujang). Dan berkata: Kawinilah olehmu wanita yang pencinta dan peranak, maka sesungguhnya aku bermegah-megah dengan banyaknya kamu di hari kiamat”

Dari kedua hadits diatas dipahami bahwa ada masa penjajakan untuk memilih calon suami atau isteri sebelum menetapkan keputusan untuk malakukan peminangan. Penjajakan ini mungkin dilakukan oleh pihak laki-laki atau pihak perempuan atau keluarga mereka. Jika dalam penjajakan ini ada pihak yang diabaikan terutama calon isteri atau calon suami maka yang bersangkutan boleh membatalkan pinangan akan perkawinan tersebut, berdasarkan hadits:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اْلأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا قَالَ نَعَمْ* ( رواه مسلم: 2545, البخاري: 4741)

“Dari Ibnu Abbas, ra, bahwasanya Rasululah saw bersabda: Orang yang tidak mempunyai jodoh lebih berhak terhadap (perkawinan) dirinya dibanding walinya, dan gadis dimintakan perintah untuk perkawinannya dan (tanda) persetujuannya ialah diamnya” (muttafaq alaih)

Dan hadits:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ جَارِيَةً بِكْرًا أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ أَنَّأَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ فَخَيَّرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ( رواه أبوداود: 1794, أحمد: 2340, إبن ماجه: 1865)

“Dari Ibnu Abbas ra, sesungguhnya jariah seorang gadis datang menghadap rasulullah saw dan menyampaikan bahwa bapaknya telah mengawinkannya dengan seorang laki-laki, sedang ia tidak menyukainya. Maka Rsulullah saw menyuruhnya untuk memilih (apakah menerima atau tidak)”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan ad-Daraquthni)

Masa penjajakan ini dapat disamakan dengan masa pacaran menurut pengertian ketiga di atas. Setelah masa pacaran dilanjutkan dengan masa meminang, jika peminangan diterima maka jarak antara masa peminangan dan masa pelaksanaan akad nikah disebut masa pertunangan. Pada masa pertunangan ini masing-masing pihak harus menjaga diri mereka masing-masing karena hukum hubungan mereka sama dengan hubungan orang-orang yang belum terikat dengan akad nikah.

Rasulullah saw memberi tuntunan bagi orang yang dalam masa pacaran atau dalam masa petunangan sebagi berikut:

1.      Pada masa pacaran atau masa pertunangan antara mereka yang bertunangan dan pacaran adalah seperti hubungan orang-orang yang tidak ada hubungan mahram atau belum melaksanakan akad nikah, karena itu mereka harus:

a.       Memelihara matanya agar tidak melihat aurat pacar atau tunangannya, begitu pula wanita atau laki-laki yang lain. Melihat saja dilarang tentu lebih dilarang lagi merabanya.

b.      Memelihara kehormatannya atau kemaluannya agar tidak mendekati perbuatan zina.

2.      Untuk menjaga ‘a’ dan ‘b’ dianjurkan sering melakukan puasa-puasa sunat, kerena melakukan puasa itu merupakan perisai baginya. Hal diatas dipahami dari hadits:

عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ* (رواه مسلم: 2486, البخاري: 1772)

“Dari Ibnu Mas’ud ra berkata,  Rasulullah saw mengatakan kepada kami: Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu yang telah sanggup melaksanakan akad nikah, hendaklah melaksanakannya. Maka sesungguhnya melakukan akad nikah itu (dapat) menjaga pandangan dan memlihar farj (kemaluan), dan barangsiapa yang belum sanggup hendaklah ia berpuasa (sunat), maka sesunguhnya puasa itu perisai baginya” (muttafaq alaih)

 

Jawaban soal kedua tentang kedudukan wanita dalam pandangan Islam

 

Agama Islam memandang kedudukan perempuan sama dengan kedudukan laki-laki seperti memandang kedudukan manusia pada umumnya, sebagaimana dinyatakan nash-nash berikut:

1.      Perempuan sebagiman manusia pada umumnya diciptakan Allah sebagi makhlukNya yang paling baik dibanding makhluk-makhluNya yang lain, Allah berfirman:

لَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ( التين: 4)

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.

2.      Allah memuliakan menusia. Allah SWT berfirman:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي ءَادَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً( الإسراء: 70)

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”

3.      Allah SWT menjadikan manusia sebagi khalifah di bumi. Allah SWT berfirman:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيفَةً(البقرة: 30)

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”..

Allah sebagai Dzat Yang Maha Pencipta lagi Maha Tahu, mengetahui dengan sungguh-sungguh kekuatan dan kelemahan manusia, sedang manusia sendiri bukanlah makhluk yang paling tahu tentang hakikat, kekuatan dan kelemahan dirinya. Dalam pada itu Allah berkehendak agar manusia tetap dalam keadaannya, ialah sebagai makhluk yang terbaik, sebagi makhluk yang mulia dan sebagi khalifatullah fil ardh.

Untuk menutupi kelemahan-kelemahan manusia dalam menjalankan tugasnya, Allah SWT menurunkan petunjuk berupa al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan menjadikan Nabi Muhammad sebagi panutan dan ikutan dalam melaksanakan petunjuk itu.

Sekalipun laki-laki dan perempuan kedudukannya sama di sisi Allah SWT, namun menurut kodratnya laki-laki berbeda dengan perempuan. Kerena perbedaan kodrat itu Allah menetapkan petunjuk-petunjuk yang sama antara kedua jenis itu dan ada pula petunjuk-petunjuk yang berbeda, sesuai dengan kodratnya, sehingga masing-masing mereka dapat menjadi makhluk terbaik, makhluk yang mulia dan dapat pula melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi.

Kedua jenis ini harus ada dalam usaha memakmurkan bumi, keduanya harus bahu membahu, bekerja sama, tidak boleh ada yang kurang dari salah satu dari dua jenis itu.

Seandainya ada perbedaan dalam pelaksanaan syariat Islam pada suatu negara tentang laki-laki dan wanita, maka hal ini disebabkan perbedaan penafsiran terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah, mungkin pula karena pengaruh kepercayaan yang telah berurat berakar pada suatu negara atau karena adat istiadat yang berlaku di negara itu.

 

Jawaban pertanyaan ketiga, tentang ada orang mukmin yang masuk neraka dahulu sebelum masuk ke surga

Hadits-hadits Nabi saw menerangkan bahwa setiap orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya akan masuk surga, sekalipun di antara mereka ada yang masuk surga secara bertahap. Maksudnya ialah ia masuk neraka lebih dahulu sebagai imbalan dari dosa-dosa yang pernah dilakukannya selama hidup di dunia, kemudian setelah habis masa siksaannya itu ia dimasukkan Allah kedalam surga, berdasarkan hadis berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِي اللهُ عَنْه عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ وَأَهْلُ النَّارِ النَّارَ ثُمَّ يَقُولُ اللهُ تَعَالَى أَخْرِجُوا مِنَ النَّارِ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ فَيُخْرَجُونَ مِنْهَا قَدِ اسْوَدُّوا فَيُلْقَوْنَ فِي نَهَرِ الْحَيَا أَوِ الْحَيَاةِ شَكَّ مَالِكٌ فَيَنْبُتُونَ كَمَا تَنْبُتُ الْحِبَّةُ فِي جَانِبِ السَّيْلِ أَلَمْ تَرَ أَنَّهَا تَخْرُجُ صَفْرَاءَ مُلْتَوِيَةً قَالَ وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا عَمْرٌو الْحَيَاةِ وَقَالَ خَرْدَلٍ مِنْ خَيْرٍ * (رواه البخاري: 21, مسلم: 270)

“Dari Abu Sa’id al-Khudri ra, dari Nabi saw, ia bersabda: Penghuni surga kan masuk surga dan penghuni neraka akan masuk neraka, kemudian Allah ta’ala memrintahkan: Keluarkan dari neraka orang-orang yang dalam hatinya ada iman seberat biji sawi. Maka dikeluarkanlah mereka dari neraka yang warna (badannya) benar-benar hitam, lalu dimasukkan kedalam sungai hidup atau sungai kehidupan, lalu tumbuhlah mereka seperti biji yang tumbuh setelah air bah, adakah engkau tidak melihatnya, sesungguhnya ia keluar bewarna kuning yang melilit.” (muttafaq alahi)

Dan Hadis:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَعْلَمُ آخِرَ أَهْلِ النَّارِ خُرُوجًا مِنْهَا وَآخِرَ أَهْلِ الْجَنَّةِ دُخُولاً الْجَنَّةَ رَجُلٌ يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ حَبْوًا فَيَقُولُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَهُ اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ فَيَأْتِيهَا فَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهَا مَلْأَى فَيَرْجِعُ فَيَقُولُ يَا رَبِّ وَجَدْتُهَا مَلْأَى فَيَقُولُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَهُ اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ قَالَ فَيَأْتِيهَا فَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهَا مَلْأَى فَيَرْجِعُ فَيَقُولُ يَا رَبِّ وَجَدْتُهَا مَلْأَى فَيَقُولُ اللهُ لَهُ اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ فَإِنَّ لَكَ مِثْلَ الدُّنْيَا وَعَشَرَةَ أَمْثَالِهَا أَوْ إِنَّ لَكَ عَشَرَةَ أَمْثَالِ الدُّنْيَا قَالَ فَيَقُولُ أَتَسْخَرُ بِي أَوْ أَتَضْحَكُ بِي وَأَنْتَ الْمَلِكُ قَالَ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَحِكَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ قَالَ فَكَانَ يُقَالُ ذَاكَ أَدْنَى أَهْلِ الْجَنَّةِ مَنْزِلَةً  ( رواه مسلم: 272, البخاري: 6086)

