PDM Kabupaten Kediri - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Kediri
.: Home > Artikel

Homepage

Kritik Intuisi Pendidikan dan Problem Moralitas

.: Home > Artikel > PDM
12 April 2014 07:30 WIB
Dibaca: 2062
Penulis :

Penulis : Muhammad Khoirur Roziqin

Problem moralitas di ranah sosial masyarakat hampir selalu dikaitkan dengan gagalnya dunia pendidikan untuk membekali anak didiknya dengan nilai-nilai moralitas yang baik. Padahal problem moralitas tentu tidak disebabkan oleh hanya satu variabel, yakni dunia pendidikan (baca: persekolahan). Kasus korupsi misalnya, jelas adalah problem sosio-kultur dan struktural-kekuasaan. Walaupun begitu, bukan berarti dunia pendidikan tidak ambil peran dalam problem moralitas, justru praktik pendidikan adalah yang utama berada dalam pusaran masalah tersebut.

Namun tentu kita akan gagal mengidentifikasi akar problem moralitas tersebut ketika memaknai pendidikan sebagai praktik persekolahan belaka. Pun akan jauh panggang dari api ketika mendasarkan pada konsep education as human investment yang berakar dari ideologi pendidikan liberal (Mansour Fakih, et al., 2000). Mengapa? Karena banyak nilai-nilai dan materi moralitas diberikan di sekolah, sejak pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, dengan asumsi sebagai “investasi” dan bekal berkehidupan sosial ketika “lulus kelak”, pada akhirnya bekal tersebut tidak berdaya ketika sudah masuk dalam lingkaran kultural dan struktural yang berada jauh di luar jangkauan sekolah dan kampus.

Di sinilah “jarak” tersebut harus diputus dengan menggunakan perspektif paradigmatik pedagogi kritis yang melihat pendidikan sebagai bagian dari masyarakat, perubahan sosial, fenomena sosio-kultural, dan praktik struktural-kekuasaan. Dengan begitu, pendidikan adalah praktik kebudayaan dan pembudayaan; pendidikan adalah praktik politik kebudayaan; pendidikan adalah arena perjuangan dan pertarungan nilai-nilai dan ideologi—bahkan juga politik (lihat Michael Apple, 2004; Eric Margolis [ed.], 2001); pendidikan bukan hanya persekolahan, melainkan juga non-persekolahan; semua praktik berkehidupan dan berkebudayaan dapat dimaknai sebagai pendidikan—dapat diambil pelajaran dan “hikmah” darinya.

Pedagogi kritis memberikan perspektif bahwa praktik persekolahan tidaklah jauh terpisah dari praktik berkehidupan sosial masyarakat riil, melainkan terlibat dan menjadi bagian di dalamnya (Paulo Freire, 2005; Ki Hadjar Dewantara, 2004). Pengetahuan bukanlah materi “investasi” untuk menggapai masa depan—sebuah masa depan dalam desain modernitas sebagai pekerja kantoran, birokrat, civil servant (PNS), dan lainnya (ingat doktrin division of labour modernitas), melainkan pengetahuan adalah kekuasaan (baca konsepsi kekuasaan dari Foucault yang dituliskan sebagai knowledge/power, dalam Paul Rabinow [ed.], 2004).

Dengan konsepsi tersebut, maka pendidikan dalam arti persekolahan (sekolah, kampus, madrasah) maupun non-persekolahan (komunitas intelektual, budaya) dapat menempatkan diri sebagai institusi sosial yang turut membentuk dan membangun nilai-nilai moralitas di tengah masyarakat secara langsung, tidak dimediasi oleh lulusannya yang “di kelak kemudian hari” diharapkan sukses di masyarakat. Ki Hadjar Dewantara mengemukakan konsep sekolah tersebut sebagai “pusat kebudayaan” yang ditandai dengan adanya pendapa di Taman Siswa (Yogyakarta) sebagai ruang publik terbuka praktik politik kebudayaan rakyat waktu itu (Ki Hadjar Dewantara, 2004)