“Dari Abdullah bin Mas’ud ra, berkata: bersabda Nabi saw : Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui penduduk neraka terakhir masuk neraka dan penduduk surga terakhir masuk surga. Seorang laki-laki keluar dari neraka dengan merangkak, maka Allah memerintahkan (kepada orang itu): “Pergilah dan masuklah ke surga!” Laki-laki itu mendatangi surga itu sambil mengkhayalkan bahwa surga itu telah penuh. Lalu ia kembali dan berkata: “Wahai Tuhan aku dapati surga itu telah penuh.” Allah memerintahkan: “Pergilah dan masuklah ke surga!” Maka ia mendatanginya sambil mengkhayalkan bahwa surga itu telah penuh. Lalu ia kembali dan berkata: “Wahai Tuhan aku dapati surga itu telah penuh.” Maka Allah berfirman: “Pergilah dan masuklah ke surga, maka sesungguhnya (surga) itu semisal dunia dan sepuluh kalinya atau sesungguhnya surga itu sepuluh kali dunia.” Laki-laki itu berkata: “Engkau mengejek dan menertawakanku sedangkan Engkau pemilik(nya).” Aku (Ibnu Mas’ud) melihat Rasulullah tertawa hingga tampak gigi gerahamnya. Dan pernah pula dikatakan: “Yang demikian itu adalah penduduk surga yang paling rendah tingkatannya.” (muttafaq alahi)

Kedua hadis di atas menjelaskan bahwa ada orang yang beriman yang sebelum masuk surga, ia masuk neraka lebih dahulu, yang lamanya sesuai dengan berat atau ringannya dosa yang telah diperbuatnya selama hidup di dunia. Banyak hadis yang lain yang senada dan sama artinya dengan hadis diatas. (baca al-Lu’lu’ wal Marjan, hadits no. 118, 119, 120 dan sebagainya)

 

WANITA IKUT KEGIATAN HAWAI SAMPAI MENGINAP 3-4 HARI (21)

Drs. H. Rasid Moh. Tauhid al-Amien, M.Sc, DipHEd

Wakil ketua IV kwartir HW Wilayah Jatim

Jl. Kendangsari Lebar 48 Surabaya 60292

 

Pertanyaan:

Bagaimana hukum bagi anggota puteri Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan untuk mengikuti kegiatan kepanduan yang berupa kegiatan perkemahan yang berlangsung 3-4 hari.

 

Jawab:

            Dalam agama Islam ada beberapa perbuatan yang sangat dilarang oleh Allah SWT yang dikategorikan sebagai dosa besar, termasuk dalamnya perbuatan zina. Allah SWT berfirman:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (al-Isra’ (17): 32)

            Allah menyamakan perbuatan zina dengan perbuatan syirik (perbuatan yang meyakini bahwa Allah SWT berserikat), sebagaimana yang dipahami pada ayat. Allah berfirman:

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min”. (an-Nur (24): 3)

            Hukuman bagi pezina dinyatakan pada ayat berikut, Allah berfirman:

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat,...( an-Nur (24): 2)

            Karena zina adalah perbuatan dosa besar yang disamakan dengan perbuatan syirik, maka Allah SWT memerintahkan agar menjauhinya. Menjauhi perbuatan zina berarti menjauhi perbuatan-perbuatan yang mengarah atau menuju kepada perbuatan zina, seperti pergaulan bebas antara lai-laki dan perempuan, berkhalwat, bepergian dengan laki-laki yang bukan mahramnya, melihat aurat laki-laki atau perempuan dan sebagainya. Hadis Rasulullah saw menyatakan:

عَنْ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَقُولُ لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ وَلَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ( متفق عليه)

“Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw berkhutbah, ia mengatakan:”Jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali bersama mahramnya, dan janganlah seorang perempuan melakukan musafir kecuali besertanya ada mahram (muttafaq alaihi)

            Sehubungan dengan hadis diatas dan hubungannya dengan kegiatan perkemahan dapat diqiyaskan (disamakan) kepada wanita yang melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Menurut salah satu pendapat asy-Syafi’ie boleh wanita naik haji ke Mekkah tanpa mahram apabila ada jaminan keamanan terhadap dirinya, yaitu aman fisik, terpelihara dari fitnah, terhindar dari segala larangan Allah SWT.

            Dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa boleh bagi anggota gerakan kepanduan Hizbul Wathan untuk mengikuti kegiatan kepanduan yang berupa kegiatan perkemahanyang berlangsung 3-4 hari asal para penanggung jawab perkemahan itu benar-benar berusaha menjaga keamanan dan terjauh buat tidak mendekati perbuatan zina.

 

PERTUNANGAN (22)

FATWA AGAMA

Pertanyaan :

1.  Saudara Sugiri dari Klaten

2.  Saudara Sunardi dari Billalang II, tentang hukum pertunangan

 

Jawaban :

Pertunangan merupakan salah satu proses perkawinan yang biasa dilakukan masyarakat. Di antara proses perkawinan itu ialah pihak laki-laki meminang pihak perempuan atau sebaliknya agar pihak perempuan atau pihak laki-laki bersedia menjadi isteri atau suaminya. Seandainya pinangan itu diterima, langsung dilaksanakan akad nikah. Proses lain melalui pertunangan, pihak laki-laki meminang pihak perempuan atau sebaliknya agar pihak perempuan atau pihak laki-laki bersedia menjadi isteri atau suaminya. Seandainya pinangan itu diterima, akad nikah tidak langsung diadakan, tetapi diadakan beberapa waktu setelah itu, mungkin diadakan dalam waktu yang tidak lama, seperti sebulan, dua bulan dan seterusnya atau dalam waktu yang lama, seperti setahun, dua tahun dan seterusnya. Masa yang terletak antara penerimaan pinangan dan masa pelaksanaan akad nikah disebut masa pertunangan. Dengan kata lain antara pihak laki-laki dan pihak perempuan telah terjadi pertunangan sebelum dilaksanakan akad nikah.

Menurut B. Ter Haar Bzn (1393) pertunangan merupakan suatu perjanjian yang dilakukan oleh pihak laki-laki dengan pihak perempuan untuk melakukan akad nikah di kemudian hari. Hampir tiap daerah di Indonesia mengenal lembaga pertunangan ini. Bila suatu pinangan telah diterima diadakan semacam alat pengikat atau tanda perjanjian pertunangan telah dilakukan. Alat pengikat itu bentuknyabermacam-macam ada berupa cincin, perhiasan tertentu, keris dan sebagainya sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di daerah tersebut. Jika terjadi pemutusan pertunangan, maka pihak yang memutuskan dikenai sanksi tertentu, seperti mengembalikan pemberian yang pernah diberikan, membayar denda dan sebagainya. Dengan demikian hukum pertunangan telah menjadi hukum adat yang berlaku pada kebanyakan daerah di Indonesia. Syaikh Mahmud Syaltut (1950) menyatakan bahwa sebahagian  besar suku bangsa di dunia mengenal lembaga pertunangan ini, termasuk suku-suku bangsa yang menganut agama Islam.

Persoalannya ialah : bagaimana sikap hukum Islam terhadap pertunangan tersebut?

Belum ditemukan nash-nash baik berupa nash al-Qur’an maupun berupa nash al-Hadits yang secara tegas membolehkan atau melarang lembaga pertunangan itu. Karena itu masalah pertunangan merupakan masalah ijtihadiyah. Untuk membahas masalah pertunangan ada tiga macam cara pendekatan yang dapat dilakukan. Pertama ialah dengan memahami sesuatu yang tersirat pada suatu hadits, kedua dengan memasukkan akad pertunangan ke dalam masalah akad pada umumnya dan ketiga ialah dengan menggunakan kaidah fiqh.

Pertama dengan memahami isyarat atau yang tersirat pada suatu hadits Nabi saw :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ ر.ض. اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلعم: لَا يَخْطُبُ أَحَدُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأذَنَ لَهُ {متفق عليه و اللفظ للبخارى}

Artinya : “Dari Ibnu Umar r.a., ia berkata : bersabda Rasulullah saw : ‘Jangan salah seorang kamu meminang pinangan saudaranya, sehingga peminang sebelumnya (saudaranya itu) mengurungkan peminangannya atau membolehkannya (untuk dipinang).” HR. Bukhari dan Muslim dan lafadz Bukhari.

Hadits di atas membolehkan seorang laki-laki meminang pihak seorang perempuan. Dari hadits di atas juga dapat dipahami terjadinya beberapa kemungkinan penafsiran dalam proses pinang meminang. Kemungkinan pertama ialah pinangan itu tidak diterima oleh pihak yang dipinang, sehingga berakhirlah proses pinangan itu. Kemungkinan kedua ialah pinangan itu diterima, kemudian langsung dilaksanakan akad nikah. Kemungkinan ketiga ialah pinangan itu diterima, tetapi akad dilaksanakan kemudian hari, mungkin dalam waktu yang dekat dan mungkin pula dalam waktu yang lama. Kemungkinan ketiga ini ada persamaannya dengan pelaksanaan pertunangan yang berlaku pada hukum adat, yaitu semacam perjanjian untuk melaksanakan akad nikah di kemudian hari setelah pinangan diterima. Terjadinya kemungkinan ketiga ini dimungkinkan dalam memahami hadits di atas. Dengan arti bahwa hadits di atas dapat dijadikan satu dalil dalam menetapkan hukum pertunangan.

Dalil kedua ialah dengan memasukkan akad pertunangan ke dalam masalah akad pada umumnya. Jika akad pada umumnya dibolehkan oleh syara’, tentu akad pertunangan juga dibolehkan. Allah SWT berfirman :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ {سورة المائدة : 1}

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu, …” (QS. Al-Maidah : 1)

Dan firman Allah SWT :

وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا {سورة الإسرآء : 34}

Artinya : “… dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’ : 34)

Hadits Nabi saw menerangkan bahwa mengadakan perjanjian yang ada kaitannya dengan akad nikah dibolehkan apalagi isi perjanjian itu dapat menyempurnakan suatu perkawinan.

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرَ ر.ض. قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلعم : إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوْطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ مَااسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ اْلفُرُوْجَ {متفق عليه}

Agar ada kepastian hukum sebaiknya akad pertunangan itu dilengkapi dengan alat-alat bukti, seperti bukti-bukti otentik, saksi-saksi dan sebagainya, berdasarkan firman Allah SWT :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ  … وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ {سورة البقرة : 282}

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermu’amalah (melakukan perjanjian perikatan) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya, … dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu …” (QS. Al-Baqarah : 282).

Dalil ketiga ialah dengan menggunakan kaedah fiqh :

اَلْعَادَةُ مُحْكَمَةٌ

Artinya : “Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.

B. Ter Haar Bzn dan Mahmud Syaltut menyatakan bahwa lembaga pertunangan merupakan hukum adat yang telah menjadi adat dari suku-suku bangsa di dunia dan lembaga ini merupakan lembaga yang menguatkan lembaga perkawinan. Sesuai dengan kaedah di atas maka lembaga pertunangan ini tidak dilarang oleh syara’. Bahkan kebanyakan ulama dapat menyetujuinya dan melaksanakannya.

Pertunangan menjadi masalah jika terjadi pemutusan pertunangan dan telah terjadi saling memberi yang dilakukan pihak laki-laki atau pihak perempuan kepada pihak yang lain, sedang alat-alat bukti tidak ada. Seandainya dibuat alat-alat bukti pada saat diadakan perjanjian pertunangan maka persoalan yang terjadi pada waktu putusnya pertunangan dapat diselesaikan dengan merujuk kepada alat-alat bukti tersebut.

 

FATWA WALI NIKAH (23)

Nurul Fa’izah, Malang

Pertanyaan:

Siapa yang menjadi wali nikah dari perempuan yang lahir diluar nikah, sekalipun ibunya telah melakukan akad nikah yang sah dengan laki-laki yang menyebabkan kehamilannya itu, sewaktu perempuan itu masih dalam kandungan?

 

Jawab:

            Wali merupakan salah satu rukun akad nikah, berdasarkan nash-nash berikut:

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ

“Nikahkan olehmu (wali) wanita-wanita yang tidak bersuami dan hamba-hamba laki-laki dan perempuan yang shaleh dari kalanganmu…”(an-Nur (24): 32

Dan firman Allah:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ

Dan janganlah kamu (wali) nikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan beriman) sehingga ia beriman…(al-Baqarah (2): 221)

Dan hadis:

عَنْ أبي موسى عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ( رواه أحمد: 18687, وأبو داود, الترمذي وابن حبان والحاكم وصححه)

Dari Abu Musa dari bapaknya, berkata: bersabda Rsulullah saw:”Tidak sah nikah kecuali dengan wali”. (HR. Ahmad, Abu Daud, at-Tirmizi, Ibnu Hibban dan al-Hakim serta dinyatakannya sebagai hadis shahih)

            Berdasarkan ayat dan hadis diatas dapat ditetapkan bahwa wali merupakan rukun akad nikah. Dan dinyatakan pula bahwa wali itu hendaklah seorang laki-laki, berdasarkan hadis:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا(رواه ابن ماجه :1872, و الدرقطني)

Dari Abu Hurairah, ia berkata, bersabda Rasulullah saw:”Perempuan tidak boleh menikahkan (menjadi wali) terhadap perempuan dan tidak boleh menikahkan dirinya”. (HR. ad-Daraqutni dan Ibnu Majah)

            Dalam pada itu tidak ditemukan nash yang menerangkan siapa saja yang boeleh menjadi wali dan bagaimana urutannya; karena itu para ulama mengqiyaskannya kepada urutan wanita yang menjadi mahram berdasarkan nasab (QS. an-Nisa’ ayat 23), tetapi dipandang dari pihak laki-laki. Dengan demikian urutan wali itu sebagai berikut:

1. Bapak, kakek dan seterusnya keatas.

2. Saudara laki-laki sekandung, atau seayah.

3. Saudara bapak laki-laki sekandung atau seayah

4. Anak dari saudara bapak laki-laki sekandung atay seayah

jika nomor 1 – no 4 tidak ada, maka yang menjadi wali adalah wali hakim, yaitu wali yang diangkat oleh pemerintah, berdasarkan hadis:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ( أخرجه الأربعة إلا النسائ وصححه أبو عوانة وابن حبان والحاكم)

Dari ‘Aisyah ra ia berkata, bersabda Rasulullah saw:”Wanita manapun yang melakukan akad nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika dalam pernikahannya (yang batal itu) terjadi dukhul, maka wanita itu berhak mendapat mahar karena penghalalan farajnya. Jika terjadi perbedaan pendapat yang tidak dapat diselesaikan maka pemerintah (wali hakim) menjadi wali wanita yang tiadak mempunyai wali” (Ditakhrijkan oleh imam hadis yang empat kecuali an-Nasa’I dan dinyatakn shahih oleh Abu Awanah, Ibnu Hibban dan al-Hakim)

            Dalam pada itu ditetapkan bahwa anak yang lahir diluar nikah nasabnya dihubungkan kepada ibunya, berdasarkan hadis berikut:

 عن أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ  (متفق عليه)

Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw bersabda:”Anak itu bagi suami (yang telah telah melakukan akad nikah yang sah dengan istrinya), bagi pezina itu hukumannya rajam”. (Muttafaq alaihi)

Dan hadis:

عَنْ عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَلَدِ الْمُتَلَاعِنَيْنِ أَنَّهُ يَرِثُ أُمَّهُ وَتَرِثُهُ أُمُّهُ وَمَنْ قَفَاهَا بِهِ جُلِدَ ثَمَانِينَ وَمَنْ دَعَاهُ وَلَدَ زِنًا جُلِدَ ثَمَانِينَ *(رواه أحمد: 6732)

Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya berkata Rasulullah saw telah menetapkan pada anak dari suami isteri yang telah melakukan li’an mewarisi ibunya dan ibunya mewarisinya dan siapa yang menuduh isterinya berzina (tanpa bukti) dijilid 80 kali”. (HR. Ahmad)

            Berdasarkan kedua hadis diatas dapat ditetapkan bahwa anak yang lahir diluar nikah yang sah, maka nasabnya dihubungkan kepada ibunya. Hal ini berarti bahwa anak perempuan yang saudara tanyakan itu tidak mempunyai wali nasab. Bagi perempuan yang tidak mempunyai wali nasab, maka yang menikahkannya adalah wali hakim, berdasarkan hadis yang telah ditulis diatas yang sebagian lafaznya berbunyi:

فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ

Jika terjadi perbedaan pendapat yang tidak dapat diselesaikan maka pemerintah (wali hakim) menjadi wali bagi perempuan yangtidak mempunyai wali”

            Hukum diatas sesuai pula denga hukum yang berlaku di Indonesia. bab ketiga fasal 19 Kompilasi Hukum Islam Indonesia menyatakan: Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Pasal 20 ayat 2 menerangkan bahwa ada dua macam wali, yaitu wali nasab dan wali hakim. Pasal 23 ayat 1 menyatakan bahwa wali hakim bertindak sebagai wali nikah bila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau enggan.

SEDEKAH SESUDAH ITTIBA' (24)

Pertanyaan :

 1.   Mohon penjelasan tentang bersedekap sesudah I’tidal !

 2.   Mohon penjelasan sekitar kesahihan hadits Nabi : “Kita kembali dari jihad kecil menuju ke jihad besar”

 3.   Bagaimana hukumnya orang yang melaksanakan shalat ‘Id dan atau berbuka tidak pada hari ia berbuka ? Atau hari Kamis ia berbuka / berhari raya, tetapi melakukan shalat ‘Id / berkhutbah pada hari Jum’at, seperti yang terjadi pada Hari Raya Idul Fitri 1423 H yang lalu, yang dilakukan salah seorang muballigh Muhammadiyah di tempat kami?

 

Jawaban Pertanyaan No. 1 :

Memang akhir-akhir ini banyak surat yang sampai kepada kami menanyakan masalah serupa itu. Jawaban berikut ini untuk saudara dan untuk saudara-saudara kita yang lain, sehingga menjadi jelas duduk persoalannya.

Di dalam hadits Abu Hamid As-Sa’idy yang diriwayatkan imam at-Turmudzi disebutkan :

كان رسول الله ص.م. إذا قام إلى الصلاة قال: سمع الله لمن حمده و رفع يديه و اعتدل حتى يرجع كل عظم في موضعه معتدلا

Artinya : Pernah Rasulullah saw apabila berdiri sembahyang, kemudian beliau berkata (membaca) سمع الله لمن حمده(sami’allaahu liman hamidah) dan beliau mengangkat dua tangannya dan berdiri tegak hingga tiap-tiap anggotanya kembali mengambil tempat masing-masing dengan lurus.

Disebutkan oleh pengarang kitab الفقه الإسلامي و أدلته  (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh), Dr. Wahbah az-Zuhaili, Juz I halaman 658 :

و قال أبو يوسف و الأئمة الآخرون: الرفع من الركوع و الاعتدال قائما مطمئنا ركن أو فرض في الصلاة و هوان يعود إلي الهيئة التي كان عليها قبل الركوع

Artinya : Abu Yusuf dan para imam (ahli fiqh) yang lain berkata : bangun / bangkit dari ruku’ dan I’tidal dalam keadaan berdiri penuh tuma’ninah, baik itu rukun atau fardlu shalat, yaitu ia kembali kepada keadaan semula sebelum ruku’.

Dari kedua kutipan di atas, kami cenderung berkesimpulan bahwa pada waktu I’tidal tidak dengan bersedekap, tetapi tangannya lurus ke bawah, seperti yang kita lakukan selama ini.

Mengenai hadits Wa’il bin Hajm al-Hadlrami yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan disahihkannya seperti yang saudara lampirkan  itu yang dikutip dari kitab السنن المهجورة, (sunah-sunah yang ditinggalkan / dibiarkan), karangan dari Anis bin Ahmad bin Thahir itu, dapat kami informasikan untuk menjadi wawasan sauadara sebagai berikut :

 1.    Perkataan و وضع كفيه(meletakkan kedua pergelangan tangannya) tidak jelas menunjukkan kepada bersedekap, tetapi bisa pula dipahami lurus ke bawah. Kalau dimaksudkan meletakkan tangan ke dada (bersedekap), tentu bunyi hadits itu و وضع كفيه في صدره (dan meletakkan kedua pergelangannya ke dadanya).