Namun sayang, sekolah-sekolah sekarang menjauh dari konsep pedagogi kritis tersebut, dan justru terbenam dalam praktik persekolahan yang dikelola oleh konsep new public managerialism hingga membuahkan fenomena korporatisasi pendidikan (David Boje & Khadija Al-Arkoubi, 2008). Berkaitan dengan problem moralitas di masyarakat—korupsi, plagiarism, kebohongan publik, politisi busuk, penguasa otoriter—maka sekolah dan kampus tidak akan dapat berperan lebih jauh ketika masih mendasarkan diri bagaikan lembaga diklat bagi korporasi-korporasi dunia industri. Sekolah dan kampus jauh dari posisi dan sikap sebagai penjaga nilai dan moral di tengah masyarakat.

Sekolah dan kampus kemudian menjadi tiada lain kecuali tangan panjang pasar (market) dan negara (state), meneguhkan diktum Althusser (1971) bahwa pendidikan adalah aparatus ideologis negara untuk menstabilkan dan melanggengkan status quo kekuasaan negara—di mana negara tersebut telah berselingkuh dengan para borjuis kapitalis dalam hubungan “simbiosis mutualisme”. Ketika sekolah dan kampus tidak dapat berperan sebagai “pusat kebudayaan”, maka ia tidak dapat melakukan fungsi memilah-milah, menganalisis, mengolah, memformulasikan, dan mentransformasi nilai-nilai dan moralitas yang baik di tengah masyarakat. Sekolah dalam desain korporasi lebih sibuk mengurus link and match-nya dengan dunia industri, mengkesampingkan konsepsi filosofi dan ideologi kurikulum dan pendidikan rekonstruksionisme sosial (social-reconstructionism) (Paul Towler, 2003).

Kecenderungan memapankan desain tata sosio-kultural-ekonomi-politik yang menjadi arus utama (mainstream) tersebut tiada lain adalah bentuk dari neo-konservatisme pendidikan, yang secara sederhana dapat disebut sebagai: kecenderungan untuk mengkonservasi, melestarikan, menstabilkan, dan melanggengkan tata nilai masyarakat dominan (ruling class), baik modern maupun tradisional. Sayangnya, kecenderungan konservasi tersebut juga lebih dekat pada upaya ideologisasi dan dogmatisasi tata nilai tersebut, hingga akhirnya menutup upaya untuk refleksi diri (self-reflection) sebagai bentuk kritik ideologi (F. Budi Hardiman, 2009).

Akhirnya, sekolah dan kampus tidak berperan apa-apa dalam soal problem moralitas di masyarakat, kecuali mengiyakan nilai-nilai dan moral yang telah mapan di masyarakat. Ironisnya adalah: banyak nilai-nilai dan moral yang salah kaprah dan dianggap sebagai sebuah kebenaran dan kebajikan. Misal: (1) nilai-nilai kepemimpinan, apakah ia sama dengan penguasa atau lebih sebaiknya sebagai pelayan masyarakat; (2) apakah PNS harus tunduk pada atasan atau tata aturan perundang-undangan; (3) apakah soal moralitas itu soal privat atau publik, bolehkah guru memisahkan peran dirinya sebagai “penjaga moral” yang mesti memberi keteladanan dan sebagai manusia biasa yang boleh salah dan korupsi untuk kepentingan keluarga dan anak-anaknya; dan lainnya.

Dengan demikian, tiada jalan lain kecuali mengembalikan posisi sekolah dan kampus sebagai bentuk pendidikan persekolahan menjadi pusat kebudayaan masyarakat, pusat gerakan rakyat, pusat belajar membangun kesadaran kritis masyarakat. Memang grand design modernitas, kapitalisme global, demokrasi liberal, hedonisme, materialisme seakan-akan membuat celah untuk membuat desain lain tertutup, tapi sebagaimana kata Foucault bahwa “….no matter how terrifying a given system may be, there always remain the possibilities of resistance, disobedience, and oppositional groupings” (dalam Paul Rabinow, 1984, p. 245), maka lingkaran-lingkaran intelektual dan budaya harus dibangun dan gerakkan, sebentuk counter culture dan politik kebudayaan dalam posisi sebagai “penjaga nilai kearifan”.


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website