 2.    Ahli hadits Muhammad Nashiruddin al-Baniy di dalam bukunya صفة صلاة النبي(sifat shalat Nabi) pada halaman 130 menerangkan dengan kata-kata sebagai berikut :

عن الإمام احمد رحمه الله أنه قال: "إن شاء أرسل يديه بعد الرفع من الركوع و إن شاء وضعهما" لأنه لا يرفع ذلك إلي النبي صلعم. و إنما قاله باجتهاده و رأيه و الرأي قد يخطئ

Artinya : Dari Imam Ahmad semoga Allah merahmatinya (diriwayatkan) beliau berkata : “Jika (seseorang) menghendaki melepaskan kedua tangannya sesudah bangkit dari ruku’ dan (bila) ia menghendaki (boleh pula) meletakkan kedua tangannya (di atas dada atau bersedekap)” Kemudian Nashiruddin al-Baniy berkomentar, sesungguhnya yang demikian tidak marfu’ kepada Nabi saw. Itu adalah perkataan Imam Ahmad atas dasar ijtihad dan pendapatnya. Sedangkan pendapat itu kadang bisa salah dan keliru … .

 3.    Hadits Wa’il tersebut terkesan sebagai suatu sunnah yang tidak diamalkan oleh kebanyakan ‘ulama, dan kalau kita mengikuti pendapat Imam Ahmad, maka itu tidak mengikat dan tidak bisa memaksa orang yang tidak mengikutinya. Kami masih meragukan kesahihan riwayat tesebut.

 

Jawaban Pertanyaan No. 2 :

Hadits yang saudara sebutkan itu yang berbunyi :

رجعنا من الجهاد الأصغر إلي الجهاد الأكبر. قالوا: و ما جهاد الأكبر؟ قال: جهاد القلب أو جهاد النفس

Artinya : Kami telah kembali dari jihad kecil menuju jihad besar. Mereka berkata : Apakah jihad besar itu ? Nabi saw menjawab : Jihad hati atau jihad nafsu.

memang masyhur di dalam masyarakat terutama di kalangan orang sufi dan riwayat itu terdapat dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin karangan al-Ghazali, yang menurut penilaian al-Iraqy hadits itu adalah hadits dla’if (lemah) tidak bisa dipakai untuk menetapkan hukum. Bahkan menurut penelitian al-Hafidz Ibnu Hajar al-Atsqallani, itu bukan hadits, tetapi semacam atsar, berasal dari ucapan Ibrahim bin ‘Abalah.

Memang atsar atau hadits dla’if itu masuk nalar, artinya memerangi hawa nafsu lebih komplek dan berat dari perang physik, namun demikian tidak benar kalau dipahamkan bahwa sekarang tidak ada peperangan yang lebih besar dari perang Badar pada waktu itu, mengingat jumlah umat Islam waktu itu masih sedikit. Juga tidak boleh kita samakan perkataan “al-qital” (perang physik), juga memerangi hawa nafsu, berjuang dengan harta, dan ilmu serta fikiran. Itu semua dicakup oleh kata “jihad” dan tidak tertampung dalam kata “qital”.

 

Jawaban Pertanyaan No. 3 :

Secara singkat pertanyaan No. 3 dapat kami jawab sebagai berikut :

Berhari Raya dan melakukan shalat ‘Id adalah ibadah dalam arti khusus, kita melaksanakannya dalam satu paket tidak boleh dirobah, ditambah, atau dikurangi. Kita dalam hal ibadah khusus harus ittiba’ kepada Rasulullah saw, dan di sini tidak berlaku pemikiran  (ijtihad). Sesuai pula dengan qaidah ushul :

الأصل في العبادة التحريم

Artinya : Pada prinsipnya dalam soal ibadah (khusus) adalah haram, Artinya tidak boleh dilaksanakan kalau tidak ada tuntunan dari Nabi saw.

Dalam kasus yang saudara sebutkan itu dimana ada muballigh Muhammadiyah yang berbuat seperti itu, seharusnya jangan sampai terjadi, karena rujukan kita adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Jangan sampai kita berbuat sesuatu tanpa berdasar nash. Kalau berhari raya pada hari Kamis, ya kerjakan shalat ‘Id juga pada hari itu pula. Lebih dari itu seorang mubaligh harus menjadi panutan ummat, jangan justru membuat ummat yang dipimpinnya menjadi bingung. Semoga, di waktu-waktu yang akan datang tidak terulang lagi kasus semacam itu.

 

TATO, RAJAH, MIRAS, TAPE DAN THARIQAH (25)

Chalida Ziaul Rahman

 

Pertanyaan :

 

  1.     Hukum bertato yang biasa dilakukan mudi-mudi sekarang

  2.     Hukum merajah dengan tulisan Arab yang bercampur dengan ayat-ayat Al-Qur’an

  3.     Apakah air tapai termasuk miras, karena kadar alkoholnya di atas 9%, lebih tinggi dari bir hitam

  4.     Hukum permainan olah raga yang dilakukan untuk mencari dana

  5.     Benarkah thariqah-thariqah, seperti Naksyabandiyah, Qodiriyah dan sebagainya ada pertalian mursyidnya dengan Nabi SAW.

 

 

Jawaban :

 

1.  Tentang Hukum Tato

Tato dalam bahasa Arab disebut ‘al-wasymu, yaitu memasukkan jarum ke dalam tubuh (kulit) untuk memasukkan zat yang berwarna sehingga timbul suatu gambar yang diinginkan pada tubuh (kulit) itu. Tujuan membuat tato di badan agar yang ditato merasa dirinya dalam keadaan tertentu sesuai dengan keinginannya. Karena itu tato semacam perhiasan. Allah membolehkan seseorang memakai atau membuat perhiasan di badannya. Allah berfirman;

إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى اْلأَرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً

Artinya: “Sesungguhnya kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan  baginya agar kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya (QS. AL-Kahfi {18}:7)

Dan firman Allah SWT;

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Artinya: “Katakanlah; ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-Nya, dan (siapakah yang mengharamkan) rizki yang baik.’ Katakanlah; ‘Semuanya itu disediakan bagi orang-orang yang beriman (dan tidak beriman) dalam kehidupan dunia, semata-mata bagi orang yang beriman di hari kiamat. Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui’.” (QS. Al-A’raf {7}:32)

Dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya hukum tato itu mubah sesuai dengan firman Allah di atas, karena ia termasuk perhiasan. Tetapi jika akibat dari tato itu negatif, dengan arti dapat merusak iman, merusak akhlaq dan sebagainya, seperti kebanyakan tato yang sering dijumpai sekarang ini, maka hukumnya dapat berubah menjadi makruh atau haram. Hal ini mengingat Kaidah Ushul Fiqh;

الحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ اْلعِلَّةِ وُجُوْدًا وَ عَدَمًا

Artinya; “Hukum itu beredar mengikuti illatnya (sebabnya), baik keberadaan maupun ketiadaannya (ada illat, ada hukum; tidak ada illat, tidak ada hukum).”

Tato termasuk persoalan masyarakat, karena ada pengaruhnya kepada orang yang melihat orang lain bertato, dan mungkin ada pula pengaruh tato itu kepada orang yang memakainya.

 

2.  Tentang Merajah dengan Tulisan Arab

Belum ditemukan ayat-ayat Al-Qur’an atau As-Sunnah yang maqbul, yang menjelaskan tentang merajah dengan tulisan Arab yang bercampur dengan Al-Qur’an untuk dijadikan jimat dan sebagainya.

 

3.  Tentang Tariqat

Bila melihat kepada para pendiri tariqat-tariqat pada umumnya, tariqat itu baru muncul sekitar abad keenam Hijriyah. Hal ini berarti bahwa tariqat itu tidak ada pada zaman Rasulullah SAW. Bahkan para imam Mujtahid seperti Imam Abu Hanifah (wafat 150 H), Imam Malik (wafat 179 H), Imam Asy-Syafi’i (wafat 204 H) dan Imam Ahmad bin Hambal (wafat tahun 241 H), tidak menyinggung tentang tariqat itu.

 

4.  Tentang Air Tape

Pada dasarnya makanan dan minuman beralkohol itu dapat merusak tubuh manusia banyak atau sedikit, karena alkohol itu dapat menimbulkan intoksikasi pada tubuh kita (Dr. Kapti Rahayu Kuswanto, 2001), karena itu menghindarkan diri dari minuman atau makanan yang beralkohol walaupun kandungannya sedikit adalah lebih baik. Namun demikian beberapa penelitian muslim berpendapat bahwa walaupun bahaya alkohol itu tetap ada, dapat ditolerir sampai 5% sedang tape kadar alkoholnya 1-4% (Dr. Kapti Rahayu Kuswanto, 2001).

 

5.  Hukum mengadakan permainan olah raga untuk mencari dana

Sesuai dengan Kaidah Ushul Fiqh di atas (tentang tato), maka seluruh permainan apa saja dibolehkan oleh syara’, yaitu mubah. Kecuali jika ada unsur-unsur negatif yang terdapat pada permainan itu, seperti permainan itu dapat menimbulkan permusuhan, kebencian antar sesama, dapat menyebabkan lupa kepada Allah, lupa kepada kewajiban-kewajiban yang ada dalam kehidupan rumah tangga dan hidup bermasyarakat. Jika demikian halnya hukum mubah pada suatu permainan dapat berubah mejadi haram. Allah SWT berfirman;

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ

Artinya: “Sesungguhnya syaithan bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan mengerjakan shalat ….” (QS. Al-Maidah {5}:91)

 

SHALAT FAITAH(QADHA) (26)

Marlis Syarif

 

Pertanyaan :

 

Shalat faitah (qadha) yang ditulis oleh Drs. Agung Danarto, M. Ag., dalam Suara Muhammadiyah No. 5, 1 – 15 Maret 2003, halaman 33. Bagaimana masalah tersebut jika dikaitkan dengan surah An-Nisa’ ayat 103 ?

 

Jawaban :

 

Tulisan Saudara Drs. Agung Danarto, M. Ag. di dalam Suara Muhammadiyah, meskipun berjudul “Cara Shalat Menurut HPT” namun sesungguhnya tidak ada kaitan langsung dengan Fatwa Agama yang diasuh oleh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah. Tetapi tulisan  tersebut merupakan pendapat pribadi dari Saudara Drs. Agung Danarto, M. Ag. yang sumber bahasannya adalah HPT.

Berhubung pertanyaan Saudara Marlis Syarif ditujukan kepada Fatwa Agama yang diasuh oleh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, maka Tim Fatwa akan berusaha menjawab pertanyaan tersebut.

Pada prinsipnya tidak ditemukan dasar yang kuat tentang mengqadha shalat (terutama shalat fardhu). Akan tetapi jika ada seseorang yang tidak melaksanakan shalat pada waktunya karena ada halangan syar’i seperti tertidur atau karena lupa, maka yang bersangkutan melakukan shalat ketika ia terbangun atau ketika ingat, sebagaimana dinyatakan oleh hadits:

 

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ ذَكَرُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَوْمَهُمْ عَنِ الصَّلاَةِ فَقَالَ إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِي الْيَقَظَةِ فَإِذَا نَسِيَ أَحَدُكُمْ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا (رواه الترمذى)

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Qatadah, ia berkata, para shahabat memberitahu kepada Nabi SAW tentang tidur mereka melalaikan dari melakukan shalat (pada waktunya), maka Nabi SAW bersabda; “sesungguhnya tidak ada masalah lalai kalau sedang tidur, sesungguhnya lalai itu dalam keadaan jaga, maka apabila lupa salah satu di antaramu atau sedang tidur (sehingga tidak mengerjakan shalat), maka kerjakanlah shalat apabila telah ingat”. (HR. At-Tirmidzi)

 

BACAAN SHALAWAT NABI DAN SHALAWAT LAIN (27)

Ali Sadikin, Bulusari, Bulukamba, Brebes, Jawa Tengah

Pertanyaan :

 

  1.     Bagaimana pandangan Muhammadiyah terhadap bacaan Shalawat Nabi, dan bemtuk shalawat-shalawat yang lain, dan Kitab Barzanji ?

  2.     Kapan sebaiknya kita membaca Shalawat Nabi ?

  3.     Adakah pahala yang kita peroleh dari membaca Kitab Barzanji ?

 

 

Jawaban :

 

1. Menurut pandangan Muhammadiyah, shalawat itu berarti do’a, memberi berkah dan ibadah. Shalawat Allah kepada hambanya dibagi dua, khusus dan umum. Shalawat khusus, ialah shalawat Allah kepada para Rasul atau Nabi-Nya, teristimewa shalawat Allah kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. Shalawat umum, ialah shalawat Allah kepada hamba-Nya yang mukmin.

Dari uraian atau penjelasan singkat itu, kita memperoleh pengertian yang sangat halus, yaitu : Kewajiban berusaha mengembangkan cita-cita Nabi Muhammad saw agar paham keislaman bisa merata ke segala pelosok alam. Oleh karena itu kita belum dipandang telah bershalawat dengan sepenuhnya sebelum kita - disamping menyebut lafadz shalawat - melancarkan pula usaha kita masing-masing menurut kesanggupan untuk bersinar dan berkembangnya agama (syari’at) yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Adapun bentuk-bentuk atau lafadz-lafadz shalawat yang shahih, diriwayatkan dari Nabi saw ada yang panjang dan ada pula yang pendek. Contoh shalawat yang panjang, antara lain ;

 

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ و بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ فِي اْلعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

 

Artinya: “Ya Allah, muliakanlah oleh-Mu Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau muliakan keluarga (Nabi) Ibrahim dan berilah barokah kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau telah memberi barokah keluarga Ibrahim. Bahwasanya Engkau sangat terpuji lagi sangat mulia di seluruh alam.” (HR. Bukhari dari Abu Sa’id Kaab bin Ujrah)

Di antara contoh shalawat yang pendek:

 

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ

 

Artinya: “Ya Allah, muliakanlah oleh-Mu (Nabi) Muhammad dan keluarganya.” (HR. An-Nasa’i dari Zaid Ibnu Kharifah)

Contoh-contoh lainnya bisa dibaca pada kitab-kitab Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, kitab-kitab Sunan dan Musnad Ahmad bin Hambal.

Pada zaman akhir-akhir ini, muncul pula beberapa penulis yang menyusun sendiri shalawat-shalawat kepada Nabi, ada yang berdasar kepada  kitab hadis tersebut di atas dan ada pula dari hasil susunannya sendiri, ada yang berlebih-lebihan, bahkan ada yang menyimpang. Di antara kitab yang bercorak seperti itu, ialah kitab Barzanji seperti yang Saudara tanyakan itu.

2. Waktu-waktu yang dituntunkan oleh agama (syari’at) untuk bershalawat kepada Nabi, berdasarkan hadis-hadis, antara lain adalah: 1) sesudah adzan; 2) ketika masuk ke masjid; 3) sesudah membaca tasyahud di dalam tasyahud akhir; 4) di dalam shalat jenazah; 5) di permulaan do’a dan di akhir atau penutup do’a; 6) ketika hendak memulai sesuatu urusan yang penting; 7) di akhir qunut; 8) di malam Jum’at; 9) di dalam khutbah; 10) sesudah bertalbiyah; 11) ketika berziarah ke kubur Nabi saw; 12) ketika telinga mendenging; 13) tiap-tiap mengadakan majelis; 14) ketika kesusahan dan kegundahan; 15) tiap-tiap waktu pagi dan petang; 16) waktu berjumpa dengan sahabat dan handai taulan; 17) ketika orang menyebut nama Rasulullah saw.

 

3. Menjawab pertanyaan Saudara yang terakhir tentang membaca Kitab Barzanji, sebaiknya menurut kami tidak usah Saudara membacanya, karena di dalamnya (kalau Saudara mengerti bahasa Arab), ada lafadz-lafadz yang menyimpang dan meracuni keimanan. Berikut ini kami tunjukkan beberapa contoh dari kitab tersebut untuk menjadi perhatian Saudara;

 

1- وَ أُصَلِّي وَ أُسَلِّمُ عَلَى النُّوْرِ اْلمَوْصُوْفِ بِالتَّقَدُّمِ وَ اْلأَوْلِيَّةِ اْلمُنْتَقِلِ فِي اْلغُرَرِ اْلكَرِيْمَةِ وَ اْلجِبَاةِ

 

Artinya: “Aku ucapkan shalawat dan bahagia atas cahaya yang bersifat mula pertama, yang berpindah-pindah di ubun-ubun dahi-dahi yang mulia.”

Berdasarkan kebiasaan dalam kitab-kitab kisah maulid, maka yang dimaksud dengan اَلتَّقَدَّمُ وَ اْلأَوْلِيَّةُ (yang mula pertama) ialah ‘nur’ (cahaya) Muhammad saw yang diterangkan telah berwujud sebelum ada wujud-wujud yang lain, dan adanya segala makhluk Allah karena ‘nur’ Muhammad saw itu.

Paham seperti itu tidak mempunyai dasar dari nash-nash yang nyata dan terang, juga tidak berdasarkan kepada berita yang benar. Dapat kami katakan, ini merupakan pujian yang berlebih-lebihan untuk memuji Nabi saw, padahal Rasulullah saw sendiri tidak membutuhkan hal itu. Malah dapat dikatakan pelecehan terhadap diri Rasulullah saw. Lebih-lebih lagi kalau kita hubungkan dengan sabda beliau sebagai berikut;

 

لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَاتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدَ اللهِ وَرَسُولَهُ (رواه البخاري)

 

Artinya: “Janganlah kalian puji aku berlebih-lebihan, sebagaimana kaum Nashrani memuji berlebih-lebihan terhadap (Al-Masih) ibnu Maryam. Tetapi katakanlah aku (Muhammad) adalah hamba-Nya (Allah) dan pesuruh-Nya.”

 

2- وَ لَمَّا أَرَادَ اللهُ إِبْرَازَ اْلمُحَمَّدِيَّةِ وَ إِظْهَارَهُ جِسْمًا وَ رُوْحًا بِصُوْرَتِهِ وَ مَعْنَاهُ. نَقَلَهُ إِلَى مَقَرِّهِ مِنْ صَدَفَةِ آمِنَةَ اْلزُهْرِيَّةِ وَ خَصَّاهَا اْلقَرِيْبُ اْلمُجِيْبُ بِأَنْ تَكُوْنَ أُمًّا لِمُصْطَفَاهُ

 

Artinya: “Dan tatkala Allah menghendaki penjelmaan hakikat Muhammad dan pelahiran jisim, ruh dan bentuk yang semestinya, maka beliau dipindah ke dalam rahim ibunda Aminah Az-Zuhriyah, yang telah ditentukan Allah yang Maha Dekat lagi Maha Pengabul sebagai ibunya.”

Sangat jelas ungkapan ini sebagai penguat apa yang telah kita sebutkan pada contoh pertama (sebelumnya), yaitu Rasulullah semula merupakan cahaya (nur), lalu dijasadkan dalam bentuk manusia dan dijelmakan menjadi Nabi Muhammad saw. Kepecayaan terhadap nur Muhammad ini tidak mempunyai dasar dari nash, tidak bisa dijadikan i’tiqad (keimanan). Soal-soal yang berhubungan dengan aqidah (kepercayaan) harus didasarkan kepada dalil-dalil yang mutawatir.

 

3- وَ لَمَّا تَمَّ مِنْ حَمْلِهِ عَلَى الرَّاجِحِ تِسْعَةَ أَشْهُرٍ قَمَرِيَّةٍ وَ آنَ لِلزَّمَانِ أَنْ يَنْجَلِيَ عَنْهُ صَدَاهُ. حَضَرَ أُمَّهُ لَيْلَةَ مَوْلِدِهِ آسِيَةُ وَ مَرْيَمُ فِي نِسْوَةٍ مِنَ اْلحَظِيْرَةِ اْلقُدْسِيَّةِ. وَ أَخَذَهَا اْلمَخَاضُ فَوَلَدَتْهُ "ص" نُوْرًا يَتَلَأْلَأُ سَنَاهُ

 

Artinya: “Dan ketika telah cukup kandungan sembilan bulan Qamariyah dan sampai waktunya untuk menjelma dengan nyata, datanglah berkunjung malam itu pada ibunya Asiah dan Maryam beserta rombongan (bidadari-bidadari) dari surga dan setelah tiba saat kelahirannya, maka lahirlah Muhammad saw bagai cahaya yang memancar berkilau-kilauan.”

Dengan adanya ungkapan seperti itu, maka timbul pertanyaan, benarkah Asiah istri Fir’aun dan Maryam binti Imran datang dengan para bidadari? Dari mana pengarang Kitab Barzanji itu memperoleh keterangan? Sebab sebanyak hadis Nabi yang ada (shahih), juga dalam ayat-ayat Al-Qur’an, tidak disebutkan mengenai hal itu. Kalau memang ada, tentu Rasulullah saw menjelaskannya.

Sekian kami kutip hal-hal yang aneh dari Kitab Barzanji dan masih banyak lagi (kalau Saudara bisa bahasa Arab, tolong baca yang lain-lainnya lagi). Karena itu tidak aneh bila ada orang mengatakan membaca Buku Barzanji nomer pitulikur (no. 27), utamakan membaca ayat Al-Qur’an dan lafadz-lafadz shalawat yang ada tuntunannya dari Nabi saw.

Dan perlu juga Saudara ketahui, ada suatu kebiasaan pada waktu membaca Kitab Barzanji orang-orang dianjurkan supaya berdiri, dan digambarakan (dikhayalkan) pada saat itu Nabi saw hadir di tengah-tengah mereka. Hal ini jelas suatu bid’ah dan paham yang tidak berdasar tuntunan dari Allah dan Rasul-Nya. Bahkan ketika Nabi masih hidup, kalau beliau hadir di suatu majelis, beliau melarang para shahabat berdiri menghormatinya. Beliau adalah Nabi, bukan raja yang senang dipuji berlebih-lebihan.

 

 

Anas Fahmi Abdullah, Batang Jawa Tengah

Pertanyaan 1 :

 

Bolehkah uang tabungan yang telah diikrarkan untuk biaya perjalanan haji dipergunakan untuk membuat rumah, untuk menikah atau untuk dibantukan kepada orang lain yang sangat membutuhkan ?

 

Jawaban :

 

Sebagai telah diketahui bahwa ibadah haji adalah rukun Islam yang kelima, dan diwajibkan kepada orang Islam yang telah aqil baligh serta memiliki kesanggupan yakni memiliki bekal dan memungkinkan pula dalam perjalanannya. Allah berfirman :

ولِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً (آل عمران {3} : 97)

Artinya : “ … Ibadah haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah …” (QS. Ali Imran {3} : 97).

Dalam hadits disebutkan :

عَنْ اَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي قَوْلِهِ عَزَّ وَ جَلَّ: مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً قَالَ قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا السَّبِيْلُ؟ قَالَ: الزَّادُ وَ الرَاحِلَةُ (رواه الدارقطني)

Artinya : “Dari Anas bahwa Nabi SAW., pada firman Allah مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً(orang yang sanggup mengadakan perjalanan), menyatakan bahwa beliau ditanya: Apa yang dimaksud dengan as-Sabiil (jalan) ? Beliau menjawab: Bekal dan perjalanan.”(HR. Ad-Daaruquthnii).

Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh al-Hakim, dan beliau juga mensahihkannya (Asy-Syaukani, Nailul Authar, Juz V:13). Dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan bekal oleh kebanyakan ulama adalah bekal untuk dirinya dan keluarganya sampai ia pulang dari tanah suci (menunaikan ibadah haji).

Mengingat bahwa haji sebagai sebuah kewajiban (rukun Islam yang kelima), maka hendaknya setiap orang Islam yang diberi keluasan rizki bercita-cita dan berusaha untuk dapat menunaikan ibadah haji dengan terlebih dahulu berupaya untuk dapat memiliki bekalnya sebagai sarana dapat dilakukan ibadah haji itu. Dalam qaidah ushuliyah ditegaskan:

لِلوَسَائِلِ حُكْمُ اْلمَقَاصِدِ

Artinya : “Hukum bagi sarana sama dengan hukum tujuannya.”

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan ibadah haji dapat dikatakan bahwa bagi orang Islam yang diberi keluasan rizki wajib untuk berusaha agar memiliki bekal guna dapat menunaikan ibadah haji. Oleh karena itu, menabung dan mengikrarkan untuk biaya perjalanan ibadah haji (BPH, dulu ONH), merupakan perbuatan bijak dan terpuji. Penabungnya dapat dikatakan sebagai hamba Allah yang sungguh-sungguh berupaya untuk dapat melaksanakan ibadah haji. Uang tabungan haji ini hendaknya dijaga sedemikian rupa agar tidak digunakan untuk keperluan lain, sehingga maksud dari menabung dapat menjadi kenyataan.

Namun apabila dalam masa menabung ini terjadi sesuatu hal yang merupakan kebutuhan pokok baik bagi dirinya maupun  keluarganya, yang jika kebutuhan pokok itu tidak terpenuhi akan menimbulkan mafsadat atau menimbulkan madlarat lebih besar, sementara kebutuhan itu tidak dapat dicukupi oleh sumber dana yang lain atau bahkan tidak ada sumber dana yang lain kecuali tabungan haji, maka menurut pendapat kami uang tabungan haji dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan pokok tersebut. Dalam qaidah fiqh disebutkan:

دَرْءُ اْلمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ اْلمَصَالِحِ

Artinya : “Menolak kemafsadatan didahulukan daripada menarik kemaslahatan.”

الضَّرَرُ اْلأَشَدُّ يُزَالُ بِالضَّرَرِ اْلأَخَفِّ

Artinya : “Kemadlaratan yang lebih berat dihilangkan dengan kemadlaratan yang lebih ringan.”

Akan tetapi jika kebutuhan itu tergolong kepada kebutuhan pelengkap ( sekunder / tahsiniy ), hendaknya jangan diambilkan dari uang tabungan haji.

Sekedar contoh, seorang pemuda lajang yang pada suatu saat harus menikah, sebab jika tidak segera menikah dia takut terseret kepada perbuatan maksiat, bahkan perzinaan. Pada saat itu dia tidak mempunyai biaya kecuali uang tabungan haji. Dalam hal ini ia boleh untuk menggunakan uang tabungan haji untuk biaya pernikahannya.

Seorang petani yang gagal panen karena tanaman padi di sawahnya terserang hama, atau seorang karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan tempat ia bekerja, pada saat ia kehabisan bahan makanan dan tidak mempunyai persediaan lain kecuali uang tabungan haji, menurut hemat kami ia boleh mengambil uang tabungan hajinya untuk menutupi dan mencukupi kebutuhan makan bagi keluarganya.

Seseorang yang rumahnya dari segi kesehatan sudah tidak lagi layak huni atau tidak lagi dapat menampung semua anggota keluarganya, atau rumah yang dihuni terkena musibah seperti tanah longsor, kebakaran, dan sebagainya, sementara untuk memperbaiki atau membangun rumah tidak ada biaya kecuali dari uang tabungan haji, menurut hemat kami uang tabungan haji dapat digunakan.

Tentang penggunaan tabungan haji untuk membantu orang lain yang sangat memerlukan, dapat dikemukakan sebagai berikut. Islam mengajarkan kepada setiap pemeluknya untuk menjalin kerjasama atau saling tolong menolong dalam melakukan kebajikan. Allah berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ (المائدة {5}:2 )

Artinya : “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah {5}:2).

Dalam surat al-Ma’un ditegaskan bahwa orang yang tidak mau atau enggan memberi pertolongan  termasuk salah satu dari kelompok orang yang lalai terhadap nilai shalatnya yang oleh karenanya diancam dengan wail (adzab yang berat di akhirat). Dalam hadits diterangkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَ اللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ (رواه مسلم)

Artinya : “Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang melapangkan nafas seorang muslim dari sebuah kesusahan di dunia, maka Allah akan melapangkan nafas orang itu dari kesusahan di hari kiamat; barangsiapa yang mempermudah terhadap orang yang sedang mendapat kesukaran, maka Allah akan memudahkan terhadapnya di dunia dan di akhirat; dan barangsiapa yang menutup cela seorang muslim, maka Allah akan menutup cela(kesalahan)nya di dunia dan di akhirat. Allah akan selalu menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya menolong sesama saudaranya.” (HR. Muslim).

عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُونَ كَرَجُلٍ وَاحِدٍ إِنِ اشْتَكَى عَيْنُهُ اشْتَكَى كُلُّهُ وَإِنِ اشْتَكَى رَأْسُهُ اشْتَكَى كُلُّهُ (رواه مسلم)

Artinya : “Dari Nu’man ibnu Basyir berkata: Orang-orang Islam seperti satu badan orang; apabila mengeluh (merasa sakit) matanya, maka mengeluh (merasa sakit) seluruh (anggota tubuh)nya, dan apabila mengeluh (merasa sakit) kepalanya, maka mengeluh (merasa sakit) seluruh (anggota tubuh)nya.” (HR. Muslim).

Dari keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yag telah dikutip, dapat dikemukakan bahwa seorang muslim harus menolong orang muslim yang lain yang sedang mengalami kesulitan atau tertimpa musibah. Bahkan ketika di suatu lingkungan masyarakat hanya terdapat satu orang yang dapat menolong atau memberi bantuan, maka dalam hal ini memberi bantuan tersebut hukumnya menjadi fardlu ‘ain baginya.

Sekedar contoh, jika ada orang miskin tertimpa musibah, seperti sakit keras yang jika tidak segera diobati sakitnya akan bertambah parah dan dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini wajib bagi orang-orang Islam yang lain untuk menolong atau membantunya. Bahkan jika di lingkungan masyarakatnya hanya terdapat satu orang yang mampu menolong atau memberi bantuan, maka fardlu ‘ain baginya untuk membantunya; artinya jika ia menolong mendapat pahala, tetapi jika ia tidak menolong, maka berdosa. Jika untuk menolong atau memberi bantuan ini tidak ada dana lain kecuali uang tabungan haji atau sumber lain tidak dapat mencukupi, maka boleh diambil dari tabungan hajinya.

Sungguhpun uang tabungan haji, jika sangat diperlukan dapat digunakan untuk menutup atau mencukupi kebutuhan pokok, namun penggunaan ini hendaknya betul-betul seperlunya saja, sehingga dengan sisa yang ada (jika mungkin) akan menjadi dorongan untuk menabung lagi sampai dengan tercukupi bekal biaya perjalanan hajinya – disamping pemborosan itu merupakan perbuatan yang dilarang agama.

 

 

Pertanyaan 2 :

 

Dua orang suami istri yang menikah 17 tahun yang lalu dan hidup bersama kurang harmonis lantaran tidak punya keturunan dan istri sakit-sakitan. Bahkan istri sudah menjalani operasi kandungan 7 tahun lalu, dan dinyatakan oleh dokter kandungan (istri mandul). Dulu waktu laki-lakinya meminang berjanji akan hidup bersama (suami-istri) sampai tua. Namun setelah berjalan pernikahan itu 2 bulan, diketahui istrinya sakit keputihan yang menghalangi persetubuhan hingga sekarang. Dulu sebelum dilamar istri tidak pernah menceritakan penyakitnya itu, padahal kata istri penyakitnya itu diderita sejak ia duduk di bangku SMP hingga sekarang. Lantaran penyakitnya itu si istri pernah menyarankan suami untuk mencerai atau menikah lagi dengan wanita lain.

Pertanyaannya, bolehkah suami mencerai istrinya lalu menikahi wanita lain (hukum mencerai istri tadi bagaimana?), padahal waktu meminang dulu berjanji akan hidup suami-istri sampai tua, tetapi dia tidak tahu kalau istri sakit yang dapat menghalangi persetubuhan?

 

Jawaban :

 

Janji dalam bahasa Arab disebut اَلْعَهْدُ . Kata ini sering diartikan pula dengan اَلْعَقْدُ (ikatan). Memang janji itu mengikat terhadap orang yang berjanji dan kadang-kadang mengikat pula terhadap orang yang dijanjikan. Islam mengajarkan agar orang yang berjanji menepati janjinya. Allah SWT berfirman:

وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولاً (الإسراء {17}:34 )

Artinya : “Penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabannya.” (QS. Al-Isra’ {17}:34).

Sering kali janji ini dikaitkan dengan syarat atau dijadikan syarat. Semisal seseorang wanita mau dinikahi dengan syarat apabila calon suami berjanji akan tetap memberi kesempatan bagi calon istri untuk melanjutkan studinya. Demikian pula syarat ini mengikat terhadap mereka. Dalam hadits disebutkan:

اَلْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ (رواه أبو داود و الحاكم عن أبي هريرة )

Artinya : “Orang-orang Islam diwajibkan menepati syarat-syarat mereka.” (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim dari Abu Hurairah).

Namun syarat yang harus ditaati ialah syarat yang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Allah, misalnya syarat itu tidak mengharamkan yang dihalalkan (dibolehkan) oleh agama atau tidak menghalalkan yang diharamkan oleh agama. Jika syarat itu bertentangan dengan ketentuan Allah, maka syarat itu batal. Rasulullah SAW bersabda:

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ بَاطِلٌ وَ إِنْ كَانَ مِائَةُ شَرْطٍ (رواه الطبرانى عن ابن عباس )

Artinya : “Setiap syarat yang tidak terdapat dalam kitab Allah SWT adalah batal, sekalipun jumlahnya seratus syarat.” (HR. Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas).

Dalam kaitan dengan pertanyaan yang diajukan, jika dicermati, maka :

1.      Hubungan antara suami dan istri kurang harmonis. Keadaan ini kurang selaras atau belum/tidak mewujudkan yang diajarkan oleh Islam, karena Islam mengajarkan agar dengan perkawinan itu dapat diperoleh kehidupan yang tenteram penuh kasih sayang. Allah berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّ رَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُونَ ( الروم {30}:21 )

Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya,  ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum {30}:21).

Dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) huruf f. disebutkan: Perceraian dapat terjadi karena alasan antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

2.      Karena sakit yang diderita istri menghalangi persetubuhan. Kondisi seperti ini tidak mewujudkan yang diajarkan dalam Islam, yakni bahwa perkawinan merupakan cara yang terhormat dan sah untuk penyaluran nafsu seksual. Dalam ajaran Islam perkawinan menghalalkan hubungan laki-laki dan perempuan sebagai suami dan istri. Dalam al-Qur’an disebutkan:

فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ (البقرة {2}:222 )

Artinya : “Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperbolehkan Allah kepadamu.” (QS. Al-Baqarah {2}:222).

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ (البقرة {2}:223 )

Artinya : “Istri-istrimu adalah ( seperti ) tanah tempat bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja yang kamu kehendaki.” (QS. Al-Baqarah {2}:223).

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ (البقرة {2}:187 )

Artinya : “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istrimu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah {2}:187).

Dalam KHI pasal 116 huruf e. disebutkan: Perceraian dapat terjadi karena alasan salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

3.      Dalam perkawinan tersebut tidak diperoleh keturunan, padahal Allah menciptakan manusia dengan disertai naluri berkeinginan memiliki keturunan. Allah berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ (آل عمران {3}:14 )

Artinya : “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak, …” (QS. Ali Imran {3}:14).

وَ اللهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَ حَفَدَةً وَ رَزَقَكُمْ مِنَ الطَيِّبَاتِ (النحل {16}:72 )

Artinya : “Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri  dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rizki yang baik-baik.” (QS. An-Nahl {16}:72).

Dengan demikian dalam perkawinan sebagai yang saudara kemukakan, karena belum/tidak mewujudkan sepenuhnya yang disebutkan dalam ayat di atas, yakni belum/tidak mewujudkan keinginan untuk memiliki anak.

Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipahami bahwa sesungguhnya janji untuk hidup bersama sampai tua sebagaimana yang dikemukakan dalam pertanyaan di atas, jika dipertahankan akan berarti mempertahankan keadaan yang tidak mampu mewujudkan yang disebutkan dalam al-Qur’an, jika tidak mungkin dikatakan sebagai mempertahankan keadaan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syara’. Oleh karena itu menurut hemat kami janji tersebut tidak harus dipertahankan, karena tidak mencerminkan kemaslahatan yang telah diterangkan dalam al-Qur’an; apalagi sebagaimana telah disebutkan dalam pertanyaan bahwa istri menyarankan suami untuk menceraikan dan kawin lagi. Pernyataan istri ini menunjukkan kerelaannya janji suami tidak berlaku lagi. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa suami dibenarkan menceraikan istrinya dan tidak pula dianggap sebagai melanggar janji.

 

 

Pertanyaan 3 :

 

Setiap sekolah pada tahun ajaran baru memungut uang pada orang tua murid untuk saranadan prasarana (seperti untuk membangun lokal atau meja/kursi dll.). Bolehkah uang tersebut diambil beberapa prosen atau sebagian untuk membeli pakaian PSH atau uang sangu THR (Tunjangan Hari Raya) para gurunya? Padahal uang tersebut alokasinya sudah jelas untuk sarana dan prasarana sekolah.

 

Jawaban :

 

Uang yang dipungut dari orang tua atau wali murid, dapat dikatakan sebagai titipan (amanah) orang tua atau wali murid kepada sekolah untuk pengadaan sarana dan prasarana sekolah. Islam mengajarkan, agar orang yang diberi amanah untuk menunaikan amanah tersebut dengan sebaik-baiknya. Dalam al-Qur’an diterangkan:

فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي ائْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ (البقرة {2}:283)

Artinya : “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagaian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya.” (QS. Al-Baqarah {2}:283).

يَآ أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَخُونُوا اللهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (الأنفال {8}:27)

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal {8}:27)

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُونَ (2) وَالَّذِينَ هُمْ لأَِمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (8) (المؤمنون {23}:1،2،8)

Artinya : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyu’ dalam shalatnya, … dan orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Al-Mu’minun : {}:1,2,8)

Berdasarkan petunjuk Allah melalui ayat-ayat al-Qur’an yang dikutip di atas, hendaknya pihak sekolah merealisir pengadaan sarana dan prasarana sekolah yang disepakati dengan menggunakan uang yang dipungut dari orang tua atau wali murid sebagai amanah yang harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya.

Jika pihak sekolah sudah melaksanakan amanah tersebut yakni telah melakukan pengadaan sarana dan prasarana sekolah dan telah dipandang cukup; sementara itu dana dari orang tua atau wali murid yang disediakan untuk keperluan itu masih tersisa, atau memang pihak sekolah akan mengalihkan penggunaan dana untuk sarana dan prasarana sekolah tersebut, baik sebagian atau seluruhnya untuk keperluan yang lain, seperti untuk pengadaan pakaian seragam guru/karyawan, untuk memberi Tunjangan Hari Raya (THR), dan sebagainya, hendaklah dimusyawarahkan dengan orang tua atau wali murid untuk dimintakan persetujuan atau kerelaannya. Jika mereka menyetujui, pengalihan penggunaan dana menjadi jelas seizin yang memberi amanah.

Dengan cara seperti itu akan menjadi transparan pengelolaan dana umat ini dan sekaligus dapat menghindari kemungkinan munculnya tanggapan negatif terhadap sekolah. Lebih dari itu, pakaian yang dibeli atau THR yang diterima akan lebih terjamin sebagai rizki yang halal dan thayyib.

 

TAHLILAN (29)

Saudara Ruslan Hamidi, Kembangan, Sumber Rahayu, Moyudan, Sleman, Yogyakarta

 

Pertanyaan :

Apakah Muhammdiyah membolehkan tahlilan, seperti mengucapkan kata “La Ilaha Illallah” sebanyak 33 kali? Saya rasa lebih menenangkan dan menyejukkan hati serta menciptakan situasi yang Islami.

 

Jawaban :

 

Pertanyaan tersebut sebenarnya sudah sering ditanyakan dalam pengajian-pengajian, dan pernah juga dijawab lewat Suara Muhammadiyah, secara singkat. Namun demikian kami tidak keberatan menjelaskan kembali lewat Suara Muhammadiyah agar pembaca lebih mudah memahaminya.

 

Jika yang dimaksudkan tahlil adalah membaca “La Ilaha Illallah” (tiada Tuhan selain Allah), Muhammadiyah tidak melarang, bahkan menganjurkan agar memperbanyak membacanya, berapa kali saja, untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur`an dan al-Hadits.

 

1.   Dalam al-Qur`an ditegaskan sebagai berikut:

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ (البقرة {2}:152)

Artinya : “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.” (al-Baqarah {2}:152)

 

2.   Pada ayat lainnya Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ( الأحزاب {33}:41)

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.” (al-Ahzab {33}:41)

 

3.   Pada ayat lainnya Allah berfirman:

قُلْ إِنَّمَا هُوَ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنَّنِي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ (الأنعام {6}:19)

Artinya : “… katakanlah: Sesungguhnya dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).” (al-An’am {6}:19)

 

4.   Pada ayat lainnya Allah berfirman:

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ (1) اللهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4) (الإخلاص {112}:1-4)

Artinya : “Katakanlah: Dia-lah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (al-Ikhlas {112}:1-4)

 

5.   Pada ayat lainnya Allah berfirman:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ (محمد {47}:19)

Artinya : “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi dosa orang-prang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.” (Muhammad {47}:19)

 

Perintah berzikir dengan menyebut Lafal Jalalah (La Ilaha illa Allah) dalam hadits-hadits pun banyak diungkapkan, antara lain ialah :

 

1.   Hadits Nabi SAW:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ (رواه البخارى، كتاب الصلاة، باب المساجد فى البيوت، عَنِ عِتْبَانُ بن مَالِكُ)

Artinya : Rasullah SAW besabda; “Maka sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas neraka terhadap orang yang mengucapkan ‘La Ilaha Illa Allah’, yang dengan lafal tersebut ia mencari keridhaan Allah.” (HR. al-Bukhari, Kitab as-Shalah (420), Bab al-Masajid fi al-Buyut.)

 

2.   Hadits Nabi SAW:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشَرَ رِقَابٍ وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ أَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلاَّ أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ وَمَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْحَرِّ (رواه مسلم، كتاب الذكر، باب فضل التهليل، نمرة: 28/2691، عن أبى هريرة)

Artinya : Dari Abi Hurairah; Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa mengucapkan ‘La ilaha illa Allah wahdahu la syarika lahu lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘ala kulli syai`in qadir’, dalam satu hari sebanyak seratus kali, maka (lafal jalalah tersebut) baginya sama dengan memerdekakan sepuluh hamba sahaya, dan dicatat baginya seratus kebaikan, dan dihapus daripadanya seratus kejahatan, dan lafal jalalah tersebut baginya menjadi perisai dari syaitan selama satu hari hingga waktu petang; dan tidak ada seorang pun yang datang (dengan membawa) yang lebih afdal, daripada apa yang ia bawa (ucapkan), kecuali orang yang mengerjakan lebih banyak dari itu. Dan barangsiapa mengucapkan ‘subhana-llah wa bi hamdih’ (Allah Maha Suci dan Maha Terpuji) dalam satu hari sebanyak seratus kali, maka dihapus kesalahan-kesalahannya, sekalipun seperti buih air panas yang mendidih.” (Diriwayatkan oleh Muslim, Kitab az-Zikr, Bab Fadlut-Tahlil, No. 28/2691, dari Abi Hurairah)

 

3.   Hadits Nabi SAW:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَنْ أَقُولَ سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ (رواه مسلم، كتاب الذكر، باب فضل التهليل، نمرة: 32/2695، عن أبى هريرة)

Artinya : Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh, saya mengucapkan: ‘Subhana-llah wa al-hamdu lillah wa la Ilaha illa Allah wa Allahu Akbar’ (Maha Suci Allah dan segala puji hanya bagi Allah, dan tiada Tuhan yang pantas disembah kecuali Allah, dan Allah adalah Maha Besar) adalah lebih saya cintai daripada terbit matahari.” (Diriwayatkan oleh Muslim, Kitab az-Zikr, Bab Fadlut-Tahlil, No. 32/2695, dari Abi Hurairah)

 

Ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits tersebut memberikan pengertian bahwa memperbanyak membaca tahlil adalah termasuk amal ibadah yang sangat baik, sehingga mereka yang memperbanyak tahlil dijamin masuk surga dan haram masuk neraka. Tentu saja tidaklah cukup hanya mengucapkannya, atau melafalkannya saja, melainkan harus menghadirkan hati ketika membacanya, dan merealisasikannya dalam kehidupan keseharian. Yaitu dengan memperbanyak amal shalih dan meninggalkan segala macam syirik, baik syirik besar maupun syirik kecil, yang dalam istilah Muhammadiyah; meninggalkan TBC: takhayyul, bid’ah dan khurafat.

Takhayyul ialah mempercayai adanya khayalan datangnya bala atau musibah yang dibawa oleh makhluk Allah, seperti burung, burung hantu, kucing, ular dan sebagainya.

Bid’ah ialah melakukan ibadah yang tidak pernah diajarkan dan tidak pernah diamalkan oleh Rasulullah SAW, atau oleh para shahabatnya.

Khurafat ialah mempercayai kisah-kisah yang batil, seperti kisah Nyai Roro Kidul, yang katanya dapat membuat manfaat dan madharat, sehingga harus diberi sesaji, padahal laut adalah mahkluk Allah yang tidak dapat membuat manfaat dan madharat.

Jika masih berbuat syirik, dan tidak beramal shalih, sekalipun membaca tahlil ribuan kali, tidak ada manfaatnya. Maka yang sangat penting sebenarnya ialah bahwa tahlil itu harus benar-benar diyakini dan diamalkan dengan berbuat amal shalih sebanyak-banyaknya.

Maka yang dilarang menurut Muhammadiyah adalah upacaranya yang dikaitkan dengan tujuh hari kematian, atau empat puluh hari atau seratus hari dan sebagainya, sebagaimana dilakukan oleh pemeluk agama Hindu. Apalagi harus mengeluarkan biaya besar, yang kadang-kadang harus pinjam kepada tetangga atau saudaranya, sehingga terkesan tabzir (berbuat mubazir).

Pada masa Rasulullah SAW pun perbuatan semacam itu dilarang. Pernah beberapa orang Muslim yang berasal dari Yahudi, yaitu Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya, minta izin kepada Nabi SAW untuk memperingati dan beribadah pada hari Sabtu, sebagaimana dilakukan mereka ketika masih beragama Yahudi, tetapi Nabi SAW tidak memberikan izin, dan kemudian turunlah ayat:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة {2}:208)

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (al-Baqarah {2}:208)

Menurut kami, yang dimaksud dengan situasi Islami adalah situasi yang sesuai dengan syari’at Islam, dan bersih dari segala macam larangan Allah, termasuk syirik, takhayyul, bid’ah, khurafat, dan lain-lainnya.

 

TAHLILAN (30)

Syafruddin Menroja, Wajo, Sulawesi Selatan

 

Pertanyaan :

 

Apakah shalat sunat tahiyyat masjid dua rakaat itu harus dilakukan meskipun Khutbah Jum’at sedang berlangsung ?

 

Jawaban :

 

Sebelum memberikan jawaban atau komentar terhadap pertanyaan Saudara, berikut ini kami sebutkan lebih dahulu dua hadits Nabi SAW mengenai hal itu;

جَاءَ رَجُلٌ يَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ وَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَقَالَ اجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ وَ اَنَيْتَ ( رواه أبو داود و النسائ)

Artinya: “Seorang datang (masuk masjid) melangkahi duduk orang lain pada hari Jum’at, sedang Nabi SAW berkhutbah, maka beliau bersabda; ‘Duduklah engkau, sesungguhnya engkau telah menyakiti dan terlambat’.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ اْلمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجْلِسَ ( رواه أبو داود )

Artinya: “Apabila seseorang kamu masuk ke dalam masjid, maka hendaklah ia melakukan shalat dua rakaat sebelum duduk.” (HR. Abu Dawud)

 

Penjelasan :

 

1.      Hadits pertama mengandung tuntunan, pada waktu masuk ke dalam masjid dilarang melangkahi duduk orang lain yang sedang duduk, baik sedang mendengar khutbah atau sebelum khatib berkhutbah. Arahan hadits ini kepada soal itu bukan kepada yang lainnya, dan melihat konteks hadits itu, tidak dapat dipahami atau diambil hukum orang dilarang melakukan shalat tahiyyat masjid ketika khatib sedang berkhutbah.

2.      Hadits kedua secara gamblang menunjukkan kepada perintah agar kita mengerjakan dua rakaat shalat tahiyyat masjid sebelum kita duduk, walaupun di waktu itu khatib sedang berkhutbah.

Lantaran itu, hendaknya orang yang masuk ke dalam masjid kapan pun, baik siang atau malam, jangan terus saja duduk tidak melakukan shalat tahiyyat masjid dua rakaat.

Oleh karena itu orang yang masuk masjid di waktu-waktu yang sempit yang diharamkan shalat (waktu tahrim) hendaknya ia menangguhkan masuknya, sehingga habis waktu tahrim itu, atau pun dia terus masuk dan berdiri sehingga habis waktu tahrim itu. Sedangkan orang yang masuk masjid di waktu-waktu yang luas yang diharamkan shalat di dalam waktu itu bukan karena dzatnya, maka hendaklah ia melakukan terus shalat tahiyyat masjid dua rakaat.

Sesudah melaksanakan shalat tahiyyat masjid, kalau khatib belum berkhutbah kita duduk untuk berzikir, berdoa, bershalawat, membaca al-Qur’an dan mengerjakan shalat tathawwu’ seberapa kuasa. Tetapi apabila khatib sudah naik ke mimbar memulai khutbah, hendaklah kita mendengar khutbah, mengingat sabda Nabi SAW;

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَ اْلإِمَامُ يَخْطُبُ لَغَوْتَ (رواه مالك و أحمد و أبو داود)

Artinya: “Apabila engkau katakan kepada temanmu pada hari Jum’at; ‘diamlah’, sedang Imam lagi berkhutbah, maka engkau telah berbuat sia-sia.” (HR. Malik, Ahmad, dan Abu Dawud).

 

 

 

 

 

 


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website